Budi Setyono dan Hano Hanafi
PROSPEK DAN TANTANGAN PENGEMBANGAN JOGJA SEED CENTRE (JSC) Prospects And Challenges Of Jogja Seed Centre Development Budi Setyono dan Hano Hanafi Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta Jl. Stadion Maguwoharjo No.22, Karangsari, Wdomartani, Ngemplak, Sleman, Yogyakarta
ABSTRACT A study to describe the challenges of Jogja Seed Center was conducted in May to September 2010. The results of 2008 Yogyakarta survey showed 85 producer / breeder seed crops spread over four counties and one city, with the current status of 69.4% and 30.6% inactive. The majority of seed producers of crops that there is a manufacturer of rice seeds (61.12%), while producers of rice, secondary crops (rice, soybean, corn, peanuts) as much as 14.12%. The ability of rice production in 2008 in Sleman was 287,170 tons, 454,760 tons of Bantul, Kulon Progo 575,940 tons, Gunungkidul 120.50 tons, and 12,800 tons of Yogyakarta City. Maize seed production of Sleman in 2009 was 405.7 tons and Gunung Kidul 80 tons. Soybean production in 2009 from 5.590 tons of Sleman Regency; Bantul 10 tons; Kulon Progo 52 tons and Gunung Kidul 378 tons. Patterns of cooperation or partnership aim to gain an advantage for both parties. Constraints faced in increasing rice seed production is limited seed capital for acquisition candidates. Increased production of rice seeds can be done with coaching producers and breeders to the facilitation of funding from local governments. Key worda : prospects, challenges, Jogja Seed Center ABSTRAK Penelitian untuk mendeskripsikan tantangan pengembangan pusat perbenihan Yogya dilaksanakan bulan Mei – September 2010. Hasil penelitian tahun 2008 Yogyakarta memiliki 85 produsen /penangkar benih tanaman pangan yang tersebar di empat kabupaten dan satu kota, dengan status 69,4 persen aktif dan 30,6 persen tidak aktif. Mayoritas produsen benih tanaman pangan yang ada adalah produsen benih padi (61,12%), sedangkan produsen padi-palawija (padi, kedelai, jagung, kacang tanah) sebanyak 14,12 persen. Kemampuan produksi padi tahun 2008 di Sleman 287.170 ton, Bantul 454.760 ton, Kulon Progo 575.940 ton, Gunungkidul 120,50 ton, dan Kota Yogyakarta 12.800 ton. Produksi benih jagung tahun 2009 dari Kabupaten Sleman 405,7 ton dan Gunung Kidul 80 ton. Sedangkan produksi kedelai tahun 2009 Kabupaten Sleman 5.590 ton; Bantul 10 ton; Kulon Progo 52 ton, dan Gunung Kidul 378 ton. Pola kerja sama atau pola kemitraan bertujuan untuk mendapatkan keuntungan bagi kedua belah pihak. Kendala yang dihadapi dalam peningkatan produksi benih padi adalah terbatasnya modal untuk penguasaan calon benih. Peningkatan produksi benih padi dapat dilakukan dengan pembinaan produsen dan penangkar dengan fasilitasi dana dari Pemerintah Daerah. Kata kunci : prospek, tantangan, Jogja Seed Centre
366
Prospek dan Tantangan Pengembangan Jogja Seed Centre (JSC)
PENDAHULUAN Yogyakarta sebagai pusat perbenihan (Jogja Seed Center) mempunyai ruang lingkup yang bermanfaat sebagai pengembangan sistem informasi, promosi, pelatihan, konsultasi, temu mitra usaha, dan pengembangan jaringan usaha perbenihan, yang melibatkan pelaku perbenihan, petugas pemerintah dan petani maju pengguna BUB (benih unggul bermutu) berbasis kelompok tani (Bappeda Provinsi DIY, 2007). Peluang yang muncul dari aktivitas perbenihan ini adalah kebutuhan benih yang bermutu masih banyak dan belum mencukupi dari kebutuhan baik tingkat lokal maupun nasional sehingga disini memunculkan peluang bimbingan dan kerja sama dengan pihak lain (stakeholder) baik dalam penyediaan benih, distribusi benih, maupun