Pendekatan Hermeneutik Dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Akhmad Syafi‟i Praktisi dan Pemerhati Pendidikan Agama Islam (08562873638) Abstraksi Text is a media to explore all ideas and the feeling of human being. Thus text is a dimension of life which is always evolving. This relates to hermeneutic which makestext as acentral theme. Currently, talking about hermeneutic is a response to the influence of structuralism and positivism which is only studyingtext from the literal structure. Scholars rarely concentrate the study oftext from the deepest meaning and the essence of it. In other words, the study of text in this level is still marginal in the linguistic or literary world. The hermeneutic is not only looking into a text literally, but also to see it through the deepest understanding of the text. Thus, the analysis has to consider the horizons of the text, author, and readers. And all of this is essentiallyteaching and learning of Islamic education. Keyword: hermeneutic, text, interpretation.
A. Pendahuluan Tema ini sebenarnya memerlukan perbincangan yang luas dan lebar. Mengapa? Oleh karena di belakang topik itu sendiri seolah-olah tersirat pertanyaan, apakah pendidikan agama yang kita selenggarakan selama ini, baik pada lingkungan sekolah, rumah tangga dan masyarakat mempunyai relevansi yang jelas dengan kebutuhan pembinaan bangsa, terutama di masa yang akan datang. Tujuan tema ini, memang berangkat dengan asumsi semacam itu yang
1
mencoba memberikan jawaban dari sudut pandang yang tentu satu sama lain boleh berbeda. Tulisan ini dimulai dengan pertanyaan yang sangat sederhana, tetapi mendasar: bagaimanakah sebenarnya model pembelajaran pendidikan agama Islam di sekolah itu? Banyak pakar pendidikan Islam telah merumuskan hal tersebut, baik dengan kalimat pendek ataupun yang panjang. Apa pun keragaman yang telah mereka rumuskan, namun sepanjang yang saya ketahui, hampir setiap rumusan mengandung pengertian bahwa model pembelajaran pendidikan agama Islam,masih bersifatbayani dan irfani, sehingga materi PAI yang berupa dalil-dalil atau nash Al-Qur‟an dan Hadits, yang sarat akan nilai-nilai dan pesan-pesan agama dipahami secara tekstual dan lebih bersifat esoteris. Persoalan selanjutnya ialah bagaimana merumuskan model pembelajaran pendidikan agama Islam di sekolah itu sebagai acuan pendidikan secara praktikal? Apakah hermeneutika dapat dijadikan sebagai model pembelajaran PAI? Pilihan atau penekanan dalam menawarkan hermeneutika dapat dijadikan sebagai model pembelajaran PAI itu sangat penting, karena akan memberikan corak terhadap perwujudan program pendidikan. Taruhlah, kalau manusia takwa itu -merupakan tujuan pokok PAI-kita artikan sebagai seseorang yang memiliki kesalehan individual dan juga sekaligus kesalehan sosial, persoalan berikutnya ialah kapan dan dalam lingkungan pendidikan yang mana, bagian-bagian dari kesalehan itu dapat kita tumbuhkan. Agenda pembicaraan berikutnya, ialah perlu kita mengadakan pilihan terhadap pemahaman dasar mengenai apa yang kita sebut dengan model pembelajaran. Dalam hal ini juga terlalu banyak rumusan yang dapat kita temukan di dalam buku-buku yang membahas tentang model dan atau metode pembelajaran dalam kerangka pendidikan. Ada dua pengertian yang seringkali diperdebatkan secara fundamental. Pertama, ialah mereka yang berpandangan bahwa pendidikan pada dasarnya adalah merupakan proses pewarisan, penerusan, atau enkulturasi dan sosialisasi perilaku sosial yang telah menjadi model anutan masyarakat 2
lingkungannya secara baku. Adapun pandangan kedua, ialah kalangan yang mengartikan pendidikan sebagai upaya fasilitatif yang memungkinkan terciptanya situasi atau lingkungan dimana potensi-potensi dasar yang dimiliki anak-anak dapat berkembang sesuai dengan tuntutan kebutuhan anak itu pada zaman dan di mana mereka harus survive. Dua sudut pandang yang berbeda tentang pengertian pendidikan ini masingmasing juga mempunyai implikasi yang luas terhadap praktek-praktek pelaksanaan pendidikan,
termasuk
pendidikan
agama,
sebab
pewarisan
seringkali
diterjemahkan sebagai usaha mencetak anak didik dengan sebuah idola tertentu yang bersifat statis. Sedangkan anggapan yang kedua, sebenarnya lebih memungkinkan bagi anak didik untuk menemukan profil dirinya sendiri yang lebih aktual dalam konteks lingkungan dan kurun waktu di mana mereka sedang mengambil peran dalam panggung sejarahnya sendiri. Oleh karena topik pembicaraan ini juga dihubungkan dengan soal pembinaan bangsa di masa datang, saya kira, kita juga harus memberikan pilihan-pilihan terhadap cara merumuskan problematik bangsa ini di masa yang akan datang. Mana yang bersifat sentral dan mana yang kita anggap masalah periferal. Di sinilah, mau tidak mau, kita akan terjebak dalam definisi yang subyektif tatkala kita harus menseleksi sekian banyak problematik berdasarkan sudut pandang dan kepedulian kita masing-masing. Mungkin ada sebagian orang yang sangat peduli terhadap modernisasi, dalam arti menganggap perlunya bangsa ini terus mengejar ketinggalan-ketinggalan terhadap suatu model bangsa atau negara lain yang kita anggap sudah moderen. Oleh karena itu diperlukan langkah-langkah strategis untuk mencapainya, misalnya melalui program-program pendidikan agama yang mengacu untuk menanamkan sikap yang lebih rasional agar anak didik tidak akan menjadi orang yang jumud, tahayul, dan boros. Sedangkan di lain pihak, bisa jadi ada sekelompok orang yang lebih peduli terhadap persoalan-persoalan transformasi umat, dalam arti memikirkan bagaimana agama dapat membawa bangsa ini ke 3
arah masyarakat yang lebih egalitarian, di mana setiap orang bisa memperoleh kesempatan menemukan harkatnya secara adil sebagai khalifah Allah SWT, suatu esensi dari konsep ketakwaan yang paling mendalam. Pendidikan agama pada sekolah di Indonesia sejatinya adalah upaya untuk menciptakan manusia Indonesia yang bermartabat.Tujuan pendidikan agama ini tertuang
secara
eksplisit
dalam
Undang-undang
Sistem
Pendidikan
Nasional.Belakangan, tujuan mulia itu tercoreng oleh dampak negatif dari sistem pendidikan agama yang berlaku di sekolah-sekolah selama ini.Terorisme dan gejala fundamentalisme agama adalah bukti kegagalan pendidikan agama menciptakan manusia Indonesia yang bermartabat.Pendidikan agama justru menyuburkan konservatisme dan radikalisme. Survei Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta juga menunjukkan bahwa lebih dari 80% kurikulum di lembaga-lembaga pendidikan agama berpotensi mengarahkan anak didik menjadi radikal dan konservatif. Agama yang diajarkan pada pendidikan adalah agama yang mengabaikan eksistensi agama lain. Pendidikan semacam ini berbahaya bagi masyarakat dengan tingkat pluralitas yang tinggi. Alih-alih mengajarkan sikap saling menghormati dan menghargai, pendidikan agama justru menjadi dakwah kebencian terhadap kelompok dan agama lain. Filsuf pragmatisme Amerika Serikat, John Dewey, menyatakan bahwa seharusnya basis pendidikan adalah pengalaman. Persoalan dalam pendidikan agama di Indonesia, adalah bahwa pendidikan agama sama sekali lepas dari pergumulan pribadi. “Pendidikan bukan untuk menanamkan doktrin, tetapi menyiapkan orang untuk bisa menghadapi kenyataan yang terus berubah”.Dengan begitu, “seharusnya anak didik bisa menginterpretasikan diktum-diktum agama dengan pengalaman yang terus berubah.”Untuk mewujudkan misi pendidikan yang demikian tersebut, kiranya hernemeutika sebagai model pembelajaran dapat dijadikan sebagai solusi.
4
B. Landasan Teori Hermeneutika secara umum dapat didefinisikan sebagai teori atau filsafat tentang interpretasi makna (Joseph Bleicher, Contemporary Hermeneutics, London : Routledge and Kegan Paul, 1980, hal. 12). (Triatmoko, 1993).Kata hermeneutika itu sendiri berasal dari kata kerja bahasa Yunani, hermeneuin, yang berarti menafsirkan. Kata bendanya hermeneia. Akar kata itu dekat dengan nama dewa Yunani yakni Dewa Hermes yang menjadi utusan atau pembawa pesan para dewa. Dewa Hermes berperan mengubah apa yang di luar pengertian manusia ke dalam bentuk yang dimengerti manusia. Peranan semacam itulah yang kurang lebih mau dilakukan oleh para ahli tafsir Kitab Suci. (Triatmoko, 1993). Dalam The New Encyclopedia Britannica, dikatakan bahwa hermeneutika adalah studi tentang prinsip-prinsip umum dalam interpretasi Bible (hermeneutics is the study of the general principal of biblical interpretation). Tujuan dari hermeneutika adalah untuk menemukan kebenaran dan nilai-nilai dalam Bible. Dalam sejarah interpretasi Bible, ada empat model utama interpretasi Bible, yaitu : Pertama, literal interpretation; Kedua, moral interpretation; Ketiga, allegorical interpretation, dan keempat; anagogical interpretation. Dari model-model ini, yang menjadi arus utama sejak awal sejarah Kristen adalah model literal (model Antioch) dan model alegoris (model Alexandria). (Husaini, 2005).Keempat model interpretasi Bible tersebut dipraktikkan sejak awal sejarah Kristen (abad ke-4 M), dengan tokohnya Saint Jerome, hingga berakhirnya Abad Pertengahan (abad ke-16 M) dengan tokohnya Marthin Luther. Pada masa moderen, hermeneutika dipelopori oleh Friedrich Schleiermacher (1768-1834). Tokoh teolog Protestan ini dikenal sebagai Bapak Hermeneutika Modern yang pertama kali berusaha membakukan hermeneutika sebagai metode umum interpretasi yang tidak terbatas pada interpretasi kitab suci atau kitab sastera. Kemudian Dilthey (w. 1911) menerapkannya sebagai metode sejarah, lalu Hans-Georg Gadamer (1900- ) mengembangkannya menjadi „filsafat‟, Paul 5
Ricoeur
menjadikannya
sebagai
„metode
penafsiran
fenomenologis-
komprehensif‟. Selain itu para filosof seperti Jurgen Habermas, Jacques Derrida, dan Michael Foucault, mengembangkan sebentuk "kritik hermeneutik", yaitu analisis atas proses pemahaman manusia
yang sering terjebak dalam
otoritarianisme, khususnya karena tercampurnya determinasi sosial-budayapsikologis dalam kegiatan memahami sesuatu (Faiz, 2005). Intinya, ada banyak puspa-ragam hermeneutika. Namun menurut Fahrudin Faiz dalam bukunya Hermeneutika Al-Qur`an (2005), ada tiga tipe hermeneutika. Pertama, hermeneutika sebagai cara untuk memahami. Contoh tokohnya adalah Schleiermacher, Dilthey, dan Emilio Betti. Kedua, hermeneutika sebagai cara untuk memahami suatu pemahaman. Tokohnya semisal Heidegger (w. 1976) dan Gadamer. Ketiga, hermeneutika sebagai cara untuk mengkritisi pemahaman. Tokohnya semisal Jacques Derrida, Habermas, dan Foucault. Dalam perspektif pendekatan hermeneutik, menurut Amin Abdullah, variabel pemahaman manusia sedikitnya melibatkan tiga unsur. Pertama, unsur pengarang
(author).Kedua,
unsur
teks
(text).Ketiga,
unsur
pembaca
(reader).Ketiga elemen pokok inilah yang dalam studi hermeneutika disebut Triadic Structure (Faiz, 2005).
C. Permasalahan Hermeneutika Di Kalangan Muslim Seiring dengan hegemoni peradaban Barat atas Dunia Islam, hermeneutika pun mengalami perkembangan lebih jauh lagi, yakni diaplikasikan oleh para intelektual muslim liberal terhadap Al-Qur`an. Pelopornya adalah para modernis (pembaharu) muslim abad ke-19 M, seperti Sayyid Ahmad Khan, Ameer Ali, Ghulam Ahmad Parvez, dan Muhammad Abduh. Pada abad ke-20, dalam dekade 60-an hingga 70-an, muncul beberapa tokoh dengan karya-karya hermeneutik. Hassan Hanafi, Arkoun, Fazlurrahman, dan Nasr Hamid Abu Zayd disebut-sebut sebagai tokoh-tokoh yang menafsirkan Al-Qur`an
6
dengan metode hermeneutika (Mustaqim, 2003:104-117; Mustaqim & Syamsudin, 2002:149-167). Hermeneutika, sebagaimana disebut di atas, pada dasarnya merupakan suatu metode penafsiran yang berangkat dari analisis bahasa dan kemudian melangkah ke analisis konteks, untuk kemudian "menarik" makna yang didapat ke dalam ruang dan waktu saat proses pemahaman dan penafsiran tersebut dilakukan. Jika pendekatan hermeneutika ini dipertemukan dengan kajian Al-Qur`an, maka persoalan dan tema pokok yang dihadapi adalah bagaimana teks Al-Qur`an hadir di tengah masyarakat, lalu dipahami, ditafsirkan, diterjemahkan, dan didialogkan dengan dinamika realitas historisnya (Faiz, 2005). Lebih
jauh
merumuskan
metode
tersebut,
Fahrudin
Faiz
dalam
Hermeneutika Al-Qur`an (2005) menyatakan, ketika asumsi-asumsi hermeneutika diaplikasikan pada Ulum Al-Qur`an, ada tiga variabel yang harus diperhatikan, yaitu teks, konteks, dan kontekstualisasi. Tentang teks, sudah jelas Ulum AlQur`an telah membahasnya secara detail, misalnya dalam sejarah pembukuan mushaf Al-Qur`an dengan metode riwayat. Tentang konteks, ada kajian asbabun nuzul, nasikhmansukh, makki-madani yang katanya menunjukkan perhatian terhadap aspek "konteks" dalam penafsiran Al-Qur`an. Tapi, Faiz menyatakan bahwa kesadaran konteks hanya membawa ke masa lalu. Maka kata dia, harus ditambahkan variabel kontekstualisasi, yaitu menumbuhkan kesadaran akan kekinian dan segala logika serta kondisi yang berkembang di dalamnya. Variabel kontekstualisasi ini adalah perangkat metodologis agar teks yang berasal dari masa lalu dapat dipahami dan bermanfaat bagi masa sekarang. Berangkat dari asal usul dan historiositasnya sebagaimana yang diuraikan di atas, maka keterterimaan Hermeneutika dikalangan umat Islam masih mengalami kendala. Hal ini disebabkan: 1. Hermeneutika berasal dari Tradisi Non Muslim Hermeneutika sebenarnya sejak awal harus dicurigai, karena bukan berasal dari tradisi keilmuan Islam, melainkan dari tradisi keilmuan non 7
muslim, yaitu kaum Yahudi dan Kristen, yang digunakan sebagai metode untuk menafsirkan kitab agama mereka (Bible). Allah SWT berfirman (artinya) : "Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah." (QS Al-Hasyr [59] : 7) Mafhum mukhalafah (pemahaman terbalik) ayat itu, adalah "apa yang diberikan selain Rasul kepadamu, maka janganlah kamu terima dia." (wa maa ataakum min ghairi ar-rasuul fa-laa ta‟khudzuuhu). (Taqiyuddin an-Nabhani, Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah, Juz III (Ushul Al-Fiqh), Bab Madzhab AshShahabi). Maka jelaslah bahwa hermeneutika yang tidak datang dari Rasul, haram hukumnya diterima oleh umat Islam.Diriwayatkan bahwa Umar bin Khaththab RA pernah memegang selembar Taurat. Nabi SAW melihatnya lalu bersabda,"Tidakkah aku telah mendatangkan sesuatu yang terang benderang bagimu, yang tidak tercemar dan tidak rusak. Andaikata Musa saudaraku menjumpaiku, niscaya dia tidak bisa berbuat apa-apa selain mengikuti aku." (Taqiyuddin an-Nabhani, Mafahim Hizb Al-Tahrir). Jika lembaran-lembaran Taurat saja ditolak oleh Islam, maka lebih-lebih lagi (min baabi aula) metodologi tafsirnya alias hermeneutika.Namun sebagai catatan, Islam membolehkan kita mengadopsi sesuatu dari orang kafir selama tidak mengandung muatan pandangan hidup asing (value-free), seperti sains dan teknologi. Di sinilah makna sabda Nabi SAW : Antum a’lamu bi-umuuri dunyaakum (Kamu lebih tahu urusan-urusan duniamu) (HR Muslim). Adapun segala ide atau benda yang mengandung muatan pandangan hidup asing (valuebond/value-laden), seperti hermeneutika, Islam tidak dapat menerimanya. Oleh karenanya hermeneutika dianggap bukan termasuk sains dan teknologi yang bersifat universal, melainkan termasuk dalam peradaban (alhadharah) yang sarat dengan nilai-nilai kehidupan kufur yang bertentangan dengan Islam. 2. Hermeneutika Tidak Cocok Untuk Menafsirkan Al-Qur`an 8
