Boks : JOGJA SEED CENTRE A. LATAR BELAKANG Benih/bibit merupakan cetak biru dalam pengembangan sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing, berkelanjutan, berkerakyatan, dan terdesentralisasi. Oleh sebab itu, ketersediaan benih/ bibit bermutu dari varietas/jenis unggul sangat strategis karena menjadi tumpuan utama dalam pencapaian keberhasilan usaha tani. Industri benih/bibit sebagai salah satu subsistem dalam sistem agribisnis bersifat profit oriented, dengan dunia usaha sebagai pemegang peran utama dan Pemerintah sebagai fasilitator. Dalam pengembangan industri benih/bibit, masih sangat dibutuhkan peran Pemerintah untuk mengupayakan kondisi yang menguntungkan (favorable), mulai dari pelestarian dan pengelolaan plasma nutfah sebagai materi genetik varietas/jenis unggul, pengembangan varietas unggul, produksi benih/bibit dan sertifikasi, hingga pengawasan mutu benih/bibit. Perubahan fungsi lahan ke arah penggunaan di luar pertanian saat ini terjadi dengan laju yang sangat signifikan, yakni 200-300 ha per tahun. Pergeseran tersebut justru sebagian besar terjadi pada daerah pertanian subur. Di samping itu, terjadi fragmentasi lahan pertanian secara terus-menerus akibat peralihan kepemilikan melalui proses pewarisan, hibah atau sebab lain, sehingga luas kepemilikan lahan (land endowment) semakin sempit. Di sisi lain, posisi Yogyakarta secara geografis sangat strategis, merupakan titik hubung antar daerah yang setiap kali memungkinkan pertemua para pebisnis dan pelaku agribisnis. Yogyakarta juga dikenal sebagai penyedia sumber daya manusia berkualitas, dengan banyaknya institusi pendidikan bereputasi baik. Sementara itu,
20
Bab 1 - Perkembangan Makroekonomi
keberadaan Yogyakarta sebagai salah satu sentra produksi dan perdagangan benih/bibit merupakan kenyataan yang tidak bisa dipungkiri. Dengan tumpuan cita Yogyakarta sebagai Pusat Pertumbuhan, muncul gagasan tantang Jogja Seed Center (Yogyakarta Pusat Perbenihan). Penumbuhan Jogja Seed Center (JSC) adalah bagian dari program pengembangan agribisnis di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Gagasan ini cukup realistis, mengingat saat ini di DIY terdapat sejumlah pelaku usaha yang bergerak dalam bidang perbenihan/perbibitan di samping kekuatan kelembagaan perbenihan/perbibitan yang ada (Pemerintah, swasta, dan pihak-pihak yang committed dengan pengembangan perbenihan/ perbibitan). Akan tetapi, kuantitas dan konsistensi produksi benih/bibit belum terjaga, laju adopsi benih/ bibit varietas unggul masih lambat, mutu benih/bibit belum memenuhi standar, pengendalian mutu belum berjalan efektif, merupakan faktor-faktor penghambat yang mesti dipecahkan dalam aktualisasi gagasan JSC. Hal itu diperburuk dengan sejumlah kebijakan Pemerintah yang mengait bidang perbenihan/perbibitan yang tidak selalu menguntungkan bagi dunia usaha khususnya dalam hal perlindungan hak cipta atas varietas tanaman.
B. PERSEPSI TENTANG JOGJA SEED CENTRE Dalam kesempatan curah pendapat yang diselenggarakan pada 8 September 2004 di Dinas Pertanian Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, berkembang dua pola pemikiran menyangkut gagasan Jagya Seed Center, yaitu: 1) Yogyakarta memiliki Seed Center, dan 2) Yogyakarta sebagai
Seed Center. Kedua gagasan di atas akan berimplikasi pada penumbuhan industri benih/bibit yang secara umum bersifat high technology (padat teknologi) dan high investment diawali dengan halhal berikut: · ·
· ·
Tumbuhnya penangkar dan/atau rintisan industri benih/bibit. Tumbuhnya kelembagaan perbenihan/perbibitan (Pemerintah - UPTD Perbenihan) dan swasta (MPPI, Asbenindo) Terjalinnya kemitraan inti-plasma di bidang perbenihan/perbibitan Tumbuhnya pusat pengolahan dan transaksi benih/bibit.