penelitian benih. Selain itu letak Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang strategis berada di wilayah tengah dan tempat tujuan wisata merupakan peluang yang tidak bisa diabaikan (Yudono, 2008). Benih merupakan unsur utama sarana produksi dalam budidaya tanaman, sehingga dalam penggunaan benih bermutu mempunyai peranan yang sangat menentukan dalam usaha meningkatkan produksi dan mutu hasil. Apabila petani dalam menggunakan benih tidak sesuai atau tidak bermutu, akan menghasilkan produksi yang tidak baik pula (produksi rendah). Oleh karena itu tersedianya benih unggul bermutu tinggi (bersertifikat) bagi kepentingan petani dalam melakukan usaha taninya merupakan syarat yang penting dalam upaya peningkatan produksi. Penggunaan BUB, akan terjadi efisiensi dan efektivitas yang optimal pada penggunaan sarana produksi, penggunaan lahan, dan waktu. Dengan menggunakan BUB akan diperoleh keuntungan yang dapat diperhitungkan sebelumnya. Harapan petani sebagai pengguna BUB tentunya tersedia benih sepanjang waktu dengan memperhatikan ketentuan baku yakni tepat waktu, tepat mutu, tepat varietas/jenis, tepat jumlah, tepat lokasi penyediaan, dan tepat harga (dapat terjangkau). Karena kenyataan yang ada di lapang ketersediaan BUB sangat jauh dari harapan, produksi benih sering tidak tepat dan tidak berkesinambungan. Keadaan demikian sangat mengganggu peningkatan produksi, akhirnya petani terpaksa menggunakan benih seadanya dan tidak jelas asal usulnya. Dampak yang sering terjadi akibat tidak menggunakan BUB selain penurunan produksi berakibat terhadap penyebaran hama penyakit tanaman (Suprihanti, 2008). Daerah Istimewa Yogyakarta, dengan pemilikan lahan yang sempit (rerata 0,1 ha lahan sawah dan 0,2 ha lahan tegalan per keluarga) jelas tidak akan mencukupi kebutuhan pangan bagi penduduknya. Upaya meningkatkan pendapatan petani, dilakukan dengan cara intensifikasi pertanian dan diversifikasi, termasuk di dalamnya adalah pengusahaan BUB. Upaya ini berpeluang tinggi, karena pada kenyataannya, DIY masih kekurangan BUB, baik padi, palawija maupun tanaman lainnya (Bappeda Provinsi DIY, 2007). Pencanangan Yogyakarta sebagai pusat perbenihan (Jogja Seed Center) yaitu dalam bentuk sentra produksi aneka BUB dan pusat pelayanan dengan harapan akan terjadi peningkatan usaha perbenihan, yang akan meningkatkan pula kesejahteraan masyarakat.
367
Budi Setyono dan Hano Hanafi
Berdasarkan informasi data BPSBP (2008), selama tahun 2008 kebutuhan benih padi di DIY tercatat 3.514,2 ton, namun produksi benih padi asal DIY hanya mampu memenuhi 41,29 persen yaitu 1.451,1 ton dengan luas penangkaran 1.086 ha. Dari produksi benih padi ini sudah dinyatakan lulus uji laboraturium. Dari jumlah itu, 73,93 persen didominasi benih varietas IR 64 dan Ciherang. Sementara itu, kebutuhan benih jagung di DIY mencapai 2.105,8 ton sedangkan produksi benih DIY hanya 382,6 ton atau 18,17 persen dengan luas penangkaran 678 ha. Adapun kebutuhan benih kedelai mencapai 1.591,9 ton namun kemampuan pemenuhan benih hanya 176,7 ton atau 11,1 persen dengan luas penangkaran 1.871 ha. Ini artinya dari sisi agribisnis, investasi di bidang produksi benih di DIY masih terbuka lebar untuk dikembangkan. Melalui kelembagaan penangkaran benih (padi, jagung dan kedelai) maka diupayakan semua kebutuhan benih untuk meningkatkan produksi pertanian di DIY dapat terpenuhi. Tujuan penelitian mengetahui jumlah produsen/penangkar, kemampuan produksi, dan bagaimana pola kerja sama kemitraan dengan penangkar, kendala produksi benih (padi, jagung dan kedelai) serta solusi peningkatan produksi benih.