Barangkali hermeneutika memang cocok (compatible) dengan Bible, yang sudah kehilangan nilai orisinalitasnya dan banyak masalah, seperti kontradiksi ayat dengan ilmu pengetahuan. Hermeneutika dapat diumpamakan tongkat untuk orang buta (cacat). Itu memang cocok dan sudah seharusnya demikian.Contoh, dalam Mazmur (Psalm) 93 ayat 1 tertulis,"Yea, the world is established, it shall never be moved." Ayat ini menerangan bumi tidak bergerak, yakni sebagai pusat tatasurya (geosentris). Ayat ini secara literal bertentangan dengan temuan Copernicus dan Galileo yang menteorikan matahari sebagai pusat tatasurya (heliosentris). Di sinilah hermeneutika diperlukan untuk menafsirkan ayat tadi secara allegoris (kiasan), bukan dalam makna literalnya yang jelas akan menimbulkan kekacauan pemahaman atau bahkan kegoncangan iman Kristiani. Jadi, hermeneutika mungkin memang cocok untuk Bible, seperti halnya kebutuhan orang buta akan tongkat penuntunnya. Tapi tongkat tidaklah diperlukan untuk orang yang matanya sehat. AlQur`an tidak memerlukan hermeneutika. Karena Al-Qur`an masih terjaga orisinalitasnya, dan tidak mengalami masalah-masalah seperti yang dialami Bible. Allah SWT berfirman (artinya) : "Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur`an dan sesungghnya Kami benar-benar memeliharanya." (QS Al-Hijr [15] : 9) Jadi menerapkan hermeneutika untuk menginterpretasikan Al-Qur`an, adalah tidak cocok (incompatible). Ini bagaikan memberikan tongkat untuk menuntun berjalan kepada orang yang matanya sehat wal afiat. Menurut Prof. Wan Mohd. Nur Wan Daud, hermeneutika teks-teks agama Barat bermula dari masalah-masalah besar, yaitu : (1) ketidakyakinan tentang kesahihan teks-teks tersebut oleh para ahli dalam bidang itu sejak awal karena tidak adanya bukti materiil teks-teks yang paling awal, (2) tidak adanya laporan-laporan tentang tafsiran yang dapat diterima umum, yakni ketiadaan tradisi mutawatir dan ijma‟, (3) tidak adanya sekelompok manusia yang 9
menghafal teks-teks yang telah hilang itu. Nah, ketiga masalah besar yang dialami Bible ini, tidak dialami oleh Al-Qur`an (Husaini, 2005:304). Yang mengerikan adalah, ada sebagian pemikir liberal yang kemudian mencoba membuktikan bahwa Al-Qur`an juga bermasalah, sebagaimana Bible. Tujuannya supaya penggunaan hermeneutika menemukan alasannya yang rasional. Mereka menggugat otentisitas teks Al-Qur`an yang disebut-sebut sebagai hasil dari hegemoni Quraisy, yang katanya bermotifkan politik belaka. Jelas ini sikap taqlid yang berbahaya. Ini dapat diumpamakan seperti orang yang sebenarnya bermata sehat, tapi ingin memakai tongkat untuk orang buta, supaya keren dan terlihat hebat. Akhirnya orang itu pergi ke rumah sakit untuk membutakan matanya, agar punya alasan kuat untuk memakai tongkat orang buta. Demikian mereka menganalogikannya. 3. Hermeneutika Semakin Mengokohkan Sekularisme Dalam praktiknya untuk menafsirkan Al-Qur`an, hermeneutika justru mengokohkan sesuatu yang seharusnya dihancurkan umat Islam, yakni hegemoni sekularisme-liberalisme di Dunia Islam.Sebagai contoh kasus, ingat kembali kasus draft CLD KHI (Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam) yang digagas oleh Siti Musdah Mulia. Draft tersebut telah menelorkan beberapa pasal berbahaya dan kontroversial. Misalnya, mengharamkan poligami (pasal 3 ayat 2), menyamakan bagian waris laki-laki dan perempuan (pasal 8 ayat 3), menghalalkan perkawinan dalam waktu tertentu alias membolehkan kawin kontrak (pasal 28), menghalalkan perkawinan antar agama secara bebas (pasal 54), dan sebagainya. Pasal-pasal sampah ini lahir karena metodologi yang digunakan untuk memahami Al-Qur`an adalah hermeneutika. Dengan hermeneutika, ayat-ayat Al-Qur`an ditundukkan pada sejumlah prinsip yang sekaligus merupakan pokok-pokok ide sekularisme. Menurut para penggagas CLD KHI, sejumlah ide yang menjadi paradigma draft itu adalah : (1) kesetaraan gender, (2) pluralisme, (3) hak asasi manusia, dan (4) demokrasi. 10
Dari sini jelaslah pola kerja hermeneutika dalam memperlakukan ayat AlQur`an di satu sisi, dengan ideologi Barat di sisi lain. Modus hermeneutika tidak lain dan tidak bukan adalah menyesuaikan Al-Qur`an dengan ideologi Barat, atau praktik ideologi Barat dalam realitas. Ibaratnya, Al-Qur`an sekedar ‟makmum‟, sementara ‟imamnya‟ adalah ideologi kapitalisme-sekular. Apa pun gerakan dan doa sang imam, makmum wajib mengikutinya dengan seksama, tanpa menyelisihinya apalagi mendahuluinya. Inilah bentuk "sholat jamaah" yang bid‟ah dholalah dan munkar yang menjadi pola kerja khas hermeneutika. Kemungkaran keji inilah yang sering mereka sebut sebagai "kontekstualisasi Al-Qur`an" untuk menyesatkan umat Islam. Menurut mereka bahwa hasil akhir dari aplikasi hermeneutika terhadap Al-Qur`an tentu saja bukan untuk kepentingan umat Islam apalagi untuk meninggikan agama Islam. Hasil akhirnya adalah justru untuk menyesatkan umat Islam, menghancurkan agama Islam, dan mengokohkan dominasi sekularisme di Dunia Islam. Sedangkan kelompok yang menerima (pro hermeneutika), memandang bahwa hermeneutika tidak dapat dipisahkan dari hidup dan kehidupan manusia. Permasalahan sosial, politik, sastra, dan sebagainya tidak pernah lepas dari unsur bahasa sebagai medianya, sebab bahasa merupakan sarana seseorang mengungkapkan ide, berpikir, menulis, berbicara, meng -apresiasi karya. Di sisi lain, pembicaraan tentang interpretasi terhadap teks untuk dicari maknanya terkait erat dengan her-meneutika. Hermeneutika teks dalam konteks diri manusia dengan relasi sosialnya dan dalam relasi berbahasa dan berelasi sistem tanda itulah dirumuskan “siapa aku/diri ini dan siap diri yang lain itu? Interpretasi teks dilakukan juga oleh strukturalisme, semiotik, dan lain sebagainya.Oleh sebab itu, her -meneutika hadir kembali untuk merespon pengaruh strukturalisme dan positivisme yang mengkaji bahasa hanya dari struktur empiriknya belaka sehingga kajian bahasa dari segi hakikatnya dalam mengungkapkan dunia manusiawi kurang memperoleh perhatian. 11
Filsafat hermenutika menguak seluruh realitas bahasa sebagai ungkapan hakikat manusia sebagai makhluk yang berbudaya dan menjadikan bahasa sebagai pusat berawal dan berakhirnya segala persoalan manusia, melalui analisis bahasa dapat dijelaskan berbagai persoalan konseptual yang terkandung dalam teks.
D. Hermeneutika Sebagai Metode Hermeneutika merupakan salah satu aliran yang terdapat dalam filsafat ilmu pengetahuan. Hermeneutika telah digunakan sebagai salah satu metode dalam rangka pengembangan ilmu-ilmu sosial. Cara yang ditempuh adalah melalui verstehen (pemahaman) terhadap suatu fenomena dan kenyataan sosial secara lebih menyeluruh dan mendalam, sehingga interpretasi yang diberikan harnpir sama dengan keadaan yang sebenarnya. Pendekatan interpretatif yang bersifat kognitif ini akan memberikan makna (meaning), rasionalitas (rationality), keterbukaan (coherence) dan keteraturan (order) terhadap fenomena dan fakta sosial yang ada. Hermeneutik secara luas dikenal sebagai ilmu penafsiran/interpretasi terhadap teks pada khususnya dan penafsiran bahasa pada umumnya.Istilah yang bermula dari bahasa Yunani kuno (hermeneuenin) ini pada zaman sekarang sangat akrab digauli para intelektual.Salah satu alasan penting menerapkan metode hermeneutik ini adalah objek yang berupa teks/bahasa, tidak memungkinkan diartikan tanpa melalui metode penafsiran.Ketidakmungkinan tersebut selain disebabkan karena situasi bahasa yang berbeda dan terus berubah, juga disebabkan alasan kesulitan para pembaca dalam memahami subtansi makna yang terkandung dalam teks-teks dan bahasa yang dipelajari. Hal yang paling tampak dari kesulitan atas subtansi makna tersebut pada dasarnya juga disebabkan oleh realitas di mana tata bahasa tersebut ternyata mempunyai keterbatasan dalam menyaring inti dari teks-teks yang terkandung di dalamnya.Karena keterbatasan inilah kemudian untuk memahami suratan kata-kata 12
seseorang harus melalui pengkajian secara mendalam. Puisi, novel, dan karya tulisan lainnya yang bermaksud menafsirkan totalitas dunia seorang pengarang, misalnya, tentu saja tidak akan mampu terapresiasikan secara lengkap dalam katakata. Di sinilah fungsi hermeneutik diperlukan untuk menafsir bahasa. Memang sebuah intrepretasi akan sarat dengan muatan tafsir, sengaja atau tidak sengaja, yang menjadi persoalan dengan tafsir bahasa adalah pencarian hakekat kata-kata yang tersurat dan tersirat. Karena hakekatnya adalah mencari kebenaran, dimensi filosofis tafsir sangat dibutuhkan.Namun, karena hakekat filsafat itu sendiri adalah keseluruhan interpretasi dan tafsir, antara filsafat dan hermeneutik tidak terlalu jauh dipersoalkan.Dalam bidang hermeneutik ini hingga sekarang terdapat dua pendekatan yang bersumber dari dua aliran yang berbeda. Pertama apa yang kita kenal aliran hermeneutik yang bersumber pada linguistik.Tradisi ini dipelopori oleh karya revolusioner Ferdinand de Sausure yang dipengaruhi oleh kajian-kajian formal sarjana Rusia dan Cekoslowakia, dan memiliki gaung yang simpatik dalam karya Noam Comsky. Pendekatan ini biasanya tidak disebut sebagai ”hermeneutik”, melainkan ”strukturalisme”. Pendekatan keduaberakar dari tradisi Hegel dan Marx, Fenomenologi, dan kajian linguistik sebagaimana yang dipakai pendekatan pertama. Dua aliran di atas ini banyak diamati oleh para pakar filsafat-hermeneutik sebagai
kajian
memungkinkan
terbukannya
metode-metode
baru
dalam
menafsirkan bidang-bidang yang kini terus bermunculan dalam bentuk spesialisasi ilmu pengetahuan.Oleh sebab itu, jika pembaca ingin menaruh kajian hermeneutik yang baru, buku ini layak disebut sebagai kecenderungan membuka metode penafsiran baru tersebut. Lain dengan kedua metode di atas, buku yang ditulis oleh Roy J. Howard ini berhasil melebarkan teori hermeneutik sebagai bagian dari filsafat gaya baru. Ada tiga hal yang ditemukan oleh pemikir postmodernis ini. Pertama adalah ”hermeneutik analitis”. Penambahan kata ”analitis” dalam ”hermeneutik” di sini dimaksudkan agar hermeneutika bukan hanya menafsir teks-teks dalam batas 13
kategori pemaknaan filosofis-historis seperti yang biasa dilakukan para pemikir linguistik. Howard di sini menambahkan bahwa pendekatan logika intersubjektif, atau lebih dikenal dengan istilah logika intensi atau juga memakai pendekatan silogisme
praktis
dan
peran
eksplorasinya
(hal
60).Kedua,
penulis
memperkenalkan istilah ”hermeneutika psikososial”. Teori ini berangkat dari penolakan atas kecenderungan hermeneutika mono-metodelogi baik dari positivisme maupun Marxisme Klasik yang sering menyajikan spekluasi Marxisme yang telah berkembang dan cukup menggabungkan beberapa prinsip metodologi dari pemahaman simbol karya Freud (hal 12) dengan melakukan eksplorasi atas filsafat kritis mazhab Frankfrut (Jurgen Habermas), Howard mencoba memberikan satu premis-premis dasar bagaimana memahami bahasa dalam konteks psikososial masyarakat modern. Dan, ketiga, Howard menyuguhkan satu teori baru hasil pengembangan teori Gadamer.Teori Gadamer yang sebelumnya kritis dalam mengkritik filsafat hermeneutik perspektif humaniora dengan jalan ontologisnya dipilih Howard sebagai pijakan dalam menganalisis bahasa. Dalam bagian ini, pembaca akan disuguhkan bagaimana sebenarnya teori permainan bahasa Gadamer yang sebenarnya cukup kritis untuk menelaah kondisi ruang dan waktu dalam kehidupan manusia.Dalam konteks pelebaran metodelogi inilah, perkembangan selanjutnya hermeneutik ternyata sangat dibutuhkan para pemikir bukan hanya dalam bidang sastra dan bahasa semata, melainkan juga melebar pada studi bidang lain, misalnya humaniora, sains, sejarah, agama (kitab suci), dan lain-lain.Hal ini disebabkan karena hampir semua bidang keilmuan tersebut dapat dipastikan berhubungan dengan teks-teks bahasa.Buku ini tidak mengklaim diri sebagai laporan studi yang mendalam dan tidak pula menampilkan semua bentuk paparan hermeneutika mutakhir. Namun dengan perhatian terhadap tiga komponen hermeneutik tersebut, buku ini layak disebut sebagai satu penelaahan baru atas pemetaan metodelogi hermeneutik model postmodernisme yang kini sedang berkembang. 14
Membahas persoalan yang terkait dengan upaya menggali, memahami dan menginterpretasi makna teks. Hermeneutika sebagai studi tentang prinsip metodologis interpretasi daneksplanasi. Pemahaman yang menyangkut seluruh lingkup pengalaman hidup manusia, yang terungkap dalam bahasa, baik implisit mau pun eksplisit. Hermeneutika membuka dan menawarkan insights, wawasan baru yang bersifat holistik tentang kenyataan. Dalam hermeneutika, pemahaman bukanlah proses mekanik dan bukan pula ilmiah, melainkan teknologi menyusun kembali pemikiran orang lain melalui interpretasi. Tugas hermeneutika meliputi; mengenali dunia teksatau kenyataan yang dibahasakan oleh teks, pemahaman teks, mencari dinamika internal yang mengatur struktur kerja dalam teks, mencari potensi dalam kerja teks itu untuk memproyeksikan diri ke luar dan memungkinkan esensi teks itu muncul ke permukaan. Isu sentral yang dibicarakan dalam perkuliahan hermeneutika antara lain; Interpretation, Hermeneutical circle, Verstehen, Deconstruction, Fusions of horizons. Abu Zayd mengatakan, ia menggabungkan pendekatan rasional dari teologi Mu‟tazilah dan spiritualitas dari kaum sufi. Ia mengatakan bahwa hermeneutika yang menjadi metodenya dalam kajian-kajian Al-Quran dan studi Islam hadir sepanjang hidup; karena hidup tidak mungkin bisa tanpa melakukan penafsiran (hermeneutik). Menurutnya, hermeneutik dalam bahasa Arab padanannya adalah ta‟wil, yang tentunya berbeda dengan tafsir. Ta‟wil adalah interpretasi yang mendalam setelah tafsir. Tafsir adalah hanya tahap awal sebelum melangkah ke ta‟wil. Menurut Abu Zayd, dalam Al-Quran sendiri kata tafsir hanya disebut satu kali saja, sementara kata ta‟wil itu 17 kali. Ta‟wil atau hermeneutika bukanlah teori, tapi sebuah cara bagaimana membaca tanda (ayat) dan untuk mengertinya itu hanya bisa dilakukan dengan metode hermeneutika; dan itu bisa dilakukan oleh kita setiap saat. Abu Zayd juga menerangkan mengapa ta‟wil ini ditolak oleh umat Islam. Dalam sejarahnya, ta‟wil atau hemeneutik ini sebenarnya diterima dengan baik 15
oleh umat Islam, bahkan apa yang kita sebut sebagai tafsir Ath-Thabari, sebenarnya judulnya bukan tafsir tapi ta‟wil; karena ia menghasilkan karyanya beberapa tahun atau abad sebelum konsep ta‟wil ini secara sosio-politis menjadi jelek hingga sekarang. Ini akibat konflik politik dan pendiskreditan dalam sejarah. Beliau menyimpulkan, hermeneutika itu bukanlah sebuah teori belaka, tapi sebuah keniscayaan; karena kita dalam melakukan seluruh kehidupan melakukan interpretasi. Pada zaman klasik dan oleh para agamawan, hermeneutika dijadikan “alat” untuk membaca teks (agama) dan pada zaman modern ini berkembang atau digunakan pula untuk menafsirkan gambar atau lukisan, karya seni, sastra, dan sebagai pelengkap untuk disiplin ilmu humaniora dan lainnya. Seperti yang dikatakan oleh Badarus Syamsi dalam artikelnya “Jangan berharap bahwa penafsiran dan upaya pemahaman atas Islam akan sempurna betul, karena kesempurnaan adalah suatu hal yang relatif,” tulisnya.Dengan adanya anggapan semacam itu, pada akhirnya mereka seakan mengajukan suatu metode lain untuk menafsirkan Al-Quran. Metode yang mereka ajukan tersebut adalah metode hermeneutika, suatu metode yang biasanya digunakan untuk menafsirkan Bibel. Tugas pembelajaran Pendidikan Agama Islam sekarang adalah melakukan tindakan rekontekstualisasi dengan tahapan sebagai berikut. Pertama, pahami konteks kearaban Alquran melalui sabab al-nuzul yang luas. Ini disebut dengan kontekstualisasi. Kedua, lepaskan Alquran dari konteks kearabannya yang partikular dan ad hoc itu dan segera temukan elan vital yang mempersambungkan seluruh ajaran Alquran. Upaya ini disebut dengan dekontekstualisasi. Ketiga, tanam kembali dan perhadapkan gugusan nilai dan elan vital tersebut dengan konteks lokalitas seperti ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya Muslim di mana pun berada. Upaya ini disebut dengan rekontekstualisasi. Tanpa upaya itu, Alquran hanya menarik dan relevan untuk orang Arab.