Yogyakarta Memiliki Seed Center Menurut konsep yang pertama, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta diusahakan untuk memiliki Pusat Perbenihan. Indikator dari terwujudnya konsep ini adalah kenyataan bahwa seluruh petani di DI Yogyakarta tidak mengalami kesulitan untuk mendapatkan benih/bibit serta informasi tentang perbenihan/perbibitan dan ketersediaan benih/bibit. Pusat Perbenihan memiliki fungsi melakukan analisis dan evaluasi masalah perbenihan/perbibitan guna mengatasi atau menghindari carry over dan feedback inhibition, setidaknya pada tingkat produsen benih/bibit; suatu kondisi di mana kuantitas benih/bibit yang diproduksi lebih besar daripada daya serap pasar. Selain itu, Pusat Perbenihan juga memberi pelayanan berupa alih teknologi usaha tani, pasca panen dan penyiapan benih/bibit, menjalin kerja sama dengan penghubung, pedagang besar, serta pengecer benih/bibit. Dalam menjalankan fungsinya, Pusat Perbenihan bertindak proaktif, tidak menunggu pelanggan (customer) datang, melainkan langsung mendefinisikan kebutuhan mereka, serta aktif memperlengkapi diri dalam rangka memenuhi standar service excellence
(pelayanan prima). Lingkup kerja Pusat Perbenihan semacam ini adalah pelayanan internal DI Yogyakarta.
Yogyakarta sebagai Seed Center Berdasarkan persepsi ini, lahan yang masih tersedia akan diprioritaskan untuk usaha tani (farming) yang diarahkan pada produksi benih/bibit berkualitas (benih Bina), yakni benih/bibit dengan kualitas tersertifikasi (certified quality). Yogyakarta akan berposisi sebagai pemasok kebutuhan benih/ bibit untuk skala nasional hingga intemasional. Untuk mengimplementasi gagasan Yogyakarta sebagai Pusat Perbenihan, secara sistematis mesti dilakukan upaya-upaya sebagai berikut: 1. Peningkatan mutu sumber daya manusia 2. Adopsi dan penerapan teknologi tinggi perbenihan/perbibitan 3. Investasi baru berisiko tinggi (high risk investment) 4. Penciptaan peluang pasar dan positioning produk perbenihan/perbibitan dengan prinsip 7 tepat (tepat dalam hal jumlah, waktu, harga, lokasi, jenis/breed/varietas, mutu, dan pelayanan). Pasar nasional (artar propinsi) bisa dirintis melalui kerja sama dengan Direktorat lingkup pertanian. 5. Memiliki kapasitas penyangga (buffer Capacity) untuk mengatasi carry over. 6. Penaptaan brand name dan trade mark produk benih/bibit. Sebagai contoh, bibit kambing peranakan Ettawa (PE) asal Kaligesing (Purworejo) mengalami degradasi citra sebagai kambing bibit unggul. Ini menjadi momentum yang sangat tepat untuk me-launching bibit kambing PE produks Samigaluh (Kulonprogo), yang ternyata lebih potensial untuk dikembangkan di kabupaten tersebut dibandingkan dengan sapi perah ataupun sapi potong.
Bab 1 - Perkembangan Makroekonomi
21
7. Seiring dengan makin meningkatnya popularitas pertanian organik (organic farming), JSC hendaknya mampu meluncurkan produk benih/ bibit untuk pertanian organik, yang tidak rakus pupuk, tahan penyakit hingga tidak membutuhkan asupan pestisida kimiawi. Dimulai dari hulu perbenihan/perbibitan, kiranya frekuensi daim terhadap produk pertanian ekspor dari Indonesia karena alasan tidak ramah lingkungan akan menurun.