METODOLOGI PENELITIAN Metode yang digunakan adalah metode survei dengan cara mengumpulkan data sekunder maupun primer. Data sekunder diperoleh dari instansi-instansi yang terkait, sedangkan data primer diperoleh dari pelaku perbenihan (produsen, pedagang dan pemakai benih). Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis deskriptif (Singarimbun, 1995). Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei – September 2010. Indikator penelitian meliputi jumlah produsen/penangkar, kemampuan produksi, dan bagaimana pola kemitraan dengan penangkar, kendala produksi benih, serta strategi pengembangan benih.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Potensi dan Daya Saing Lahan Pertanian Hingga tahun 2008 DIY memiliki 85 produsen penangkar benih tanaman pangan yang tersebar di empat kabupaten dan satu kota, dengan status 69,4 persen aktif dan 30,6 persen tidak aktif. Mayoritas produsen benih tanaman pangan yang ada adalah produsen benih padi (61,12%), sedangkan produsen padi-palawija (padi, kedelai, jagung, kacang tanah) sebanyak 14,12 persen. Produsen/penangkar benih yang aktif artinya kelembagaan penangkar ini benar-benar aktif memproduksi benih sesuai dengan target baik budidaya, produksi, proses pascapanen sampai dengan pemasaran. Sedangkan produsen/ penangkar tidak aktif merupakan penangkar pasif mungkin pernah memproduksi benih namun tidak lumintu berupaya melangsungkan kegiatannya karena berbagai kendala dan masalah yang dihadapi, mungkin kesulitan sumber benih, modal, dan sarana lain sebagai pendukung. Aktif dan tidak aktifnya produsen/penangkar
368
Prospek dan Tantangan Pengembangan Jogja Seed Centre (JSC)
sangat tergantung pada keahlian dan kelincahan pengurus kelembagaan ini, karena usaha industri perbenihan diperlukan kelincahan personal dalam managemen berbisnis, selain dapat mengelola internal kelembagaan juga pandai menjalin hubungan eksternal dengan konsumen benih, baik partai besar, sedang, atau kecil. Menurut Sa’id dan Intan (2001) menjelaskan, bahwa dalam agribisnis para pelaku dapat menghadapi risiko-risiko, seperti risiko produksi (penurunan volume dan mutu produk), risiko pemilikan, risiko keuangan dan pembiayaan, kerugian karena bencana alam, perikatan, serta kerugian karena hubungan kerja dan kerugian karena perubahan harga. Tabel 1. Jumlah Produsen/Penangkar Benih Tanaman Pangan di DIY, 2009 No
Kabupaten
1 2 3
Sleman Bantul Kulon Progo
Ak 9 13 8
4 5
Gunungkidul Yogyakarta
3 2
Padi TAk 5 10 1
Padi-palawija Ak Tak 4 1 2 2 4 2
0 1 Jumlah
3 1
Palawija Ak TAk 2 0 4 0 0 1
2 0
4 0
Jumlah 21 31 16
0 1
12 5 85
Sumber: BPSB DIY, 2009. Keterangan: Ak = Aktif, Tak = Tidak Aktif
Berikut ini data Kelompok tani produsen/penangkar benih tanaman pangan di DIY: Tabel 2. Data Kelompok Tani Produsen/Penangkar Benih Tanaman Pangan di DIY, 2009
No 1 2 3 4 5
Padi
Kabupaten Sleman Bantul Kulon Progo Gunungkidul Yogyakarta
Ak
TAk
2 4 6 0 0
3 8 1 0 0
Padipalawija Ak TAk
Palawija
Jumlah per TAk Kab/Kota
Jumlah
Ak
Tak
Ak
2 1 3 0 0
0 1 2 1 0
2 3 0 2 0
3 1 1 0 0
4 8 9 2 0
3 10 4 1 0
7 18 13 3 0
JUMLAH 12 12 6 Sumber: BPSB DIY, 2009. Keterangan: Ak = Aktif, Tak = Tidak Aktif
4
5
2
23
18
41
Pemberdayaan kelompok tani dalam industri perbenihan merupakan suatu upaya terobosan pemerintah DIY melalui dinas pertanian di setiap kabupaten, dengan mengajak kerja sama dengan kelembagaan kelompok tani untuk memproduksi benih (Setyono et al., 2008). Kelembagaan kelompok tani merupakan institusi nonformal di perdesaan yang beranggotakan petani-petani
369
Budi Setyono dan Hano Hanafi
yang mempunyai kepentingan sama, yakni meningkatkan produksi pertanian dalam rangka meningkatkan pendapatan dan kesejahteraannya (Pranaji, 2004).
