0
Pengantar Sebuah kenyataan yang harus diingat dan harus diterima oleh seluruh rakyat Indonesia bahwa secara geologis dan klimatologis Indonesia rawan bencana. Sebagian wilayah Indonesia rawan gempa, sebagian wilayah pantainya rawan tsunami, rawan letusan gunung api, rawan longsor, rawan banjir bandang, rawan banjir, rawan semburan lumpur, rawan angin puting beliung, dan lainlain. Peristiwa alam itu akan datang silih berganti karena merupakan peristiwa biasa sebagai bagian dari dinamika bumi-atmosfir yang sudah berlangsung sebelum manusia ada dan sampai sekarang masih terus berlangsung dan akan berulang dengan periode tertentu, bisa tahunan, sepuluh tahunan, limapuluh tahunan bahkan ratusan tahun. Pada hakikatnya peristiwa alam tersebut tidak pernah membunuh tapi ketidak tahuan, ketidak mau tahuan dan ketidak ingin tahuan bisa menyebabkan kita terbunuh. Hal ini bisa terjadi dikarenakan pertumbuhan penduduk yang tinggi dan tidak terkendali sehingga mengakibatkan peningkatan berbagai kebutuhan. Misalnya kebutuhan papan yang semakin luas mengakibatkan terjadinya perambahan kawasan yang mestinya tidak boleh dihuni. Karena sudah bersentuhan dengan manusia maka peristiwa alam tersebut bisa berubah menjadi bencana. Selama ini sebagian besar rakyat menganggap bencana sebagai sesuatu musibah yang harus dan layak diterima oleh masyarakat, dan usulan upaya penanganan sebelum terjadi bencana masih dianggap suatu upaya yang mengada-ada bahkan ada beberapa daerah masih tabu membicarakan bencana takut kuwalat (khawatir terjadi sungguhan). Akibatnya dalam berbagai upaya penanggulangan bencana lebih banyak menggunakan pendekatan responsif saja atau pemerintah bersama-sama rakyat akan melakukan aksi penanggulangan kalau bencana itu sudah terjadi. Buku ini berisi opini penulis terhadap segala persoan bencana yang terjadi di Indonesia dan dibuat dengan tujuan untuk memberi tambahan wawasan pengetahuan agar bisa mengenali dan memahami permasalahan terkait dengan bencana. Surabaya, 11 September 2011 Penulis Amien Widodo Peneliti Bencana Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya
1
01 Juli 2011 16:28:27
http://www.its.ac.id/berita.php?nomer=8764
Lapindo Tak Selesai, Masyarakat Trauma dengan Pengeboran Migas Pulau Jawa secara geologis termasuk berada di kawasan tektonik aktif, hal ini terjadi sebagai konsekuensi karena Indonesia ditumbuk lempeng tektonik yaitu Samudra Hindia-Australia dan lempeng Eurasia. Tumbukan kompresi lempeng ini membentuk Cekungan Jawa Timur Utara dengan pola struktur geologi yang khas yaitu struktur patahan, lipatan, struktur diapir dan gunung lumpur (mud volcano). Aktivitas tektonik yang berulang-ulang menyebabkan struktur geologi daerah ini menjadi kompleks dan ini menjadi incaran bagi para pengusaha minyak karena kawasan ini berpotensi minyak dan gas bumi disamping lapisan lumpur bertekanan tinggi. Kampus ITS, ITS Online - Aktivitas tektonik dan volkanisme menyebabkan lapisan lumpur semakin terkompresi sehingga akan menekan ke permukaan membentuk diapir di dalam tanah dan kalau ada retakan/lubang akan berfungsi sebagai penghantar lumpur keluar ke permukaan bumi sebagai gunung lumpur (mud volcano). Jalur yang bisa memungkinkan banyak dijumpai retakan antara lain di sekitar puncak antiklin yang umumnya berasosiasi dengan retakan dan patahan atau diatas tubuh diapir karena banyak retakan akibat desakan vertikal diapir. Gunung lumpur yang yang keluar dengan sendirinya di sekitar puncak puncak antiklin seperti di Kalanganyar Sidoarjo, Gununganyar Surabaya, beberapa tempat di Jombang, di Madura dan lainlain. Lubang penghantar juga bisa disebabkan karena aktivitas pengeboran migas seperti yang terjadi di Porong, Kalimantan, Serang Banten, Gresik dan lain-lain. Pemahaman adanya lubang pengeboran inilah yang diterima hampir semua masyarakat bahwa aktivitas pengeboran bisa memicu munculnya semburan lumpur. Beberapa ahli menyebutkan bahwa apa yang terjadi di Porong diakibatkan oleh alam baik karena adanya patahan maupun karena adanya aktivitas volkanisme, dan wacana ini yang paling banyak diisukan di media. Isu bencana alam ini juga menambah ketakutan masyarakat karena bayang-bayang tidak ada ganti rugi bila terjadi kejadian yang sama di lain tempat di daratan Jawa Timur Penanganan semburan lumpur panas Sidoarjo ternyata tidak semudah yang dibayangkan bahkan semburan ini menimbulkan ancaman-ancaman lain yang berdampak serius pada lingkungan di sekitarnya termasuk berdampak pada kondisi sosial ekonomi masyarakat yang bermukim jauh di luar tanggul lumpur. Ancamanancaman yang muncul antara lain amblesan yang diikuti retakan tanah dan bangunan, ancaman semburan gas yang mudah terbakar dan mencemari udara, ancaman tanggul jebol dan ancaman pencemaran. Ketidak mampuan dan atau ketidak inginan dalam
2
penutupan semburan menyebabkan semburan ini berlangsung lama. Selama aktivitas semburan lumpur panas masih berlangsung maka ancaman-ancaman itu akan terus terjadi dan akan semakin luas. Pada tahun 2008 Gubernur sebagai salah satu dewan pengarah penanggulangan semburan lumpur berinisiatif membentuk tim yang terdiri dari para peneliti yang berkompeten dari ITS dan Unair dengan tugas melakukan kajian kelayakan permukiman di desa-desa di sekitar tanggul lumpur dalam rangka menyelamatkan penduduk dari ancaman bencana. Untuk menentukan kelayakan permukiman di desa tersebut kajian yang dilakukan meliputi jumlah dan kualitas emisi dari semburan yang masih aktif; pencemaran udara, air dan tanah; penurunan tanah yang terjadi dan dampaknya terhadap bangunan fisik; kondisi kehidupan sosial masyarakat. Oleh karena semburan lumpur panas masih berlangsung dan makin meluasnya kerusakan yang ditimbulkan maka pada tahun 2010 dilakukan kajian lanjutan dengan menambah jumlah desa yang akan dikaji yaiut menjadi 13 desa di sekitar tanggul Lumpur. Parameter yang dikaji mencakup bidang semburan, penurunan tanah, pencemaran lingkungan, kerusakan aset, kesehatan masyarakat, psikososial dan mitigasi bencana. Hasilnya pada tahun 2008 ada 9 RT yang tidak layak huni dan pada tahun 2010 ada 45 RT yang tidak layak huni atau jumlah totalnya 54 RT. Hasil ini yang telah diupayakan oleh Gubernur dan timnya sudah disampaikan dan sudah dipresentasikan di depan seluruh anggota dewan pengarah yang dipimpin oleh Menteri Pekerjaan Umum pada Agustus 2010. Harapannya segera dilakukan tindakan-tindakan penyelamatan bagi masyarakat yang sudah terpapar selama ini. Pemahaman masyarakat bahwa aktivitas pengeboran bisa memicu keluarnya lumpur, semburan lumpur menimbulkan ancaman-ancaman baru yang membahayakan lingkungan di sekitarnya, ada wacana sebagai bencana alam dan penanganan semburan lumpur yang berlarut-larut baik penanganan fisik maupun sosial ekonomi ternyata menimbulkan dampak lain yang lebih luas yaitu masyarakat trauma dan ketakutan terhadap aktivitas eksplorasi migas di seluruh daratan Jawa Timur. Hasil survei di beberapa kabupaten di Jawa Timur hampir sebagian besar menolak aktivitas eksplorasi migas walau baru survei seismik. Kalau hal ini dibiarkan maka akan terjadi penolakan secara massal segala eksplorasi migas di daratan Jawa Timur. Implikasinya akan menghambat kegiatan eksplorasi migas di daratan Jawa Timur, untuk itu dibutuhkan peranan pemerintah untuk melakukan edukasi dan pemahaman pencarian migas di darat dan dibutuhkan kebijakan baru terkait dengan eksplorasi migas di darat yaitu kebijakan melakukan dan membuat analisis risiko kalau terjadi semburan lumpur mengingat di Jawa Timur termasuk kawasan yang mempunyai lapisan lumpur bertekanan tinggi. Amien Widodo Dosen Teknik Sipil ITS
3
Ada 3 komentar: #1 Arwi Yudhi Koswara (arwi_yudhi [at] urplan.its.ac.id) pada 04 Juli 2011: setuju dengan Pak Amien Widodo, perlu upaya menyebarluaskan informasi sebenarnya. mungkin pusat studi kebumian dan bencana bisa memfasilitasi dalam bentuk seminar sehari seperti tahun 2006.ayk #2 anonim (full.armed.gear [at] gmail.com) pada 09 Juli 2011: emank ga ada solusinya ya..? mampus bener tuh warga porong... tapi klo bisa ngatasin... itu bisa jadi plus besar banget buat its... semoga... #3 hxkpCvxVcPRD (help [at] memberclicks.com) pada 17 Agustus 2011: Gee whiz, and I thouhgt this would be hard to find out.
4
27 Mei 2011 14:31:42
http://www.its.ac.id/berita.php?nomer=8611
Lima Tahun Lumpur Sidoarjo Pada awalnya semua orang berharap penanganan oleh pemerintah akan berhenti hanya di sebatas dalam tanggul yang dibuat mengelilingi kolam lumpur, pada kenyataannya proses itu masih berlangsung dan menimbulkan ancaman baru di luar tanggul seperti efek domino yang berdampak serius pada lingkungan di sekitarnya termasuk berdampak pada masyarakat yang bermukim di sekitar tanggul. Kampus ITS, ITS Online - Ancaman-ancaman yang muncul yaitu ancaman amblesan yang diikuti retakan tanah dan rumah, ancaman semburan gas yang mudah terbakar dan mencemari udara, ancaman tanggul jebol dan ancaman pencemaran Pada awal tahun area yang terdampak hanya beberapa meter di luar tanggul dan saat ini sudah mempengaruhi sampai sejauh 2 km dari batas tanggul. Hal ini terjadi sebagai bagian dari dinamika gunung Lumpur (mud volcano), selama semburan masih terjadi maka akan diikuti amblesan, retakan dan semburan gas. Selama lima tahun masyarakat sekitar tanggul dihantui kecemasan, ketakutan, rasa aman dan ketidakpastian apa yang akan menimpa mereka serta terganggu aktivitas sosial ekonomi. Selama ini pula mereka terpapar gas yang secara otomatis akan menggangu kesehatan mereka. Sampai saat ini masyarakat masih banyak yang tidak sadar dan tidak siap dengan keadaan yang menimpa mereka dan yang akan menimpa mereka. Selama ini pula masyarakat masih dijadikan obyek dalam menentukan kebijakan yang menyangkut kehidupan dan penghidupan mereka. Pada awal tahun, lumpur telah menenggelamkan puluhan desa, mengusir paksa 14000 KK, menyebabkan kehilangan kehidupan, dan penghidupan normalnya, ribuan buruh menganggur dikarenakan puluhan pabrik terbenam, ribuan murid sekolah terlantar dan tercerai berai, dan 15 orang meninggal terkait dengan semburan ini serta beberapa orang terbakar akibat semburan gas yang terbakar. Pada tahun 2006 Gubernur Jawa Timur sebagai salah satu dewan pengarah penanggulangan semburan lumpur berinisiatif membentuk tim yang terdiri dari para peneliti yang berkompeten dari ITS dan Unair dan tugasnya melakukan kajian kelayakan permukiman sembilan desa di sekitar tanggul lumpur dalam rangka menyelamatkan penduduk dari ancaman bencana. Untuk menentukan kelayakan permukiman di desa tersebut kajian yang dilakukan meliputi: jumlah dan kualitas emisi dari semburan yang masih aktif; pencemaran udara, air dan tanah; penurunan tanah yang terjadi dan dampaknya terhadap bangunan fisik; kondisi kehidupan sosial masyarakat.
5
Oleh karena semburan Lumpur panas masih berlangsung dan makin meluasnya kerusakan yang ditimbulkan maka pada tahun 2010 dilakukan kajian lanjutan dengan menambah jumlah desa yang akan dikaji yaitu menjadi 13 desa di sekitar tanggul Lumpur. Elemen yang dikaji mencakup bidang semburan, penurunan tanah, pencemaran lingkungan, kerusakan aset, kesehatan masyarakat, psikososial dan mitigasi bencana. Hasilnya pada tahun 2008 ada 9 RT yang tidak layak huni dan pada tahun 2010 ada 45 RT yang tidak layak huni atau jumlah totalnya 54 RT dan direkomendasikan (1) seluruh warga yang berada pada daerah yang tidak layak huni harus dipindahkan ke tempat yang lebih aman, (2) segera menyusun dan menerapkan rencana mitigasi bagi wilayah disekitar luapan lumpur Sidoarjo untuk mengurangi ancaman dan dampak yang ditimbulkan pada daerah lainnya yang terancam tetapi masih bisa dihuni, (3) segera dilakukan kajian secara komprehensif dengan lebih mendalam dan kontinyu mengenai dampak semburan lumpur, berupa, bubble dan retakan, penurunan tanah, kerusakan asset, pencemaran lingkungan, sosial, ekonomi, psikososial dan kesehatan masyarakat, serta pengurangan risiko semburan lumpur. Hal ini terlihat dari area sebaran daerah yang tidak layak huni semakin meluas yang ditunjukkan dari 9 RT pada kajian tahun 2008 di 3 Desa menjadi 54 RT (9 + 45 RT) di 6 Desa pada kajian tahun 2010. Disamping itu disarankan dilakukan monitoring dan evaluasi kelayakan permukiman pada daerah-daerah yang rawan terhadap ancaman semburan lumpur disekitarnya dan perlu ada keterlibatan seluruh stakeholder dan instansi atau lembaga terkait untuk mengoptimalkan penanggulangan dampak semburan Lumpur serta diperlukan pnyiapkan kajian untuk persiapan relokasi untuk memindahkan penduduk dari wilayah yang tidak layak huni. Hasil ini yang telah diupayakan oleh Gubernur dan timnya dalam rangka melakukan kewajiban dan tanggungjawabnya membela serta memberi rasa aman pada masyarakat sudah disampaikan dan sudah dipresentasikan ke dewan pengarah yang dipimpin oleh Menteri Pekerjaan Umum pada Agustus 2010. Saat ini masyarakat yang bermukim di sekitar tanggul menununggu kebijakan yang akan diambil pemerintah pusat terkait dari hasi kajian tersebut. Tulisan ini dibuat sebagai bagian dari tanggung jawab moral perguruan tinggi untuk ikut mendorong segera direalisasikannya hasil kajin. Amien Widodo Dosen Teknik Sipil ITS
Ada 6 komentar: #1 Damai Suhendri-DEKKIM (army_make_damai [at] yahoo.com) pada 27 Mei 2011: bagus pak tulisannya.mungkin dengan membaca tulisan bpk,semoga semua orang2 yang jauh dari semburan lumpur bisa peduli dengan saudara-saudaranya yang sedang dilanda musibah.
6
#2 Amien Widodo (amien [at] ce.its.ac.id) pada 27 Mei 2011: Penanganan semburan lumpur yang berlarut-larut baik penanganan fisik maupun sosial ekonomi ternyata menimbulkan dampak lain yang lebih luas yaitu trauma dan ketakutan dengan aktivitas eksplorasi migas di seluruh daratan Jawa Timur. Hasil survei di beberapa kabupaten di Jawa Timur hampir sebagian besar menolak aktivitas eksplorasi migas karena trauma dan takut terjadi semburan lumpur. Kalau hal ini dibiarkan maka akan terjadi penolakan secara massal segala eksplorasi migas di daratan Jawa Timur. Dibutuhkan peranan pemerintah untuk melakukan edukasi dan pemahaman pencarian migas di darat dan dibutuhkan kebijakan baru terkait dengan eksplorasi migas di darat yaitu kebijakan melakukan dan membuat analisis risiko kalau terjadi semburan lumpur mengngingat di Jawa Timur termasuk kawasan yang mempunyai lapisan lumpur bertekanan tinggi. Analisis risiko ini dibuat bersama-sama antara pengusaha migas dengan masyarakat dan pemerintah lokal #3 Amien Widodo (amien [at] ce.its.ac.id) pada 29 Mei 2011: Tanpa sadar ternyata penyelenggara negara ini meletakkan pertimbangan sain dan teknologi di bagian akhir dalam mengambil keputusan. Banyak contohnya seperti misalnya LIPI sudah mempublikasikan sejak awal tahun 2004 bahwa kawasan barat Sumatra rawan tsunami, waktu itu tidak ada tanggapan sama sekali dari pemerintah dan akhirnya terjadi tsunami di Aceh yang menelan korban ratusan ribu orang. Setelah tsunami Acehpun belum dilakukan tindakan mitigasi mengurangi risiko terhadap seluruh kawasan pantai bagian barat Sumatra, sehingga beruntun terjadi gempa dan tsunami di Nias, Padang, Mentawai dst. Andai dilakukan sesuatu maka akan banyak nyawa yang akan terselamatkan.Sekali lagi sain dan teknologi tidak dipakai dalam mengangmbil kebijakan. Gubernur sudah berinisiatif melakukan kajian kelayakan permukiman di sekitar tanggul lumpur dan sudah dilaporkan di pemerintah tapi kenyataanya hasilnya tidak segera ditindak lanjuti malah diusulkan dilakukan verifikasi pengukuran seismik 3D di porong. Pengujian seismik ini jelas tidak ada hubungannya dengan hasil kajian tim gubernur karena parameter yang diukur beda. Hmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmm #4 Welly Herumurti (herumurti [at] enviro.its.ac.id) pada 29 Mei 2011: Pak, kalau boleh tahu dana APBN 1,3T/2011 untuk BPLS untuk apa saja? Apa bisa untuk bedol desa sesuai dengan rekomendasi Bapak? Apakah PT Lapindo tidak diajak koordinasi (tidak ada kata Lapindo di tulisan ini), mengingat mereka akan mengebor sumur lagi? #5 Amien Widodo (amien [at] ce.its.ac.id) pada 29 Mei 2011: @Welly Herumurti Untuk pertanyaan pertama saya yang terkait dengan uang tidak tahu, tapi untuk pertanyaan yang kedua Lapindo tidak ikut-ikut karena yang kita teliti di luar tanggul, perpres lapindo hanya di dalam tanggul, di luar tanggul tanggung jawab pemerintah. #6 Arwi Yudhi Koswara (arwi_yudhi [at] urplan.its.ac.id) pada 30 Mei 2011: iya perlu dingatkan terus Pak. yang terlihat sekarang terjadi pembiaran permasalahan berlarut-larut, nanti baru kalo pas kampanye lagi bikin janji janji. sekarang perlu banyak moral force untuk memecahkan persoalan dampak lumpur lapindo.