E. Kesimpulan 16
Agama yang diajarkan pada pendidikan adalah agama yang mengabaikan eksistensi agama lain. Pendidikan semacam ini berbahaya bagi masyarakat dengan tingkat pluralitas yang tinggi. Alih-alih mengajarkan sikap saling menghormati dan menghargai, pendidikan agama justru menjadi dakwah kebencian terhadap kelompok dan agama lain. Persoalan pendidikan agama di Indonesia, adalah bahwa pendidikan agama sama sekali lepas dari pergumulan pribadi. “Pendidikan bukan untuk menanamkan doktrin, tetapi menyiapkan orang untuk bisa menghadapi kenyataan yang terus berubah”. Dengan begitu, “seharusnya anak didik bisa menginterpretasikan diktum-diktum agama dengan pengalaman yang terus berubah.” Untuk mewujudkan misi pendidikan yang demikian tersebut, kiranya hernemeutika sebagai model pembelajaran dapat dijadikan sebagai solusi. Ada tiga tipe hermeneutika. Pertama, hermeneutika sebagai cara untuk memahami. Contoh tokohnya adalah Schleiermacher, Dilthey, dan Emilio Betti. Kedua, hermeneutika sebagai cara untuk memahami suatu pemahaman. Tokohnya semisal Heidegger (w. 1976) dan Gadamer. Ketiga, hermeneutika sebagai cara untuk mengkritisi pemahaman. Tokohnya semisal Jacques Derrida, Habermas, dan Foucault. Dalam perspektif pendekatan hermeneutik, menurut Amin Abdullah, variabel pemahaman manusia sedikitnya melibatkan tiga unsur. Pertama, unsur pengarang
(author).Kedua,
unsur
teks
(text).Ketiga,
unsur
pembaca
(reader).Ketiga elemen pokok inilah yang dalam studi hermeneutika disebut Triadic Structure. Hermeneutika, sebagaimana disebut di atas, pada dasarnya merupakan suatu metode penafsiran yang berangkat dari analisis bahasa dan kemudian melangkah ke analisis konteks, untuk kemudian "menarik" makna yang didapat ke dalam ruang dan waktu saat proses pemahaman dan penafsiran tersebut dilakukan. Jika pendekatan hermeneutika ini dipertemukan dengan kajian Al-Qur`an, maka persoalan dan tema pokok yang dihadapi adalah bagaimana teks Al-Qur`an hadir 17
di tengah masyarakat, lalu dipahami, ditafsirkan, diterjemahkan, dan didialogkan dengan dinamika realitas historisnya. Menurut mereka bahwa hasil akhir dari aplikasi hermeneutika terhadap AlQur`an tentu saja bukan untuk kepentingan umat Islam apalagi untuk meninggikan agama Islam. Hasil akhirnya adalah justru untuk menyesatkan umat Islam, menghancurkan agama Islam, dan mengokohkan dominasi sekularisme di Dunia Islam. Sedangkan kelompok yang menerima (pro hermeneutika),
memandang
bahwa hermeneutika tidak dapat dipisahkan dari hidup dan kehidupan manusia. Permasalahan sosial, politik, sastra, dan sebagainya tidak pernah lepas dari unsur bahasa
sebagai
medianya,
sebab
bahasa
merupakan
sarana
seseorang
mengungkapkan ide, berpikir, menulis, berbicara, meng -apresiasi karya. Di sisi lain, pembicaraan tentang interpretasi terhadap teks untuk dicari maknanya terkait erat dengan her-meneutika. Hermeneutik secara luas dikenal sebagai ilmu penafsiran/interpretasi terhadap teks pada khususnya dan penafsiran bahasa pada umumnya.Istilah yang bermula dari bahasa Yunani kuno (hermeneuenin) ini pada zaman sekarang sangat akrab digauli para intelektual.Salah satu alasan penting menerapkan metode hermeneutik ini adalah objek yang berupa teks/bahasa, tidak memungkinkan diartikan tanpa melalui metode penafsiran.Ketidakmungkinan tersebut selain disebabkan karena situasi bahasa yang berbeda dan terus berubah, juga disebabkan alasan kesulitan para pembaca dalam memahami subtansi makna yang terkandung dalam teks-teks dan bahasa yang dipelajari.
DAFTAR PUSTAKA. As-Sa‟di, Abdurrahman Nashir, 70 Kaidah Penafsiran Al-Qur`an (Al-Qawa‟id AlHisan li Tafsir A-Qur`an), Penerjemah Marsuni Sasaky & Mustahab Abdullah), (Jakarta : Pustaka Firdaus), 1997
18
Dahlan, Abd.Rahman, Kaidah-Kaidah Penafsiran Al-Qur`an (Disusun Berdasarkan Al-Qawa‟id Al-Hisan li Tafsir A-Qur`an Karya Al-Sa‟di), (Bandung : Mizan), 1998 Faiz, Fahruddin, Hermeneutika al-Qur`an Tema-Tema Konroversial, (Yogyakarta : elSAQ Press), 2005 Husaini, Adian, Wajah Peradaban Barat dari Dominasi Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal, (Jakarta : Gema Insani Press), 2005 Said, Busthami Muhammad, Gerakan Pembaruan Agama Antara Modernisme dan Tajdiduddin (Mafhum Tajdiduddin), Penerjemah Ibnu Marjan & Ibadurrahman, (Bekasi : Wacanalazuardi Amanah), 1995 Triatmoko, Bambang, "Hermeneutika Fenomenologis Paul Ricoeur", dalam Tim Redaksi Driyarkara (Ed), Hakikat Pengetahuan dan Cara Kerja Ilmu-Ilmu, (Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama), 1993 Mustaqim, Abdul & Syamsudin, Sahiron (Ed), Studi Al-Qur`an Kontemporer Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir, (Yogyakarta : PT Tiara Wacana Yogya), 2002 Mustaqim, Abdul, Madzahibut Tafsir : Peta Metodologi Penafsiran Al-Qur`an Periode Klasik Hingga Kontemporer, (Yogyakarta : Nun Pustaka Yogyakarta), 2003
19
Hakikat Pendidikan Islam di Madrasah Ibtida’iyah Tinjauan Manajemen Pendidikan Oleh : Ahwy Oktradiksa, M.Pd.I. Dosen Pada Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Magelang (0857 3611 4705) Abstrak Pada hakikatnya timbulnya madrasah-madrasah di dunia Islam merupakan usaha pengembangan dan penyempurnaan kegiatan proses belajar mengajar dalam upaya untuk menampung pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan jumlah pelajar yang semakin meningkat dan bertambah setiap tahun ajaran. Sementara itu, madrasah boleh dikatakan sebagai fenomena baru dari lembaga pendidikan Islam yang ada di Indonesia, yang kehadirannya sekitar permulaan abad ke-20. Namun dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengajarannya masih belum punya keseragaman antara daerah yang satu dengan daerah yang lain, terutama sekali menyangkut kurikulum dan rencana pelajaran. Madrasah adalah ujung tombak terdepan dalam pelaksanaan proses pendidikan Islam. Madrasah sebagai lembaga pendidikan yang tumbuh dan berkembang dari tradisi pendidikan agama dalam
masyarakat,
memiliki
arti
penting
sehingga
keberadaannya
terus
diperjuangkan. Lembaga Pendidikan Agama Islam pertama didirikan di Indonesia adalah dalam bentuk pesantren. Dengan karaktemya yang khas "religius oriented", pesantren telah mampu meletakkan dasar-dasar pendidikan keagamaan yang kuat. Para santri tidak hanya dibekali pemahaman tentang ajaran Islam tetapi juga kemampuan untuk menyebarkan dan mempertahankan Islam.
20
Kata kunci : Hakikat pendidikan Islam di Madrasah Ibtida‟iyah
A. Pendahuluan Madrasah mulai didirikan dan berkembang pada abad ke 5 H atau abad ke10 atau ke-11 M. pada masa itu ajaran agama Islam telah berkembang secara luas dalam berbagai macam bidang ilmu pengetahuan, dengan berbagai macam mazhab atau pemikirannya. Pembagian bidang ilmu pengetahuan tersebut bukan saja meliputi ilmu-ilmu yang berhubungan dengan al-Qur‟an dan hadis, seperti ilmuilmu al-Qur‟an, hadits, fiqh, ilmu kalam, maupun ilmu tasawwuf tetapi juga bidang-bidang filsafat, astronomi, kedokteran, matematika dan berbagai bidang ilmu-ilmu alam dan kemasyarakatan. Aliran-aliran yang timbul akibat dari perkembangan tersebut saling berebutan pengaruh di kalangan umat Islam, dan berusaha
mengembangkan aliran dan mazhabnya
masing-masing.
Maka
terbentuklah madrasah-madrasah dalam pengertian kelompok pikiran, mazhab atau aliran. Itulah sebabnya sebahagian besar madrasah didirikan pada masa itu dihubungkan dengan nama-nama mazhab yang masyhur pada masanya, misalnya madrasah Syafi‟iyah, Hanafiyah, Malikiyah atau Hanbaliyah. Berdasarkan keterangan di atas, jelaslah bahwa penggunaan istilah madrasah, sebagai lembaga pendidikan Islam maupun sebagai aliran atau mazhab bukanlah sejak awal perkembangan Islam, tetapi muncul setelah Islam berkembang luas dan telah menerima pengaruh dari luar sehingga terjadilah perkembangan berbagai macam bidang ilmu pengetahuan dengan berbagai macam aliran dan mazhabnya. Pada awal perkembangan Islam, terdapat dua jenis lembaga pendidikan dan pengajaran, yaitu kuttab yang mengajarkan cara menulis dan membaca al-Qur‟an, serta dasar-dasar pokok ajaran Islam kepada anak-anak yang merupakan pendidikan tingkat dasar. Sedangkan masjid dijadikan sebagai tingkat pendidikan lanjutan pada masa itu yang hanya diikuti oleh orang-orang dewasa. Dari masjid-masjid ini, lahirlah ulama-ulama besar yang ahli dalam berbagai ilmu 21
pengetahuan Islam, dan dari sini pulalah timbulnya aliran-aliran atau mazhabmazhab dalam berbagai ilmu pengetahuan, yang waktu itu dikenal dengan istilah “madrasah”. Kegiatan para ulama dalam mengembangkan ajaran Islam di tengahtengah masyarakat Islam maju dengan pesatnya, bahkan dari satu periode ke periode berikutnya semakin meningkat. Pada hakikatnya timbulnya madrasah-madrasah di dunia Islam merupakan usaha pengembangan dan penyempurnaan kegiatan proses belajar mengajar dalam upaya untuk menampung pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan jumlah pelajar yang semakin meningkat dan bertambah setiap tahun ajaran. Sementara itu, madrasah boleh dikatakan sebagai fenomena baru dari lembaga pendidikan Islam yang ada di Indonesia, yang kehadirannya sekitar permulaan abad ke-20. Namun dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengajarannya masih belum punya keseragaman antara daerah yang satu dengan daerah yang lain, terutama sekali menyangkut kurikulum dan rencana pelajaran. Usaha ke arah penyatuan dan penyeragaman sistem tersebut, baru dirintis sekitar tahun 1950 setelah Indonesia merdeka. Dan pada perkembangannya madrasah terbagi dalam jenjang-jenjang pendidikan; Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah. Dalam perspektif historis, Indonesia merupakan sebuah negeri muslim yang unik, letaknya sangat jauh dari pusat lahimya Islam (Mekkah). Meskipun Islam baru masuk ke Indonesia pada abad ke tujuh, dunia internasional mengakui bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Hal ini merupakan salah satu indikator keberhasilan Pendidikan Agama Islam di Indonesia. Lembaga Pendidikan Agama Islam pertama didirikan di Indonesia adalah dalam bentuk pesantren. Dengan karaktemya yang khas "religius oriented", pesantren telah mampu meletakkan dasar-dasar pendidikan keagamaan yang kuat. Para santri tidak hanya dibekali pemahaman tentang ajaran Islam tetapi juga kemampuan untuk menyebarkan dan mempertahankan Islam. 22
Masuknya model pendidikan sekolah membawa dampak yang kurang menguntungkan bagi umat Islam saat itu, yang mengarah pada lahirnya dikotomi ilmu agama (Islam) dan ilmu sekuler (ilmu umum dan ilmu sekuler Kristen). Dualisme model pendidikan yang konfrontatif tersebut telah mengilhami munculnya gerakan reformasi dalam pendidikan pada awal abad dua puluh. Gerakan reformasi tersebut bertujuan mengakomodasi sistem pendidikan sekolah ke dalam lingkungan pesantren. Corak model pendidikan ini dengan cepat menyebar tidak hanya di pelosok pulau Jawa tetapi juga di luar pulau Jawa. Dari situlah embrio madrasah lahir. Untuk menjawabatas gejala perkembangan madrasah, maka disusun rumusan dalam hal ini, yaitu : 1. Bagaimana konsep perkembangan pendidikan Islam di Madrasah? 2. Bagaimana hakikat pendidikan Islam di Madrasah? Adapun tujuan penulisan adalah : 1. Menjelaskan bagaimana perkembangan pendidikan Islam di madrasah yang notabene sebagai lembaga yang bercirikan Islam yang mampu mencetak siswa yang mengetahui banyak tentang ilmu keislaman. 2. Menjelaskan hakikat pendidikan Islam
dalam madrasah sebagai lembaga
pendidikan yang tumbuh dan berkembang dari tradisi pendidikan agama dalam masyarakat.
B. Konsep Pendidikan Islam 1. Kedudukan Pendidikan dalam Islam Secara umum Pendidikan Islam adalah ilmu pendidikan yang berdasarkan Islam. oleh sebab itu, Pendidikan Islam harus bersumber kepada Al-qur‟an dan hadis Nabi. Islam adalah agama yang diperintahkan Allah SWT kepada manusia untuk memeluknya secara utuh dan menyeluruh. Ajaran Islam ini diperuntukan bagi manusia sebagai petunjuk ke jalan yang lurus ketika melaksanakan tugas-tugas hidup serta mencapai tujuan hidup di dunia ini. 23
Dengan demikian ajaran Islam diciptakan oleh Allah SWT sesuai dengan proses penciptaan dan tujuan manusia di muka bumi ini. Namun manusia, dengan segala kekurangannya tidak akan menjalankan tuntutan agama Islam dengan baik tanpa mengetahui, mengerti dan memahami Islam secara menyeluruh dan mendalam. untuk dapat mengetahui dan memahami Islam secara menyeluruh tersebut, maka tidak ada jalan izin kecuali melalui pendidikan. Oleh sebab itu, Islam dan pendidikan mempunyai “hubungan yang sangat erat”. Hubungan ini digambarkan bahwa Islam sebagai tujuan dan pendidikan adalah alatnya. Berdasarkan uraian diatas, dapat
digaris bawahi
bahwa
Islam
menempatkan pendidikan sebagai suatu kewajiban umat manusia dalam rangka memenuhi fitrahnya sebagai kahlifah dimuka bumi, lebih-lebih jika dikaitkan dengan kekuatan akal dan pikiran yang dimiliki manusia. Tanpa pendidikan, kekuatan tersebut akan menjadi boomerang bagi kehidupan manusia itu sendiri. Sesuai dengan fitrahnya, ilmu pengetahuan (pendidikan) diberikan Allah SWT kepada manusia untuk mengurus bumi itu. Disinilah letak esensinya, Allah SWT mewajibkan umat manusia untuk menempuh pendidikan. 2. Tujuan Pendidikan Islam Imam Ghazali berpendapat bahwa tujuan pendidikan Islam adalah kesempurnaan insan di dunia dan akhirat. Manusia akan mencapai keutamaan dengan menggunakan ilmu. Keutamaan itu akan memberinya kebahagiaan di dunia serta mendekatkannya kepada Allah SWT, sehingga ia akan mendapatkan kebahagiaan di akhirat. Pendapat Imam Ghazali ini sejalan dengan sabda Nabi SAW yang artinya : “Siapa yang ingin hidup di dunia dengan baik hendaklah ia berilmu, dan siapa yang ingin meraih kebahagiaan di akherat hendaklah ia berilmu, dan siapa yang ingin meraih keduanya (dunia dan akherat) hendaklah ia berilmu”. (HR. Ahmad).