Kesesuaian Lahan Pertanian Sebagai Penangkaran Benih Jumlah produksi benih padi dari beberapa penangkar yang ada di setiap Kabupaten (Sleman, Bantul, Kulon Progo, Gunungkidul dan Kota Yogyakarta) setelah dilakukan proses pengujian di BPSB tahun 2008 berturut-turut sebagai berikut: Sleman 287.170 ton, Bantul 454.760 ton, Kulon Progo 575.940, Gunungkidul 120,50 ton, dan Kota Yogyakarta 12,800 ton (Tabel 3). Kemampuan penangkar/produsen yang bermitra dengan kelompok tani terkendala dengan modal yang tersedia, sehingga jika musim panen tiba produsen tidak dapat melakukan pembelian semua produksi benih, hal ini menjadi catatan bagi pemerintah untuk dapat memberikan bantuan modal. Tabel 3. Realisasi Sertifikasi Benih Padi di Provinsi DIY 2008 No 1
Kabupaten Sleman
BP BR* BD BP BR*
Lulus uji Lab (ton) 199,70 88.100 1.370 291.200 162.190
287.170
Klas benih
Jumlah (ton)
2
Bantul
454.760
3
Kulon Progo
BD BP BR
4.360 247.130 324.450
575.940
4
Gunungkidul
BD BP BR
1,15 3,43 115,92
120,50
5
Kota Yogyakarta
BP
12.800
12.800
Sumber: BPSB, 2008. Keterangan: * = Hibrida
Dari Tabel 4 terlihat bahwa, dari ketiga komoditas (padi, jagung, dan kedelai) semua kebutuhannya belum terpenuhi, kecuali kebutuhan benih padi kelas BD dan BP. Hal ini terjadi karena petani menggunakan benih pokok (BP) untuk pertanamannya di lapangan yang sebenarnya cukup menggunakan benih sebar (BR). Adanya kesenjangan antara kebutuhan dan penyediaan benih merupakan peluang bagi Provinsi DIY untuk meningkatkan produksi benih sekaligus mewujudkan upaya mewujudkan Jogja Seed Center, mengingat bahwa di DIY terdapat cukup banyak penangkar, terutama komoditas padi. Potensi produksi tanaman pangan (padi, jagung dan kedelai) di DIY tahun 2009 berturut-turut sebagai berikut; Kabupaten Sleman padi 1.380,5 ton; jagung 405,7 ton; kedelai 5.590 ton. Kabupaten Bantul padi 920 ton; kedelai 10 ton. Kabupaten Kulon Progo padi 3.345 ton; kedelai 52 ton. Kabupaten Gunung Kidul
370
Prospek dan Tantangan Pengembangan Jogja Seed Centre (JSC)
padi 85 ton; jagung 80 ton; kedelai 378 ton. Kota Yogya hanya benih padi 42,5 ton (Tabel 5). Tabel 4. Kebutuhan dan Realisasi Produksi Benih Padi, Jagung, dan Kedelai Tahun 2009 di Provinsi DIY No
Komoditas
Kebutuhan (ton)
Kelas
Produksi (ton)
Persentase (%)
1
Padi
BD BP BR
0,59 35,14 3.514,28
25,51 740,89 317,68
4.354,70 2.108,22 9,04
2
Jagung
BD BP BR
2,11 63,18 2.105,85
0,76 0,60 1,71
35,85 0,95 0,08
3
Kedelai
BD BP BR
2,83 63,68 1.591,92
1,60 10,18 94,83
56,54 15,99 5,96
Sumber: BPSB DIY, 2009.
Tabel 5.