7
20 Maret 2011 14:04:53 http://www.its.ac.id/berita.php?nomer=8181
Belajar dari Bencana Tsunami Negara Jepang merupakan negara kepulauan relatif kecil dan terletak di kawasan geologi tektonik aktif yaitu di kawasan tumbukan lempeng Eurasia dan lempeng Pasifik. Jarak tumbukan lempeng dengan kepulauan Jepang sangat pendek, kurang dari 100 km. Karena terletak di kawasan tumbukan lempeng maka Jepang banyak gempa dan tsunami. Kampus ITS, ITS Online - Jepang sadar akan itu dan mereka tidak punya pilihan lain, mereka harus menghadapi gempa dan tsunami tersebut. Untuk itu mereka meneliti, mengembangkan teknologi konstruksi, sistem peringatan dini, mengembangkan bangunan tahan gempa, dan melatih serta memahamkan kepada seluruh rakyat. Sosialisasi kepada masyarakat tanpa kecuali baik kepada balita, manula, ibu-ibu hamil, maupun penyandang cacat dan lain-lain. Mereka melakukan gladi atau simulasi menghadapi gempa secara rutin dalam jangka waktu tertentu. Karena sosialisasi sudah berlangsung lama maka masyarakat Jepang sudah terbangun budaya keselamatan, sebagai contoh saat terjadi gempa 11 Maret 2011 masyarakat Jepang tidak panik. Mereka reflek bersembunyi di bawah meja sampai getaran selesai baru mereka keluar ruangan antri satu persatu, demikian pula saat evakuasi naik kendaraan merekapun tetap antri satu persatu, dan tidak keluhan taruma akibat gempa. Berita-berita media lebih banyak mendorong untuk segera bangkit bukan berita rebutan dan atau merampok bantuan/makanan, atau berita belum mendapatkan bantuan dan lain sebagainya. Indonesia juga terletak di kawasan tektonik aktif karena ditekan oleh tiga lempeng/kulit bumi aktif yaitu lempeng Indo-Australia di bagian selatan, lempeng Euro-Asia di bagian utara dan Lempeng Pasifik di bagian Timur. Ketiga lempeng tersebut bergerak dan saling bertumbukan sehingga lempeng Indo-Australia menghujam ke bawah lempeng Euro-Asia. Kawasan yang terletak dekat zona tumbukan (subduksi) adalah pantai barat Sumatra, pantai selatan Jawa, pantai selatan Bali dan Nusa Tenggara, Kepulauan Maluku, Maluku Utara, pantai utara dan timur Sulawesi dan pantai utara Papua. Sedangkan daerah di Indonesia yang terletak dekat dengan zona patahan aktif adalah daerah sepanjang Bukit Barisan di Pulau Sumatra, Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Pulau Sulawesi, Kepulauan Maluku dan Pulau Papua. Beberapa patahan aktif yang telah dikenal di Indonesia antara lain adalah Patahan Sumatra, Cimandiri, Lembang, Baribis, Opak, Busur Belakang Flores, Palu-Koro, Sorong, Ransiki, patahan aktif di daerah Banten, Bali, Nusa Tenggara, dan Kepulauan Maluku.
8
Catatan bencana di Indonesia pernah terjadi adalah dua letusan gunung api terbesar di dunia. Tahun 1815 Gunung Tambora yang berada di Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, meletus dan mengeluarkan sekitar 1,7 juta ton abu dan material vulkanik. Sebagian dari material vulkanik ini membentuk lapisan di atmosfir yang memantulkan balik sinar matahari ke atmosfir. Karena sinar matahari yang memasuki atmosfir berkurang banyak, bumi tidak menerima cukup panas dan terjadi gelombang hawa dingin. Gelombang hawa dingin membuat tahun 1816 menjadi tahun yang tidak memiliki musim panas dan menyebabkan gagal panen di banyak tempat serta kelaparan yang meluas. Dalam abad yang sama, Gunung Krakatau meletus pada tahun 1883. Erupsi Krakatau diperkirakan memiliki kekuatan setara 200 megaton TNT, kira-kira 13.000 kali kekuatan bom atom yang menghancurkan Hiroshima dalam Perang Dunia II. Pada tanggal 26 Desember 2004, sebuah gempabumi besar terjadi di dalam laut sebelah barat Pulau Sumatra di dekat Pulau Simeuleu. Gempabumi ini memicu tsunami yang menewaskan lebih dari 225.000 jiwa di sebelas negara dan menimbulkan kehancuran hebat di banyak kawasan pesisir di negara-negara yang terkena. Di Indonesia sendiri gempabumi dan tsunami mengakibatkan sekitar 165.708 korban jiwa dan nilai kerusakan yang ditimbulkannya mencapai lebih dari 4 triliun rupiah. Pada tanggal 11 Maret 2011 terjadi gempa 8,9 skala Richter yang diikuti tsunami terjadi di Honsu Jepang telah menelan korban jiwa dan hilang lebih dari 6000 orang dan meluluh-lantakkan permukiman, insfrastruktur, industri, dan PLTN. Kita semua bisa melihat dari televisi NHK yang telah menyajikan kehebatan dan keganasan tsunami yang memporak porandakan pantai timur Jepang. Pusat Peringatan Tsunami Pasifik di Hawaii pun kemudian mengeluarkan peringatan ancaman tsunami ke seluruh pantai di Samudra Pasifik antara lain akan melanda Rusia, Amerika Barat, Amerika Selatan, Hawaii, Papua, Maluku Utara dan Sulawei Utara. Di Indonesia sempat menimpulkan kepanikan. Para ahli ekonomi memang menyatakan masih terlalu dini untuk menghitung jumlah kerugian akibat gempa dan tsunami ini, namun dari kerusakan dan dampak yang masif, angka kerugian bisa menembus USD100 miliar. Meledaknya PLTN Fukushima yang diikuti menigkatnya radiasi radioaktif beberapa hari ini menimbulkan masalah sendiri baik bagi masyarakat Jepang maupun masyarakat internasional. Pihak berwenang mulai meluaskan radius bahaya yang awalnya 20 km kemudian 30 km sekarang (Sabtu, 19 Maret 2011) menjadi 50 km. Beberapa penduduk mencoba meninggalkan Tokyo dan beberapa kantor kedutaan besar menyarankan para staf dan warganya untuk meninggalkan area yang terkena radiasi. Para turis memotong waktu liburan mereka dan perusahaan multinasional mendorong para stafnya meninggalkan kota atau merencanakan untuk pindah. Arah angin yang bertiup di atas PLTN bisa mengarah kemana saja, saat ini mengarah perlahan ke arah barat daya yang mencakup Tokyo. Namun angin akan beralih ke arah
9
barat di malam hari waktu setempat serta bisa mengarah kemana saja. Salah satu dampak yang berefek domino adalah tercemarnya Samudra Pasifik dimana semburan radioaktif masuk ke plankton, rumput laut, ikan kecil, ikan besar dan seluruh mahluk hidup yang ada di laut. Mobilitas ikan yang tinggi dan kondisi arus akan membawa bahan radioaktif ini berkeliling dunia. Seperti disebutkan di atas bahwa sepanjang Pantai Barat Sumatra dan pantai selatan Jawa-Bali-NTT-Kepulauan Maluku merupakan kawasan yang berhadapan langsung dengan subduksi lempeng tektonik yang pernah memicu tsunami beberapa tahun lalu dan sewaktu-waktu akan kembali memicu tsunami maka disarankan untuk dikaji ulang penataan ruang di kawasan pantai-pantai tersebut. Kawasan ini sudah tidak layak dikembangkan sebagai kawasan permukiman, perhotelan, industri dan lain-lain aktivitas yang akan memancing banyak orang datang. Mungkin bisa dikembangkan menjadi kawasan persawahan, pertambakan atau kawasan konservasi mangrove. Saat ini pantai-pantai tersebut banyak penghuninya, untuk itu ada tips mengurangi risiko bencana tsunami yaitu segera mempelajari kejadian bencana di masa lampau dan belajar dari bencana serupa di tempat lain serta membentuk komunitas siaga tsunami di tingkat RT agar terkoordinasi dengan baik dengan anggota RT yang lain maupun dengan pihak-pihak yang berkepentingan dengan bencana tsunami seperti BNPB, BPBD, BMKG, PMI, Perguruan Tinggi, dan lain sebagainya. Ada contoh keberhasilan komunitas yang dikembangkan masyarakat Pulau Simelue Aceh, yang aktif dan selalu belajar dari kejadian gempa dan tsunami yang pernah terjadi dan mengembangkan sistem deteksi dini dengan teriakan semong yang berarti air laut surut dan semua orang harus segera lari menuju ke bukit. Istilah ini selalu disosialisasikan dengan cara menjadi dongeng legenda oleh tokoh masyarakat setempat secara turun temurun sehingga istilah ini jadi melekat dan membudaya di hati setiap penduduk Pulau Simeuleu. Istilah smong ini dikembangkan sejak tahun 1900 dan istilah ini pula yang menyelamatkan hampir seluruh rakyat P Simelue dari amukan bencana tsunami 26 Desember 2004 padahal secara geografis letaknya sangat dekat dengan pusat gempa. Ada 10 komentar: #1 utomo (tom [at] oe.its.ac.id) pada 22 Maret 2011: wah jadi nambah ilmu nih Pak, yang jadi masalah apakah sudah di sosialisasikan kepada masyarakat terutama daerah rawan bencana. Pihak yang terkait harus memberikan wacana/simulasi secara periodik untuk menyadarkan bahwa di Indonesia juga rawan gempa.maturnuwun #2 Amien Widodo (amien [at] ce.its.ac.id) pada 23 Maret 2011: @Utomo Mestinya itu dilakukan sejak dulu, tapi karena selama ini antara lain (1)kita selalu diperkenalkan sebagai negara GEMAH RIPAH LOHJINAWI AYEM TENTREM KERTORAHARJO
10
(2)kita selalu menganggap bahwa bencana itu layak kita terima sebagai peringatan/takdir/ujian keimanan kita (3)leluhur kita selalu berpesan jangan bilang bencana nanti kualat (terjadi sungguhan) Oleh karenanya kita lupa akan ancaman yang ada di sekitar kita. Kita lagi mengusulkan KKN tematis untuk meningkatkan kapasitas mesyarakat agar "ngeh" terhadap bencana. #3 arif (arif.its [at] gmail.com) pada 24 Maret 2011: Kalau diamati selama ini kita semua seringkali hanya baru beraksi manakala bencana sudah terjadi. mengirimkan bantuan, mendiskusikan di forum2 seminar dsb.tapi belum banyak yang kita lakukan untuk bersiap diri menghadapi bencana agar tidak banyak jatuh korban.Di Jawa Timur ini banyak kota2 di wilayah selatan yang sebenarnya sangat rentan thd bencana. Jangan sampai kejadian bencana Jogja yang lalu terulang kembali di jatim.Mari kita pikirkan bersama dan berbuat sesuatu untuk menyelamatkan saudara-saudara kita yang terancam.salam #4 Amien Widodo (amien [at] ce.its.ac.id) pada 24 Maret 2011: @Arif dan Tatas Nah gitu, saya jadi senang ada yang membaca dan mengomentari artikel ini. #5 tatas (tatas [at] ce.its.ac.id) pada 24 Maret 2011: salam, Pak Amien, banyak sekali kota di Indonesia yang menghadap zona subduksi di lempeng Indo-Austalia+Euro-Asia (Padang, Sukabumi, Yogyakarta, Pacitan, P. Bali, dll). Agar kota-kota tersebut tidak terlalu mengalami kerusakan+kerugian jika tsunami melanda, selayaknya di tata sedemikian rupa hingga efek dari tsunami tereduksi. Belajar dari pengalaman, sepertinya yang mengakibatkan kerusakan+kerugian yang lebih besar adalah akibat tsunami jika dibandingkan gempanya itu sendiri. Semoga kedepan, penataan kota pesisir tidak hanya sekedar wacana. #6 Arief Suroso (arief_suroso [at] yahoo.com) pada 25 Maret 2011: Jepang yang sudah demikian majunya dengan peralatan peringatan dini (tsunami early warning system) dimana peralatan tersebut juga dipasang dibeberapa tempat di laut Indonesia, mengapa tidak mampu memberi peringatan dini?Apakah bencana tsunami ini sulit dideteksi? Menurut stastitik bencana tsunami seperti di Aceh akan datang 100 tahun lagi? Benarkah kita boleh memberi peringatan di lokasi yang belum pernah terjadi tsunami seperti di pantai selatan Bali, Pantai Nusa Tenggara dan tempat2 lain? #7 Amien Widodo (amien [at] ce.its.ac.id) pada 28 Maret 2011: @Arief Suroso 1. Mengapa Jepang tidak mampu memberi peringatan dini? Sebenarnya peringatan sudah dilakukan, cuma tsunami yang terjadi lebih besar dari yang diperkirakan bahkan melebihi tanggul yang sudah dipersiapkan untuk menghadapi tsunami. Peringatan itu kurang berfungsi karena magnitude gempa melebihi yang diperhitungkan (diluar prediksi) dan jarak fokus gempa terlalu dekat atau hanya butuh waktu < 10 menit saja. Umumnya kecepatan tsunami ratusan km per jam sehingga peringatan tidak efektif. Tsunami lebih mudah dideteksi dari pada gempa.
11
2. Ancaman tsunami memang umumnya dalam waktu yang lama, maka pendekatan yang dipergunakan dalah manajemen risiko. Risiko merupakan fungsi ancaman dan dampak, bila magnitud ancaman besar dengan probablitas kecil tapi dengan dampak yang besar/katastropis (korban manusia, fisik dan kerugian ekonomi) maka ancaman itu bisa dikategorikan berisiko tinggi. Oleh karenanya tsunami bisa dikategorikan berisiko tinggi maka harus disedikan dana (sangat besar) untuk mengelola, memonitoring dan mengevaluasi secara periodik,. Menginga dampak yang terjadi di Aceh, Chili dan Jepang maka saya menyarankan kawasan pantai yang berhadapan dengan tumbukan lempeng seperti Pantai barat Sumatra, Pantai Selatan Jawa-BaliNTT disarankan untuk tidak dikembangkan sebagai kawasan terbangun, disarankan untuk kawasan konservasi atau hanya dikembangkan sebagai persawan atau tambak. 3. Tsunami dipicu tumbukan lempeng di pantai selatan yang pernah terjadi di Sumba 1977 dan di Banyuwangi 1994 yang juga dirasakan di Bali. Tsunami di Jawa yang terakhir tahun 2007 di Pangandaran. Sedangkan tsunami akibat tumbukan lempeng di sebelah timur Sulawesi antara lain di Ende 1908, , Larantuka 1982, dan Flores 1992. 4. Andaikata zaman dulu kita suka mencatat kejadian bencana mungkin kita akan tahu bencana tsunami yang pernah terjadi di kawasan itu. Salah satu kearifan yang dikembangkan masyarakat pantai zaman dulu adalah legenda Ratu Pantai Selatan. Pada waktu iu ilmu pengetahuan belum seperti sekarang dan masyarakat kita sangat mempercayai adanya makhluk lain di sekitar mereka, jadi bila terjadi suatu peristiwa diluar pengetahuan mereka maka mereka selalu mengkaitkan dengan makhluk gaib itu. Kalau zaman sekarang bila ada kejadian diluar nalar mereka maka dikaitkan dengan UFO. Saat terjadi suatu peristiwa meluapnya air laut (tsunami) yang menhancurkan dan menelan korban manusia maka mereka menmpercayai bahwa penunggu laut selatan (Ratu Pantai Selatan) sedang mengamuk dan untuk mengingat kejadian itu mereka memberi sajen pada hari tanggal tahun tertentu. Cerita ratu Laut Selatan ini di kenal di Selatan Jawa sampai NTT dengan cersi masing-masing. Namun sayang kearifan yang dikembangkan masyarakat pantai saat itu saat ini berubah menjadi cerita penuh bumbu-bumbu mistis. #8 tatas (tatas [at] ce.its.ac.id) pada 29 Maret 2011: salam, Pak Arief Suroso (arief_suroso [at] yahoo.com), sedikit saya koreksi atas komentar Bapak sebelumnya. 1. Tsunami bisa diprediksi, tsunami yang di Jepang kemarin juga telah diprediksi datangnya, hal tersebut dapat kita ingat dari peringatan Jepang terhadap negara-negara di Pasifik bahwa tsunami akan datang dan mencapai suatu lokasi dalam jangka waktu tertentu. Hal tersebut, terbukti ketika tsunami datang sekitar pukul 20.00 WIT di Papua (sesuai prediksi). 2. Yang belum bisa diprediksi adalah kapan terjadinya gempa tersebut. #9 wulan_bd (wulan_bd [at] yahoo.co.id) pada 07 April 2011: mengerikan....untung lum lahir
12
29 November 2010 18:47:24 http://www.its.ac.id/berita.php?nomer=7662
Siaga Angin Puting Beliung Angin kencang merupakan peritiwa alam sebagai bagian dari dinamika bumi-atmosfir yang akan selalu ada dan akan melewati dimana saja. Niat baik semua pihak sangat diperlukan sehingga setiap jatuhnya bangunan tegakan tidak akan menimbulkan korban dan ada yang bertanggung jawab tidak menyalahkan angina . Kampus ITS, ITS Online - BMKG selalu mengingatkan bahwa memasuki musim hujan, selama musim hujan sampai berakhirnya musim hujan akan selalu diikuti munculnya angin kencang atau angin puting beliung. Dengan kata lain angin kencang merupakan peristiwa rutin yang akan selalu kita hadapi. Untuk menyikapi datangnya angin kencang ini dapat dilakukan dengan jalan melakukan mitigasi untuk mengurangi resiko korban. Mengingat bahwa robohnya sebuah bangunan bisa disebabkan oleh faktor luar (angin kencang, ditabrak mobil), faktor dalam (desain, material dan umur) dan faktor human error (bangunan tegakan tidak layak berdiri tetap di-Acc karena disogok, tidak ada aturan untuk monitoring dan evaluasi). Hampir setiap ada angin kencang akan selalu diikuti robohnya bangunan tegakan tegakan diantaranya papan reklame, baliho, bando, SPBU, tiang listrik, menara TV/telekomunikasi, bangunan sekolah, rumah tinggal, gedung tinggi, pohon dan lain sebagainya. Bangunan tegakan terutama yang ada di kawasan padat penduduk atau padat lalulintas sudah menimbulkan korban jiwa, korban luka-luka dan kerusakan fisik. Bila jatuh di tengah jalan maka akan terjadi penutupan jalan sehingga kegiatan ekonomi bisa berhenti. Oleh karena itu ancaman angin kencang sudah waktunya untuk diwaspadai, diawasi dan dievaluasi serta ditangani secara serius. Agar bisa efektif maka kerja sama piha swasta (pengelola), pemerintah dan masyarakat sangat dibutuhkan. Pemerintah disarankan segera membuat aturan formal yang mewajibkan pada pengelola bangunan tegakan, untuk melakukan kegiatan monitoring terhadap tegakan yang dilakukan sebelum musim hujan datang. Caranya dengan melakukan pengamatan, mencatat dan mendokumentasikan serta segera memperbaiki kalau ada mur baut yang kendor, ada bagian yang karatan, ada bagian yang patah/retak, dll. Dokumen monitoring ini dilaporkan ke dinas atau badan yang berwenang untuk ditanda tangani. Pemerintah bisa memerintahkan penghancuran (demolition) kalau bangunan tegakkan sudah dianggap parah. Sedangkan masyarakat yang bermukim di sekitar lokasi bangunan tegakan diharapkan ikut aktif mengamati dan segera melaporkan ke pihak yang berwenang kalau ada sesuatu kerusakan dengan demikian pihak yang berwenang (pengelola dan pemerintah) segera menindak lanjuti.