24
C. Hakikat Pendidikan Madrasah Ibtida’iyah 1. Pengertian Madrasah Madrasah adalah ujung tombak terdepan dalam pelaksanaan proses pendidikan Islam. Madrasah sebagai lembaga pendidikan yang tumbuh dan berkembang dari tradisi pendidikan agama dalam masyarakat, memiliki arti penting sehingga keberadaannya terus diperjuangkan. Madrasah adalah “sekolah umum yang bercirikan Islam”. Pengertian ini menunjukan dari segi materi kurikulum, madrasah mengajarkan pengetahuan umum yang sama dengan sekolah-sekolah umum sederajat, hanya saja yang membedakan madrasah dengan sekolah umum adalah banyak pengetahuan agama yang diberikan, sebagai ciri khas Islam atau sebagai lembaga pendidikan yang berada di bawah naungan Departemen Agama. Madrasah sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam di Indonesia dituntut untuk dapat berpartisipasi dalam usaha membangun manusia Indonesia yang berkualitas dan berguna bagi kehidupan. Jenjang pendidikan madrasah yang terdiri atas Madrasah Ibtida‟iyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), dan Madrasah Aliah (MA), yang tidak terlepas dari tiga misi atau tujuan yang harus diemban, yaitu : a. Menanamkan keimanan kepada peserta didik. b. Menumbuhkan semangat dan sikap untuk mengamalkan ajaran-ajaran dalam rangka pembangunan. c. Memupuk toleransi antara sesama pemeluk agama di Indoesia dengan saling memahami misi luhur masing-masing agama. Dengan demikian posisi madrasah tidak semata-mata dipahami sebagai lembaga pendidikan yang sederajat dengan sekolah-sekolah lain. akan tetapi ia haus dipahami sebagai lembaga pendidikan yang disamping memiliki kesamaan sederajat tersebut dan memiliki misi yang sangat strategis dalam membentuk peserta didik yang religius, dan berakhlak Islam. Secara hakikat pendidikan madrasah pada umumnya bukan hanya saja mengajarkan ilmu sebagai materi, 25
atau keterampilan sebagai kegiatan, melainkan selalu mengaitkan semuanya dengan praktik (amaliah) yang bermuatan nilai dan moral kususnya pada Madrasah Ibtida‟iyah karena disinilah titik awal dari semua kegiatan proses belajar mengajar. 2. Eksistensi Madrasah Madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam di Indonesia relatif lebih muda dibanding pesantren. Ia lahir pada abad 20 dengan munculnya Madrasah Manba'ul Ulum Kerajaan Surakarta tahun 1905 dan Sekolah Adabiyah yang didirikan oleh Syekh Abdullah Ahmad di Sumatera Barat tahun 1909 (Malik Fadjar, 1998). Madrasah berdiri atas inisiatif dan realisasi dari pembaharuan sistem pendidikan Islam yang telah ada. Pembaharuan tersebut, menurut Karl Sternbrink (1986), meliputi tiga hal, yaitu: a. Usaha menyempumakan sistem pendidikan pesantren, b. Penyesuaian dengan sistem pendidikan Barat, dan c. Upaya menjembatani antara sistem pendidikan tradisional pesantren dan sistem pendidikan Barat. Madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam kini ditempatkan sebagai pendidikan sekolah dalam sistem pendidikan nasional. Munculnya SKB tiga menteri (Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan Menteri dalam Negeri) menandakan bahwa eksistensi madrasah sudah cukup kuat beriringan dengan sekolah umum. Di samping itu, munculnya SKB tiga menteri tersebut juga dinilai sebagai langkah positif bagi peningkatan mutu madrasah baik dari status, nilai ijazah maupun kurikulumnya (Malik Fadjar, 1998). Di dalam salah satu diktum pertimbangkan SKB tersebut disebutkan perlunya diambil langkah-langkah untuk meningkatkan mutu pendidikan pada madrasah agar lulusan dari madrasah dapat melanjutkan atau pindah ke sekolah-sekolah umum dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi. 3. Problema Madrasah
26
Sebagai upaya inovasi dalam Sistem Pendidikan Islam, madrasah tidak lepas dari berbagai problema yang dihadapi. Problema-problema tersebut, menurut Darmu'in (1998), antara lain: a. Madrasah telah kehilangan akar sejarahnya, artinya keberadaan madrasah bukan merupakan kelanjutan pesantren, meskipun diakui bahwa pesantren merupakan bentuk lembaga pendidikan Islam pertama di Indonesia. b. Terdapat dualisme pemaknaan terhadap madrasah. Di satu sisi, madrasah diidentikkan dengan sekolah karena memiliki muatan secara kurikulum yang relatif sama dengan sekolah umum. Di sisi lain, madrasah dianggap sebagai pesantren dengan sistem klasikal yang kemudian dikenal dengan madrasah diniyah. Dengan demikian, sebagai sub sistem pendidikan nasional, madrasah belum memiliki jati diri yang dapat dibedakan dari lembaga pendidikan lainnya. Efek
pensejajaran
madrasah
dengan
sekolah
umum
yang
berakibat
berkurangnya proporsi pendidikan agama dari 60% agama dan 40% umum menjadi 30% agama dan 70% umum dirasa sebagai tantangan yang melemahkan eksistensi pendidikan Islam. Beberapa permasalahan yang muncul kemudian, antara lain: a. Berkurangnya muatan materi pendidikan agama. Hal ini dilihat sebagai upaya pendangkalan pemahaman agama, karena muatan kurikulum agama sebelum SKB dirasa belum mampu mencetak muslim sejati, apalagi kemudian dikurangi. b. Tamatan Madrasah serba tanggung. Pengetahuan agamanya tidak mendalam sedangkan pengetahuan umumnya juga rendah. Diakui bahwa model pendidikan madrasah di dalam perundang-undangan negara, memunculkan dualisme sistem Pendidikan di Indonesia. Dualisme pendidikan di Indonesia telah menjadi dilema yang belum dapat diselesaikan hingga sekarang. Dualisme ini tidak hanya berkenaan dengan sistem pengajarannya tetapi juga menjurus pada keilmuannya. Pola pikir yang sempit 27
cenderung membuka gap antara ilmu-ilmu agama Islam dan ilmu-ilmu umum. Seakan-akan muncul ilmu Islam dan ilmu bukan Islam (kafir). Padahal dikhotomi keilmuan ini justru menjadi garapan bagi para pakar pendidikan Islam untuk berusaha menyatukan keduanya. Dualisme pendidikan Islam juga muncul dalam bidang manajerialnya, khususnya di lembaga swasta. Lembaga swasta umumnya memiliki dua top manager yaitu kepala madrasah dan ketua yayasan (atau pengurus). Meskipun telah ada garis kewenangan yang memisahkan kedua top manager tersebut, yakni kepala madrasah memegang kendali akademik sedangkan ketua yayasan (pengurus) membidangi penyediaan sarana dan prasarana, sering di dalam praktik terjadi overlapping. Masalah ini biasanya lebih buruk jika di antara pengurus yayasan tersebut ada yang menjadi staf pengajar. Di samping ada kesan mematai-matai kepemimpinan kepala madrasah, juga ketika staf pengajar tersebut melakukan tindakan indisipliner (sering datang terlambat), kepala madrasah merasa tidak berdaya menegumya. Praktek manajemen di madrasah sering menunjukkan model manajemen tradisional, yakni model manajemen paternalistik atau feodalistik. Dominasi senioritas semacam ini terkadang mengganggu perkembangan dan peningkatan kualitas pendidikan. Munculnya kreativitas inovatif dari kalangan muda terkadang dipahami sebagai sikap yang tidak menghargai senior. Kondisi yang demikian ini mengarah pada ujung ekstrem negatif, hingga muncul kesan bahwa meluruskan langkah atau mengoreksi kekeliruan langkah senior dianggap tabiat su'ul adab. Dualisme pengelolaan pendidikan juga terjadi pada pembinaan yang dilakukan oleh departemen yaitu Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) dan Departemen Agama (Depag). Pembinaan Madrasah di bawah naungan Depag berhadapan dengan Sekolah umum di bawah pembinaan Depdiknas sering menimbulkan kecemburuan sejak di tingkat (SD dan MI) hingga perguruan tinggi. Dari alokasi dana, perhatian, pembinaan manajerial, bantuan 28
buku dan media pembelajaran, serta penempatan guru, hingga pemberian beasiswa pendidikan lanjut sering tidak sama antara yang diterima oleh sekolah umum (Depdiknas) dengan madrasah (Depag). Kesenjangan antara madrasah swasta dan madrasah negeri pun tampaknya juga menjadi masalah yang belum tuntas diselesaikan. Gap tersebut meliputi beberapa hal seperti pandangan guru, sarana dan prasarana, kualitas input siswa dan sebagainya yang kesemuanya itu berpengaruh baik langsung maupun tidak langsung kepada mutu pendidikan. Yang demikian ini karena munculnya SKB tiga menteri tersebut belum diimbangi penyediaan guru, bukubuku dan peralatan lain dari departemen terkait. D. Hakikat Pendidikan Islam di Madrasah Ibtida’iyah Hakikat pendidikan madrasah seiring dengan tujuan pendidikan melalui misi madrasah. Dalam rangka perwujudan hakikat tersebut sudah barang tentu memerlukan suatu perangkaat operasional yang berkualitas yang selalu dikembangkan sesuai dengan kemajuan dan kebutuhan masyarakat, melalui peningkatan
berbagai
komponen
seperti
pengembangan
kurikulum
dan
metodelogi, pemenuhan dan peningkatan mutu kemampuan tenaga pendidik, sarana dan prasarana dan lain-lain. Madrasah sebagai lembaga Pendidikan Islam harus senantiasa bertitik tolak dari rumusan dia atas sehingga out put dari lembaga ini mampu bersaing dengan lembaga pendidikan lain. Ada beberapa unsur pendidikan yang harus dipenuhi agar tujuan Madrasah bisa tercapai : 1. Bahwa pendidikan itu harus merupakan usaha sadar yang dilakukan oleh orang tua atau orang dewasa atau siapa saja yang bertanggung jawab dalam rangka membimbing dan mempersiapkan anak, dengan atas nama Allah SWT serta bertasnggung jawan kepada-Nya.
29
2. Bahwa yang dibimbing dengan pendidikan itu adalah anak atau generasi dengan seluruh kelengkapan dasar potensi-potensi pembawaan fitrahnya, agar tumbuh berkembang secara bertahap dan berangsur-angsur kearah sempurna. 3. Tujuan pembimbingan dan pendidikan adalah agar anak nantinya mampu melakasanakan tugas-tugas hidup yaitu tugas kekhalifahan dengan penuh tanggung jawab kepada Allah SWT. 4. Karena pedomannya adalah Al-qur‟an, baik secara konseptual maupun praktis, maka metode, cara pelaksanaannya, materi, dan kurikulum, evaluasi dan alat pendidikan lainnya, dapat dijabarkan dan dikembangkan dari Al-qur‟an, mulai dari proses turunnya, penjelasan-penjelasan dari Nabi serta contoh-contoh yang telah diberikan oleh Nabi Muhammad SAW. E. Kedudukan Madrasah dalam Sistem Pendidikan Nasional Dengan dikeluarkannya Kepres No. 34 tahun 1972 dan Inpres No. 15 tahun 1974, pemerintah mengambil kebijakan yang lebih operasional terhadap madrasah. dikeluarkannya SKBL (Surat Keputusan Bersama) Tiga Menteri, yaitu, Menteri Agama, Pendidikan dan kebudayaan, dan Menteri Dalam Negeri. Dapat dipandang sebagai pengakuan yang lebih nyata terhadap kedudukan Madrasah dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indoensia. Dalam konteks ini, sejumlah diktum yang memperkuat posisi Madrasah diantaranya adalah : Bab I ayat 2 Madrasah meliputi tiga tingkatan : 1. Madrasah Ibtida‟iyah, setingkat dengan Sekolah dasar. 2. Madrsah Tsanawiyah setingkat dengan Sekolah Menengah Pertama. 3. Madrasah Aliyah setingkat dengan Sekolah Menengah Atas. Bab II pasal 2 1. Ijazah madrasah dapat mempunyai nilai yang sama dengan ijazah sekolah umum yang setingkat. 2. Luluran madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum setingkat atas. 3. Siswa madrasah sapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat, 30
Kedudukan Madrasah dalam pendidikan nasional lebih dipertegas lagi dalam Keputusan Menteri Agama RI No. 372 tahun 1993 tentang Kurikulum Pendidikan Dasar bercirikan khas Agama Islam. Dalam keputusan ini dinyatakan bahwa Madrasah Ibtida‟iyah dan Madrasah Tsanawiyah melaksanakan Kurikulum Nasional Sekolah Dasar dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama. Posisi integrasi pendidikan Islam dalam sistem Penddikan Nasional selain pada beberapa poin diatas juga tercermin dalam beberapa aspek sebagai berikut : 1. Pendidikan nasional menjadi pendidikan agama sebagai salah satu muatan wajib dalam jalur dan jenis pendidikan. 2. Madrasah dalam sistem pendidikan nasional, dengan sendirinya dimasukan dalam kategori pendidikan jalur sekolah. 3. Meskipun Madrasah diberi status pendidikan jalur sekolah tetapi sesuai dengan jenis keagamaan dalam sistem pendidikan nasional, Madrasah memiliki jalur khusus ilmu-ilmu syari‟ah. Mengingat posisi dan kedudukan madrasah diatas tentunya merupakan suatu tanggung jawab bagi setiap komponen yang terlibat didalamnya untuk mempertahankan posisi tersebut dan menjadikannya sebagai salah satu keunggulan madrasah dalam dunia pendidikan nasional.