No
Potensi Produksi Benih Tanaman Pangan (Padi, Jagung, dan Kedelai) di Provinsi DIY, 2009 Kabupaten
Jumlah produsen
Potensi produksi (ton/th) Padi Jagung Kedelai
1
Sleman
19
1.380,5
405,7
5.590
2
Bantul
11
920
0
10
3
Kulon Progo
7
3.345
0
52
4
Gunung Kidul
10
85
80
378
5
Kota Yogya
2
42.5
0
0
Jumlah 49 5.773 485,7 6.030 Sumber: BPSB DIY, 2009. Keterangan: Kemampuan BUMN: PT SHS 3.255 ton padi dan PT Pertani 990 ton padi, produsen pemerintah dan swasta 1.528 ton padi. Untuk kedelai potensi produsen Black Bean adalah: 5.550 ton, sisanya produsen benih pemerintah dan swasta 480 ton.
Produsen benih yang ada di Provinsi DIY terdiri atas produsen milik pemerintah (UPTD BP2TPH dan UPT Benih di Kabupaten), BUMN (PT. SHS dan PT. Pertani), dan swasta. Produsen ini pada umumnya berusaha pada komoditas padi dan hanya sedikit sekali yang bergerak pada usaha benih palawija (jagung dan kedelai). Hal ini terjadi karena risiko yang terlalu besar pada usaha benih palawija, terutama kedelai. Pada tahun 2009 jumlah produsen padi dan palawija yang mendaftar ulang ada 49, tersebar di 4 kabupaten dan 1 kota, yaitu di Kabupaten Sleman 19 produsen, Bantul 11 produsen, Kulon Progo 7 produsen, Gunung Kidul 10 produsen, dan Kota Yogyakarta 2 produsen.
371
Budi Setyono dan Hano Hanafi
Pola Kerja Sama Pola kerja sama atau pola kemitraan bertujuan untuk mendapatkan keuntungan bagi kedua belah pihak. Beberapa perusahaan besar telah menerapkan bentuk kerja sama ini agar target produksi benih dapat tercapai. Misalnya pola kerja sama PT Sang Hyang Seri (PT SHS) dengan petani penggarap lahan, yang telah menunjukkan keberhasilan melalui sistem bagi hasil. Dalam kerja sama ini, PT SHS telah menyatukan motivasi dari kedua belah pihak yang bekerja sama sehingga perjanjian kerja sama dapat menguntungkan bagi kedua belah pihak. Kerja sama dilakukan PT SHS dengan petani penggarap, menggunakan perjanjian kontrak tertulis (hitam di atas putih) antara kedua belah pihak agar kepentingan keduanya dapat terlindungi. Dalam kerja sama ini, PT SHS menyediakan lahan dan benih padi, sedangkan petani mengeluarkan tenaga untuk menggarap lahan sampai dengan panen. Penghitungan hasil dilakukan dengan jumlah gabah kering panen (GKP) dari lahan tersebut dikurangi biaya produksi sebesar Rp 4.000.000,- per 65 hektar (senilai 2 ton GKP), dan hasilnya 60 persen untuk petani dan 40 persen untuk PT SHS. Target minimal produksi yang ditetapkan untuk petani kerja sama sejumlah 5 ton/ha, apabila petani tersebut dapat melebihi jumlah target yang ditetapkan, maka sisa yang ada menjadi mutlak milik petani yang akan dibeli oleh PT SHS dengan harga GKP di atas harga pasaran. Dari kerja sama ini PT SHS mendapatkan jaminan suplai bahan baku bagi industri benih, sehingga perusahaan dapat terus berproduksi. Sedangkan petani dalam kerja sama ini, mendapatkan keuntungan secara materiil berupa pendapatan dengan modal awal yang kecil dan selalu bersemangat menggarap lahannya.