13
Ada 3 komentar: #1 Amien Widodo (amien [at] ce.its.ac.id) pada 29 November 2010: Khusus pohon Robohnya pohon ternyata bisa banyak sebab diantaranya (1) karena dimensinya (tinggi dan besarnya batang pohon), (2) karena kanopinya terlalu besar, (3) karena keropos, (4) karena umurnya sudah tua, (5) karena tidak punya akar tunggang karena yang ditanam hanya seteknya bukan bijinya, (6) karena akrnya berkembang ke arah samping saja karena air tanahnya asin seperti yang ada di Kota Surabaya. Adalah kwajiban dinas petamanan untuk melakukan pemantauan poho yang ada seluruh kota. Kalau sudah diketahui pohon-pohonnya sudah tidak layak maka pohonpohon tersebut bisa ditumbangkan/ dirobohkan/didemolize daripada ditumbangkan angin dan bisa menimbulkan korban. Ingat beberapa bulan lalu ada pohon jatuh dengan sendirinya padahal tidak ada angin. #2 Henry Palmer Siregar (hellsplit [at] yahoo.com) pada 30 November 2010: saya hany ingin bertanya pak, apa ITS punya pusat study bencana? Kalo iya, kantornya dmana pak? tolong di reply...thanx
14
02 November 2010 14:54:52 Wbsite : http://www.its.ac.id/berita.php?nomer=7546
Merapi Tak Pernah Ingkar Janji Merapi tak pernah ingkar janji, lontaran kata ironi dari Bapak Surono Ketua Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi ESDM sesaat setelah Gunung Merapi meletus tanggal 26 Oktober 2010 sekitar jam 17.00. Istilah itu diambil mengikuti film tahun 80-an “Merpati tak pernah ingkar janji”. Kampus ITS, ITS Online - Kata-kata itu tidak terlepas dari sejarah panjang proses letusan Gunung Merapi. Tercatat proses itu terjadi dalam periode siklus pendek yang terjadi setiap antara 2–5 tahun. Sedangkan siklus menengah setiap 5–7 tahun. Siklus terpanjang pernah tercatat setelah mengalami istirahat selama lebih 30 tahun, terutama pada masa awal keberadaannya sebagai gunung api. Memasuki abad 16, catatan kegiatan Merapi mulai kontinyu dan terlihat bahwa, siklus terpanjang pernah dicapai selama 71 tahun ketika jeda antara tahun 1587 sampai 1658. Tahun dan aktivitas Gunung Merapi yang banyak memakan korban diantaranya letusan tahun 1672 dengan kroban meninggal 3000 orang, letusan tahun 1872 dengan korban 200 orang, letusan 1930 korban meninggal 1369 orang, letusan 1994 meninggal 66 orang dan letusan 2006 korban meninggal 1 orang. Sedangkan, letusan terakhir, Selasa 26 Oktober 2010 memakan korban meninggal 26 orang termasuk Mbah Marijan. Setiap gunung berapi di dunia mempunyai karakter masing-masing. Merapi sendiri masuk dalam ”Tipe Merapi”. Tipe ini dicirikan munculnya awan panas atau aliran piroklastik atau istilah lokalnya wedhus gembel. Terbentuknya awan panas tersebut dibedakan atas 2 macam, masing-masing awan panas letusan dan awan panas guguran. Kejadiannya adalah kubah lava yang tumbuh di puncak dalam suatu waktu karena posisinya tidak stabil atau terdesak oleh magma dari dalam dan runtuh yang diikuti oleh guguran lava pijar. Dalam volume besar akan berubah menjadi awan panas guguran (rock avalance), berupa campuran material berukuran debu hingga blok bersuhu tinggi (>700oC) dalam terjangan turbulensi meluncur dengan kecepatan tinggi (100 km/jam) ke dalam lembah. Puncak letusan umumnya berupa penghancuran kubah yang didahului dengan letusan eksplosif disertai awan panas guguran akibat hancurnya kubah. Secara bertahap dalam waktu tertentu sesuai siklusnya akan terbentuk kubah lava yang baru dan letak kubah lava berpindah-pindah. Sejak tahun 1984 teknologi pengamatan gunung api berkembang pesat dan sinyal data dapat dikirim melalui pemancar radio (radio telemetry) maka sejak saat itu gejala awal letusan lebih akurat karena semua sensor dapat ditempatkan sedekat mungkin dengan pusat kegiatan tergantung kekuatan pemancar yang dipergunakan, secara normal dapat menjangkau hingga jarak antara 25–40 km.
15
Hampir setiap letusan Gunung Merapi, terutama sejak diamati dengan seksama yang dimulai tahun 80-an, selalu diawali dengan gejala yang jelas. Secara umum peningkatan kegiatan lazimnya diawali dengan terekamnya gempa bumi vulkanikdalam (tipe A) disusul kemudian munculnya gempa vulkanik-dangkal (tipe B) sebagai realisasi migrasinya fluida ke arah permukaan. Ketika kubah mulai terbentuk, gempa fase banyak (MP) mulai terekam diikuti dengan makin besarnya jumlah gempa guguran akibat meningkatnya guguran lava. Dalam kondisi demikian, tubuh Merapi mulai terdesak dan mengembang yang dimonitor dengan pengamatan deformasi (PVMBG). Kemajuan teknologi informasi dan media sejak tahun 2000 ikut meramaikan suasana hiruk pikuknya aktivitas letusan Merapi. kalau dulu sebelum tahun 2000 kita hampir tidak pernah disuguhi tentang letusan Merapi, kita hanya disuguhi ”matangnya saja” (sudah diedit/disensor), keberadaan media saat ini betul-betul menginformasikan secara detail kondisi letusan, korban dan kepanikan serta memunculkan sosok Mbah Marijan. Sebetulnya Mbah Marijan merupakan tokoh masyarakat biasa yang ditugasi Sultan Hamengkubuwono IX untuk menjaga Merapi dan karena ketekunannya, keteguhannya dalam menjalankan tugas beliau dipercaya masyarakat di sekitar Merapi. Mbah Marijan belajar secara autodidak terhadap Merapi dengan menggunakan seluruh panca indera dan hatinya sehingga ada hubungan ”chemistry” antara keduanya. Mbah Marijan tahu perilaku Merapi apakah mau meletus atau tidak. Hubungan ”chemistry” ini hanya sebatas umur Mbah Marijan saja tidak lebih dari 82 tahun, padahal Merapi sudah ada ribuan tahaun lalu dengan kata lain ada beberapa perilaku Merapi yang tidak diketahui Mbah Marijan. Media mengekplorasi secara besar-besaran terhadap ”kesaktian” Mbah Marijan sehingga saat terjadi letusan tahun 2006 dan penduduk sebagian besar sudah diungsikan, Mbah Marijan tetap tidak mau mengungsi. Ternyata, letusan tahun 2006 tidak mengenai Mbah Marijan sehingga waktu itu muncul prediksi bahwa yang dilakukan PVMBG kurang tepat. Tahun 2010 terjadi lagi, namun kali ini Desa Kinah Rejo dilewati wedhus gembel dan menyebabkan korban meninggal lebih dari 10 orang termasuk Mbah Marijan. Mbah Marijan telah memberi inspirasi beberapa ahli ITS untuk mempelajari ”apa yang dikeluarkan Merapi yang bisa ditangkap Mbah Marijan dan sensor apa yang ada dalam tubuh Mbah Marijan yang bisa menangkap gejala G.Merapi”. Mungkin dari hal ini akan ditemukan alat deteksi baru yang berguna bagi masyarakat. Ada 8 komentar: #1 nuryati (nuryati06 [at] bio.its.ac.id) pada 04 November 2010: Assalamualaikum, Pak amien melalui penjelasan bapak, alhamdulillah saya sudah mengetahui bagaimana aktifitas gunung berapi dan munculnya awan panas tersebut atau wedhus gembel. Tapi...dari media juga disebutkan bahwa aktifitas anak gunung krakatau juga meningkat. Apakah aliran magma dalam bumi dapat mempengaruhi lempeng yang lain ? Selain itu ada beberapa pertanyaan untuk bapak yaitu :
16
1. Untuk Gunung Merapi, apakah dampak langsung dapat kita rasakan di surabaya ? Dan apa yang terjadi ketika benar- benar meletus hingga kubah hancur 2. Mengapa aktifitas alam ini banyak memakan korban. apakah ada faktor jumlah penduduk dan teknologi ? 3. Insyaallah.. begitu saja. Semoga hal ini menjadi sarana bagi kita untuk berbenah diri bahwa sesungguhnya ada Allah SWT Dzat Yang Maha Berkuasa atas segala sesuatu. Dan semoga pemerintah sadar bahwa tidak cukup berlindung di barak- barak pengungsian maka menjadi aman (nasihat SBY di Merapi ) tetapi lebih dari itu : Jikalau penduduk negeri ini beriman dan bertaqwa kepada-Ku, maka Aku akan limpahkan karunia dari langit dan bumi tanpa hisab. " Inilah yang Allah SWT pada kita. #2 Amien Widodo (amien [at] ce.its.ac.id) pada 04 November 2010: Wass. wr wb. 1. Magma di G.Merapi dan tempat lainnya tidak ada hubungannya, setiap gunung punya sistem magma sendiri. 2. Dalam sejarah dampak letusan G.Merapi ke Surabaya tidak ada 3. Sebetulnya peristiwa gempa, tsunami, gunung meletus, longsor, banjir bandang dll merupakan peristiwa alam sebagai bagian dari sistem dinamika bumi-atmosfir yang sudah terjadi sebelum manusia ada. Manusia diciptakan dan ditugasi untuk melihat segala peristiwa alam itu dari detik ke detik siang dan malam dan selalu berfikiran positif bahwa Allah menciptakan segala isi alam tidak sia-sia. Sehingga diperoleh ilmu tersebut dan dapat dimanfaatkan dengann arif dan nanti kita berkata “Robbanaa maa kholaqta haadzaa baathilaa,..” . Selama ini kita tidak diajari ini secara sistematis sehingga kita tidak memahami perilaku alam. Kita tumbuh menyebar menempati kawasan-kawasan yang mestinya tidak boleh dihuni. Terkadang kita menempati itu dengan sengaja dengan alasan kekuasaan, kebutuhan papan, kemiskinan dll. Waktunya berubah untuk kebaikan masa depan. #3 machsus (machsus [at] ce.its.ac.id) pada 07 November 2010: Tulisan Pak Amien yang memberikan gambaran tentang bagaimana kondisi "merapi yang tak pernah ingkar janji", menarik untuk dibaca. Saya mau nanyak satu hal Pak Amien, bagaimana dengan keberadaan bendara partai politik di lokasi bencana merapi ketika Bapak berada di lokasi tersebut, apa masih bertebaran? Menurut saya, keberadaan bendera parpol yang bertebaran di area pengungsian tersebut cukup menganggu pemandangan. Sebab, bisa menimbulkan kesan bahwa Partai Politik itu hanya mengeksploitasi bencana merapi untuk mencari simpati dari pengungsi/konstituen. Jadi kalau boleh saya usul pemasangan bendera parpol di lokasi bencana dilarang saja. Sebaiknya bendera itu diganti dengan bendera merah putih. #4 tatas (tatas [at] ce.its.ac.id) pada 08 November 2010: salam, Pak, menilik sejarah Merapi, apakah ada kaitan antara gempa 2006 dengan letusan 2010 ini? Gempa 2006 yang terjadi di Sesar Opak, apakah berpengaruh pada dapur magma merapi? mengingat adanya magma merupakan akibat desakan/ gesekan lapisan bumi, sehingga lapisan tersebut "mencair" dan menuju ke atas melalui magma
17
(gunung). sehingga apakah jika ada gempa maka akan menambah "cadangan" magma yang pada gilirannya berusaha "keluar" melalui gunung. #5 fasa (Imoed.cuby [at] yahoo.com) pada 11 November 2010: tetaplah suksess #6 Amien Widodo (amien [at] ce.its.ac.id) pada 12 November 2010: Saya pernah ditanya anak saya KENAPA ALLAH MENCIPTAKAN GEMPA YANG BISA MEMBUNUH BANYAK ORANG? Aku jawab bahwa Allah menciptakan segala sesuatu di alam ini tidak sia-sia, terukur dan pasti ada manfaatnya. Desakan lempeng di bawah P Jawa menyebabkan patahan-patahan dan menyebabkan lelehnya litosfer membentuk dapur magma. Desakan ini juga menyebabkan timbulnya gempa yang energinya sangat bermanfaat untuk mengaktifkan seluruh magma di dalam bumi. Gempa juga menyebabkan dapur magma tertekan dan mengalir melewati patahan menuju permukaan bumi yang diikuti aktifnya gunungapi. Material dan gas yang keluar dari gunungapi bermanfaat untuk mengisi kekurangan material dan gas di permukaan bumi dan atmosfir. #7 cak sunari koncoe pak mudjahidin (sun_bonex99 [at] yahoo.com) pada 13 November 2010: ...tanpa mengurangi rasa simpati serta empati terhadap para korban letusan gunung merapi,kalo kita mau jujur,sesungguhnya merapi lebih banyak memberi daripada meminta.merapai telah membinasakan ratusan ato bahkan ribuan nyawa manusia.tapi lebih banyak yg di "hidupi",& di nafkahi,oleh merapi.ratusan rumah hancur,ratusan juta harta benda melayang...tapi berapa trilyun rupiah di yg di hasilkan oleh abu vulkanik merapi. alam lebih banyak memberi daripada meminta.hikmah di balik bencana tentu lebih besar manfaatnya dari bencana itu sendiri.mohon bersabar untuk para korban,"wedhus gembel" pasti berlalu.dan diantara setiap kejadian adalah bukti kebesaran Alloh SWT,bagi orang yg mau berpikir. terimakasih pak Amin.....!!! #8 Amien Widodo (amien [at] ce.its.ac.id) pada 14 November 2010: Cak Sunari. Selama ini kita hanya diajari bahwa bencana merupakan musibah sebagai azab, sebagai ujian, sebagai peringatan, sebagai takdir dan sebagai bagian dari unjuk kekuatan Allah SWT sehingga dalam penanganannya kita hanya dengan doa. Padahal kalau kita melihat peristiwa itu sebagai ayat kauniyah sebagai petunjuk maka kita bisa tahu bahwa meletusnya gunung ternyata berulang dengan peride tertentu dan areal terpepar juga tertentu. Kalau belajar dari itu maka kita bisa melakukan tindakan arif sehingga di masa depan bila terjadi peristiwa yang sama tidak ada korban, tidak ada kerusakan dan kerugian ekonomi bisa dikurangi. Oleh karenanya dalam menanggapi bencana harus dengan doa dan ikhtiar. Pray is not enough
18
08 Juni 2010 10:21:06 http://www.its.ac.id/berita.php?nomer=7011
Renungan, Empat Tahun Lumpur Lapindo Perilaku semburan selama empat tahun terakhir menunjukkan bahwa kawasan beresiko semakin meluas dari tahun ke tahun, atau dengan kata lain kawasan resiko bersifat dinamik sehingga data harus selalu di-update setiap saat dan setiap ada perubahan yang signifikan. Perilaku ini merupakan konsekuensi logis karena semburan lumpur lapindo sampai saat ini belum ada tandatanda mau berhenti. Kampus ITS, ITS Online - Semburan yang berlangsung selama ini menyebabkan bagian pusat semburan mengalami pelebaran menjadi lubang besar dan dalam. Hal itu menyebabkan lapisan tanah di sekitarnya terseret menuju ke pusat semburan. Tarikan atau seretan ke arah pusat semburan ini menimbulkan efek domino yaitu munculnya ancaman amblesan yang diikuti retakan tanah dan rumah, ancaman semburan gas yang mudah terbakar dan mencemari udara, ancaman tanggul jebol dan ancaman pencemaran. Hasil kajian ITS selama ini menunjukkan bahwa pada tahun pertama ancamanancaman hanya di sekitar tanggul, tahun kedua melebar sekitar 200 meter di luar tanggul, tahun ketiga 2008 melebar sampai 500 meter, tahun keempat sampai 1 km dan tahun berikutnya lebih dari 1 km. Pada awal tahun, lumpur telah menenggelamkan puluhan desa, mengusir paksa 14000 KK, menyebabkan kehilangan kehidupan, dan penghidupan normalnya, ribuan buruh menganggur dikarenakan puluhan pabrik terbenam, ribuan murid sekolah terlantar dan tercerai berai, dan 15 orang meninggal terkait dengan semburan ini. Selama empat tahun pula masyarakat lokal masih banyak yang tidak sadar dan tidak siap dengan keadaan yang menimpa mereka dan yang akan menimpa mereka. Masyarakat masih dijadikan obyek dalam menentukan kebijakan yang menyangkut kehidupan dan penghidupan mereka. Ancaman-ancaman ini menerjang kondisi permukiman yang padat, transportasi vital yang padat, dan aktivitas ekonomi yang ramai serta kondisi lingkungan yang tidak mendukung maka di dalam ilmu manajemen resiko, daerah di sekitar tanggul lumpur bisa dikatakan sebagai kawasan yang beresiko. Waktunya membuat komitmen bersama antara pemerintah lokal, pengelola tanggul dan masyarakat lokal sebagai mitra untuk bersama-sama membangun kesiapsiagaan terpadu menghadapi kondisi emergensi. Komitmen ini harus dibangun agar bisa terjalin saling pengertian antara pengelola tanggul, pemerintah lokal dan masyarakat sekitar tanggul. Nantinya, bila terjadi kondisi darurat, semua pihak paham dengan apa yang akan