F. Pendidikan Islam Alternatif Upaya Mengembangkan Madrasah Dalam upaya mencari “model alternatif pendidikan Islam” yang akan disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat madani Indonesia, paling tidak ada tiga pendekatan yang ditawarkan sebagai pola alternatif pendidikan Islam, yaitu 1. Pendekatan sistemik, yaitu perubahan harus dilakukan terhadap keseluruhan sistem pada lembaga pendidikan Islam formal yang ada, dalam arti terjadi perubahan total. 2. Pendekatan suplementer, yaitu dengan menambah sejumlah paket pendidikan yang bertujuan memperluas pemahaman dan penghayatan ajaran Islam secara
31
lebih memadai. Langkah ini yang sering dilakukan dengan istilah yang populer adalah “tambal sulam”. 3. Pendekatan komplementer, yaitu dengan upaya mengubah kurikulum dengan sedikit radikal untuk disesuaikan secara terpadu. Artinya, untuk kondisi sekarang ini, perubahan kurikulum pendidikan Islam harus diorientasikan pada kompetensi yaitu kompetensi knowledge (pengetahuan), skill (keterampilan atau kemahiran), kompetensi ability (memiliki kemampuan tertentu), komptensi sosial-kultural, dan kompetensi spritual ilahiya. Dari uraian diatas, menegaskan bahwa lembaga-lembaga pendidikan Islam khususnya lembaga pendidikan Islam seperti madrasah (MI, MTs, dan MA) harus mendisain model-model pendidikan alternatif yang sesuai dengan kebutuhan perkembangan sekarang ini. Dari sini muncul pertanyaan penting tentang modelmodel pendidikan Islam yang diharapkan dapat menghadapi dan menjawab tantangan perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat baik sosial maupun kultural menuju masyarakat Indonesia baru. Untuk menjawab pertanyaan ini, meminjam prinsip hakekat pendidikan Islam yang digunakan Hasim Amir, yang mengemukakan bahwa pendidikan Islam adalah pendidikan yang idealistik, yakni pendidikan yang integralistik, humanistik, pragmatik dan berakar pada budaya kuat. Tawaran Hasim Amir ini, yang dikutip A. Malik Fadjar, dapat digunakan sebagai konsep pendidikan Islam dalam menghadapi perubahan masyarakat Indonesia, yaitu : Pertama, pendidikan integralistik, merupakan model pendidikan yang diorientasikan pada komponen-komponen kehidupan yang meliputi: Pendidikan yang berorientasi pada Rabbaniyah (Ketuhanan), insaniyah (kemanusiaan) dan alamiyah (alam pada umumnya), sebagai suatu yang integralistik bagi perwujudan kehidupan yang baik dan untuk mewujudkan rahmatan lil „alamin, serta pendidikan yang menggap manusia sebagai sebuah pribadi jasmani-rohani, intelektual, perasaan dan individual-sosial. Pendidikan integralistik diharapkan dapat menghasilkan manusia (peserta didik) yang memiliki integritas tinggi, yang 32
dapat bersyukur dan menyatu dengan kehendak Tuhannya, menyatu dengan dirinya sendiri sehingga tidak memiliki kepribadian belah atau kepribadian mendua, menyatu dengan masyarakat sehingga dapat menghilangkan disintegrasi sosial, dan dapat menyatu dengan alam sehingga tidak membuat kerusakan, tetapi menjaga, memelihara dan memberdayakan serta mengoptimalkan potensi alam sesuai kebutuhan manusia. Kedua, pendidikan yang humanistik, merupakan model pendidikan yang berorientasi dan memandang manusia sebagai manusia (humanisasi), yakni makhluk ciptaan Tuhan dengan fitrahnya. Maka manusia sebagai makhluk hidup, ia harus mampu melangsungkan, mempertahankan, dan mengembangkan hidupnya. Maka posisi pendidikan dapat membangun proses humanisasi, artinya menghargai hak-hak asasi manusia, seperti hak untuk berlaku dan diperlakukan dengan adil, hak untuk menyuarakan kebenaran, hak untuk berbuat kasih sayang, dan lain sebagainya. Maka, manusia “yang manusiawi” yang dihasilkan oleh pendidikan yang humanistik diharapkan dapat mengembangkan dan membentuk manusia berpikir, berasa dan berkemauan dan bertindak sesuai dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan yang dapat mengganti sifat individualistik, egoistik, egosentrik dengan sifat kasih sayang kepada sesama manusia, sifat menghormati dan dihormati, sifat ingin memberi dan menerima, sifat saling menolong, sifat ingin mencari kesamaan, sifat menghargai hak-hak asasi manusia, sifat menghargai perbedaan dan sebagainya. Ketiga, pendidikan pragmatik adalah pendidikan yang memandang manusia sebagai makhluk hidup yang selalu membutuhkan sesuatu untuk melangsungkan, mempertahankan dan mengembangkan hidupnya baik bersifat jasmani maupun rohani, seperti berpikir, merasa, aktualisasi diri, keadilan, dan kebutuhan spritual ilahiyah. Dengan demikian, model pendidikan dengan pendekatan pragmatik diharapkan dapat mencetak manusia pragmatik yang sadar akan kebutuhankebutuhan hidupnya, peka terhadap masalah-masalah sosial kemanusiaan dan dapat membedakan manusia dari kondisi dan situasi yang tidak manusiawi. 33
Keempat, pendidikan yang berakar pada budaya, yaitu pendidikan yang tidak meninggalkan akar-akar sejarah, baik sejarah kemanusiaan pada umumnya maupun sejarah kebudayaan suatu bangsa, kelompok etnis, atau suatu masyarakat tertentu. Maka dengan model pendidikan yang berakar pada budaya, diharapkan dapat membentuk manusia yang mempunyai kepribadian, harga diri, percaya pada diri sendiri, dan membangun peradaban berdasarkan budaya sendiri yang akan menjadi warisan monumental dari nenek moyangnya dan bukan budaya bangsa lain. Tetapi dalam hal ini bukan berarti kita menjadi orang yang anti kemodernan, perubahan, reformasi dan menolak begitu saja arus transformasi budaya dari luar tanpa melakukan seleksi dan alasan yang kuat. Selanjutnya, dari keempat model yang dikemukakan di atas, dapat ditarik lagi pada disain model pendidikan Islam yang lebih operasional, yaitu: Pertama, mendisain model pendidikan umum Islami yang handal dan mampu bersaing dengan lembaga-lembaga pendidikan yang lain. Dengan demikian, visi, misi dan tujuan pendidikan, kurikulum dan materi pembelajaran, metode pembelajaran, manajemen pendidikan, organisasi dan sumber daya pendidikan (guru dan tenaga administrasi) harus disesuaikan dengan kebutuhan serta sesuai misi, visi dan tujuan pendidikan tersebut. Model pendidikan umum Islami, kurikulumnya bersifat integratif antara materi-materi pendidikan umum dan agama, sehingga mampu mempersiapkan intelektual Islam yang berfikir secara komprehensif. Atau meminjam istilah Fazlur Rahman, yaitu model pendidikan sekuler modern dan mengisinya dengan konsep-konsep Islam, untuk melahirkan intelektualisme muslim yang tangguh, walaupun Ahmad Syafii Maarif, menolak hal ini yaitu kita tidak perlu berteriak untuk mengislamkan ilmu modern. Kedua, model pendidikan Islam yang tetap mengkhususkan pada disain “pendidikan keagamaan” seperti sekarang ini. Artinya, harus mendisain ulang model “pendidikan Islam” yang berkualitas dan bermutu yaitu , pertama dengan merumuskan visi dan misi serta tujuan yang jelas, kedua, kurikulum dan materi pembelajaran diorientasikan pada kebutuhan peserta didik dan kebutuhan 34
masyarakat untuk dapat menjawab tantangan perubahan, ketiga, metode pembelajaran diorientasikan pada upaya pemecahan kasus (promlem solving) dan bukan dominasi ceramah, keempat,
manajemen pendidikan diorientasi pada
manajemen berbasis sekolah, kelima, organisasi dan sumber daya guru yang memiliki kompetensi dan profesional dalam bidangnya masing-masing. Maka pendidikan Islam akan mampu bersaing dengan mampu mempersiapkan dan melahirkan mujtahid-mujtahid yang tangguh, berkualitas dan berkaliber dunia dalam bidangnya sehingga mampu menjawab persoalan-persoalan aktual atau kontemporer sesuai dengan kebutuhan perubahan zaman. Disain model pendidikan seperti ini, harus secara “selektif menerima” pendidikan produk barat, berarti harus mendisain model pendidikan yang betul-betul sesuai dengan konsep dasar Islam dan sesuai dengan lingkungan sosial-budaya Indonesia. Kata Fazlur Rahman, apabila kita ingin membangun pendidikan Islam yang berkualitas, harus kembali kepada al-Qur‟an dan Qur‟an harus ditempatkan sebagai pusat intelektualisme Islam. Ketiga, model pendidikan agama Islam tidak dilaksanakan di sekolah-sekolah formal tetapi dilaksanakan di luar sekolah. Artinya pendidikan agama dilaksanakan di rumah atau lingkungan keluarga, masjid dan lingkungan masyarakat (tempattempat pengajian dan Masjid) dalam bentuk kursur-kursus, kajian-kajian keagamaan, keterampilan beribadah dan sebagainya. Pendidikan agama akan menjadi tanggungjawab orang tua dan masyarakat atau meminjam konsep Yahya Muhaimin yang dikemukakan terdahulu bahwa pendidikan berbasis keluarga (family-based education) dan pendidikan berbasis pada masyarakat (communitybased education). Pendidikan Islam, dapat ditanamkan dan disosialisasikan secara intensif melalui basis-basis tersebut, sehingga Pendidikan Agama sudah menjadi kebutuhan dan based dalam pribadi peserta didik. Maka dalam proses belajar mengajar di sekolah pendidikan agama telah menjadi kebutuhan dan prilaku (afektif dan psikomotorik) yang aktual, bukan lagi berupa pengetahuan (knowledge) yang dihafal (kognitif) dan diujikan secara kognitif pula. 35
Keempat, disain model pendidikan diarahkan pada dua dimensi yakni, pertama
dimensi
dialektika
[horisontal],
pendidikan
hendaknya
dapat
mengembangkan pemahaman tentang kehidupan manusia dalam hubungannya dengan alam atau lingkungan sosialnya. Manusia harus mampu mengatasi tantangan dan kendala dunia sekitarnya melalui pengembangan Iptek, dan kedua dimensi ketunduhan vertikal, pendidikan selain menjadi alat untuk memantapkan, memelihara sumber daya alami, juga menjembatani dalam memahamai fenomena dan misteri kehidupan yang abadi dengan Maha Pencipta. Berarti pendidikan harus disertai dengan pendekatan hati, artinya pendidikan harus membangun hubungan manusia dengan Tuhannya, sesama manusia, dan lingkungan. Keempat model pendidikan Islam yang dikemukakan diatas merupakan tawaran desain dan model pendidikan Islam yang perlu diupayakan untuk membangun paradigma pendidikan Islam dalam menghadapi perkembangan perubahan zaman modern dan memasuki masyarakat madani Indonesia. Kecenderungan perkembangan semacam, dalam upaya mengantisipasi perubahan zaman dan merupakan hal yang wajar-wajar saja. Sebab kondisi masyarakat sekarang ini lebih bersifat praktis-pragmatis dalam hal aspirasi dan harapan terhadap pendidikan, sehingga pendidikan tidak statis atau hanya berjalan di tempat dalam menatap persoalan-persoalan yang dihadapi pada era masyarakat modern, post masyarakat modern dan masyarakat global. Dengan demikian, apapun model pendidikan Islam yang ditawarkan dalam masyarakat Indonesia, pada dasarnya harus berfungsi untuk memberikan kaitan antara peserta didik dengan nilai-nilai ilahiyah, pengetahuan dan keterampilan, nilai-nilai demokrasi, masyarakat dan lingkungan sosio-kulturalnya yang terus berubah dengan cepat, sebab pada saat yang sama pendidikan secara sadar juga digunakan sebagai instrumen untuk perubahan dalam sistem politik, ekonomi secara keseluruhan.
G. Kesimpulan 36
Pada hakikatnya timbulnya madrasah-madrasah di dunia Islam merupakan usaha pengembangan dan penyempurnaan kegiatan proses belajar mengajar dalam upaya untuk menampung pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan. Dalam perspektif historis, Indonesia merupakan sebuah negeri muslim yang unik, letaknya sangat jauh dari pusat lahimya Islam (Mekkah). Meskipun Islam baru masuk ke Indonesia pada abad ke tujuh, dunia internasional mengakui bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Hal ini merupakan salah satu indikator keberhasilan Pendidikan Agama Islam di Indonesia. Lembaga Pendidikan Agama Islam pertama didirikan di Indonesia adalah dalam bentuk pesantren. Dengan karaktemya yang khas "religius oriented", pesantren telah mampu meletakkan dasar-dasar pendidikan keagamaan yang kuat. Para santri tidak hanya dibekali pemahaman tentang ajaran Islam tetapi juga kemampuan untuk menyebarkan dan mempertahankan Islam. Madrasah Ibtida‟iyah adalah awal dari ujung tombak terdepan dalam pelaksanaan proses pendidikan Islam. Madrasah Ibtida‟iyah sebagai lembaga pendidikan awal yang tumbuh dan berkembang dari tradisi pendidikan agama dalam masyarakat, memiliki arti penting sehingga keberadaannya terus diperjuangkan dan siswa yang ingin melajutkan kejenjang selanjutnya tidak diragukan lagi dalam pengalaman pendidikan yang ia tempuh selama di Madrasah Ibtida‟iyah . Hakikat pendidikan madrasah seiring dengan tujuan pendidikan melalui misi madrasah khususnya pada Madrasah Ibtida‟iyah. Dalam rangka perwujudan hakikat tersebut sudah barang tentu memerlukan suatu perangkaat operasional yang berkualitas yang selalu dikembangkan sesuai dengan kemajuan dan kebutuhan
masyarakat,
melalui
peningkatan
berbagai
komponen
seperti
pengembangan kurikulum dan metodelogi, pemenuhan dan peningkatan mutu kemampuan tenaga pendidik, sarana dan prasarana dan lain-lain. Madrasah sebagai lembaga Pendidikan Islam harus senantiasa bertitik tolak dari rumusan dia 37
atas sehingga out put dari lembaga ini mampu bersaing dengan lembaga pendidikan lain. Dengan dikeluarkannya Kepres No. 34 tahun 1972 dan Inpres No. 15 tahun 1974, pemerintah mengambil kebijakan yang lebih operasional terhadap madrasah. dikeluarkannya SKBL (Surat Keputusan Bersama) Tiga Menteri, yaitu, Menteri Agama, Pendidikan dan kebudayaan, dan Menteri Dalam Negeri. Dapat dipandang sebagai pengakuan yang lebih nyata terhadap kedudukan Madrasah dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indoensia.
H. Saran 1. Harus adanya bentuk pemerataan pendidikan yang tidak membedakan agama dalam proses pencerdasan anak bangsa. 2. Madrasah sebagai lembaga pendidikan harus bisa bersaing dengan lembaga pendidikan umum yang mana Madrasah bisa lebihunggul dalam dalam dua keilmuan (agama dan umum). 3. Sebagai benteng pembelajaran pendidikan Islam, Madrasah hedaknya bisa berpacu
untuk
mengembangkan
keilmuaan
yang
dipadang
bisa
mengintegrasikan keilmuan umum dan religi.
DAFTAR PUSTAKA Aly, Hery Noer, 1999, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Logos. Ali, Hamdani, 1993, Filsafat Pendidikan, Yogyakarta : Kota Kembang. Djaelani, H. A Kadir, 2001, Konsepsi Pendidikan Agama Islam dalam Era Globalisasi, Jakarta: Putra Harapan. Departemen Agama, 1991, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta : Ditjenbinbaga Islam. Dhofier, Z. 1982, Tradisi Pesantren, Jakarta: LP3E. Fadjar, A. Malik, 1999, Reformasi Pendidikan Islam, Jakarta: Fajar Dunia. Fadjar, M.A. 1998, Madrasah dan Tantangan Modernitas. Bandung: Mizan. 38
Hasbullah, 2001, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Maksum, 1999, Madrasah, Sejarah dan Perkembangannya, Jakarta: Logos. Muhaimin, Yahya (Menteri Pendidikan Nasional), 2000, “Reformasi Pendidikan Nasional Munuju Indonesia”, Majalah Dwiwutan BPK Penabur Jakarta, Midyawarta, No. 69/Thn.XII, From: www.bpk. Penabur.co.id. Rahman, Fazlur, 1985, Islam dan Modernitas tentang Transformasi Intelektual, Terj. Ahsin Mohammad, Bandung: Pustaka. Sarijo, M. (1980). Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia. Jakarta: Dharma Bakti. Suroyo, 1991, Perbagai Persoalan Pendidikan; Pendidikan Nasional dan Pendidikan Islam di Indonesia, Jurnal Pendidikan Islam, Kajian tentang Konsepo Pendidikan Islam, Problem dan Prospeknya, Volem 1 Tahun 1991, (Yogtakarta : Fakultas Tarbiyah IAIN. Sudiro, M. Irsyad., Pendidikan Agama dalam Masyarakat Modern, Seminar dan Lokakarya Nasional Revitalisasi Pendidikan Luar Sekolah dalam Masyarakat Modern, Cirebon, Tanggal, 30 Agustus – 1 September 1995. Thoha, Chabib, dan Muth'i, A. (1998). PBM-PAI di Sekolah: Eksistensi dan Proses Belajar Mengajar Pendidikan Agama Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar bekerja sama dengan Fak. Tarbiyah lAIN Walisongo Sernarang Tadjab, 2000, Perbandingan Pendidikan, Surabaya : Karya Abditama. Zulkarnain, 2008, Transformasdi Nilai-Nilai Pendidikan Islam Manajemen Berorientasi Link and Match Yogyakarta : Pustaka Pelajar dan STAIN Bengkulu.
39
Pentingnya Religiusitas Bagi Remaja Oleh : Imron, M.A. Dosen Pada Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Magelang (081215633944)
Abstrak Religiusitas adalah penghayatan agama seseorang yang menyangkut simbol, keyakinan, nilai dan perilaku yang didorong oleh kekuatan spiritual. Fitrah beragama dalam diri manusia merupakan anugerah yang dibawa sejak lahir. Oleh karena itu fitrah beragama bersifat ghorizi bagi setiap manusia. Fitrah inilah yang menggerakkan hatinya untuk melakukan perbuatan “suci” yang diilhami oleh Alloh Subhanahu WaTa‟ala. (Al Qur‟an Surat Ar Rum ayat 30). Namun, perpaduan dengan jasad telah membuat berbagai kesibukan manusia untuk memenuhi berbagai tuntutan dan berbagai godaan serta tipu daya duniawi yang lain telah membuat pengetahuan dan pengakuan tersebut kadang- kadang terlengahkan, bahkan ada yang berbalik mengabaikan. Dalam konteks perkembangan manusia, masa remaja merupakan masa yang sangat penting diperhatikan. Pada masa ini merupakan masa peralihan dari anak anak menuju dewasa yang tentunya akan terjadi perubahan – perubahan dalam perilaku, dan lain lain yang jika tidak diperhatikan dengan baik akan terjadi hal hal yang merugikan dirinya. Banyak penelitian telah dilakukan bahwa salah satu penanganan remaja ialah dengan cara meningkatkan religiusitasnya.
Kata Kunci, Religiusitas, Remaja 40
A. Pendahuluan Banyak pakar mendefinisikan tentang keberagamaan atau religiusitas, yang dirumuskan dengan bahasa berbeda. Salah satunya memberikan pengertian bahwa keberagamaan atau Religiusitas adalah penghayatan agama seseorang yang menyangkut simbol, keyakinan, nilai dan perilaku yang didorong oleh kekuatan spiritual. Fitrah beragama dalam diri manusia merupakan anugerah yang dibawa sejak lahir. Oleh karena itu fitrah beragama bersifat ghorizi bagi setiap manusia. Fitrah inilah yang menggerakkan hatinya untuk melakukan perbuatan “suci” yang diilhami oleh Alloh Subhanahu WaTa‟ala. (Al Qur‟an Surat Ar Rum ayat 30). Namun, perpaduan dengan jasad telah membuat berbagai kesibukan manusia untuk memenuhi berbagai tuntutan dan berbagai godaan serta tipu daya duniawi yang lain telah membuat pengetahuan dan pengakuan tersebut kadang- kadang terlengahkan, bahkan ada yang berbalik mengabaikan. Dalam konteks perkembangan manusia, masa remaja merupakan masa yang sangat penting diperhatikan. Pada masa ini merupakan masa peralihan dari anak anak menuju dewasa. Disamping itu juga pada masa ini akan terjadi perubahan – perubahan dalam perilaku, yang jika tidak ditangani dengan baik sangat memungkinkan akan timbul masalah masalah dalam kehidupannya. Disinilah pentingnya memperhatikan kehidupan remaja yang merupakan masa mencari identitas. Remaja sekarang seringkali dihadapkan pada permasalahan hidup yang kompleks dan membingungkan mereka.Remaja yang memiliki agama, diharapkan pula memiliki religiusitas baik dalam ritual keagamaan maupun perwujudan dalam kehidupan sehari – hari. Masa remaja merupakan masa untuk mencari identitas diri dan untuk memenuhi tugas – tugas perkembangan yang ada, diharapkan 41
religiusitas memiliki peranan dalam memenuhi tugas – tugas perkembangan tersebut. Keyakinan dan penghayatan akan ajaran agama yang sering disebut sebagai religiusitas adalah hal yang penting bagi manusia sehingga dipakai sebagai pedoman hidup, khususnya bagi remaja.