C. KONDISI DAN PERMASALAHAN PERBENIHAN/PERBIBITAN Aktualisasi gagasan Yogya Seed Center harus mempertimbangkan kondisi serta sejumlah masalah terkait perbenihan/perbibitan, antara lain: 1. Dalam hal plasma nutfah, Indonesia cukup kaya dalam hal keragaman hayati, namun sangat lemah dalam pengelolaannya dan masih tergolong miskin dalam hal kepemilikan plasma nutfah bemilai ekorami tirggi. Pengelolaan plasma nutfah yang ada seyogyanya dilakukan oleh lembaga yang kuat langsung di bawah Presiden. 2. Penemuan varietas baru di Indonesia termasuk lambat, karena hampir seluruh kegiatan pemuliaan ditangani Pemerintah. Peraturan perundangan terkait dengan pelepasan varietas kiranya perlu ditinjau kembali. 3. Rendahnya nilai komersial dan rekapitalisasi usaha yang bergerak di bidang perbenihan/ perbibitan, sehingga animo pelaku usaha untuk menekuni industri perbenihan/perbibitan masih rendah. 4. Pengendalian dan pengawasan mutu belum berjalan efektif. Sertifikasi benih/bibit sebagai suatu mekanisme pengendalian mutu dipandang terlalu mahal dan kontraproduktif terhadap upaya efisiensi produksi dan daya saing produk.
22
Bab 1 - Perkembangan Makroekonomi
Sebagaimana dalam industri barang dan jasa pada umumnya, telah mulai dilakukan pula penerapan manajemen mutu (quality management principles) dalam proses produksi benih/bibit dengan melibatkan sertifikasi dari institusi independen yang terakreditasi menurut standar internasional. Dengan mekanisme terakhir ini, produsen benih/bibit yang telah memperoleh sertifikat sistem mutu dapat mencantumkan logo jaminan mutu dalam setiap kemasan produk. Kedua mekanisme tersebut memiliki landasan ilmiah yang kuat serta dapat menjadi alat efektif dalam pengendalian mutu. Namun demikian, penerapan keduanya masih perlu diperkuat sebelum dapat memberikan hasil yang diharapkan. 5. Kebijakan Pemerintah yang mengait masalah perbenihan/perbibitan tidak selalu selaras dengan keinginan dunia usaha. Selama tiga puluh tahun terakhir telah banyak diterbitkan kebijakan dan peraturan perbenihan/perbibitan oleh Pemerintah. Beberapa peraturan dipandang terlalu ketat, tidak fleksibel, dan sulit diimplementasi. Sebagai contoh, proses sertifikasi benih kedele membutuhkan rejim waktu tertentu yang memungkinkan benih mengalami penurunan daya tumbuh sebelum siap dipasarkan. 6. Adopsi varietas unggul oleh pelaku usaha agribisnis tergolong lambat, pada umumnya disebabkan oleh terbatasnya ketersediaan benih/bibit dan belum terciptanya sistem informasi yang baik di antara produsen dan pengguna benih/bibit.
D. TANTANGAN, PELUANG DAN PERAN PIHAK TERKAIT 1. Tantangan dan Peluang
a. Lahan di DI Yogyakarta memiliki variabilitas yang tinggi dalam hal kesamaan dan daya dukung terhadap tanaman. Di satu sisi, hal ini merupakan tantangan yang cukup menyulitkan bagi peningkatan produktivitas. Di lain pihak, bisa diciptakan peluang untuk menghasilkan benih/bibit untuk berbagai sifat dan daya dukung lahan. b. Saat ini banyak beredar sertifikat palsu yang menunjukkan buruknya mekanisme pengawasan mutu benih/bibit. Perlu diciptakan fungsi pelacakan benih/bibit untuk mengawasi perjalanan benih/bibit dari pemulia atau produsen benih/bibit hingga pengguna akhir (end user). c. Luas lahan untuk kehutanan makin sempit, penjarahan tanaman hutan makin banyak, sementara benih/bibit di sumber-sumber benih/bibit makin sedikit. Benih/bibit untuk tanaman hutan memiliki daur produksi yang panjang, mencapai sepertiga dari daur biologisnya. Secara praktis, diperlukan waktu sedikitnya 18 tahun (untuk tanaman pinus) hingga 45 tahun (misalnya tanaman jati) untuk dapat dihasilkan benih/bibit berkualitas. Perlu dikembangkan model perbenihan/perbibitan tanaman hutan yang tentunya berbeda dari model-model untuk tanaman pangan, hortikultura, peternakan ataupun perikanan. Saat ini tengah dikembangkan benih/bibit jati genjah yang bisa dipanen pada umur 30 tahun (umur panen jati pada umumnya 50 tahun). d. Masyarakat cenderung menyukai produkproduk instan, termasuk benih/bibit tanaman hutan, seperti benih jatimas asal Thailand, yang merupakan hasil pengembangan dergan teknik kultur jaringan. Namun demikian, uji multilokasi belum dilakukan sebagaimana mestinya. Benih-benih lokal