19
dikerjakan dan tugas masing-masing pihak. Komunitas ini segera melakukan penilaian dan pemetaan kawasan beresiko di sekitar tanggul yang terdiri atas kawasan beresiko tinggi, kawasan beresiko sedang, dan kawasan beresiko rendah. Disebut kawasan beresiko tinggi kalau intensitas dan magnitud ancaman besar dan berdampak besar, demikian sebaliknya kawasan beresiko rendah kalau besaran ancaman dan dampak rendah. Ancaman amblesan dan semburan gas yang mudah terbakar termasuk ancaman yang tidak bisa dilakukan tindakan apa-apa (given) sehingga tindakan untuk mengurangi resiko bisa dilakukan peningkatan kapasitas anggota komunitas yaitu: (1) membentuk kelompok sadar bencana untuk bekerjasama dengan otoritas lokal dan pengelola; (2) memberi pengetahuan tentang bencana yang terjadi dan yang mungkin akan terjadi; (3) pengenalan kawasan yang berisiko dan apa saja yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan di kawasan berisiko ini; (4) dilatih tata cara menghindar, tata cara evakuasi, dan menentukan tempat pengungsian; (5) memasang alat peringatan dini amblesan dan detektor gas yang real time; (6) gladi sirine peringatan dini dan gladi pengungsian; Sebuah contoh betapa besar biaya sosial yang harus ditanggung dikarenakan tidak adanya kesadaran dan kesiapsiagaan, yaitu saat terjadi jebolnya tanggul Situ Gintung. Jebolnya tanggul Situ Gintung telah menyebabkan kerusakan hebat dan korban meninggal mencapai 100 orang serta puluhan orang yang belum ditemukan. Jumat 27 Maret subuh, tanggul Situ Gintung jebol yang diikuti air bah seperti tsunami terjadi sangat cepat, sekitar 10 menit dan mampu meluluhlantahkan ratusan rumah beserta isinya. Yang tersisa hanyalah tangisan duka keluarga yang ditinggalkan. Beberapa jam sebelumnya warga sudah mulai mendengarkan suara gemuruh di sekitar tanggul sekitar pukul 23.00 setelah sore harinya hujan deras. Kemudian warga mulai berinisiatif ronda di sekitar tanggul dan sekitar pukul 24.00 sudah melihat adanya rembesan dan atau limpasan air di permukaan tanggul. Lalu beberapa orang yang bermukim dekat tanggul terbangun karena mereka mendengarkan bunyi krek-krekkrek sekitar pukul 01.00. Sekitar jam 3.00 suara gemuruh semakin keras dan banjir sudah dimulai sampai akhirnya tanggul jebol sekitar waktu subuh. Andaikata warga sudah dilatih dan dikondisikan maka korban jiwa bisa dihindari karena waktu 3 jam sudah cukup untuk menjauh dari daerah terjangan air bah. Ada 6 komentar: #1 rahma (rachmawati [at] its.ac.id) pada 08 Juni 2010: semoga lumpur lapindo segera teratasi shg tidak menimbulkan korban tambah banyak,kasihan warga porong..... #2 aryo danurwendo (danurwendo [at] gmail.com) pada 08 Juni 2010:
20
Seharusnya pemerintah mempercayai anak bangsa. berikanlah para peneliti indonesia untuk kontribusi aktif dalam meredam si LuSi ini. untuk dana, kesampingkanlah dahulu, #3 nuryati (nuryati06 [at] bio.its.ac.id) pada 09 Juni 2010: Yah.... begitulah nasib peneliti. Akan ada panggilan hati jika sebuah peristiwa telah terlewati atau akan bertindak jika ada proyek pengerjaan. Hal inilah yang menjadi kesalahan dalam sebuah institusi pendidikan. Suatu contoh : Di Wonorejo telah berdiri Perumahan Wonorejo Bumi Asri, padahal sejatinya area ini diperuntukkan untuk kawasan hijau. Nah... kesalahan, jika sudah ada penelitian dan himbauan, tetapi pemegang kebijakan tidak mau tahu atau tak mau tahu. Entah untuk lahan hijau atau perumahan yang penting mendatangkan uang. Nah... kasus ini hampir sama kayak Lusi, jika kita runut kebelakang. Otomatislah yang memberikan izin pengeboran di wilayah sidoarjo ya Pemerintah, siapa lagi.. ujung- ujungnya ya uang. Jadi... kayaknya kita berada dalam pemerintahan yang skeptis, tidak mau tahu urusan rakyat. setelah mengucur lumpur puluhan ribu kubik, malah ganti topik. Inilah buah dari sistem kapitalis yang tengah bercokol di indonesia. Yang bermodal kuat menang, yang bermodal dengkul tunggang tanggung. Saatnya mahasiswa peka dengan permasalahan ini. Dan kalau bisa pelaku pengeboran harus hukum yang berat ( seperti yang saya tulis di analisa pencurian), rumahnya disita, asetnya disita untuk mengganti kesengsaraan rakyat yang ditindas. Semoga Allah membuka penglihatan, pendengaran dan hati. #4 Amien Widodo (amien [at] ce.its.ac.id) pada 09 Juni 2010: Lusi sebuah Tantangan bagi ITS Ada misi lain dari tulisan diatas yaitu menghimbau, mengajak dan mengharapkan para civitas akadmik melakukan penelitian-penelitian lanjutan yang nantinya bisa dijadikan sumbangan pikiran ITS untuk ikut menyelesaikan permasalahan Lusi yang ada di "halaman" ITS. Beberapa penelitian lanjutan yang sangat dibutuhkan adalah : 1. Analisis dimensi rongga di bawah semburan dengan 3D Seismik 2. Analisis sensitivitas tanah dan lapisan batuan terhadap amblesan 3. Pemodelan amblesan beberapa tahun ke depan 4. Matematika dinamika fluida lumpur 5. Cost and benefits Analysis to Hazard mitigation 6. Analisis sensitivitas tanah dan lapisan batuan terhadap pencemaran 7. Damage and Loss Scenario Analysis to dam collapsed 8. Social Vulnerability Assessment 9. Desain adaptasi lumpur terhadap tanaman 10.Dll Nah, kalau nanti ITS banyak penelitian maka akan menjadi rujukan bagi peneliti nasional dan internasional. #5 arwi (arwi_yudhi [at] urplan.its.ac.id) pada 15 Juni 2010: Salut untuk kepeduliannya. sekarang waktunya kerja bareng menekan pemerintah untuk mengupayakan solusi yang secepatnya bisa mengatasi masalah lumpur lapindo
21
06 Oktober 2009 10:16:46 http://www.its.ac.id/berita.php?nomer=5946
Belajar Bencana Gempa Pada tanggal 30 September 2009 telah terjadi gempa lagi di Sumatra Barat dengan magnitude 7,6 skala Richter dengan jarak episentrum lebih dekat sehingga dampak yang diakibatkan sangat besar, tercatat korban meninggal lebih dari 600 orang, korban belum ditemukan lebih dari 200 orang, kerusakan bangunan dan inrfrastruktur sangat banyak, terjadi pengungsian dan trauma berkepanjangan. ITS Online - Upaya tanggap darurat diperkirakan butuh enam bulan. Padahal tanggapdarurat saat terjadi rabu 2 September 2009 terjadi gempa 7,3 Skala Richter terjadi daerah pantai Tasikmalaya belum selesai.Indonesia memang gudangnya gempa dan ini terjadi karena tekanan lempeng tektonik sudah bekerja bergerak dan menekan Indonesia sejak jutaan tahun yang lalu. Lempeng itu terdiri darai Lempeng Samudra hindia-Australia yang bergerak kearah utara, Lempeng Samudra Pasifik yang bergerak ke arah barat dan Lempeng Benua Eurasia yang bergerak ke arah selatan. Pada batas lempeng ini terjadi akumulasi energi sampai suatu batas tertentu atau dengan selang waktu terentu kekuatan lapisan litosfer terlampui sehingga terjadi pelepasan energi yang dikenal dengan gempa bumi yang akan merambat ke segala arah. Gempa ini bisa terjadi tiap tahun, bisa tiap 10 tahun, bahkan bisa 100 tahun atau lebih. Pergerakan lempeng tektonik akan terus berlangsung dengan kecepatan tertentu antara 2 – 10 cm per tahun, sehingga kejadian gempa di suatu tempat akan berulang dan terus berulang di masa depan tergantung pada kekuatan runtuh batuan yang ada di daerah tersebut. Kalau kita plot lokasi dan distribusi gempa di Indonesia maka hampir seluruh wilayah Indonesia rawan gempa. Keadaan inilah yang menyebabkan kita harus menerima kenyataan bahwa kita hidup di Indonesia di kawasan rawan gempa bumi dan tsunami. Gempa merupakan salah satu fenomena alam yang tidak dapat diprediksi dan tidak bisa dihindari serta tidak bisa dijinakkan sehingga akibat yang ditimbulkan bisa sangat mengerikan. Pengembangan sain untuk memprediksi kapan dan besarnya magnitude gempa sampai saat ini masih belum bisa menentukan secara pasti. Tanda-tanda memang kadang muncul setiap akan terjadi gempa seperti awan putih lurus, hewanhewan di dalam tanah keluar bersamaan, atau hewan-hewan nampak gelisah beberapa jam sebelum gempa datang, semuanya itu masih belum bisa dipakai untuk menentukan kapan terjadi gempa karena kadang muncul kadang tidak menunjukkan gejala-gejala. Tapi mungkin suatu saat akan ditemukan kapan dan besarnya magnitude gempa. Untuk sementara ini gempa dianggap given sehingga untuk antisipasi dan mengurangi risiko bencana dilakukan dengan jalan penguatan struktur bangunan dan peningkatan kapasitas masyarakat. Lokasi gempa dengan skala terbesar dan waktu ulang yang pernah terjadi merupakan data penting untuk berbagai upaya mengurangi risiko bencana gempa.
22
Kenapa kita rentan terhadap ancaman gempa? Gempa tidak pernah membunuh tapi ketidak tahuan, ketidak mau tahuan dan ketidak ingin tahuan. Ketidak tahuan tentang gempa akan membuat kita tidak merasakan getaran dan atau goyangan sehingga saat terjadi gempa kita tidak melakukan respon segera tetapi setelah banyak yang runtuh baru bergerak menghindar. Respon yang terlambat ini akan berakibat terjadi kepanikan karena tidak berjalannya pikiran normal dan kalau yang tidak tahu jumlahnya banyak maka terjadi kepanikan massal (chaos). Ketidak tahuan juga menyebabkan kebingungan sehingga mempercayai isu-isu dan ramalan yang biasanya berkembang bersamaan dengan munculnya bencana. Faktor ketidak mau tahuan muncul setelah jumlah penduduk semakin banyak dan kemiskinan juga semakin banyak sehingga muncul masyarakat yang tidak meperdulikan keadaan sekitar. Masyarakat dengan semaunya menempati di kawasan yang jelas-jelas rawan bencana seperti masyarakat yang bermukim di bantaran sungai, bermukim di kawasan bahaya letusan gunung berapi, masyarakat yang bermukim di kawasan panatai yang rawan tsunami, dsb. Faktor terakhir adalah faktor ketidak ingin tahuan tentang apa yang terjadi di sekitarnya yang muncul karena budaya dimasa lampau yang tidak mempunyai budaya keingin tahuan, sehingga apa-apa yang terjadi di sekitar kita tidak perbah menjadi perhatian serius bahkan lebih banyak mengabaikan segala peritiwa tersebut walau peristiwa itu berulang dan telah menimbulkan korban yang banyak. Sebagian besar rakyat menganggap bencana sebagai sesuatu musibah yang harus dan layak diterima oleh masyarakat, dan usulan upaya penanganan sebelum terjadi bencana masih dianggap suatu upaya yang mengada-ada bahkan ada beberapa daerah masih tabu membicarakan bencana takut kuwalat (khawatir terjadi sungguhan). Sikap ini menyebabkan setiap kejadian bencana kita segera terlupakan. Kami mengusulkan agar memasukkan pengurangan risiko dalam perencanaan pembangunan dengan jalan (1) meletakkan pengurangan resiko bencana sebagai prioritas daerah dan implementasinya harus dilaksanakan oleh suatu institusi yang kuat, (2) mengidentifikasi, mengkaji dan memantau resiko bencana serta menerapkan sistem peringatan dini, (3) memanfaatkan pengetahuan, inovasi dan pendidikan untuk membangun budaya keselamatan dan ketahanan pada seluruh tingkatan, (4) mengurangi cakupan resiko bencana, dan (5) memperkuat kesiapan menghadapi bencana pada semua tingkatan masyarakat agar tanggapan yang dilakukan lebih efektif. Harapannya terbangun budaya keselamatan, budaya ketahanan, terbangun masyarakat tangguh menghadapi berbagai bencana. Ada 7 komentar: #1 NN (santri_oi [at] yahoo.co.id) pada 06 Oktober 2009: Sudah selesai kita ulas mengenai gempa. apapun penyebabnya yang jelas itu semua di luar kuasa manusia dan hanya Tuhan yang berkehendak.sudah saatnya bergerak untuk membantu saudara kita yang kehilangan. minimal doa #2 nuryati (nuryati06 [at] bio.its.ac.id) pada 07 Oktober 2009:
23
Assalamualaikum Pak Amin,sedikit interupsi... bahwa setahu saya hampir setiap detik selalu ada gempa di dunia dengan skala yang beragam, mulai dari skala yang kecil ( tidak dirasakan manusia ) dan hingga yang menimbulkan korban bencana. Seperti halnya halilintar... gituYang kedua, tentang daerah rawan bencana yang pak amien sebutkan salah satunya ialah daerah dekat gunung berapi. Padahal dalam Al- Qur'an banyak menyebutkan surat tentang gunung yang menjadi pasak atau penstabil bumi dari kegoncangan ( gempa ). Jadi bagaimana ini...Yang ketiga tentang struktur bangunan tahan gempa, apakah berupa beton yang memiliki ketahanan hancur melebihi gempa maksimal ?. Jika kita melihat ke Jepang, mereka lebih memilih menggunakan kertas. Bagaimana ini tolong diberikan penjelasan.Terima kasih Wassalam #3 Amien Widodo (amien [at] ce.its.ac.id) pada 07 Oktober 2009: Untuk NN Karena sifatnya yang selalu berulang di tempat yang sama dan skala yang sama maka bencana gempa tidak cukup hanya dengan doa tapi harus ada ikhtiar yaitu (1) rumah kita harus mengikuti standar bangunan anti gempa berdasarkan gempa terbesar yang pernah terjadi, misalnya di Padang maka bangunan atau rumah harus kuat menahan gempa skala 7,6. (2) secara individu/keluarga/komunitas/negara harus kenal dengan gempa harus paham cara-cara menghadapi saat terjadi gempa. Kita kenal kita akan selamat (3)Gempa terjadi selain sebagai peringatan, hukuman, tetapi juga sebagai petunjuk bagi kaum yang berfikir agar melakukan ikhtiar-ikhtiar yang diperlukan agar bisa selamat dari gempa #4 hening (hening27 [at] gmail.com) pada 07 Oktober 2009: koyoke usule jenengan kurang spesifik pak dosen.... kurang menggigit gitu.... #5 hapsari (hapsari_satu [at] yahoo.com) pada 08 Oktober 2009: Saya percaya bhw Tuhan tdk akan mengubah nasib umatnya hingga umat itu sndr yg berusaha utk mengubah nasibnya. Saya kutip dr artikel lalu :"Hasil jerih payah masyarakat Jepang dalam upaya melindungi dan memberi rasa aman kepada rakyatnya terbukti, salah satunya saat terjadi gempa tahun 2007 skala 6,9 Richter hanya ada 1 korban saja dan kerusakan infrastruktur tidak seberapa. Sedangkan saat terjadi gempa di Yogya dan Jawa Tengah dengan skala 5,9 Richter korban yang meninggal lebih dari 6000 orang, korban cacat ratusan ribu dan bangunan yang rusak mencapai lebih dari 300 ribu rumah. Di Yogya dan Jawa Tengah korban meninggal lebih disebabkan karena keruntuhan rumahnya yang tidak disiapkan menghadapi gempa skala 5,9 Richter."Bencana bisa jadi merupakan cobaan,peringatan,sekaligus azab. Tergantung sudut pandang kita.Terima kasih P.Amin atas artikelnya yang intensif..Tetap berkarya ! #6 Restyan (okke97 [at] yahoo.com) pada 19 Oktober 2009: wah masa !!!! ga percaya tyuh kan kiamat cuma allah yang tau !!!! #7 irma (gadishijau [at] ymail.com) pada 09 November 2009: hummm bencana gempa juga terjadi akibat banyak nya jumlah penduduk yang menempati bimu kita yang sudah tua ini,