B. Problematika Remaja Dalam Perkembangan Kepribadiannya Dalam dunia perkembangan, remaja mempunyai arti yang khusus, yaitu masa ini merupakan masa peralihan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa. Pada masa ini juga sebagai periode perubahan. Pada masa ini juga dikatakan sebagai masa bermasalah dan menimbulkan ketakukan (Hurlock). Masa remaja menunjukkan dengan jelas sifat transisi atau peralihan karena remaja belum memperoleh status dewasa dan tidak lagi memiliki status anak., yang pada saat ini akan terjadi perubahan perubahan pada diri remaja. Perubahan pada masa remaja mencakup perubahan fisik, kognitif, dan sosial. Perubahan secara kognitif pada remaja meliputi peningkatan idealisme dan penalaran logis. Secara sosial, jika dikaitkan dengan arah perkembangan dapat dilihat adanya dua macam gerak yaitu berkurangnya ketergantungan remaja dengan orang tua, sehingga remaja biasanya akan semakin mengenal komunitas luar melalui interaksi sosial yang dilakukannya di sekolah, pergaulan dengan teman sebaya maupun masyarakat luas. Perubahan fisik yang terjadi pada masa remaja yaitu semakin matangnya organ-organ tubuh termasuk organ reproduksi dan seksualnya yang menyebabkan munculnya minat seksual dan keingintahuan remaja tentang seksual. Seiring dengan perubahan perubahan dalam arti perkembangan di atas, maka akan muncul beberapa problem yang terjadi pada remaja. Sebagian problem tersebut adalah : 1. Problema berkaitan dengan perkembangan perilaku sosial, moralitas dan keagamaan. Masa remaja disebut pula sebagai masa social hunger (kehausan sosial), yang ditandai dengan adanya keinginan untuk bergaul dan diterima di 42
lingkungan kelompok sebayanya (peer group). Penolakan dari peer group dapat menimbulkan frustrasi dan menjadikan dia sebagai isolated dan merasa rendah diri. Namun sebaliknya apabila remaja dapat diterima oleh rekan sebayanya dan bahkan menjadi idola tentunya ia akan merasa bangga dan memiliki kehormatan dalam dirinya. Problema perilaku sosial remaja tidak hanya terjadi dengan kelompok sebayanya, namun juga dapat terjadi dengan orang tua dan dewasa lainnya, termasuk dengan guru di sekolah. Hal ini disebabkan pada masa remaja, khususnya remaja awal akan ditandai adanya keinginan yang ambivalen, di satu sisi adanya keinginan untuk melepaskan ketergantungan dan dapat menentukan pilihannya sendiri, namun di sisi lain dia masih membutuhkan orang tua, terutama secara ekonomis. Sejalan dengan pertumbuhan organ reproduksi, hubungan sosial yang dikembangkan pada masa remaja ditandai pula dengan adanya keinginan untuk menjalin hubungan khusus dengan lain jenis dan jika tidak terbimbing dapat menjurus tindakan penyimpangan perilaku sosial dan perilaku seksual. Pada masa remaja juga ditandai dengan adanya keinginan untuk mencoba-coba dan menguji kemapanan norma yang ada, jika tidak terbimbing, mungkin saja akan berkembang
menjadi
konflik
nilai
dalam
dirinya
maupun
dengan
lingkungannya. 2. Problema berkaitan dengan perkembangan kepribadian, dan emosional. Masa remaja disebut juga masa untuk menemukan identitas diri (self identity).
Usaha
pencarian
identitas
pun,
banyak
dilakukan
dengan
menunjukkan perilaku coba-coba, perilaku imitasi atau identifikasi. Ketika remaja gagal menemukan identitas dirinya, dia akan mengalami krisis identitas atau identity confusion, sehingga mungkin saja akan terbentuk sistem kepribadian yang bukan menggambarkan keadaan diri yang sebenarnya. Reaksi-reaksi dan ekspresi emosional yang masih labil dan belum terkendali pada masa remaja dapat berdampak pada kehidupan pribadi maupun sosialnya. Dia menjadi sering merasa tertekan dan bermuram durja atau justru dia menjadi 43
orang yang berperilaku agresif. Pertengkaran dan perkelahian seringkali terjadi akibat dari ketidakstabilan emosinya. Selain yang telah dipaparkan di atas, tentunya masih banyak problema keremajaan lainnya. Timbulnya problema remaja dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik internal maupun eksternal. Agar remaja dapat terhindar dari berbagai kesulitan dan problema kiranya diperlukan kearifan dari semua pihak. Upaya untuk memfasilitasi perkembangan remaja menjadi amat penting. Dalam hal ini, peranan orang tua, sekolah, serta masyarakat sangat diharapkan. Dengan adanya perubahan yang terjadi dalam fisik, psikologis dan sosial pada remaja yang sangat cepat dan drastis menuntut remaja tersebut untuk bisa menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut dan tuntutan-tuntutan lingkungan baru yang menyertainya. Pada kenyataannya tidak semua remaja dapat menyesuaikan dengan perubahan tersebut. Berikut adalah beberapa tanda-tanda penyesuaian diri yang salah pada remaja : a. Tidak bertanggung jawab, misalnya mengabaikan sekolah. b. Agresif secara berlebihan dan sikap yang tertalu yakin atas dirinya. c. Perasaan tidak aman, yang menyebabkan remaja harus menyesuaikan dengan standar kelompok. d. Homesickness e. Menghayal secara berlebihan sebagai upaya untuk mengkompensir ketidakpuasan dari kehidupan sehari-hari. f. Regresi perilaku ke tingkat perkembangan yang lebih awal, misalnya ngompol, ngamuk pada saat marah dan lain-lain. g. Menggunakan defense mechanism secara berlebihan, seperti rasionalisasi, proyeksi, fantasi, dan displacement.
C. Pentingnya Religiusitas Bagi Remaja Menurut R. Stark dan C.Y. Glock seperti dikutip pada Djamaluddin Ancok, religiusitas ( religiosity) meliputi lima dimensi yaitu : 44
Pertama, Dimensi Ritual; yaitu aspek yang mengukur sejauh mana seseorang melakukan kewajiban ritualnya dalam agama yang dianut. Misalnya; pergi ke tempat ibadah, berdoa pribadi, berpuasa, dan lain-lain. Dimensi ritual ini merupakan peirlaku keberagamaan yang berupa peribadatan yang berbentuk upacara keagamaan. Pengertian lain mengemukakan bahwa ritual merupakan sentimen secara tetap dan merupakan pengulangan sikap yang benar dan pasti. Perilaku seperti ini dalam Islam dikenal dengan istilah mahdaah yaitu meliputi salat, puasa, haji dan kegiatan lain yang bersifat ritual, merendahan diri kepada Allah dan mengagungkannya. Kedua, Dimensi Ideologis; yang mengukur tingkatan sejauh mana seseorang menerima hal-hal yang bersifar dogmatis dalam agamanya. Misalnya; menerima keberadaan Tuhan, ,malaikat dan setan, surga dan neraka, dan lain-lain. Dalam konteks ajaran Islam, dimensi ideologis ini menyangkut kepercayaan seseorang terhadap kebenaran agama-agamanya. Semua ajaran yang bermuara dari Al quran dan hadits harus menjadi pedoman bagi segala bidang kehidupan. Keberagaman ditinjau dari segi ini misalnya mendarma baktikan diri terhadap masyarakat yang menyampaikan amar ma‟ruf nahi mungkar dan amaliah lainnya dilakukan dengan ikhlas berdasarkan keimanan yang tinggi. Ketiga, Dimensi Intelektual; yaitu tentang seberapa jauh seseorang mengetahui, mengerti, dan paham tentang ajaran agamanya, dan sejauh mana seseorang itu mau melakukan aktivitas untuk semakin menambah pemahamannya dalam hal keagamaan yang berkaitan dengan agamanya. Misalnya; mengikuti seminar keagamaan, membaca buku agama, dan lain-lain. Secara lebih luas, dimensi intelektual ini memiliki indicator sebagai berikut : 1. Dimensi intelektual ini menunjukkan tingkat pemahaman seseorang terhadap doktrin-doktrin agama tentang kedalaman ajaran agama yang dipeluknya. 2. Ilmu yang dimiliki seseorang akan menjadikannya lebih luas wawasan berfikirnya sehingga perilaku keberagamaan akan lebih terarah.
45
3. Dia akan lebih memahami antara perintah dan larangan dan bukan sekedar taklid buta. 4. Dengan ilmu pengetahuan seseorang bisa menyingkap beta besar dan megah ciptaan Tuhan dan betapa lemahnya hamba-hamba-Nya. Semakin banyak ilmu yang dimiliki maka semakin mampu manusia memahami Al quran maka imannya semakin kuat. 5. Melalui argumen yang kuat, seseorang memperoleh pengetahuan agama terutama tentang wujud Tuhan, kehidupan kekal di akhirat dan pengetahuan lainnya Keempat, Dimensi Pengalaman; berkaitan dengan sejauh mana orang tersebut pernah mengalami pengalaman yang merupakan keajaiban dari Tuhannya. Misalnya; merasa doanya dikabulkan, merasa diselamatkan, dan lain-lain. Dalam konteks berdoa, Sebagai makhluk manusia pun tidak lepas dari segala bentuk permasalahan dan setiap permasalahan yang dihadapi oleh diri individu yang satu dengan yang lain tidak sama, yaitu sesuai dengan tingkat keimanan masing-masing. Dengan segala kekurangan, keterbatasan dan kelemahan yang ada dalam diri manusia, maka manusia tak bisa melepaskan diri dari Allah sebagai zat pencipta yaitu dengan cara berdoa. Berdoa merupakan salah satu cara untuk mendekatkan diri kepada Allah yang pada akhirnya ketenangan, ketentraman jiwa dan keindahan hidup akan digapai oleh semua manusia. Menurut Zakiah Darojat pengertian doa adalah sebagai berikut : Doa itu penting untuk membuat kesehatan mental, baik untuk penyembuhan, pencegahan maupun untuk pembinaan Dari beberapa pengertian berdoa diatas maka penulis menyimpulkan berdoa adalah memohon, memuji, menyeru dan merupakan aplikasi dari ketundukan umat manusia kepada Allah sebagai zat sang pencipta.
46
Dalam bidang kesehatan sendiri doa juga mempunyai manfaat yaitu bahwa dalam perawatan kesehatan ilmu pengetahuan tanpa kerohanian tidaklah lengkap, sementara keimanan saja tanpa ilmu pengetahuan tidak efektif Adapun hakekat berdoa adalah sebagai berikut : 1. Pengakuan seorang dengan seluruh kepribadiannya akan kemahabesaran-Nya dan juga pengakuan bahwa manusia adalah hamba-Nya, maka dari itu Dia merupakan tempat berlindung, dari segala bencana dan tempat meminta sesuatu, tempat mengadukan diri dari permasalahan yang dihadapi manusia. 2. Untuk mengintrospeksi diri menyadarkan akan status, fungsi dan kondisinya. Mengingat janji dan ancaman-Nya terhadap umat yang mentaati-Nya dan yang mengingkari-Nya sehingga mendorong manusia untuk berhati-hati dalam bertindak di masa yang akan datang. 3. Sarana untuk menyadarkan manusia bahwa kebaikan hanyalah datang dari Allah dan kedamaian, ketentraman akan tercapai bila mematuhi perintah-Nya dan manjauhi larangan-Nya. 4. Sarana untuk memohon sesuatu kepada Allah SWT dan sarana untuk mencapai keridhoan-Nya. Kelima, Dimensi Konsekuensi. Dalam hal ini berkaitan dengan sejauh mana seseorang itu mau berkomitmen dengan ajaran agamanya dalam kehidupan seharihari. Misalnya; menolong orang lain, bersikap jujur, mau berbagi, tidak mencuri, dan lain-lain. Aspek ini berbeda dengan aspek ritual. Aspek ritual lebih pada perilaku keagamaan yang bersifat penyembahan/adorasi sedangkan aspek komitmen lebih mengarah pada hubungan manusia tersebut dengan sesamanya dalam kerangkan agama yang dianut. Pada hakekatnya, dimensi konsekuensi ini lebih dekat dengan aspek social. Berkenaan dengan hal ini, Jamaludin Ancok, dimensi social ini secara rinci memiliki indicator sebagai berikut : 1. Dimensi sosial adalah menifestasi ajaran agama dalam kehidupan masyarakat, meliputi semua perilaku yang didefinisikan oleh agama 47
2. Ditinjau dari dimensi ini semua aktivitas yang berhubungan dengan kemasyarakatan umum merupakan ibadah. Hal ini tidak lepas dari ajaran Islam yang menyeluruh, menyangkut semua sendi kehidupan. Jadi religiusitas pada dasarnya
merupakan
perbuatan
seseorang
yang
berhubungan
dengan
masyarakat luas dalam rangka mengembangkan kreativitas pengabdian (ibadah) kepada Allah semata. Dari pengertian dan dimensi religiusitas diatas,maka sesungguhnya religiusitas bisa digambarkan adanya konsistensi antara kepercayaan terhadap agama sebagai unsur kognitif, perasaan
agama
sebagai
unsur
efektif dan
perilaku terhadap agama sebagai unsur psikomotorik. Jadi Religiusitas merupakan integrasi secara komplek antara pengetahuan agama, perasaan serta tindakan keagamaan dalam diri seseorang. Banyak hasil penelitian menunjukkan bahwa religiusitas menjadi sangat penting dalam mempengaruhi kehidupan remaja. Diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Indrayani Yanuar dengan judul Hubungan religiusitas, kematangan emosi, dan kecemasan terhadap masa depan pada dewasa awal(2010), menggambarkan bahwa : Masa dewasa awal merupakan masa transisi ketika seseorang dihadapkan pada tugas baru yang berbeda dengan masa remaja. Dalam tahap perkembangan ini pula seringkali terjadi kecemasan pada individu terkait dengan ketidakpastian dalam menghadapi masa depan. Perbedaan tingkat kecemasan setiap orang berbeda-beda, faktor yang mempengaruhi diantaranya adalah tingkat religiusitas dan kematangan emosional. Religiusitas memegang peranan yang besar dalam menghadapi masalah, supaya kecemasan tidak berlanjut. Orang yang mempunyai kematangan emosi dapat mengontrol gejalagejala tersebut sebelum muncul kecemasan pada dirinya. Dalam penelitian ini disimpulkan ada hubungan antara religiusitas, kematangan emosi, dan kecemasan terhadap masa depan. Dari hasil penelitian ini disarankan kepada individu dewasa awal agar dapat meningkatkan religiusitas dan kematangan emosi dengan cara mengikuti kegiatan 48
religius, dan pelatihan-pelatihan yang dapat meningkatkan kematangan emosi sehingga bisa mengurangi tingkat kecemasan terhadap masa depan. Demikian juga penelitian yang dilakukan oleh Idha Rachmawati yang berjudul Hubungan antara Religiusitas dengan Kecemasan Pasien Penderita Penyakit Kronis (2007). Penyakit kronis adalah penyakit degeneratif yang berkembang dan berkelanjutan dalam kurun waktu yang lama. Seseorang yang telah didiagnosa mengidap penyakit kronis pasti akan merasakan kecemasan. Rasa cemas itu berasal dari rasa takut akan kelanjutan dari penyakitnya itu, takut ditinggalkan dan dijauhi oleh keluarga dan teman-temannya, rasa tidak berdaya dan yang paling membuat cemas adalah kematian. Hal ini dikarenakan penyakit kronis itu tidak bisa disembuhkan dan dihilangkan dari tubuh pasien. Dokter hanya bisa memberikann terapi untuk mengurangi rasa sakit dan gejala-gejalanya. Rasa cemas yang dirasakan antara pasien satu dengan lainnya berbeda-beda. Yang membedakannya salah satunya adalah tingkat religiusitas individu. Individu yang memiliki religiusitas tinggi akan merasa lebih ikhlas, tawakal dan menerima keadaannya. Selain melakukan pengobatan secara fisik, individu yang mempunyai religiusitas tinggi akan lebih mendekatkan diri lagi pada Tuhan, karena mereka sadar bahwa hidup dan mati itu ada di tangan Tuhan. Sedangkan individu yang memiliki religiusitas rendah akan selalu menyalahkan nasib, merasa rendah diri, menutup diri, ingin marah dan takut mati. Mereka akan merasa bahwa hidup itu tidak adil. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang sangat signifikan antara religiusitas dengan kecemasan pasien penderita penyakit kronis, yaitu semakin tinggi religiusitas maka kecemasan pasien penderita penyakit kronis semakin rendah. Sebaliknya semakin rendah religiusitas pasien maka kecemasannya akan semakin tinggi. Hal yang sama juga dingkapkan oleh Kirana Mustikasari dalam penelitian dengan judul Hubungan Religiusitas Dengan Kecemasan Pada Siswa Kelas Xii Smu Negeri 5 Surakarta Yang Akan Menghadapi Ujian Nasional (2010). 49
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat korelasi antara religiusitas dengan kecemasan siswa kelas XII SMU Negeri 5 Suurakarta yang akan menghadapi Ujian Nasional. Simpulan penelitian: Terdapat korelasi negatif yang bermakna antara tingkat religiusitas dengan tingkat kecemasan siswa kelas XII SMU 5 Surakarta yang akan menghadapi Ujian Akhir Nasional (UAN) dengan kekuatan korelasi lemah. Artinya semakin tinggi religiusitas siswa maka kecemasannya semakin rendah. Direkomendasikan siswa yang akan menghadapi Ujian Nasional meningkatkan tingkat religiusitasnya untuk mengurangi rasa kecemasan yang muncul.