justru lebih sesuai dengan kondisi tanah, dan dimungkinkan memiliki daya serap serta akseptabilitas di kalangan petani. e. Untuk kebutuhan benih/bibit petani yang berkecenderungan selalu meningkat, pemenuhannya dari segi kualitas belum memuaskan. Di lain pihak, benih eks impor seakan membanjiri pasar benih lokal. 2. Peran Masyarakat dan Petani Masyarakat petani merupakan ujung tombak dalam implementasi gagasan JSC. Melalui sosialisasi yang efektif, petani akan makin menyadari arti penting benih/bibit berkualitas sebagai input agribisnis yang amat menentukan. Petani didorong untuk mentransformasi jenis usahatani dari berorientasi produksi konsumsi ke arah produksi input. Insentif yang diperoleh petani berupa meningkatnya nilai tukar komoditas pertanian (farmer’s exchange value) yang menjanjikan peningkatan pendapatan usaha tani. Sebagai pusat perbenihan/perbibitan, masalah-masalah yang terkait dengan ketersediaan benih/bibit pada saat dibutuhkan petani tidak akan terjadi lagi. Misalnya, di Kulonprogo, di kalangan petani sayuran, benih/ bibit impor amat dominan penetrasinya. Pada saatnya nanti, DIY adalah penghasil benih/bibit, bukan konsumen benih/bibit, sehingga masalah akan bergeser ke arah penciptaan peluang pasar, positioning produk benih/bibit ke pasar nasional maupun global. 3. Peran Swasta Swasta atau pebisnis dipastikan menjadi pelaku-pelaku utama bisnis perbenihan/perbibitan. Menggagas JSC berarti menggagas sebuah gerakan masyarakat berorientasi bisnis untuk memberdayakan diri dengan dukungan fasiftasi dan kebijakan Pemerintah. JSC dari sudut pandang swasta adalah sebuah solusi dari potensi yang hingga saat ini justru mengalami kebuntuan aktualisasi : banyak tumbuh penangkar, luas lahan
Bab 1 - Perkembangan Makroekonomi
23
masih memadai untuk produksi benih/bibit, namun pemasaran penuh ketidakpastian. Ide JSC diharapkan mampu menjelmakan Yogyakarta menjadi pusat produksi benih/bibit, pusat perdagangan benih/bibit, serta pusat informasi perbenihan/perbibitan. Tabel di bawah ini merinci kebutuhan benih beberapa komoditas tanaman pangan utama di Daerah Istimewa Yogyakarta. Akan tetapi, petani padi menggunakan hanya 2030% benih berkualitas dari angka kebutuhan, sementara untuk benih palawija (jagung, kedele, kacang tanah) bahkan kurang dari 5%. Jika diingat bahwa produksi benih DIY jauh lebih besar dibanding angka kebutuhan, maka penetrasi pasar ke propinsi lain menjadi alternatif yang paling baik untuk dipilih, di samping petani DIY perlu diberi informasi yang memadai tentang urgensi penggunaan serta ketersediaan benih berkualitas di Yogyakarta. Jelas, peran swasta yang sedemikian membutuhkan wadah berupa jejaring informasi dan jejaring kerja yang bisa diciptakan dalam konteks JSC. Kebutuhan Benih DIY Tahun 2004 No
Komoditas
Kebutuhan Benih (ton)
Penggunaan (kg/ha)
1 2 3 4 5
Padi Jagung Kedele Kacang Tanah Kacang Hijau
4.208,61 2.875,72 1.457,80 2.306,56 22,55
30 40 40 40 25
Sumber : Dinas Pertanian Propinsi DIY
4. Peran Lembaga Terkait Perguruan tinggi amat berperan dalam pewujudan JSC dengan sumber daya manusia yang handal dan berkeahlian, laboratorium serta perangkat analisis yang memadai, dan akses teknologi yang amat bagus. Perguruan tinggi kiranya bisa menyediakan jasa konsultasi dan pendampingan dalam kerangka penumbuhan serta operasanalisasi JSC nantinya.