24
07 September 2009 20:50:54 http://www.its.ac.id/berita.php?nomer=5912
Gempa di Bulan Ramadhan, Peringatan Sekaligus Petunjuk Gempa merupakan salah satu fenomena alam yang datang tiba-tiba tanpa peringatan, tidak (belum) dapat diprediksi dan tidak bisa dihindari serta tidak bisa dijinakkan sehingga akibat yang ditimbulkan bisa sangat mengerikan. Kampus ITS, ITS Online - Gempa menimbulkan goncangan dan pegeseran. Goncangan gempa akan memicu peristiwa likuifaksi, longsor, runtuhnya rumah/bangunan, dan lain sebagainya. Pergeseran bisa akan memicu tsunami bila terjadi di dasar laut dan akan memicu longsor di daerah pegunungan dan akan meyebabkan tanah retak menganga dan akan menyebabkan pipa gas pecah sehingga bisa menimbulkan kebakaran. Gempa juga akan menerjang apa saja dan siapa saja baik anak-anak balita, manula, rumah sakit bahkan ahli gempa sekalipun bisa terkena. Rabu, 2 September 2009 sekitar pukul 14.55 terjadi gempa 7,3 Skala Richter terjadi di daerah pantai Tasikmalaya dan getaranya hampir dirasakan di seluruh Pulau Jawa bahkan Pulau Bali. Badan Negara penanggulangan Bencana (BNPB) melaporkan korban meninggal akibat gempa sampai hari ini telah mencapai lebih dari 70 yang tersebar di berbagai kaputaen seperti di Cianjur, Garut, Sukabumi, Tasikmalaya, Kota Tasikmalaya, Bandung, Bandung Barat, Bogor dan Ciamis. Khusus di Kabupaten Cianjur puluhan orang masih dinyatakan hilang. Korban lukaluka sangat banyak karena banyak bangunan rumah hancur, lebih dari 5000 bangunan rusak dan menyebabkan pengungsian lebih dari 25 ribu jiwa. Kejadian gempa yang terjadi di Tasikmalaya sungguh memprihatinkan, banyak rumah yang roboh, banyak yang meninggal dan luka-luka, masih ada anak-anak yang nangis ketakutan sendiri, masih ada orang-orang yang berebut keluar ruangan yang menyebabkan banyak yang terinjak-injak, dan banyak masalah lainnya yang menunjukkan kita kurang perhatian terhadap keselamatan. Negara Jepang merupakan Negara kepulauan relatip kecil dan terletak di kawasan geologi tektonik aktif dengan banyak gempa. Karena kecilnya kepulauan maka masyarakat Jepang tidak punya pilihan lain, mereka harus menghadapi gempa tersebut. Untuk itu mereka mencatat, meneliti, mengembangkan sistem peringatan dini, mengembang bangunan tahan gempa, membukukan dan mensosialisasikan. Sosialisasi kepada masyarakat tanpa kecuali baik kepada balita, manula, ibu-ibu hamil, maupun penyandang cacat dan lain-lain, yaitu dengan jalan melakukan simulasi menghadapi gempa secara rutin dalam jangka waktu tertentu. Karena sosialisasi sudah berlangsung lama maka masyarakat Jepang sudah terbangun budaya keselamatan, sehingga saat terjadi gempa mereka reflek akan bersembunyi di
25
bawah meja sampai getaran selesai baru mereka keluar ruangan satu persatu. Hasil jerih payah masyarakat Jepang dalam upaya melindungi dan memberi rasa aman kepada rakyatnya terbukti, salah satunya saat terjadi gempa tahun 2007 skala 6,9 Richter hanya ada 1 korban saja dan kerusakan infrastruktur tidak seberapa. Sedangkan saat terjadi gempa di Yogya dan Jawa Tengah dengan skala 5,9 Richter korban yang meninggal lebih dari 6000 orang, korban cacat ratusan ribu dan bangunan yang rusak mencapai lebih dari 300 ribu rumah. Di Yogya dan Jawa Tengah korban meninggal lebih disebabkan karena keruntuhan rumahnya yang tidak disiapkan menghadapi gempa skala 5,9 Richter. Indonesia tidak jauh berbeda dengan Jepang karena sejak jutaan tahun yang lalu tekanan lempeng tektonik sudah bekerja bergerak dan menekan Indonesia. Lempeng itu terdiri darai Lempeng Samudra hindia-Australia yang bergerak kearah utara, Lempeng Samudra Pasifik yang bergerak ke arah barat dan Lempeng Benua Eurasia yang bergerak ke arah selatan. Pada batas lempeng ini terjadi akumulasi energi sampai suatu batas tertentu atau dengan selang waktu tertentu kekuatan lapisan litosfer terlampui sehingga terjadi pelepasan energi yang dikenal dengan gempa bumi yang akan merambat ke segala arah. Kenapa kita rentan terhadap ancaman gempa? Hal ini karena sampai saat ini sebagian besar bangsa Indonesia masih menganggap bencana sebagai sesuatu musibah yang harus dan layak diterima, dan usulan upaya penanganan sebelum terjadi bencana masih dianggap suatu upaya yang mengada-ada bahkan ada beberapa daerah masih tabu membicarakan bencana takut kuwalat (khawatir terjadi sungguhan). Sikap ini menyebabkan setiap kejadian bencana kita segera terlupakan, walau kejadian itu berulang-ulang. Ini terjadi karena belum adanya sosialisasi pengetahuan dasar tentang bencana kepada masyarakat, dan ada kekurangan pada cara pendidikan dan pengajaran kita, sehingga masyarakat lebih banyak percaya pada hal-hal yang irasional (klenik) dan isu-isu. Secara umum permasalahan yang terkait dengan bencana di Indonesia adalah (1) rendahnya kesadaran terhadap bencana di wilayah-wilayah yang rawan bencana, (2) pemahaman masyarakat terhadap cara-cara pencegahan terjadinya bencana masih kurang, (3) belum semua masyarakat di wilayah rawan memahami tanda-tanda akan terjadinya bencana, dan (4) masyarakat belum semuanya mengetahui tindakantindakan yang harus dilakukan untuk menghindari bencana. Apa akibatnya? Sejarah mencatat bencana tahun 2004-2009 telah menyebabkan ratusan ribu nyawa telah melayang dengan mengenaskan, ratusan ribu luka-luka dan cacat seumur hidup, ratusan ribu mengalami trauma, ratusan ribu rumah hancur, ratusan infrstruktur dan fasilitas umum serta pusaka negara (heritage) hancur, kerugian ekonomi sangat besar. Bencana yang terjadi di Indonesia pada bulan Romadhon ini merupakan peringatan sekaligus petunjuk bagi kaum yang berfikir dan waktunya bersama-sama berupaya mengurangi risiko bencana dengan menyadari bahwa Indonesia banyak ancaman dan mulai meningkatkan kapasitas masyarakat untuk mengurangi kerentanan. Harapannya
26
terbangun budaya keselamatan, budaya ketahanan, masyarakat tangguh menghadapi berbagai bencana.
sehingga
terbangun
Ada 8 komentar: #1 nuryati (nuryati06 [at] bio.its.ac.id) pada 08 September 2009: Assalamualaikum Pak Amien. Saya sangat prihatin dengan saudara- saudara saya di Tasikmalaya dan sekitarnya. Kita sangat bersyukur karena masih diberikan keselamatan oleh Allah. Boleh jadi bencana alam akan terjadi sepanjang tahun dalam dekade ini, hal ini dikarenakan beberapa faktor. Kalau kita lihat maka kita akan mengetahui bahwa : 1. Bumi mampu untuk melakukan repair/ perbaikan sendiri. Tetapi ketika batas maksimal yang tidak dapat ditolerir, bumi akan mengakumulasikan penyakitny ( pencemar ), yang secara signifikan mempercepat perubahan kondisi bumi ( bencana ). 2. Jikalau kita menelaah, memang selama tempo 2004- 2009, bencana silih berganti ditambah dengan kecelakaaan pesawat/ transportasi lainnya. Hal ini juga mengindikasikan adanya sesuatu dibalik itu ( bisa jadi dari segi kepemerintahan ). Pemerintah yang baik akan bersikap tanggap mengutamakan kepentingan amsyarakatnya. Cobalah dievalusi.... bukan berarti yang terakhir harus mewarisi borok kepemerintahan. Ya... itu saja mungkin kitapun harus bersiap- siaga dengan melakukan pengontrolan ( kesalehan ) individu dan sosial. Wassalamualaikum wr.wb Salam Nuryati #2 senoaji (senoaji68 [at] gmail.com) pada 08 September 2009: i Agree........ #3 Bangun Muljo Sukojo (bangun_ms [at] geodesy.its.ac.id) pada 08 September 2009: Sebagai info tambahan dari tulisan Pak Amien Widodo saya sampaikan tulisan dari Badan Survei dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL) sbb. Rekam Jejak Gempa oleh Stasiun Gravimeter Gempa yang terjadi di lepas pantai selatan Jawa Barat, terekam oleh stasiun gravimeter di BAKOSURTANAL. Alat superconducting gravity di stasiun ini, merekam beberapa kali penyimpangan. Selain itu, 2 stasiun pasang surut air laut milik BAKOSURTANAL juga merekam perubahan gelombang pasca gempa bumi. Dua stasiun yang paling dekat dengan pusat gempa terletak di bibir pantai Pameungpeuk, Garut dan Pelabuhan Ratu, Sukabumi, menunjukkan pola yang berbeda dengan kondisi sebelum gempa (pukul 15.00 WIB). Perbedaan yang cukup mencolok dari hasil perekaman di stasiun Pameungpeuk, sedangkan di Pelabuhan Ratu juga nampak pola hampir sama namun tidak setinggi di Pameungpeuk. Mencari Cara Memprediksi Gempa Bumi Apakah gempa bumi dapat diprediksi? Tantangan ini hingga kini belum terjawab. Namun, berbagai cara dilakukan, baik dengan menangkap fenomena alam maupun secara ilmiah. Belakangan ini tengah dicoba pengembangan deteksi kegempaan menggunakan gravimeter. Alat ini dilengkapi dengan sebuah sistem superkomputer yang disebut Superconducting
27
Gravimeter (SG). Bumi bukanlah benda statis, tetapi seperti mengalami dinamika. Pada inti atau mantelnya terjadi pasang surut atau pemuaian dan penyusutan. Proses ini dipengaruhi pula oleh tarik-menarik dengan planet di sekitarnya, terutama Matahari dan Bulan. Perubahan kondisi Bumi ini dapat dipantau dengan parameter yang bekerja di dalamnya, seperti medan gravitasi, medan magnet, kelistrikan, suhu, porositas, atau kandungan air di permukaan tanah. Dijelaskan Fauzi, Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, tekanan lempeng menyebabkan penekanan rongga-rongga di lapisan Bumi. Hal ini menyebabkan keluarnya air ke permukaan. Sejak September tahun lalu Stasiun Pengamatan Gaya Berat Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) bekerja sama dengan perguruan tinggi di Jepang menerapkan Superconducting Gravimeter (SG). Parluhutan Manurung, Kepala Bidang Medan Gaya Berat dan Pasang Surut Bakosurtanal, menjelaskan, alat ini merupakan bagian dari Global Geodynamics Project (GCP). Keberadaan stasiun ini di Indonesia sangat penting karena merupakan satu-satunya di khatulistiwa dan kawasan tektonik paling aktif di dunia. Jumlah alat ini terbatas, hanya 25 unit yang tersebar dalam jejaring Stasiun SG Global. Alat GCP berfungsi memonitor terusmenerus perubahan medan gaya berat atau gravitasi Bumi dari detik ke detik hingga tahunan. Alat ini memantau sinyal perubahan nilai gaya berat secara kontinu selama enam tahun sampai diperoleh empat parameter. Sejak teori gravitasi dilontarkan Isaac Newton 300 tahun lalu, pemahaman tentang gravitasi meningkat dan dikembangkan sistem pemantauan fenomena gravitasi Bumi. Sistem itu lalu dimanfaatkan untuk tujuan ekonomi, mencari sumber daya mineral dan minyak bumi. Superconducting Gravimeter merupakan alat pengukur perubahan gaya berat atau gravitasi Bumi dengan kepekaan sangat tinggi-fraksi satu permiliar kali atau nano Gal. Dengan kemampuan ini, alat yang ditempatkan di permukaan Bumi itu dapat menangkap sinyal peubah mulai dari aktivitas inti Bumi hingga ke permukaan Bumi. Alat ini mampu memantau sinyal perubahan gaya berat atau gelombang gravitasi yang disebabkan oleh aktivitas inti Bumi dan pengaruhnya terhadap gravitasi di permukaan hingga diperoleh gambaran tentang dinamika Bumi. SG memiliki keunggulan, yaitu dapat memantau perubahan gravitasi dengan kepekaan yang tinggi dan memberi gambaran interaksi perubahan massa atmosfer sesuai kondisi cuaca. Selain itu, digunakan untuk memantau perilaku kerak bumi yang dipengaruhi konstelasi Bumi terhadap planet lain yang berperan dalam memicu gempa bumi. Alat ini dapat mendeteksi gempa kecil dan besar. Sistem SG yang terpasang di Kantor Bakosurtanal Cibinong, sejak September 2008 dapat memantau gempa Gorontalo, Desember tahun lalu, dan gempa Tasikmalaya, Rabu (2/9). Pengukuran gaya berat di Indonesia, ujar Kepala Bakosurtanal Rudolf W Matindas, telah lama dilakukan oleh perusahaan minyak di Jawa dan Sumatera. Namun, cakupannya tergolong sempit. Data itu selama ini dirahasiakan perusahaan itu karena dapat mengungkap kondisi lapisan permukaan Bumi yang memiliki cekungan minyak. Sementara itu, di luar Pulau Jawa dan Sumatera boleh dibilang hingga kini minim data gaya berat, bahkan Papua masih tergolong blank area. Penyediaan data gaya berat secara nasional untuk keperluan pembangunan di daerah dilakukan Bakosurtanal dengan menggandeng Denmark Technical University.
28
Untuk mempercepat survei gravitasi ini dipilih wahana pesawat terbang, yang menurut Koordinator Survey Airborne Gravity Indonesia (SAGI) 2008 Fientje Kasenda, memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan survei di darat atau teresterial dan satelit. Dengan pesawat terbang, jangkauan lebih luas dan cepat untuk medan yang berat, seperti hutan, pegunungan, dan perairan dangkal hingga pesisir. Selain itu, juga ada kesinambungan data antara laut dan darat. Resolusi data lebih baik dibandingkan dengan data satelit. Biaya pun lebih rendah. Dalam program Bakosurtanal, tutur Matindas, SAGI tahap pertama dilakukan di seluruh Sulawesi yang topografinya kompleks. Diharapkan, survei gaya berat dan pembuatan peta seluruh Indonesia ini selesai 2012. #4 iL Capitano (nks [at] prodes.its.ac.id) pada 08 September 2009: ♪♫ Kita mesti telanjang dan benar - benar bersih, suci lahir dan di dlm bathin, Tengoklah ke dalam sebelum bicara, singkirkan debu yang masih melekat.......♪♫ Anugerah dan bencana adalah kehendakNya, kita mesti tabah menjalani,.......♪♫ _UNTUK DI RENUNGKAN__ #5 Amien Widodo (amien [at] ce.its.ac.id) pada 09 September 2009: Dear Arwi, Gempa akan berulang di lokasi yang hampir sama dengan skala yang hampir sama pula. Perulangan bisa 1 tahun, 10 tahun, 50 tahun dst-dst. gimana di Jawa Timur tergantung data lokasi gempa dan skala terbesar yang pernah terjadi. Saat orang Tasikmalaya dan sekitarnya harus beradaptasi dengan gempa skala > 7, artinya bangunan mereka harus diperkuat dan mereka harus belajar menghadapi gempa. Sering bila terjadi bencana seperti ini dering diikuti doa bersama/istigosoh, dissrankan jangan berdoa Semoga Tidak Terjadi Gempa atau semoga ibi gempa yang terkhir karena doa ini menyebabkan orang lupa kejadian gempa yang baru saja terjadi, sebaiknya Doanya berbunyi : Semoga kita bisa mengatasi gempa yang akan datang agar risiko bencana bisa dikurangi. #6 arwi (arwi_yudhi [at] urplan.its.ac.id) pada 09 September 2009: Pak Amin apa ada kemungkinan merebet gempanya ke trenggalek-tulungagung-blitarmalang? #7 sudibyo (sudibyomanguntari [at] yahoo.com) pada 10 September 2009: bagus sekali ulasan anda tks ............... full #8 nina (nina_purple19 [at] yahoo.com) pada 07 Oktober 2009: buat apa seh qt kuk dsuruh nebak gambar???