D. Pengaruh Religiusitas Terhadap Kesehatan Jiwa Dan Emosi Kehidupan masyarakat modern dengan segala hiruk pikuknya, seringkali menimbulkan
gejolak dalam pribadi maupun sosial masyarakat. Hal ini bisa
berakibat pada kehidupan yang pada gilirannya orang kehilangan pegangan, hanyut terbawa arus globalisasi dan lepas dari tali Agama. Kondisi ini kadang berimbas pada kesehatan rohani (jiwa) ataupun jasmani. Berbekal dari hal di atas, maka agama menjadi sesuatu yang sangat dibutuhkan (Q.S, Al Isra‟ ayat 9). Hal ini di sebabkan agama dengan segala konsekuensi ajarannya akan membawa pengaruh pada kesehatan jiwa mereka atau emosi mereka Dalam hubungan anatar agama dan kesehatan jiwa, seperti dikutip (Hawari). Cancellaro, Larson dan Wilson (1982) telah melakukan penelitian terhadap tiga kelompok yaitu : a. kronik alkoholik, b. kronik drug addict dan, c. skizorfrenia. Ketiga kelompok tadi dibandingkan dengan kelompok kontrol. Dari ketiga kelompok gangguan jiwa dan kelompok kontrol yang hendak diteliti adalah riwayat keagamaan mereka. Hasilnya sungguh mengejutkan, ternyata pada kelompok kontrol lebih konsisten dalam keyakinan agamanya dan pengamatannya. Menurut Larson dalam penelitiannya antara kelompok kontrol dan hipertensi dimana variabel seperti merokok, umur dan berat badan sudah terikat menemukan bahwa orang yang rajin menjalankan ibadah keagamaan dan religiusitas tinggi 50
ternyata tekanan darahnya lebih rendah dibandingkan dengan yang tidak melaksanakan kegiatan keagamaan, disamping itu komitmen agama juga menjadikan manusia lebih tahan terhadap stres dan depresi. Tolok ukur yang dipakai pada penelitian di atas adalah kedalaman seseorang atas kepercayaanya seperti rutinitas melakukan ibadah sehari-hari doa dan membaca kitab suci atau munculnya berbagai pertanyaan tentang hubungan vertikal antara hamba dengan Tuhan (Sang Pencipta). Selanjutnya bagaimana dengan ibadah dalam agama Islam seperti puasa doa dan shalat dapat mempengaruhi emosi ataupun kesehatan jiwa mereka. Berikut ini adalah beberapa bukti bahwa religiusitas seseorang dapat mempengaruhi kesehatan ataupun emosinya. Menurut penelitian Dr Nicolayev seperti dikutip (Ancok) pada lembaga psikiatri Moskow mencoba menyembuhkan gangguan jiwa dengan berpuasa. Dalam usahanya itu ia menterapi pasien sakit jiwa dengan menggunakan puasa selama tiga puluh hari (persis puasa umat Islam dalam jumlah harinya) Nicolayev mengadakan penelitian eksperimen dengan membagi subyek menjadi 2 kelompok yang sama besar baik usia maupun berat ringan penyakit yang diderita, kelompok pertama diberi ramuan obat-obatan, kelompok kedua diperintahkan puasa selama 30 hari. Dua kelompok tadi diikuti perkembangannya baik fisik maupun mental dengan tes-tes psikologis. Dari eksperimen itu diperoleh hasil yang sangat baik yaitu banyak pasien yang tak bisa disembuhkan dengan terapi medis ternyata bisa disembuhkan dengan berpuasa. Selain itu kemungkinan pasien untuk tidak kambuh lagi setelah 6 tahun kemudian lebih tinggi. Ditinjau dari penyembuhan kecemasan seperti dilaporkan Alan Cott bahwa penyakit seperi susah tidur, merasa rendah diri dapat disembuhkan dengan berpuasa (Ancok). Menurut penelitian yang lain seperti yang dikutip (Ancok) bahwa berpuasa dapat meningkatkan rasa percaya diri kepada diri sendiri yang lebih besar, konsep diri yang optimis, yang merupakan indikasi adanya mental sehat dan tidak rapuh menghadapi tantangan hidup. 51
Doa juga akan memberikan makna kesadaran diri secara sadar yang kemudian membentuk rasa tanggung jawab. Dalam pelatihan pengembangan diri yang dilakukan di Pesantren Al – Maghfiroh dilakukan penelitian secara rutin setiap satu bulan penuh terhadap 20 pasien yang terkena ketergantungan narkoba. Disamping konseling dan program motivasi khusus kepada mereka diminta berdoa dan berdzikir secara penuh setelah melakukan shalat wajib. Setelah 3 bulan mereka diperbolehkan cuti selama 1 minggu di bawah pengawasan orang tuanya. Dari penelitian ini diperoleh hasil lima orang yang berdoa secara sungguh-sungguh dapat mengatasi sugesti (hasrat ingin memakai obat), dua belas orang kembali ke pesantren sebelum masa cuti habis dan 3 orang kembali ke pesantren melampaui masa cuti dan kembali memakai obat (Toto Tasmara, 2001 : 18). Jadi jelas bahwa doa dapat membentuk sikap optimisme, kepercayaan diri dan rasa tanggung jawab bagi dirinya. Menurut Jamaludin Ancok (2001) bahwa ada empat aspek terapeutik dalam shalat yaitu aspek olah raga, aspek meditasi, aspek auto sugesti dan aspek kebersamaan. Aspek olah raga shalat adalah proses yang menuntut suatu aktivitas fisik. Kontraksi otot, tekanan dan masage pada bagian otot tertentu dalam pelaksanaan shalat merupakan proses relaksasi. Salah satu teknik yang banyak dipakai dalam proses gangguan jiwa adalah pelatihan relaksasi. Menurut Arif Wibisono seperti dikutip Jamaludin Ancok (2001) menunjukkan adanya korelasi negatif yang signifikan antara keteraturan menjalankan shalat dengan tingkat kecemasan. Makin rajin dan teratur melakukan shalat makin rendah kecemasannya. Aspek meditasi shalat menuntut konsentrasi yang dalam Islam disebut khusuk, hasil penelitian tentang pengaruh meditasi terhadap perbedaan kecemasan jiwa telah dilaporkan Eugene Walker (1975). Kalau dikaitkan dengan shalat yang juga berisikan meditasi maka shalatpun dapat menghilangkan kecemasan. Shalat yang dilakukan dengan khusuk juga bermanfaat yaitu ketenangan hati, perasaan aman, berperilaku soleh dan terhindar dari stres (Hawari). 52
Aspek auto-sugesti, bacaan dalam shalat adlaah ucapan yang dipanjatkan kepada Allah. Di samping berisi pujian pada Allah juga berisikan doa dan permohonan kepada Allah agar selamat dunia akherat. Ditinjau dari hipnosis pengucapan kata-kata itu berisi proses auto-sugesti. Dengan doa tersebut akan mensugesti diri untuk selalu berbuat baik. Aspek kebersamaan, dalam mengerjakan shalat sangat dianjurkan oleh agama untuk shalat berjamaah (bersama orang lain). Pahalanya 27 derajat dibanding shalat sendiri. Beberapa ahli psikologi juga berpendapat bahwa perasaan keterasingan dari orang lain yang menjadi penyebab gangguan jiwa, dengan berjamaah perasaan terasing dapat hilang. Dengan berjamaah juga akan meningkatkan rasa persaudaraan sesama manusia, saling membutuhkan, saling merasakan penderitaan dan kesenangan orang lain dan juga menumbukan tanggung jawab sosial yang akan menjaga kemungkinan terjadinya gangguan jiwa.
DAFTAR PUSTAKA Ancok, Jamaludin dan Fuad Anshari Suroso, Psikologi Islam : Solusi Islam Atas Problema-Problema Sikologi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1995. Aulia Iskandarsyah, Remaja dan Permasalahannya, Perspektif psikologi terhadap permasalahan remaja dalam bidang pendidikan Disajikan pada ceramah untuk siswa, guru dan orang tua yang diselenggarakan oleh SMUN 1 Cianjur, tanggal 15 Desember 2006 di Cibodas - Puncak. Sudrajat,
Akhmad
,
masalah
pada
masa-remaja
www.akhmadsudrajat.wordpress.com / dikutip pada tanggal 7 Mei 2012 Darajat Zakiyah, Doa Menunjang Semangat Hidup, CV. Ruhana, Jakarta, 1996. Darajat, Zakiah, Peranan Agama Dalam Kesehatan Mental, Jakarta: Gunung Agung, 1982 Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur‟an dan Terjemahnya, Semarang : CV Toha Putra 1989
53
Hawari, Dadang, Doa dan Dzikir Sebagai Pelengkap Terapi Medis, PT. Dhani Bhakti Primayasa, Jakarta, 1997. Hurlock, Elizabeth B. (1980). Psikologi Perkembangan. Jakarta : Erlangga Indrayani, Yanuar. 2010. Hubungan Religiusitas, Kematangan Emosi, dan Kecemasan terhadap Masa Depan pada Dewasa Awal. Skripsi, Program Studi Psikologi, Jurusan Bimbingan Konseling dan Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Malang. karya-ilmiah.um.ac.id Mustikasari, Kirana , 2010 Hubungan Religiusitas Dengan Kecemasan Pada Siswa Kelas Xii Smu Negeri 5 Surakarta Yang Akan Menghadapi Ujian Nasional. http://digilib.uns.ac.id Rachmawati, Idha, 2007. Hubungan antara Religiusitas dengan Kecemasan Pasien Penderita
Penyakit
Kronis,
Universitas
mUhammadiyah
Malanghttp://digilib.umm.ac.id/ Toto Tasmara, (2001). Kecerdasan Ruhaniah (Trancendental Intelligence). Jakarta: Gema Insan Press.
54
Reformasi Pendidikan Islam : Telaah Pemikiran Ibnu Khaldun dan Implikasinya dalam Pendidikan Masa Kini Oleh Mujahidun, M.Pd. Dosen Pada Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Magelang dan Mahasisa S3 Kependidikan Islam pada UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. No. HP 081328701722
Abstrak Pemikiran Ibnu Khaldun, seorang sejarahwan dan filosof, telah membawa pemikiran horizon baru dalam pemikiran pendidikan Islam. Menurut beberapa ahli, proses pemikirannya mengalami percampuran yang unik, yaitu dipengaruhi oleh dua tokoh yang saling bertolak belakang, Al-Ghozali (penentang Aristoteles) dan Ibnu Rusyd (pengikut Aristoteles). Ibnu Khaldun adalah pengikut Al-Ghozali dalam permusuhannya melawan logika Aristoteles, dan pengikut Ibnu Rusyd dalam usahanya mempengaruhi massa. Hal itulah yang membawa Ibnu Khaldun membangun suatu bentuk logika baru yang realistik, guna menggantikan logika idealistik Aristoteles yang berpola paternalistik-absolutistik-spiritualistik menjadi relatifistik-temporalistik-materialistik. Ia terkenal sebagai ilmuwan besar karena karyanya “Muqaddimah”. Dalam karyanya itu, Ibnu Khaldun menyatakan bahwa ilmu pendidikan bukanlah suatu aktivitas yang semata-mata bersifat pemikiran dan perenungan, akan tetapi merupakan gejala konklusif yang lahir dari terbentuknya masyarakat dan perkembangannya dalam tahapan kebudayaan. Pendidikan menurutnya mempunyai pengertian yang cukup luas, bukan hanya merupakan proses belajar mengajar yang dibatasi oleh empat dinding, melainkan suatu proses di mana manusia secara sadar menangkap, menyerap, dan menghayati peristiwa-peristiwa alam sepanjang zaman. Tulisan ini bermasud menyoroti pemikiran Ibnu Khaldun yang terkenal dengan reformasi pendidikan tersebut dan implikasinya dalam pendidikan Islam masa kini. Kata Kunci: reformasi pendidikan, pendidikan Islam
55
A. Pendahuluan Pemikiran pendidikan Islam, dari waktu ke waktu, mengalami perubahan seiring perubahan zaman dengan berbagai faktornya. Salah satu faktor yang mempengaruhi perubahan tersebut adalah perbedaan cara pandang dalam memaknai hakekat, tujuan, metode dan sumber pendidikan Islam. Secara historis, perubahan pemikiran pendidikan Islam selalu mengalami revolusi. Muhammad Jawwad Ridla mengatakan bahwa revolusi pemikiran pendidikan Islam terjadi pada masa sahabat Usman hingga abad IV hijriyah dengan ditandai semangat sejarahwan Muslim dan dinamika perkembangan pemikiran dalam berbagai dimensi. Lebih lanjut Ridla menganalisis sejarah perkembangan pemikiran tersebut ke dalam tiga tahap, yakni pertama, berawal dari hijrah Nabi SAW hingga berdirinya Dar al-Hikmah di Baghdad (217 H/832 M); kedua, dari berdirinya Dar al-Hikmah hingga munculnya madrasah Nizamiyah di Baghdad (462 H/1065 M) dan ketiga, masa setelah era madrasah Nizamiyah hingga runtuhnya kekhalifahan Turki Usmani (Ridla, 2002:22). Muhammad Jawwad Ridla (2002:22-57) menjelaskan pada tahap pertama pemikiran pendidikan Islam belum memunculkan teori pendidikan yang istimewa dan belum diformulasikan secara komprehensif. Tahap kedua merupakan fase perkembangan sumber sosial-filosofis pemikiran pendidikan Islam ditandai dengan gerakan pembentukan teori-teori pendidikan. Pada tahap ini muncul gerakan massif penerjemahan buku-buku filsafat Yunani, kedokteran, matematika dan disiplin ilmu lain ke dalam bahasa Arab (abad III dan IV M). Tahap ketiga, setelah runtuhnya dinasti Usmani, terjadilah padam pelita gerakan intelektual yang mengakibatkan pemikiran pendidikan Islam mengalami stagnasi. Dinamika perkembangan pemikiran pendidikan Islam tersebut mendorong para pemikir Muslim untuk mengkaji secara lebih mendalam agar melahirkan sebuah warisan pemikiran keislaman. Upaya tersebut, dari berbagai belahan dunia Islam, telah ditunjukkan dengan lahirnya tiga aliran utama pendidikan Islam, yaitu aliran agamis-konservatif, aliran religius-rasional dan aliran pragmatis-instrumental 56
(Muhammad Jawwad Ridla,
2002:35). Uraian ketiga aliran tersebut sebagai
berikut. Aliran agamis-konservatif ini cenderung bersikap murni keagamaan dalam kaitannya dengan persoalan pendidikan, artinya ilmu pengetahuan hanya terbatas pada pemaknaan dari sumber utama (Al-Qur‟an dan Sunnah). Tokoh-tokoh aliran ini adalah al-Ghazali, Nasiruddin al-Thusi, Ibnu Jama‟ah, Sahnun, Ibnu Hajar alHaitami dan al-Qabisi. Aliran religius-rasional meski tidak jauh dengan pemikiran kalangan “tradisionalis-tekstualis” mengatakan bahwa semua ilmu yang tidak menghantarkan pada tujuan akherat, maka akan menjadi bumerang bagi pemiliknya. Tokoh aliran ini adalah kelompok Ikhwan al-Shafa, al-Farabi, Ibnu Sina dan Ibnu Miskawaih. Menurut aliran ini. pendidikan ditafsirkan lebih luas sebagai aktivitas sosial (interaksi dalam kehidupan sosial) dan respons positif terhadap tuntutannya. Aliran ini juga mengaskan bahwa ilmu tidak semata berdasarkan teks namun dibutuh pemikiran yang rasional.
Adapun aliran
pragmatis-instrumental dengan tokoh satu-satunya adalah Ibnu Khaldun membagi ilmu pengetahuan berdasarkan tujuan fungsionalnya, bukan berdasar nilai substansialnya. Oleh karena itu pendidikan dipandang sebagai tujuan yang pragmatis dan berorientasi kepada aplikatif-praktis. Berdasarkan uraian di atas, tulisan ini ingin mencoba mendiskripsikan konsep pemikiran Ibnu Khaldun kaitannya dengan upaya-upaya mereformasi pendidikan Islam dan implikasinya dalam pendidikan Islam masa kini.
B. Biografi Singkat Ibnu Khaldun Ibnu Khaldun yang nama lengkapnya Abdurrahman Zaid Waliuddin ibnu Muhammad ibnu al-Husain ibnu Muhammad ibnu Ibrahim ibnu Abdirrahman ibnu Khaldun al-Khadlrami al-Tunisi kemudian termashur dengan nama Ibnu Khaldun (733-808 M/ 1332-1406). Ia dilahirkan di Tunisia dari keluarga Spanyol-Arab dan dikenal sebagai sejarawan dan bapak sosiologi Islam yang hafal Alquran sejak usia dini. Perjalanan hidupnya dipenuhi dengan berbagai peristiwa, pengembaraan, dan 57
perubahan dengan sejumlah tugas besar. Dari jabatan yang diembannya dan pengembaraan tersebut melahirkan sejumlah pemikiran yang sangat berpengaruh bagi intelektual Barat dan Timur baik Muslim maupun non-Muslim dalam bidang sejarah, politik, ekonomi dan filsafat. Abu Al Maira menguraikan dari kisah yang panjang tentang Ibnu Khaldun, setidak-tidaknya dapat dikelompokkan kedalam tiga periode yang amat penting yakni,
pertama, masa dimana Ibnu Khaldun menuntut berbagai bidang ilmu
pengetahuan. Yakni, ia belajar al-Quran, tafsir, hadis, usul fikih, tauhid, fikih madzhab Maliki, ilmu nahwu dan sharaf, ilmu balaghah, fisika dan matematika. Kedua, ia terjun dalam dunia politik dan sempat menjabat berbagai posisi penting kenegaraan seperti qadhi al-qudhat (Hakim Tertinggi). Namun, akibat fitnah dari lawan-lawan politiknya, Ibnu Khaldun sempat juga dijebloskan ke dalam penjara. Ketiga, setelah ia keluar penjara, Ibnu Khaldun berkonsentrasi pada bidang penelitian dan penulisan, ia pun melengkapi dan merevisi catatan-catatannya yang telah lama dibuatnya. Seperti kitab al-‟ibar (tujuh jilid) yang menjadi Kitab al‟Ibar wa Diwanul Mubtada‟ awil Khabar fi Ayyamil „Arab wal „Ajam wal Barbar wa Man „Asharahum min Dzawis Sulthan al-Akbar. Karya-karya lainnya adalah, at-Ta‟riif bi Ibn Khaldun (sebuah kitab autobiografi, catatan dari kitab sejarahnya); Muqaddimah (pendahuluan atas kitabu al-‟ibar yang bercorak sosiologis-historis, dan filosofis); Lubab al-Muhassal fi Ushul ad-Diin (sebuah kitab tentang permasalahan dan pendapat-pendapat teologi, yang merupakan ringkasan dari kitab Muhassal Afkaar al-Mutaqaddimiin wa al-Muta‟akh-khiriin karya
Imam
Fakhruddin
ar-Razi.