Kendala Produksi Benih Produksi benih padi memerlukan teknologi sederhana, sehingga mudah dilakukan oleh produsen maupun penangkar. Umur simpan yang relatif lama (6 bulan) menyebabkan kemungkinan besar hasil produksi bisa dipasarkan. Kelebihan lain adalah tidak perlunya perlakuan seed coating menyebabkan kecilnya kerugian apabila tidak terpasarkan, karena hasilnya masih aman untuk dikonsumsi. Adapun kendala yang dihadapi dalam peningkatan produksi benih padi adalah terbatasnya modal untuk penguasaan calon benih, karena pada umumnya kelompok tani tidak mempunyai modal yang memadai untuk membeli calon benih hasil penangkaran. Rata-rata potensi produksi dari penangkaran seluas 1 ha adalah 4 ton, tetapi rata-rata hanya terkuasai 2 ton, sisanya terjual sebagai konsumsi. Petani pada umumnya menggunakan benih jagung varietas hibrida untuk pertanamannya, karena keunggulannya dalam produksi. Sehingga peluang besar yang bisa diperoleh produsen adalah produksi benih jagung hibrida. Produksi benih jagung hibrida memerlukan teknologi yang relatif rumit karena perlunya penyilangan buatan antara tetua jantan dan betina, disamping perlunya modal besar untuk penguasaan dan pembelian peralatan prosesing. Oleh karenanya pada umumnya benih jagung hibrida hanya dihasilkan oleh perusahaan besar. Produksi benih oleh produsen benih swasta dalam skala kecil masih sulit
372
Prospek dan Tantangan Pengembangan Jogja Seed Centre (JSC)
dilaksanakan, karena perlu modal besar, ditambah rumitnya proses pelepasan semakin memperkecil peluang produksi benih ini. Benih kedelai mempunyai umur simpan yang relatif pendek yaitu 4 bulan. Apabila produksi yang dihasilkan tidak segera terpasarkan maka kerugian yang diakibatkan akan sangat besar, karena biaya prosesingnya yang relatif tinggi, meskipun hasil produksi benih yang kadaluarsa masih bisa dipasarkan sebagai konsumsi karena tidak perlunya seed coating. Disamping itu, kendala yang dihadapi adalah sulitnya proses pengeringan yang menyebabkan produksi benih kedelai pada musim penghujan sering mengalami ketidak lulusan uji laboratorium, sebagai akibat tidak terpenuhinya standar kadar air.
Strategi Pengembangan Benih Tanaman Pangan di Yogyakarta Upaya peningkatan produksi benih padi dapat dilakukan dengan pembinaan produsen dan penangkar dengan fasilitasi dana cukup dari pemerintah daerah. Besarnya kebutuhan benih pertahun yang rata-rata mencapai 3.500 ton, sebenarnya dapat terpenuhi karena realisasi luas penangkaran per tahun rata-rata mencapai 1000 ha. Dengan produktivitas benih 4 ton/ha, maka benih yang dihasilkan bisa mencapai 4.000 ton. Kebutuhan dana untuk penguasaan calon benih besarnya 4.000 ton x Rp 4.500,- = Rp 18.000.000.000,Upaya peningkatan produksi benih jagung hibrida bisa dicapai dengan upaya pelepasan jagung hibrida berumur pendek yang mempunyai produksi tinggi, karena pada umumnya benih jagung hibrida mempunyai umur yang panjang, Umur pendek perlu dipertimbangkan, karena tanaman jagung juga banyak dibudidayakan di Gunung Kidul yang airnya terbatas, sehingga pada MH yang sama dapat dihasilkan 2 kali tanam. Juga dilakukan penangkaran benih jagung jenis komposit seperti Srikandi Kuning, Bisma dll, yang bermanfaat bagi petani sekaligus membantu petani tidak harus membeli benih setiap musim tanam tiba. Penyediaaan benih unggul bermutu dapat dilakukan dengan upaya pelaksanaan pola JABAL (jalinan arus benih antar lapang), dengan memanfaatkan kondisi topografi yang ada di Provinsi DIY. Penangkaran bisa diatur sedemikian rupa sehingga hasil panen produksi benih bisa sesegera mungkin ditanam kembali di daerah (kabupaten lain). Misalnya produksi pada MK di daerah bawah (Sleman, Bantul, dan Kulon Progo) bisa dimanfaatkan oleh petani panangkar Gunungkidul pada MH I. Selanjutnya hasil