29
13 April 2009 12:49:02 http://www.its.ac.id/berita.php?nomer=5544
Belajar dari Bencana Situ Gintung Masih banyak saudara kita yang menganggap bencana sebagai sesuatu musibah yang harus dan layak diterima oleh masyarakat, dan bahkan masih ada beberapa daerah masih tabu membicarakan bencana, takut kuwalat (khawatir terjadi sungguhan). Sikap ini mempengaruhi kita semua untuk melupakan bencana yang terjadi, walau kejadian itu berulang-ulang menimpa kita. Kampus ITS, ITS Online - Memang Allah SWT memberi bencana kepada kita punya banyak tujuan, diantaranya (1) menunjukkan kekuasaan-Nya, (2) memberi peringatan, (3) memberi azab karena kita berbuat dosa, dan (4) memberi petunjuk. Nah kalau kita bersikap pasif menerima saja maka kita akan kehilangan petunjuk ilmu yang diberikan Allah SWT. Kalau kita amati dengan seksama permasalahan yang terkait dengan bencana di Indonesia adalah (1) rendahnya kesadaran terhadap bencana, bahkan beberapa warga berani mengambil risiko menempati di kawasan yang jelas-jelas rawan bencana, (2) pemahaman cara-cara pencegahan terjadinya bencana masih kurang, (3) belum semua masyarakat di wilayah rawan memahami tanda-tanda akan terjadinya bencana, (4) belum semuanya mengetahui tindakan-tindakan yang harus dilakukan untuk menghindari bencana. Sebuah contoh yang baru saja terjadi jebolnya Situ Gintung. Jebolnya tanggul Situ Gintung memprihatinkan banyak pihak karena telah menyebabkan kerusakan hebat dan korban meninggal mencapai 100 orang serta puluhan orang yang belum ditemukan. Jumat, 27 Maret waktu Subuh setempat, tanggul Situ Gintung jebol yang diikuti air bah seperti tsunami terjadi sangat cepat, sekitar 10 menit, telah meluluhlantakan ratusan rumah beserta isinya menyisakan tangisan duka keluarga yang ditinggalkan. Beberapa jam sebelumnya warga sudah mulai mendengarkan suara gemuruh di sekitar tanggul sekitar pukul 23.00 setelah sore harinya hujan deras, kemudian warga mulai berinisiatip ronda di sekitar tanggul dan sekitar pukul 24.00 sudah melihat adanya rembesan dan atau limpasan air dipermukaan tanggul. Kemudian beberapa orang yang bermukim dekat tanggul terbangun karena mereka mendengarkan bunyi krek-krek-krek sekitar pukul 01.00. Sekitar jam 3.00 suara gemuruh semakin keras dan banjir sudah dimulai sampai akhirnya tanggul jebol sekitar waktu subuh. Andaikata warga sudah dilatih dan terkoordinasi maka korban jiwa dapat dihindari karena waktu 3 jam sudah cukup untuk menjauh dari daerah terjangan air bah. Dan kita dengar semua bahwa pemerintah atau pengelola situ dengan tenangnya mengatakan ini karena curah hujan yang tinggi, bahkan ini karena dampak perubahan iklim. Padahal semua orang tahu bahwa selama ini telah terjadi hujan lebat berulangulang di Jakarta yang melebihi saat Situ Gintung Jebol. Budaya kita memang masih demikian, memahami bencana hanya dari ancaman bahayanya saja tidak
30
memperhitungkan dampak yang akan terjadi. Kita tahu walau ada ancaman bahaya yang sangat besar, tetapi di sekitarnya tidak ada manusia, maka tidak akan terjadi bencana. Sekali lagi alam dijadikan kambing hitam sehingga kita segera melupakan semuanya. Padahal banyak pertanyaan seperti kenapa kok tidak jebol dulu-dulu, kenapa baru sekarang? Ada apa dengan upaya pemeliharaan tanggul? Ada apa dengan kondisi teknis tanggul? Dan banyak lagi petunjuk yang akan bisa kita dapatkan. Indonesia banyak tanggul bendungan, danau, situ, telaga, ranu, tanggul sungai, dan tanggul lainnya, Situ Gintung adalah petunjuk untk kita semua untuk memperhatikan sekitar kita. Tapi sayang petunjuk ini hanya diberikan kepada umat yang berfikir.
Ada 8 komentar: #1 nuryati (nuryati06 [at] bio.its.ac.id) pada 13 April 2009: Assalamualaikum pak Amin saya sependapat dengan anda. sejak dulu ketika ada bencana lumpur sidoarjo hati saya miris kenapa harus terjadi seperti itu. Terlebih lagi ketika almarhum pak seno dosen geologi fisika ( 6 bulan sebelum wafat )menceritakan bagaimana kondisi lumpur lapindo. Kontan saya tersentak tentang definisi sebuah bencana, impact bencana dan apa yang harus kita lakukan. Jujur saja sebagi mahasiswa saya tergerak mendengarnya bahkan ingin turun tangan. Tapi apa daya gas beracunpun kini familiar di daerah lumpur lapindo. Ah.. apa jadinya negeri ini jika kesadaran mahasiswanya saja masih secuail apalagi masyarakatnya. Begitulah hinggga tragedi Situ Gintung pun muncul. Sempat berpikir negatif tentang kepemerintahan SBY. dan memang kita sebagai umat islam sebenarnya sudah tahu apa yang harus dialkukan agar bangsa ini sentosa dan sejahtera. " Andai saja suatu penduduk negeri beriman dan bertaqwa kepada Allah, maka akan Aku limpahkan ketentraman dan kesejahteraan dari langit dan bumi. " Semoga kita dapat beramar ma' ruf nahi mungkar dan peka agar ditahun berikutnya Indonesia tidak mengulangi peringatan ini kembali. Wassalam nuryati #2 ratna (ratnaningsihanik [at] gmail.com) pada 14 April 2009: Assalamualaikum pak Amin, saya sependapat dengan anggapan "alam jangan jadikan kambing hitam" bencana itu dapat diteksi secara dini sebelum terjadi, bahkan sebelum dilaksanakan,kemudian dilaksanakan, dan masih ada lanjutannya yang sering kita lupakan yaitu pemanfaatan sesuai fungsinya dan aturan penggunaannya serta bagaimana memelihara(maintenance)itu yang sering kita hiraukan. sehingga ketika bencana itu datang maka nyanyian ebit G ade muncul kembali, yang jawabannya tanyakan pada rumput yang bergoyang. Alam disalahkan karena tidak bersahabat,takdir tuhan dsb. Saya sebagai masyarakat Indonesia yang memiliki kemampuan seperti tak berdaya dan merasa bodoh. Kenapa kita pintar mendesain, membuat aturan, membangun, tetapi tidak pandai mensosialisasikan. jangan saling menyalahkan yang perlu kita ingat bahwa Tuhan menciptakan semua yang ada di dunia ini adalah untuk kepentingan manusia, hanya saja kita lupa menjaga dan mensyukurinya. yang kita lakukan hanya memanfaatkan dan merusaknya. Marilah
31
kita semua menjaga, merawat, menyayangi,dan peduli terhadap lingkungan. Agar resiko bencana dapat diminimalis, dan jangan terulang kejadian yang sama. sekian dan terimakasih semoga dapat bermanfaat #3 Zuhdi (zuhdimci [at] gmail.com) pada 15 April 2009: Dear, Penulis Salam Pak, sy dl Alumni TL-ITS pak, kebetulan sy dekat sekali dg lokasi bencan Situ Gintung tsb. Yg sy analisa sblm kejadian, sy sempat berkunjung ke rmh temen sy yg berada di bagian sisi Situ, dan sy ckp kaget, kenapa kok diperbolehkan membangun pemukiman padat di Area Situ/Waduk, Sungai?? apa Dinas Tata Kota Tangerang sdh meninjau lapangan sblm mengeluarkan IMB?? kl memang sdh ada UU yg mengatur batas sepadan antar pemukiman dg Waduk, Sungai ? Wah Dinas Tata Kota juga masyarakatnya sembrono sekali, nyawa dibuat main2. Tx Pak, semoga penelitian bapak nantinya bisa memberikan masukan kepada pihak2 yg terkait dg masalah itu. BR, Zuhdi Health Safety Environmental Dept. - MCI, Jkt #4 Zuhdi (zuhdimci [at] gmail.com) pada 15 April 2009: Dear, Pak Amien Mestinya, hal2 seperti itu adalah sdh menjadi tugas rutin, dan sangat mudah sekali pemantauan teknisnya, karena Dinas Tata Kota dlm hal ini mempunyai Ahli, pelaksana lapangan, schedule monitoring/inspeksi harian/mingguan/bulanan/ tahunan, dan rapat2 internal atau eksternal, maintenance, mesti rutin dalam hal ini dilaksanakan oleh Dinas yg bertanggung jawab, sehingga mestinya dr report2 harian - tahunan langsung bs dilakukan action2 teknis n non teknis untuk proses pemeliharaan Waduk. Karena rekaman2 data seperti itu akan sgt penting sekali bagi kita sebagai org teknik. Usul saya 1). Buat UU serta aturan baku yang valid, 2). Bentuk Struktur organisasi yg bertgg jwb atas Waduk (rujukan UU), 3). Re-Desain (Survey lapangan, perencanaan -teknis,schedule pelaksanaan, schedule monitoring, trial, improvement), 4). Perbaiki sistem rekaman data2 teknis, 5). Managemen Safety, Environmental-nya, 6). Improvement scr kontinu. Tx,Pak Zuhdi #5 Amien Widodo (amien [at] ce.its.ac.id) pada 16 April 2009: Dear Mas Zuhdi Sebetulnya secara teoritik sudah ada dalam buku tentang penyebab jebolnya tanggul, seperti : 1. ada overtopping, air melimpah melebihi tanggul dan agar tidak terjadi itu dibuat bangunan pelimpah 2. ada piping, rembesan air di tubuh tanggul dan atau di pondasi di bawah tanggul
32
3. ada erosi di permukaan yang kalu dibiarkan akan semakin melebar dan semakin dalam 4. ada longsor di tanggul dan atau di tanah dasar tanggul 5. dll Nah kalau pengelola tanggul sudah punya SOP hal-hal tersebut diatas maka dia bisa tahu penyebab jebolnya tanggul. Apakah di Situ Gintung apa ada SOP nya nggak ya? #6 Amien Widodo (amien [at] ce.its.ac.id) pada 16 April 2009: Mas Zuhdi,Terima kasih tanggapannya, sebetulnya semua sudah ada prosedurnya untuk pengawasan, pemeliharaan dan pemantauan bendungan tapi ya itu tadi mereka belum biasa melakukan itu.Padahal secara teoritik bendungan akan mengalami masalah (jebol) kalau :1. Ada overtopping (airnya melebihi tanggul) dan biasanya agar tidak terjadi seperti ini dibuat spillway (bangunan pelimpah)2. Ada piping (rembesan) baik di tubuh tanggulnya maupun di dasar pondasi tanggul3. Ada erosi di permukaan tanggul4. Ada longsor di tubuh tanggul dan atau di bagaian pondasi tanggul5. dll.Kalau pihak pengelola melakukan monitoring tertulis (SOP) terhadap hal-hal tersebut ditas maka akan diketahui penyebab jebolnya tanggul, apakah karean faktor luar (hujan deras) atau faktor dari dalam tanggul dan atau karena human error.Amien #7 izy (junk_izy [at] yahoo.com) pada 19 April 2009: ya saya sangat setuju karena kejadian ini juga berdampak buruk pada manusia dan lingkungan #8 Vivin Bintoro (vivin.bintoro [at] gmail.com) pada 22 April 2009: Bencana Situ Gintung sebagai pengalaman bagi kita semua.Pemerintah harus tegas mengawasi daerahnya,agar tanah milik pemerintah tidak seenaknya saja dibangun orang. Dan perlu diperhatikan pula pembuatan situ/bendungan harus kuat pondasinya dari awalnya.Semoga Allah SWT meridloi usaha kita semua. Amin.
33
01 April 2009 17:18:56 http://www.its.ac.id/berita.php?nomer=5520
Semburan Lumpur Sidoarjo, Sebuah Tantangan Riset Multidisiplin Secara umum, orang beranggapan bahwa risiko bencana hanya merupakan faktor dari ancaman (hazards) saja sehingga orang dengan mudah mengatakan bahwa ini bencana alam, bukan bencana karena ulah manusia. Padahal kejadian itu atau ancaman itu tidak akan menjadi bencana kalau tidak menabrak manusia dan aktivitasnya. Jadi, risiko bencana (R) itu merupakan fungsi dari ancaman (hazards=H) dengan kerentanan (vulnerability=V) atau dirumuskan dengan sederhana R = H x V. Kampus ITS, ITS Online - Perkembangan semburan lumpur Sidoarjo semakin mengkhawatirkan dikarenakan (1) ancaman jebolnya tanggul penahan lumpur yang akan diikuti (2) banjir lumpur, (3) ancaman amblesan yang bertambah luas yang diikuti (4) ancaman semburan gas metan (CH4) yang termasuk bahan berbahaya dan beracun (B3). Paramater yang dipakai dalam tolok ukur ancaman/bahaya antara lain magnitude/intensitas, frekuensi, luasan dampak dan lamanya dampak berlangsung. Ancaman tersebut akan menimbulkan risiko bencana bila diketahui tingkat kerentanan daerah di sekitarnya. Kerentanan (vulnerability) merupakan suatu kondisi dari suatu komunitas atau masyarakat yang mengarah atau menyebabkan ketidakmampuan dalam menghadapi ancaman bahaya. Tingkat kerentanan adalah suatu hal penting untuk diketahui sebagai salah satu faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya bencana, karena bencana baru akan terjadi bila ‘bahaya’ terjadi pada ‘kondisi yang rentan’. Tingkat kerentanan dapat ditinjau dari kerentanan fisik (infrastruktur), sosial kependudukan, dan ekonomi. Parameter ancaman dan kerentanan ini akan menentukan besaran risiko dan biasanya disajikan dalam bentuk peta. Dikatakan berisiko tinggi bila ancaman dan kerentanan tinggi, sebaliknya kalau ancaman dan kerentanan kecil maka risikonya kecil juga. Metodologi penelitian ancaman dan kerentanan dilakukan dengan jalan pengukuran langsung, survei sosial, pemodelan matematik dan statistik, animasi, GIS, fuzzy, dan lain sebagainya. Batas wilayah studi ditentukan berdasarkan hasil pengukuran luasnya amblesan dan sebaran gas metan. Berdasarkan besaran risiko ini kita bisa membuat rangking risiko yang akan dipergunakan sebagai dasar untuk mitigasi dan perencanaan di masa yang akan datang agar risiko bisa dikurangi. Seperti misalnya (1) penerapan standar bangunan baku, (2) pengaturan tata ruang berbasis risiko, (3) relokasi/retrofitting, (4) memindahkan bangunan ke daerah aman, (5) memindahkan arah ancaman atau mengeliminasi
34
ancaman. (6) mereduksi atau membatasi ukuran ancaman, (7) memodifikasi karakteristik dasar ancaman, (8) mengendalikan tingkat pelepasan/release ancaman, (9) mengatur sistem pengamanan atau peralatan dari ancaman fisik, (10) penetapan sistem peringatan bahaya dan prosedur komunikasi saat kritis, dan masih banyak lagi. Bisa jadi ancaman yang muncul tidak bisa dilakukan tindakan apa-apa (given) sehingga untuk mengurangi risiko kita bisa melakukan peningkatan kerentanan fisik, sosial, ekonomi dan lingkungan. Yaitu dengan jalan (1) membentuk kelompok sadar bencana yang terdiri atas pimpinan, bagian operasional, bagian logistik, bagian finansial; (2) memberi pengetahuan tentang bencana yang terjadi dan yang mungkin akan terjadi, (3) pengenalan kawasan yang berisiko dan tidak; (4) tata cara menghindar, tata cara evakuasi, dan menentukan tempat pengungsian, dan (5) gladi pengungsian. Adalah sebuah tantangan bagi sivitas akademika ITS untuk melakukan penelitian ancaman dan kerentanan yang terjadi di sekitar semburan lumpur. Penelitian ini merupakan penelitian multidisiplin dan membutuhkan waktu yang lama. Ada 2 komentar: #1 lutfiana (lutfiana_m [at] yahoo.com) pada 06 April 2009: Iya pak Amien, multidisiplin memang diperlukan dalam penanggulangan bencana lumpur sidoarjo, buktinya dosen Statistika banyak yang mroyek kesitu.. #2 gandi (gandi [at] yahoo.com) pada 08 April 2009: sejak dulu tantanan thockkkk, kapan realitasnya.. jangan terlalu banyak tantangan...