24
Bab 1 - Perkembangan Makroekonomi
E. PERANGKAT KEBIJAKAN PEMERINTAH Dalam rangka akselerasi perwujudan gagasan JSC, beberapa hal terkait dengan kebijakan Pemerintah bidang perbenihan/perbibitan dipandang amat urgen, antara lain: a. Dalam rangka pelestarian dan pengkayaan plasma nutfah perlu dilakukan pengelolaan secara intensif oleh Pemerintah. Untuk itu perlu dibentuk lembaga khusus untuk mengelola plasma nutfah di tingkat nasional dan daerah yang didukung oleh pemangku kepentingan (stakeholders) perbenihan/perbibitan yang tergabung dalam MPPI. b. Kebijakan yang kondusif untuk memacu partisipasi swasta dalam penemuan varietas unggul, seperti penerapan Undang-Undang Perlindungan Varietas Tanaman, kebijakan investasi yang memberikan insentif bagi pelaku pemuliaan. c. Kebijakan investasi yang kondusif untuk memacu partisipasi swasta dalam produksi benih/bibit, seperti tax holiday, regulasi impor dan ekspor benih/bibit yang menguntungkan bagi dunia usaha, serta kemudahan akses ke sumber-sumber permodalan. d. Penguatan kebijakan, kelembagaan, dan sumber daya manusia dalam proses sertifikasi dan pengendalian mutu benih/bibit. Untuk itu diperlukan penegakan produk hukum dalam bidang perbenihan/perbibitan. e. Perlu pemilahan tegas antara peran Pemerintah dan swasta dalam pengembangan industri perbenihan/perbibitan. Peran swasta lebih difokuskan pada varietas-varietas komersial, sedangkan peran Pemerintah lebih dominan pada varietas-varietas yang belum komersial. f. Perlu adanya integrasi antara program pengembangan agribisnis dengan pengembargan industri perbenihan/perbibitan.
Perlu dibangun jaringan informasi pasar yang mudah diakses oleh produsen dan konsumen benih/bibit.
14.Penggalakan investasi bidang perbenihan/ perbibitan.
G. PENUTUP F. PROGRAM/KEGIATAN, DAN AKSI Program dan aksi untuk mewujudkan Yogyakarta sebagai Pusat Perbenihan atau penumbuhan Pusat Perbenihan di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, antara lain sebagai berikut: 1. Analisis potensi wilayah untuk perbenihan dan perbibitan 2. Studi kelayakan usaha bisnis perbenihan/ pembibitan dan kelayakan pasar benih/bibit 3. Pembangunan database dan sistem informasi perbenihan/perbibitan off-line info center, display, maupun on-line 4. Peningkatan kualitas sumber daya manusia perbenihan/perbibitan (pemulia dan analis benih/ bibit). 5. Koordinasi reguler antara pelaku usaha perbenihan/perbibitan, Pemerintah, perguruan tinggi dan sumber--sumber teknologi lainrrya 6. Penguatan plasma nutfah DI Yogyakarta 7. Penelitian perbenihan/perbibitan 8. Kampanye penggunaan benih/bibit berkualitas 9. Akselerasi adopsi teknologi bidang perbenihan/ perbibitan (on-farm dan off-farm) 10.Pewirausahaan pelaku usaha perbenihan/ perbibitan, termasuk UPTD yang bergerak di bidang perbenihan/perbibitan dan peluangnya untuk ditingkatkan menjadi BUMD 11. Pembangunan unit-unit pengolahan benih/bibit berskala komersial 12. Pembangunan gudang-gudang penyangga (buffer storage) untuk mencegah carry-over. 13.Identifikasi lokasi untuk sumber benih/bibit tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, kehutanan, peternakan, dan perikanan
Satu hal yang layak diperhitungkan adalah menyangkut implikasi transformasi dari gagasan JSC. Mengingat petani menjadi ujung tombak atau pelaku utama dalam sistem perbenihan/perbibitan, maka mereka yang sebelumnya merupakan penghasil produk pertanian harus mengubah peran dalam sistem agribisnis, yakni sebagai penghasil input. Perubahan ini pada tingkat lapang bukanlah persoalan sederhana. Karenanya, perlu dilakukan berbagai studi kelayakan teknis dan kelayakan pasar untuk menjustifikasi pelaksanaan peralihan profesi. Tentu saja, pada tahap awal peralihan profesi tersebut, perlu disiapkan paket-paket subsidi sampai dengan para petani benih/bibit mencapai settlement (kemapanan) usaha. (sumber Dinas Pertanian Propinsi)
Bab 1 - Perkembangan Makroekonomi
25