panen MH I digunakan untuk penangkaran pada MH II di Gunung Kidul, dan hasil MH II di Gunung Kidul bisa digunakan oleh penangkar di daerah bawah (Sleman, Bantul, dan Kulon Progo). Untuk mengantisipasi lamanya hasil uji lab, maka uji daya tumbuh bisa dilakukan dengan Tetrazolium Test yang memungkinkan diketahuinya daya tumbuh dengan cepat. Untuk mengatasi keterbatasan modal. Maka perlu pula adanya dana opkup dari pemerintah, agar pelaksanaan pola JABAL berjalan dengan lancar. Besarnya dana opkup yang dibutuhkan untuk penguasaan benih kedelai dari kebutuhan benih sebesar 1.600 ton, kurang lebih 1.600.000 x Rp 7.000,- = Rp 11.200.000.000,-
373
Budi Setyono dan Hano Hanafi
KESIMPULAN
Hasil penelitian adalah tahun 2008 DIY memiliki 85 produsen /penangkar benih tanaman pangan yang tersebar di empat kabupaten dan satu kota, dengan status 69,4 persen aktif dan 30,6 persen tidak aktif. Mayoritas produsen benih tanaman pangan yang ada adalah produsen benih padi (61,12%), sedangkan produsen padi-palawija (padi, kedelai jagung, kacang tanah) sebanyak 14,12 persen. Kemampuan produksi padi tahun 2008 di Sleman 287.170 ton, Bantul 454.760 ton, Kulon Progo 575.940 ton, Gunungkidul 120,50 ton, dan Kota Yogyakarta 12.800 ton. Produksi benih jagung tahun 2009 dari Kabupaten Sleman 405,7 ton, dan Gunung Kidul 80 ton. Sedangkan produksi kedelai tahun 2009 Kabupaten Sleman 5.590 ton; Bantul 10 ton; Kulon Progo 52 ton, dan Gunung Kidul 378 ton. Pola kerja sama atau pola kemitraan bertujuan untuk mendapatkan keuntungan bagi kedua belah pihak. Kendala yang dihadapi dalam peningkatan produksi benih padi adalah terbatasnya modal untuk penguasaan calon benih. Peningkatan produksi benih padi dapat dilakukan dengan pembinaan produsen dan penangkar dengan fasilitasi dana opkup dari pemerintah daerah.
DAFTAR PUSTAKA Dinas Pertanian Provinsi DIY. 2010. Kerangka Acuan Kerja (KAK) Pengembangan Situs Jogja Seed Center Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Rustijarno S, Subowo, Kurnianita. 2009. Inventarisasi Pasar Benih Padi, Jagung, Kedelai, Krisan Prospektif di Daerah Istimewa Yogyakarta. Laporan Akhir Tahun 2009. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta, Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Badan Litbang Pertanian. Sa’id, E.G. dan A.H. Intan. 2001. Managemen Produksi Agribisnis. Managemen Agribisnis. Penerbit: Ghalia Indonesia. Setyono, B., Subagyo, Nurhidayat, T. Kurnianita, H. Hanafi, S.B. Lestari, dan Suradal. 2009. Laporan Hasil Kegiatan SINTA. Pemberdayaan Kelompok Tani Sebagai Penangkar Benih Padi, Jagung dan Kedelai di Daerah Istimewa Yogyakarta. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Singarimbun, M. dan S. Effendi (1989). Metode Penelitian Survai. Jakarta: Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial. Suprihanti, A. 2008. Penggunaan Benih Bermutu untuk Meningkatkan Ketahanan Pangan. Prosiding Seminar Nasional Peran Perbenihan dan Kelembagaan dalam Memperkokoh Ketahanan Pangan. Fakultas Pertanian Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta kerja sama dengan Forum Perbenihan Komda DIY. Yogyakarta.
374
Prospek dan Tantangan Pengembangan Jogja Seed Centre (JSC)
Tri Pranaji. 2004. Reformasi Kelembagaan dan Kemandirian Perekonomian Perdesaan. Kajian pada Kasus Agribisnis Padi Sawah. Aspek Kelembagaan dan Aplikasinya dalam Pembangunan Pertanian. Monograph Series No. 25. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. Yudono, P. 2008. Peran Kelembagaan Perbenihan dalam Rangka Penyediaan Benih Unggul Bermutu Tepat Sasaran. Prosiding Seminar Nasional Peran Perbenihan dan Kelembagaan dalam Memperkokoh Ketahanan Pangan. Fakultas Pertanian Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta kerja sama dengan Forum Perbenihan Komda DIY. Yogyakarta.
375