35
24 Desember 2008 12:03:21
http://www.its.ac.id/berita.php?nomer=5300
Waspadai Tanah Longsor Hujan bagi masyarakat petani sangat ditunggu tunggu, tapi bagi masyarakat yang bermukim di kawasan pegunungan mulai was-was akan datangnya bencana tanah longsor dan rasa was-was itu wajar karena banyak terjadi longsor di berbagai daerah di Indonesia bersamaan dengan turunnya hujan. Kampus ITS, ITS Online - BMG meramalkan bahwa beberapa hari ke depan curah hujan akan semakin meninggi dan bayang-bayang ancaman longsor semakin mengerikan. Saat ini warga yang bermukim di daerah perbukitan pegunungan semakin cemas dan sangat membutuhkan informasi yang benar tentang longsor dan tata cara menghadapi longsor. Isu perubahan iklim yang semakin nyata lebih menambah ketidak pastian bencana tanah longsor. Isu perubahan iklim terjadi sebagai akibat adanya pemanasan global yaitu kejadian meningkatnya temperatur rata-rata atmosfer, laut dan daratan. Penyebab utama pemanasan ini adalah pembakaran bahan bakar fosil, seperti batu bara, minyak bumi, dan gas alam, yang melepas karbondioksida dan gas-gas lainnya yang dikenal sebagai gas rumah kaca ke atmosfer. Ketika atmosfer semakin kaya akan gas-gas rumah kaca ini, ia semakin menjadi insulator yang menahan lebih banyak panas dari matahari yang dipancarkan ke bumi. Beberapa tahun terakhir seiring dengan orde reformasi terjadi juga “reformasi” besarbesaran terhadap hutan kita, yaitu terjadi penggundulan hutan untuk digunakan sebagai kahan pertanian. Penggundulan ini ikut menambah runyam suasana alam pegunungaan. Padahal sudah diketahui bersama bahwa pohon-pohon yang ada di lereng gunung berguna untuk (1) mengikat tanah dengan akar serabutnya, (2) memaku tanah dengan akar tunjangnya, (3) mengatur tata air di bawah akar agar tidak jenuh air dengan jalan evapotranspirasi, (4) rerimbunan daun dan sersah akan menahan/mengurangi energi hujan dan menahan serta meresapkan air hujan kedalam tanah, dan (5) pohon-pohon ikut menahan laju air permukaan gar tidak jadi banjir. Kalau lereng ditanami oleh tanaman semusim dengan akar serabut saja tidak ada akar tunjangnya maka lereng secara umum dalam keadaan kritis. Hujan yang datang akan menyebabkan tanah yang menempel di lereng tambah berat dan air hujan yang meresap akan menyebabkan tanah menjadi jenuh sehingga tanah akan berubah menjadi seperti cairan yang mengalir (longsor). Upaya antisipasi Sebelum longsor biasanya ada tanda-tanda sebagai berikut (1) ada longsor-longsor kecil, (2) retakan-retakan di tanah dan di tembok/pagar, (3) pohon yang tumbuh
36
miring atau tiang listrik miring, (4) pohon yang terangkat dan terlihat akarnya, (5) sumur di lereng tiba-tiba hilang airnya, (6) muncul sumber-sumber air di lereng. Oleh karena saat ini dalam kondisi hujan yang membutuhkan keputusan cepat maka disarankan untuk segera melakukan survey cepat lokasi yang rawan longsor yang ada di wilayah masing masing untuk dilihat secara langsung seberapa besar tingkat kerawanan, seberapa jauh jarak jangkau longsoran, dan seberapa besar dampak yang akan terjadi. Apakah akan berubah menjadi banjir bandang yang akan merusak jembatan, jalan, aset pengairan, permukiman dan bangunan bendungan yang vital? Untuk itu diperlukan segera dibuat peta risiko. Peta risiko bencana yaitu peta yang menggambarkan kemungkinan terjadinya bencana dan dampak yang ditimbulkan. Suatu lokasi dinyatakan sangat beresiko kalau kemungkinan terjadinya bencana sangat tinggi (misalnya terjadi tiap tahun) dan berdampak sangat merusak, demikian sebaliknya bila kemungkinan terjadinya sangat tinggi tetapi tidak berdampak maka dikatakan tidak beresiko. Peta resiko ini bisa dipergunakan sebagai acuan prioritas penanganan dan kesiapsiagaan bencana serta untuk melindungi/mengatur sistem pengamanan dan sistem peringatan bahaya serta prosedur komunikasi saat kritis. Berbagai upaya mitigasi yang sering dilakukan antara lain (1) mengurangi volume material yang akan longsor sehingga material lereng dalam posisi stabil; (2) memindahkan dan atau mengarahkan material yang akan longsor ke tempat yang berisiko kecil; (3) melakukan rekayasa vegetasi (bioengineering) dengan jalan menanam stek batang pohon yang bisa hidup (live fascine) di material yang akan longsor dengan tujuan agar batang pohon mubncul akar yang akan mengikat tanah; (4) melakukan rekayasa teknologi dengan memasang geogrid dan membuat tembok penahan agar longsor tidak terjadi; (5) membuat check dam di sungai untuk menahan laju longsoran yang masuk ke sungai agar tidak terjadi bandang; (6) memasang alat peringatan dini yang dipahami masyarakat sekitar; (7) memeperdayakan masyarakat di sekitar lereng agar waspada selalu dan tidak melakukan hal-hal yang menyebabkan lereng menjadi tidak stabil. Pada kenyataanya longsor terkadang tidak bisa diintervensi dengan teknologi ataupun dengan rekayasa lainnya dikarenakan letaknya sangat tinggi dan tidak ada jalur jalan menuju kesana. Untuk masyarakat disarankan membentuk dan mengaktifkan satgas bencana longsor untuk segera (1) mengidentifikasi sumberdaya yang dimiliki untuk menghadapi longsor, Apakah peralatan sudah mencukupi? Apakah sumberdaya manusia yang dimiliki sudah terlatih? Apakah kontak-kontak penting ke satlak/satkorlak sudah dimiliki? (2) mengamati di sekeliling mereaka tanda-tanda longsor, bila ada retakan segara tutup dengan tanah yang kedap air dan atau mengatur air permukaan jangan samapi masuk ke lubang retakan dan atau menanam setek pohon dimasukkan ke lubang retakan dengan harapan tumbuh akar yang akan menjahit/merapatkan tanah (3) membuat sistem peringatan dini yang diketahui oleh semua warga misla dengan kentongan, (4) bila hujan datang beberapa anggota satgas berkeliling mengamati apakah ada retakan baru, apakah sungai tidak ada airnya, apakah sudah waktunya mengungsikan warga yang rentan? Untuk Pemerintah disarankan melakukan sosialisasi kesiapsiagaan bagi penduduk
37
yang bermukim di daerah yang akan terkena longsor sesuai dengan UU PB pasal 45 yang menyebutkan bahwa kesiapsiagaan dilakukan melalui : a). penyusunan dan uji coba rencana penanggulangan kedaruratan bencana; b). pengorganisasian, pemasangan, dan pengujian sistem peringatan dini;c. penyediaan dan penyiapan barang pasokan pemenuhan kebutuhan dasar; d). pengorganisasian, penyuluhan, pelatihan, dan gladi tentang mekanisme tanggap darurat; e). penyiapan lokasi evakuasi; f). penyusunan data akurat, informasi, dan pemutakhiran prosedur tetap tanggap darurat bencana; dan g). penyediaan dan penyiapan bahan, barang, dan peralatan untuk pemenuhan pemulihan prasarana dan sarana. Ada 3 komentar: #1 wahyu (ayub_malmsteen [at] rocketmail.com) pada 17 Februari 2009: naon ??? #2 ferdi (ferdikopral [at] ymail.com) pada 19 Mei 2009: keren abizzz.......... #3 KOESMYADI (koesmyadi_k4207112_pma [at] yahoo.co.id) pada 16 Juli 2009: opini ini sangat baik untuk difahami dan di hayati, mengingat makin maraknya pengrusakan alam kita, yah,,, sebenarnya itu terjadi karena kesalahan kita semua yang tidak mau menyadari betapa pentingnya pelestarian lingkungan, sekarang hanya cuma 1 cara yang bisa kita perbuat, yaitu KEMBALIKAN KEASRIAN HUTAN INDONESIA .....!!!!!!!!!
38
01 Agustus 2008 05:58:47
Tiga Mahasiswi Yale AS Berguru ke ITS Tiga mahasiswi Yale University Amerika Serikat, Rabu(30/7), datang berguru ke ITS. Mereka adalah si kembar Phoebe Clarke, 21, dan Edwina Clarke, 21, serta Sharon Madanes 22. Ketiga mahasiswi ini berguru tentang lumpur Lapindo kepada pakar bencana ITS, Amien Widodo. Mereka mengaku pernah menerima buku karangan Widodo sebelumnya. Kampus ITS, ITS Online - Merasa tertarik, mereka pun akhirnya meminta data lebih lengkap tentang lumpur Lapindo. Termasuk menggali lebih dalam tentang asal muasal munculnya Lumpur Lapindo ini. Sebab dalam buku karangan Amien berjudul Memahami Bencana Gunung Lumpur, dijelaskan secara rinci tentang munculnya fenomena Gunung Lumpur tersebut. "Kami akan membuat film dokumenter tentang Lumpur Sidoarjo," ujar mahasiswi Fakultas Ekonomi tersebut. Film ini akan menampilkan beberapa sisi dari dampak Lumpur Sidoarjo. Terutama tentang dampak sosial ekonomi dan penanggulan bencana tersebut. Selain Amien, mereka juga akan mengambil data wawancara dengan Kapolda Jatim Irjen Pol Herman S Sumawiredja, Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), masyarakat sekitar lumpur, dan juga tokoh masyarakat Solahudin Wahid, atau yang akrab disapa Gus Solah. “Seminggu lagi film dokumenter ini ditargetkan selesai," tambahnya. Ketiga mahasiswa yang mengambil jurusan berbeda ini mengaku sangat tertarik dengan fenomena Lumpur Lapindo ini. Mereka masing-masing menyororti lumpur Lapindo inis esuai dengan bidangnya maisng-masing. Sharon yang berkuliah di Fakultas Kesenian lebih banyak mendokumentasikan dampak lumpur Lapindo melalui gambar. Sementara Phoebe yang mengambil jurusan Ekonomi banyak berduet dengan Edwina yang belajar di Fakultas Politik. "Penelitian ini kami ungkapkan dalam bentuk tulisan," lanjutnya. Pada akhirnya nanti, hasil penelian mereka ini akan digabungkan menjadi sebuah film dokumenter. Mereka sudah dua bulan berada di Indonesia dan mengaku telah jatuh cinta dengan Surabaya. "Saya suka makanannya, orang-orangnya yang ramah, dan juga lingkungannya," tambahnya. Dalam percakapannya dengan Amien, mereka mendapatkan penjelasan panjang lebar mengenai sebab terjadinya Gunung Lumpur. Amien menjelaskan secara gamblang disertai dengan data-data dan poster. "Lumpur itu bisa keluar pasti ada pemicunya," terang dosen Teknik Sipil tersebut. Menurutnya, lumpur bisa muncul jika ada gempa atau aktivitas pengeboran. Padahal, di awal munculnya lumpur ini tidak ada gempa. Sehingga, satu-satunya hal yang dapat memicu kemunculan lumpur tersebut adalah aktivitas pengeboran. "Tapi sekarang kan
39
kasus ini sudah masuk pengadilan, ya nanti kita lihat saja bagaimana menurut hukum," jelas Amien. Amien menambahkan, ketiga mahasiswi ini memang sudah intensif menjalin komunikasi dengannya sejak kedatangan mereka ke Indonesia dua bulan silam. Mereka memang berusaha mengumpulkan data sebanyak mungkin tentang Lumpur Lapindo. "Tadi saya juga tawari untuk melihat rumah yang dibangun dengan batako dari lumpur Lapindo," jelasnya. Rumah dari batako yang berasal dari Lumpur ini dibangun di kompleks ITS, tepatnya di dekat lapangan futsal.(HUMAS/f@y) Ada 4 komentar: agus dwi c (agus_22 [at] yahoo.com) pada 01 Agustus 2008: ide bagus itu bisa membuat filem dokumenter tentang fenomena alam, kenapa tv its kok belum bisa mengeluarkan 1 episode yang bernilai dokumenter yaaa, terus buat apa tv its yang dulu digembor-gemborkan......clotehan alumni its #2 muis (muis [at] its.ac.id) pada 01 Agustus 2008: kita yang kena bencana, tapi negara lain yang membuat filem dokumenter. Kalo filemnya nanti dijual ke TV berarti mereka dapat keuntungan. Kita kalah kreatif neh.. #3 denny (deni_ganteng [at] yahoo.com) pada 01 Agustus 2008: Pak Amien, kenalin donk... #4 lely (lely_bip [at] yahoo.com) pada 03 Agustus 2008: sekitar 2 hari yang lalu (jumat, 1 agt 2008) saya melihat film dokumenter tentang Lumpur Lapindo di metro TV. Film itu menggunakan bahasa inggris sebagai pengantar, tetapi saya lihat nama-nama orang di belakang layar merupakan namanama Indonesia (kecuali narator, Chris Kent kalo tdk salah), begitu juga rumah produksinya. Sayangnya saya lupa tepatnya. Mungkin inilah film dokumenter tentang Lapindo buatan kita sendiri.
40
27 Juni 2008 10:44:27 http://www.its.ac.id/berita.php?nomer=4817
Kita Kenal, Kita Paham, Kita Selamat dari Bencana Judul ini merupakan slogan untuk mengkampanyekan budaya keselamatan yang diamanatkan dalam UUD 1945 yang menyebutkan bahwa Negara bertanggung jawab melindungi segenap bangsa Indonesia, termasuk perlindungan atas bencana, dalam rangka mewujudkan kesejahteraan umum. Bencana yang sering melanda kita seharusnya bisa kita tangani bila kita mau belajar dari bencana ini. Kampus, ITS Online - Seperti kita ketahui akhir-akhir ini bangsa Indonesia disibukkan oleh bencana yang datang beruntun, yang menimbulkan korban, kerusakan dan kerugian yang sangat banyak. Akibatnya terjadi pengalihan dana yang semestinya untuk program pembangunan dialihkan untuk penanganan bencana. Dimulai dari Aceh diikuti gempa Nias, Yogyakarta, Bengkulu dan kecelakaan transportasi yang menyebabkan korban jiwa cukup banyak. Kemajuan teknologi memungkinkan merekam kejadian tsunami dan rekaman ini sangat penting untuk pembelajaran. Kenapa kita rentan terkena bencana? Sebuah kenyataan yang harus diingat dan harus diterima oleh seluruh rakyat Indonesia bahwa secara geologis dan klimatologis Indonesia rawan bencana. Sebagian wilayah Indonesia rawan gempa, dan sebagian wilayah pantainya rawan tsunami. Peristiwa itu terus berlangsung dan terus berulang dengan periode tertentu. Manusia diciptakan dan secara almiah membutuhkan papan, sandang dan pangan. Pertumbuhan penduduk meningkat tajam sehingga kebutuhan ini pun semakin meningkat pula. Kebutuhan papan yang semakin luas mengakibatkan terjadinya perambahan kawasan yang mestinya tidak boleh dihuni. Perambahan kawasan rawan ini terjadi karena masyarakat tidak mengetahui (karena tidak diberitahu) atau karena terpaksa menempati atau karena memang nekat, siap menanggung risiko. Karena sudah bersentuhan dengan manusia maka peristiwa alam tersebut berubah menjadi bencana. Oleh karenanya waktunya kita harus mengubah sikap yang selama ini kita kerjakan. Selama ini kita masih menganggap bencana sebagai sesuatu musibah yang harus dan layak diterima oleh masyarakat. Usulan upaya penanganan/pencegahan sebelum tejadi bencana masih dianggap suatu upaya yang mengada-ada. Bahkan ada beberapa daerah masih tabu membicarakan bencana takut kuwalat (terjadi sungguhan). Kita harus bersama-sama menyingkirkan pandangan lama kita tentang bencana menuju ke paradigma baru yang lebih ke arah pengurangan risiko. Korban, kerusakan dan
41
kerugian sudah cukup, sehingga harus dilakukan tindakan antisipasi untuk mengurangi. Sebagai Negara beragama kita mempercayai bahwa manusia diciptakan dan didatangkan di muka bumi mempunyai tugas untuk membaca, melihat, mengamati, mengukur, meneliti dan memahami perilaku semua peristiwa alam tersebut. Artinya manusia diwajibkan untuk mempelajari petunjuk Allah agar bisa menyimpulkan dan diharapkan bisa melakukan tindakan yang arif dalam menyikapi peristiwa alam tersebut. Budaya dan pengetahuan lokal yang menyelamatkan Budaya lokal masyarakat Pulau Simelue telah belajar dari kejadian gempa dan tsunami yang pernah terjadi sejak tahun 1900 dan mengembangkan budaya keselamatan dengan istilah semong yang berarti air laut surut dan segera lari menuju kebukit. Istilah ini sudah melekat dan membudaya dihati setiap penduduk Simelue, sehingga saat terjadi tsunami, hanya beberapa penduduk yang menjadi korban, padahal secara geografis letaknya sangat dekat dengan pusat gempa Kearifan lokal KH Muzammil Hasan Basuni, pimpinan Pondok Pesantren Al Hasan Panti, Jember telah menyelamatkan 400 santrinya saat terjadi banjir bandang pada 2 Januari 2006 lalu. Padahal bangunan gedung ponpes yang diasuhnya porak-poranda. Beliau bisa mempunyai intuisi demikian karena belajar dan peduli terhadap perubahan lingkungan di sekitarnya. Tilli Smith seorang anak perempuan kecil berasal dari Inggris telah menyelamatkan banyak orang saat terjadi tsunami tahun 2004 lalu, saat itu dia dan keluarganya sedang berlibur di pantai di Thailand. Waktu air laut surut dia langsung teriak ada tsunami. Pada awalnya tidak ada yang memperdulikan, tetapi karena salah satu juru masak hotel tersebut dari Jepang yang sudah berpengalaman dengan tsunami keluar dan mengajak semua orang untuk ke luar menuju ke daerah yang lebih tinggi. Setelah semuanya selamat dan tsunami sudah selesai banyak orang merasa berterima kasih dengan Tilli Smith, termasuk badan dunia PBB. Saat ditanya darimana dia mendapatkan pengetahuan tentang tsunami, dia bilang dari gurunya yang telah menerangkan tanda-tanda tsunami dengan jelas. Waktunya berubah Kekacauan dalam menanganani berbagai bencana di Tanah Air selama ini memunculkan tanda tanya besar, ini menunjukkan bahwa kita bukan bangsa yang suka mencatat, suka membaca, dan mempelajari untuk antisipasi di masa depan tapi seperti kata banyak orang kita ini memang bangsa pelupa atau telmi (telat mikir). Bencana Aceh mestinya memberi pelajaran sangat penting untuk bangsa kita bagaimana menangani bencana dan entah karena apa kita tidak belajar dari bencana Aceh tersebut sehingga saat terjadi bencana gempa di Yogya dan Jawa Tengah terjadi kekacauan dalam penanganannya. Kita yang selama ini awalnya bertumpu pada sektor sektor rescue dan bantuan darurat
42
berubah menjadi mengerahkan semua sector untuk penangana bencana. Waktunya berubah dari kondisi darurat ke pengurangan risiko, yang awalnya bekerja hanya pada saat terjadi keadaan darurat berubah menjadi bekerja setiap waktu terutama pada saat tidak terjadi bencana, Penanganan bencana yang selama ini menjadi tanggung jawab pemerintah saja sementara pihak lain adalah penerima, harus berubah menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah dan partisipasi semua pihak. Dari awalnya tidak ada pengaturan tentang partisipasi berubah menjadi ada perangkat hukum tentang partisipasi. Dan dari tidak ada hak dan kewajiban resiprokal antara pemerintah dan komponen masyarakat berubah menjadi hak dan kewajiban resiprokal antara pemerintah dan komponen masyarakat diatur oleh hukum. Ada 6 komentar: #1 joules padwa (jouls_802 [at] yahoo.co.id) pada 29 Juni 2008: sebagaimana yang telah diamanatkan Dalam undang-undang dasar 1945 bahwa:Pasal 33 undang-undang dasar 1945(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.maka Kehidupan berputar sangat cepat. Jika kita tidak berhenti sejenak untuk menikmatinya, kita bisa kehilangan arti kehidupan itu sendiri.Takut akan kegagalan memberi semangat kepada kita untuk maju, dan membuat saya selalu siaga. Saya tidak akan berprestasi baik ketika saya merasa nyaman.Jika kita mencoba melakukan yang lebih baik daripada yang kita pikir bisa kita lakukan, kita akan terkejut bahwa sebenarnya kita bisa melakukan hal itu. Anonim.Semua akhir adalah permulaan dari sesuatu. Hanya saja pada saat itu kita seringkali tidak menyadarinya......by joules.padwa #2 Galih Setyo P (gasepu_chem [at] yahoo.com) pada 02 Juli 2008: Risk Management, mungkin akan menjadi mata kuliah yang menarik sehubungan dengan ide dari Pak Amien. Diakui atau tidak, kita masih berkutat pada budaya "reaktif" bukannya "proaktif". Sehingga, ada peristiwa baru ada tindakan. Dan parahnya lagi, stigma masyarakat tentang tindakan penanganan bencana masih seputar pengumpulan bantuan (sebagian besar berupa makanan) untuk korban bencana alam. Padahal, bukan hanya itu yang diperlukan dalam penanganan bencana. Masih ada yang lain, seperti mitigasi bencana, distribusi logistik, rehabilitasi, dll. Jadi, mari kita "proaktif" terhadap bencana, karena "reaktif" terhadap bencana membutuhkan energi yang besar dan jika kita tidak sanggup, maka hancurlah... #3 rostiarti (rostiarti [at] yahoo.com.au) pada 03 Juli 2008: pendidikan soal bencana dari sisi kebumian sudah selayaknya ditanamkan sedini mungkin, dengan harapan kesiapsiagaan otomatis dimana saja berada. #4 Razzif Eka Darma (razzifeka [at] yahoo.com) pada 04 Juli 2008: Ekonomi, sosial, Psikologi, Korban Jiwa, Luasan Dampak, semuanya itu adalah dampak-dampak yang terjadi jika bencana itu datang. Ujung-ujungnya adalah uang
43
dan nyawa. Uang negara, uang pribadi, bantuan, dll digunakan hanya untuk membantu korban dan membangun kembali yang hancur. Slogan dari pak Amien memang tepat untuk kita yang mau brpikir untuk itu. #5 Yan Yan Yanuar (acheesciamis [at] yahoo.co.id) pada 04 Juli 2008: artikel ini sangat mendukung judul Tesisi saya tentang mitigasi bencana, dimana sekecil apapun langkah kita dengan upaya mitigasi akan lebih baik ketimbang respon tanggap darurat setelah bencanan..kita memang harus lebih peduli dengan berbagai bencana yang ditimbulkan oleh 2 faktor alami (bencana geologi) atau karena ulah manusia yang menjadi pemicu terjadinya bencana.... Setiap pemerintahan daerah hendaknya lebih peduli dengan kejadian bencana dengan mitigasi sejak dini untuk meminimalisir jatuhnya banyak korban seperti yang telah diterapkan di negara jepang dalam menghadapi gempa bumi dan tsunami... Artikel bapak sangat bagus untuk menggugah masyarakat agar lebih peduli lingkungan dan menjaga bumi ini tetap lestari dengan sedikit resiko apabila terjadi bencana #6 winbil (winbill [at] yahoo.com) pada 08 Juli 2008: Tulisan yang sangat menarik untuk disosialisasikan secara luas Pak Amin. Selama ini ide tentang sosialisasi bencana pada masyarakat sangat tebatas. Apalagi kalo disertai dengan peta-peta rawan bencana di tiap-tiap daerah per kabupaten/kota. sehingga masyarakat jauh lebih siap dengan wilayah yang dihuni apakah rawan bencana atau tidak, dan bisa mengantisipasi bencana lebih dini.
44
31 Januari 2008 08:34:47 http://www.its.ac.id/berita.php?nomer=4282
Hidup Berdampingan dengan Risiko Gempa, tsunami, gunung meletus, gunung lumpur lapindo, longsor, banjir, hujan badai, kilat, angin puyuh, kekeringan, serangan hama, serangan virus dan kejadian alam yang berisiko bencana lainnya merupakan peristiwa alam yang harus terjadi dan akan terus terjadi sebagai bagian dari dinamika alam. Masing-masing mempunyai manfaat dengan skala, kadar, kekuatan dan periode ulang yang sudah tertentu. Kampus ITS, ITS Online - Masing-masing di bumi ini mempunyai manfaat terhadap satu dengan lainnya untuk menjaga keseimbangan bumi-atmosfer bahkan mungkin juga untuk menjaga keseimbangan alam. Apa manfaat gempa, tsunami, gunung meletus, longsor dan lain sebagainya terhadap alam, suatu penelitian yang menarik untuk diungkap dengan seksama. Untuk apa Allah SWT menciptakan peristiwa yang membawa bencana tersebut? Apakah Allah sudah tidak suka dengan makhluk ciptaanya sehingga harus dimusnahkan? Apakah untuk menunjukkan kekuasaan Allah? Apakah hanya untuk menakuti-nakuti manusia? Apakah untuk menghukum umat manusia? Apakah untuk memperingatkan manusia? Atau apakah ini merupakan ayat Allah sebagai petunjuk bagi umat manusia?. Manusia diciptakan dan didatangkan di muka bumi untuk membaca, melihat, mengamati, mengukur, meneliti dan memahami perilaku semua peristiwa alam tersebut. Artinya manusia diwajibkan untuk mempelajari petunjuk Allah agar bisa menyimpulkan dan diharapkan bisa melakukan tindakan yang arif dalam menyikapi peristiwa alam tersebut. Sebuah kenyataan yang harus diingat dan harus diterima oleh seluruh rakyat Indonesia bahwa secara geologis dan klimatologis Indonesia banyak kejadian alam seperti tersebut diatas dan kejadian itu sudah berlangsung jutaan tahun yang lalu sebelum manusia ada. Sebagian wilayah Indonesia rawan gempa, sebagian besar wilayah pantainya rawan tsunami, rawan gunung meletus, rawan longsor, rawan banjir, rawan angin puyuh, rawan penyakit dan lain sebagainya Peristiwa itu terus berlangsung dan terus berulang dengan periode tertentu. Ada yang berperiode tahunan, puluhan tahun, bahkan ada yang ratusan tahun. Manusia diciptakan dan secara almiah membutuhkan papan, sandang dan pangan serta bereproduksi. Pertumbuhan penduduk meningkat tajam sehingga kebutuhan papan, sandang dan pangan semakin meningkat pula. Seiring pertumbuhan penduduk terjadi peningkatan kemampuan akal manusia sehingga kebutuhan menjadi meningkat berlipat-lipat. Kebutuhan papan yang semakin luas sehingga merambah mendekati di kawasan yang rawan kejadian alam tersebut, atau tidak mengetahui (karena tidak diberitahu) atau karena terpaksa menempati atau karena memang nekat siap menanggung rsiko.
45
Karena sudah bersentuhan dengan manusia dan aktivitasnya maka peristiwa alam tersebut berubah menjadi bencana. Sebuah contoh yang jelas adalah banyaknya permukiman di kawasan pegunungan (rawan longsor), kawasan gunung api, kawasan pantai, dataran banjir, dan tempat lainnya. Kemajuan teknologi mengurangi risiko mulai diterapkan dengan kondisi terburuk periode tertentu saja, pada kenyataannya peristiwa alam yang dating lebih besar dari yang direncanakan sehingga kehancuran dan karena waktu ternyata rekayasa teknologi mulai tidak berfungsi dengan baik sehingga bencana menjadi tambah besar dengan kerusakan yang luas, seperti yang saat terjadi badai Katrina di Florida Amerika Serikat atau saat terjadi banjir di Jawa Timur. Ada suatu contoh yang menarik tentang kebutuhan papan karena ada perbedaan yang sangat menyolok antara masyarakat pantai di pantai barat Aceh dengan masyarakat di Pualau Simelue (pulau terletak di sebelah barat Aceh). Saat tsunami 26 Desember 2004 menerjang Aceh, ratusan ribu korban jiwa melayang di Aceh akan tetapi di P Simelue tidak ada sama sekali. Ternyata masyarakat Pulau Simelue telah belajar dari kejadian gempa dan tsunami yang terjadi pada beberapa puluh tahun yang lalu (th 1900) dan mengembangkan sistem peringatan dini dengan teriakan semong yang berarti air laut surut dan segera lari meninggalkan pantai secepatnya menuju kebukit. Istilah ini selalu disosialisasikan dengan cara menjadi dongeng legenda oleh tokoh masyarakat setempat sehingga istilah ini jadi melekat dan membudaya dihati setiap penduduk P Simelue. Kalau kita melihat keadaan banyaknya peritiwa alam di Indonesia yang telah menelan banyak korban jiwa, kerusakan dan kerugian ekonomi yang sangat besar selama 5 tahun terakhir. Hal ini menunjukkan bahwa secara umum kita tidak pernah belajar dan mempelajari serta memahami kejadian tersebut, kita lebih banyak menghindar dan atau menganggap peristiwa itu sebagai musibah dan atau azab dari Allah Yang Maha Kuasa yang harus kita terima apa adanya. Sebagai contoh bukti kalau kita hanya menghindari saja antara lain (1) terpendamnya Candi Sari dan candi-candi lainnya akibat letusan G Merapi Jawa Tengah, (2) hancurnya kerajaan Doho Kediri akibat letusan G Kelud, (3) hancurnya kerajaan Majapahit di Trowulan karena kebanjiran K Brantas, dan lain sebagaianya. Semuanya hanya menghindar dan eksodus keluar menjauh dari peristiwa tersebut tanpa upaya antisipasi menghadapi. Dengan kata lain kita kurang dalam melakukan penelitian untuk menghadapi dan berupaya untuk mengurangi risiko yang akan terjadi. Beberapa ahli sudah mengungkapkan bahwa Indonesia rawan peritiwa alam tersebut diatas akan tetapi sikap pemerintah dan masyarakat tidak melakukan sesuatu antisipasi untuk mengenal, mewaspadai dan menyiapkan segala kemungkinan kejadian tersebut. Salah satu contohnya selama ini kurikulum kita atau leluhur kita belum pernah mengajari menghadapi gempa, tsunami dan peritiwa lainnya. Sehingga saat Indonesia didera gempa, tsunami, longsor, banjir, angina puting beliung, penyakit dll banyak korban dan penanganannya amburadul. Ada suatu contoh bagus yang bisa kita teladani yaitu upaya yang dilakuakan bangsa Jepang dan beberapa negara lainnya. Apa yang dilakukan bangsa jepang jelas telah teruji hasilnya dari berbagai bencana yang telah menimpa negara ini, misalnya
46
peristiwa gempa tahun 2007 dengan skala 6,9 korban meninggal hanya 1, jumlah yang luka-luka dan rumah rusak hanya beberapa saja. Bandingkan dengan gempa Yogya jawa tengah dengan skala 5,9 korban meninggal lebih dari 6000 orang, luka-luka ribuan orang dan rumah rusak lebih dari 300 ribu rumah. Jepang sudah melakukan banyak penelitian tentang bencana baik sebelum, saat maupun sesudah terjadi sehingga bisa mengurangi risiko sekecil mungkin, diantaranya dibuat berbagai alat peringatan dini dan mewajibkan rakyat Jepang belajar mengenal, memahami dan mengetahui tata cara menghadapi bencana. Jepang memasukkan bencana dalam kurikulum sehingga rakyatnya sudah sadar sejak belajar di taman kanak-kanak. Sebuah ungkapan dari Salvano Briceño Director, UN/ISDR Secretariat yang perlu disimak "Children will be one day the mayors, the architects and the decision makers of the world of tomorrow. If we teach them what they can do from the early age they will build a safer world.". Sebuah literatur kuno yang sangat dipercayai kebenarannya oleh umat Islam menyebutkan bahwa “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka” (Al Qur’an, Surat Ali Imron, 190-191). Seandainya kita umat manusia, khususnya umat Islam membaca, melihat, mengamati, mengukur, meneliti, dan mencatat setiap aktivitas atau perubahan peritiwa alam siang malam sejak dulu maka kita bisa memahami dan bisa menciptakan kearifan yang akan melindungi umat Islam dari bencana. Kalau kita melihat peta-peta bencana yang dibuat oleh PU, BMG, ESDM, LAPAN, dan departemen lainnya maka kita akan disuguhi informasi banyak bencana di Indonesia yang harus kita sadari, kita antisipasi, dan kita hadapi. Bencana yang melanda Indonesia sudah menghilangan nyawa ratusan ribu orang dan ratusan ribu rumah dan sembilan puluh persen umat Islam, harusnya bisa dijadikan suatu pelajaran berharga agar kita bisa lebih antisipatif sehingga korban bisa dikurangi. Saatnya membiasakan diri hidup berdampingan dengan risiko.
Ada 7 komentar: #1 Bangun Muljo Sukojo (bangun_m_s [at] yahoo.com) pada 31 Januari 2008: Pak Amin apakah benar Kerajaan Daha (Kediri) hancur karena letusan Gunung Kelud? Karena menurut catatan saya Gunung Kelud dalam sejarah letusannya sejak abad ke 15 sudah memakan korban jiwa lebih dari 15.000. Pada tahun 1586 tercatat 10.000 orang meninggal dunia. Pada saat itu gunung Kelud diperkirakan memiliki kekuatan Volcanic Explosivity Index (VEI) : 5 yang kira-kira setara dengan letusan gunungapi Pinnatubo pada tahun 1991. Pada abad ke 20 tercatat gunung Kelud mengalami letusan sebanyak 4 kali yaitu tahun 1901, 1919, 1966, 1990. Sehingga siklus letusan bisa diprediksikan 15 tahunan sekali. Pada tahun 2007 ini gunung Kelud kembali menunjukkan aktivitasnya tetapi tidak sampai menimbulkan letusan yang sifatnya destruktif. Gunung Kelud merupakan
47
gunungapi yang memiliki karakteristik yang unik yang berbeda dengan gunungapi yang lain. Salah satu keunikannya adalah gunung Kelud memiliki danau kawah. Danau kawah ini terbentuk pada saat terjadinya letusan dahsyat pada tahun 1586 yang diperkirakan hampir semua karakter erupsi gunungapi terjadi (Central vent eruption, Crater Lake eruption, Explossive eruption, and Fatalities, Damage (land, property, etc) dan Mudflows (lahars). Apakah bisa dikatakan hancurnya kerajaan Daha pada tahun 1586 itu? Sepengetahuan saya Kerajaan Daha hancur pada saat diserang oleh Ken Arok dari Singasari pada tahun 1222. Mungkin ini perlu kita telaah ulang dan kita diskusikan bersama. Terima kasih. Bangun #2 Amien (amien [at] ce.is.ac.id) pada 01 Februari 2008: Matur nuwun pak komentarnya dan sangat senang sekali kalau kita mendiskusikan ini. Mungkin istilah hancur dalam hal ini kurang tepat, lebih tepat terpendam oleh lahar g kelud. Ini dibuktikan ditemukannnya peninggalan kerajaan di dalam tanah. #3 aklam (punyaku_3 [at] yahoo.com) pada 02 Februari 2008: wah menarik sekali paparan pak amien ini. namun hemat saya, berdampingan dengan bencana tanpa adanya pendidikan mitigasi yang baik --seperti diberikan contoh local genius orang simelue- maka tak ada artinya. mungkin juga perlu diberikan pendidikan ekologo yang lebih holistik agar bangsa ini tidak lagi merusak alam, akan tetapi bisa hidup dengan lebih serasi. selaras dengan harmoni alam. terima kasih. aklam. #4 Coklat Maniez (dumbassme [at] gmail.com) pada 03 Februari 2008: ngobrol2 masalah sejarah dan bencana, saya jadi ingat majapahit, kehancuran majapahit di tandai dengan candra sengkala"sirna ilang kertaning bumi" yang melambangkan tahun 1400 saka/hindu. candra sengkala tersebut ternyata hanya bukan saja melambangkan angka tahun saja tetapi juga mewakili kejadian pada waktu itu. menurut angka "sirna= 0"" ilang=0""kerta=4""bumi=1" menurut arti kata sirna=ilang=musnah, sedang kerta/kertaning itu berarti kerja, bumi= bumi kalo di sambung "hilang/musnah karena kerja bumi". dipikir2 kerja bumi kira2 apa ya? yang paling mendekati dengan asumsi yang menghasilkan kemusnahan kira2 ya cuma satu BENCANA ALAM. cuma bencana alam macam apakah, ya salah satu teoritisnya ya bencana alam gunung mbledhos itu tadi. WAB #5 dodi resmal sipil unsyiah 07 (do_resmal [at] yahoo.co.id) pada 10 Februari 2008: keren lah. #6 Atmosforests (info [at] atmosforests.org) pada 11 Maret 2008: The truth about climate change:Click. On: http://www.atmosforests.org(if not open, click on: Retry).The Kyoto treaty, it is useful, because, it is proposed to save the lungs of the humanity, but instead,save, the Forests, it is essential to preserve, the lungs and balance of the planet.Please, word pass!.Regards.Atmosforests. #7 agung syahputra nasution (gunkz_baber [at] yahoo.com) pada 30 Maret 2009:
48
28 Desember 2008 15:09:55
Antisipasi Longsor Sejak Dini Curah hujan datangnya makin tak menentu saja. Hal ini lah yang disampaikan oleh Ir Amien Widodo MSi dosen Teknik Sipil ITS. Dosen yang dikenal sebagai pakar dalam studi manajemen bencana ini mengingatkan keadaan seperti ini patut diwaspadai. Apalagi bagi sebagian masyarakat Indonesia yang hidup di sekitar pegunungan. Sebab kondisi seperti ini memungkinkan bencana longsor. Kampus ITS, ITS Online - Amien yang ditemui oleh ITS online mengungkapkan sudah seharusnya ada langkah antisipasi untuk mengurangi bencana. “Selama ini kita hanya menunggu, padahal bencana bisa kita minimalisasi dampaknya, ” jelasnya. Dalam keadaan musim hujan seperti ini banyak bencana yang dikhawatirkan akan timbul, salah satunya adalah tanah longsor. Menurut data yang dihimpun oleh tim pusat studi bencana peta daerah rawan longsor di Jawa Timur saja bisa mencapai 22 kota. Selebihnya lihat peta rawan longsor, berikut: -Peta Daerah Rawan LongsorPotensi longsor ini bisa dikurangi dampaknya. “Intinya kita bisa membaca alam,” jelas Amien. Menurut Amien terdapat tanda-tanda suatu daerah berpotensi longsor. Tanda-tanda tersebut antara lain adalah kemiringan tanah yang lebih dari tiga puluh derajat, adanya banyak retakan atau lubang pada tanah serta kerusakan vegetasi. Setelah mengetahui hal itu, maka beberapa tindakan antisipatif adalah menanam tumbuhan yang bersifat merekatkan tanah pada lereng yang berpotensi longsor. “Cukup batang stek sekitar 2/3 dimasukan pada tanah yang retak atau berlubang,” jelas Amien. Untuk mempermudah koordinasi serta penyelamatan sebelum bencana datang setiap daerah rawan longsor hendaknya sudah mempersiapkan tim satgas (Satuan tugas, red). Tim ini lah yang nantinya berkewajiban melihat kondisi alam serta membuat sistem peringatan dini kepada seluruh warga. Pihak ITS sendiri, kata Amien sudah sering melakukan pelatihan terkait sistem minimalisasi bencana ini. “Kami sering memberi pelatihan pada pemerintah seperti badan koordinasi wilayah,” jelas Amien. Menurutnya sebenarnya ITS memiliki kemampuan lebih untuk meminimalisasi bencana. “Kita bisa melakukan banyak hal untuk mengurangi dampak bencana,” jelasnya. Sebagai contoh kata Amien, sebagai komunitas teknik, ITS bisa membuat sistem informasi bencana serta menghitung kekuatan pondasi suatu rumah yang ada di daerah rawan bencana.(yud/asa)
49