(Abu
Al
Maira,
http://jaksite.wordpress.com/biografi diunduh pada tanggal 4 Mei 2010} Karya terbesar Ibnu Khaldun adalah “Muqaddimah” sebuah buku terlengkap pada abad ke-14 M yang telah diterjamahkan ke beberapa bahasa memuat pokokpokok pikiran tentang gejala-gejala sosial kemasyarakatan, sistem pemerintahan dan politik di masyarakat, ekonomi dalam individu, bermasayarakat dan bernegara, gejala manusia dan pengaruh faktor lingkungan geografis serta 58
paedagogik dan ilmu pengetahuan beserta alatnya. Kontribusi dalam pendidikan Islam telah beliau tuangkan melalui buku “Muqaddimah” yang sekaligus merupakan karya monumental bagi perkembangan keilmuan menuju reformasi pendidikan Islam. Dikatakan oleh Fakhri dalam bukunya History of Islamic Philosophy sebagaimana dikutip oleh Beavers (2001:117) bahwa karya ini dipuji karena dibuat dengan penuh kesadaran dan merupakan ringkasan dari seluruh ajaran Islam.
C. Pemikiran Ibnu Khaldun Tentang Pendidikan Islam Latar belakang yang unik dari kehidupan sosok Ibnu Khaldun menurut Beavers memunculkan pemikiran pendidikan yang istimewa menuju horizon baru pemikiran pendidikan Islam. Hal ini tercermin pada apresiasi Ibnu Khaldun terhadap ragam ilmu yang menurutnya dibagi menjadi dua yaitu ilmu-ilmu tradisional seperti al-Qur‟an, hadits, kalam, sufisme dan penafsiran mimpi dan ilmu-ilmu „aqli yaitu logika, matematika, fisika dan metafisika. Cabang-cabangnya begitu rinci, sehingga lebih bercorak ensiklopedis yang ditulis untuk tujuan pendidikan (Beavers (2001:117). Kaitannya dengan pemikiran filsafat pendidikan, dapat dikatakan bahwa pemikiran Ibnu Khaldun telah mengakomodir ide-ide falsafah pendidikan yang masih aktual hingga sekarang. Dikatakan oleh Ibnu Khaldun bahwa ilmu pendidikan bukan sebagai aktivitas yang semata-mata bersifat pemikiran dan perenungan, yang jauh dari aspek-aspek pragmatis di dalam kehidupan, akan tetapi ia merupakan gejala konklusif yang lahir dari terbentuknya masyarakat dan perkembangannya dalam tahapan kebudayaan, (Fathiyah, 1987:31). Diakuinya bahwa lingkungan dan pendidikan merupakan faktor determinan bagi kencenderungan-kecendurangan individu (Jawad Ridla, 2002:175). Dengan demikian pendidikan merupakan sebuah keniscayaan dalam sebuah masyarakat manusia, dan ia akan selalu berkembang sesuai perkembangan dan kemajuan peradaban manusia.
59
Pemikiran Ibnu Khaldun dalam bidang pendidikan dapat disimpulkan yakni meliputi manusia didik, ilmu, metode pengajaran dan spesialisasi. Ibnu Khaldun berpandangan bahwa manusia adalah makhluk berfikir yang dapat melahirkan ilmu dan teknologi, di mana sifat-sifat ini tidak dimiliki oleh makhluk lainnya. Selanjutnya ia juga berpendapat bahwa pertumbuhan pendidikan dan ilmu pengetahuan dipengaruhi oleh peradaban (Mufidah, 2008:87). 1. Pengertian dan Tujuan Pendidikan Menurut Ibnu Khaldun Gambaran umum mengenai makna pendidikan menurut Ibnu Khaldun dituangkan dalam “Muqaddimah”. Dalam bukunya beliau mengatakan bahwa: “Barangsiapa tidak terdidik oleh orang tuanya, maka akan terdidik oleh zaman, maksudnya barangsiapa tidak memperoleh tata krama yang dibutuhkan sehubungan pergaulan bersama melalui orang tua mereka yang mencakup guru-guru dan para sesepuh, dan tidak mempelajari hal itu dari mereka, maka ia akan mempelajarinya dengan bantuan alam, dari peristiwa-peristiwa yang terjadi sepanjang zaman, zaman akan mengajarkannya” (Ibnu Khaldun, 1986:527).
Pendidikan menurut beliau mempunyai pengertian yang cukup luas. Pendidikan bukan hanya merupakan proses belajar mengajar yang dibatasi oleh ruang dan waktu, tetapi pendidikan adalah suatu proses, di mana manusia secara sadar menangkap, menyerap, dan menghayati peristiwa-peristiwa alam sepanjang zaman. Meskipun tidak memberikan pengertian pendidikan secara jelas, namun ia menegaskan bahwa ilmu dan pendidikan tidak lain merupakan gejala sosial yang menjadi ciri khas jenis insani. Menurut Ibnu Khaldun bahwa manusia itu secara esensial bodoh (jahil) layaknya seperti binatang, manusia hanya berupa setetes sperma, segumpal darah, sekerat daging dan masih ditentukan rupa mentalnya. Artinya manusia itu adalah jenis hewan, namun Allah SWT telah membedakan manusia dan 60
hewan dengan memberi akal pikiran kepada manusia. Pada mulanya manusia menggunakan akal pemilah, kemudian akal eksperimental dan akhirnya menggunakan akal kritis. Melalui akan pikiran inilah, manusia mampu bertindak secara teratur dan terencana. Kemampuan manusia untuk berfikir baru dapat dicapai setelah sifat kebinatangannya mencapai kesempurnaan. Dia mencapai kesempurnaan bentuknya melalui ilmu pengetahuan yang dicari melalui organ tubuhnya sendiri (pendengaran, penglihatan dan akal). Akhirnya manusia menjadi berilmu („alim) melalui pencarian ilmu pengetahuan (Ibnu Khaldun (1986:533). Melalui proses kemampuan membedakan, manusia siap menerima ilmu pengetahuan dan keahlian-keahlian. Kemudian manusia ingin mencapai apa yang menjadi tuntutan wataknya; yaitu ingin mengetahui segala sesuatu, lalu dia mencari orang yang lebih dulu memiliki ilmu atau kelebihan dan dari sinilah timbul pengajaran. Setelah itu pikiran dan pandangannya dicurahkan pada hakekat kebenaran satu demi satu serta memperhatikan peristiwa-peristiwa yang dialaminya. Akhirnya dia menjadi terlatih dan ketika itu ilmunya menjadi suatu ilmu spesial, dan jiwa generasi yang sedang tumbuh pun tertarik untuk memperoleh ilmu tersebut. Inilah yang oleh Ibnu Khaldun dikatakan bahwa ilmu pengetahuan merupakan hal yang alami di dalam peradaban manusia (Ibnu Khaldun, 1986:534). Al-Syaibani (1979:66) mencoba menganalisis tujuan pendidikan menurut Ibnu Khaldun. Menurutnya ada enam tujuan pendidikan, yaitu : a) menyiapkan seseorang dari segi keagamaan dengan memperkuat potensi iman, sebagaimana dengan potensi-potensi lain; b) menyiapkan seseorang dari segi akhlak; c) menyiapkan seseorang dari segi kemasyarakatan atau sosial; d) menyiapkan seseorang dari segi vokasional atau pekerjaan; e) menyiapkan seseorang dari segi pemikiran, sebab dengan pemikiran seseorang dapat memegang berbagai pekerjaan atau ketrampilan tertentu dan f) menyiapkan seseorang dari segi kesenian. 61
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan bukan hanya bertujuan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan akan tetapi juga untuk mendapatkan keahlian. Ibnu Khaldun telah memberikan porsi yang sama antara apa yang akan dicapai dalam urusan ukhrowi dan duniawi, karena baginya pendidikan adalah jalan untuk memperoleh rizki. Atas dasar itulah Ibnu Khaldun beranggapan bahwa target pendidikan adalah memberikan kesempatan kepada pikiran untuk aktif dan bekerja, karena dia memandang aktivitas ini sangat penting bagi terbukanya pikiran dan kematangan individu dan kematangan berfikir adalah alat bagi kemajuan ilmu industri dan sistem sosial. 2. Pandangan tentang Kurikulum dan Materi Pendidikan Pengertian kurikulum pada masa Ibnu Khaldun sebagaimana dijelaskan oleh Al-Syaibani (1979:480) masih terbatas pada maklumat dan pengetahuan yang dikemukakan oleh guru atau sekolah dalam bentuk mata pelajaran yang terbatas atau dalam bentuk kitab-kitab tradisional yang dikaji oleh murid dalam tiap tahap pendidikan. Sedangkan pengertian kurikulum modern, telah mencakup konsep yang lebih luas yang di dalamnya mencakup empat unsur pokok yaitu: tujuan pendidikan yang ingin dicapai, pengetahuan-pengetahuan, maklumat-maklumat, data kegiatan-kegiatan, pengalaman-pengalaman dari mana terbentuknya kurikulum itu, metode pengajaran serta bimbingan kepada murid, ditambah metode penilaian yang dipergunakan untuk mengukur kurikulum dan hasil proses pendidikan (Al-Syaibani, 1979:486). Ibnu Khaldun mencoba membandingkan kurikulum pada pendidikan tingkat rendah yang terjadi di negara-negara Islam bagian Barat dan Timur. Ia mengatakan bahwa sistem pendidikan dan pengajaran yang berlaku di Maghrib sebatas mempelajari al-Qur‟an dari berbagai segi kandungannya. Lain halnya di Andalusia, tidak membatasi pengajaran anak-anak pada mempelajari al-Qur‟an saja, akan tetapi dimasukkan juga pelajaran-pelajaran lain seperti syair, karang mengarang, khat, kaidah-kaidah bahasa Arab dan hafalan-hafalan. Demikian
62
pula di Ifrikiya yang mengkombinasikan pengajaran al-Qur‟an dengan hadits dan kaidah-kaidah dasar ilmu pengetahuan tertentu (Al-Syaibani, 1979:760). Dalam Muqaddimah sebagaimana diuraikan di atas, Ibnu Khaldun membagi ilmu menjadi dua macam yaitu, pertama ilmu-ilmu tradisional yang bersumber al-Qur‟an dan Hadits (ilmu naqliyah), - peran akal hanyalah menghubungkan cabang permasalahan dengan cabang utama. Termasuk dalam ilmu ini antara lain: ilmu tafsir, ilmu qiraat, ilmu hadits, ilmu ushul fiqh, ilmu fiqh, ilmu kalam, ilmu bahasa Arab, ilmu tasawuf, dan ilmu ta‟bir mimpi. Kedua, ilmu aqliyah (bersumber pada akal). Ilmu ini dimiliki semua anggota masyarakat di dunia, dan sudah ada sejak mula kehidupan peradaban umat manusia di dunia. Menurut Ibnu Khaldun ilmu-ilmu filsafat (aqliyah) ini dibagi menjadi empat macam ilmu yaitu: Ilmu logika,Ilmu fisika, Ilmu metafisika dan Ilmu matematika. Dalam hal materi pendidikan, Ibnu Khaldun berpendapat bahwa ilmu pengetahuan yang dikenal umat manusia terdiri atas. Pertama, ilmu pengetahuan yang dipelajarai karena faedah ilmu itu sendiri seperti, ilmu-ilmu agama (syari‟at) yakni tafsir, hadits, fiqh dan ilmu kalam; ilmu-ilmu alam, dan sebagian filsafat yang berhubungan dengan ketuhanan. Kedua, ilmu-ilmu yang merupakan alat untuk mempelajari ilmu golongan yang pertama yakni ilmu bahasa Arab, ilmu hitung dan ilmu lainnya yang membantu mempelajari agama serta logika yang membantu mempelajari filsafat (Ibnu Khaldun, 1986:757758). Namun demikian, pandangan integral tentang ilmu dan aktivitas pembelajaran tersebut menjadi ambigu sewaktu Ibnu Khaldun mengemukakan klasifikasi ilmu menjadi dua (aqliyah dan naqliyah). Ibnu Khaldun mempunyai dualitas sikap, terhadap ilmu aqliyah ia bersikap bebas dan terbuka sedangkan terhadap ilmu naqliyah, Ibnu Khaldun telah menutup pintu ijtihad.
63
D. Reformasi Pendidikan Islam Menurut Ibnu Khaldun Ibnu Khaldun sering dikatakan sebagai tokoh kontroversial karena memadukan corak pemikiran filsafat yang saling bertentangan antara al Ghozali dan Ibnu Rusyd. Muhammad Abdullah Enan mengatakan bahwa Ibnu Khaldun adalah pengikut Al-Ghozali dalam permusuhannya melawan logika Aristoteles, dan pengikut Ibnu Rusyd dalam usahanya mempengaruhi massa. Ibnu Khaldun adalah satu-satunya sarjana muslim waktu itu yang menyadari arti pentingnya praduga dan katagori dalam pemikiran untuk menyelesaikan perdebatanperdebatan intelektual. Barangkali karena itulah Fuad Baali sebagaimana dikutip oleh Juwariyah menganggap bahwa Ibnu Khaldun membangun suatu bentuk logika baru yang realistik, sebagai upayanya untuk mengganti logika idealistik Aristoteles yang berpola paternalistik-absolutistik-spiritualistik. Sedangkan logika realistik Ibnu Khaldun ini berpola pikir relatifistik-temporalistik-materialistik (Juwariyah dalam Machali, 2010:123-124). Dengan pola pikir semacam itu Ibnu Khaldun mengamati dan menganalisa gejala-gejala sosial beserta sejarahnya, yang pada akhirnya tercipta suatu teori kemasyarakatan yang modern. Dalam kaitannya dengan filsafat pendidikan Islam, Ibnu Khaldun tidak ingin terjebak pada pemikiran konservatif bahwa pencarian ilmu pengetahuan tidak semata hasil pengamatan inderawi dan penalaran dari akal pikiran manusia yang merupakan pemberian Tuhan, melainkan hal itu akan terwujud dengan mengedepankan watak kebudayaan (culture oriented) Sebab, akal pikir adalah sarana manusia memperoleh kehidupan, kooperasi antar sesama dan berkemasyarakatan yang kohesif. Dalam mereformasi pendidikan, Ibnu Khaldun berusaha memadukan kedua ilmu tersebut dan mengembangkan metode pendidikan Islam yang konservatif menuju pragmatis, misalnya metode indoktrinasi dirubah menjadi diskusi. Dalam hal pola pembelajaran, Ibnu Khaldun tidak sepakat dengan model pembalajaran yang bertele-tele (semisal menghafal/ hal-hal yang tidak berguna) melainkan memfokuskan kepada hal-hal yang pokok saja. Namun demikian ia pun 64
mengkritik pola pembelajaran yang terlalu ringkas-cepat sehingga mengaburkan materi yang diajarkan. Dengan demikian dapat dipahami bahwa Ibnu Khaldun telah mencoba menghubungkan antara ilmu naqliyah dengan aqliyah atau ilmu agama dengan filsafat. Juwariyah dalam (Machali, 2010:132) mengatakan bahwa ilmu-ilmu tersebut sangat erat dengan proses belajar mengajar yang banyak bergantung pada para pendidik, bagaimana dan sejauhmana mereka dapat menggunakan berbagai metode yang tepat dan baik Reformasi pemikiran pendidikan pada masanya adalah terkait dengan strategi berinteraksi dengan anak didik yang “militeristik”. Menurut Ibnu Khaldun mengingatkan agar jangan sampai terjadi salah dalam pembelajaran yang pada gilirannya dapat berdampak buruk bagi anak didik berupa munculnya kelainankelainan psikologis dan perilaku nakal, (Jawwad Ridla, 2002:190-195).
E. Implikasi Pemikiran Ibnu Khaldun dalam Konteks Pendidikan Masa Kini Dengan pendekatan filsafat dan historis (historical philosophy approach) beliau mampu merumuskan beberapa pendapat dan interpretasi dari suatu kenyataan dan pengalaman yang telah dilalui. Secara ringkas pemikiran Ibnu Khaldun dalam reformasi pendidikan yang dapat diemplementasikan dalam konteks kekinian yakni dalam aspek tujuan pendidikan, hakekat pendidik, hakekat peserta didik, hakekat kurikulum, metode pendidikan dan evaluasi pendidikan adalah sebagai berikut. 1. Tujuan Pendidikan Tujuan pendidikan yang dirumuskan oleh Ibnu Khaldun adalah: a) untuk memberi kesempatan kepada pikiran untuk aktif dan bekerja, karena aktivitas ini sangat penting bagi terbukanya pikiran dan kematangan individu kemudian kematangan ini akan mendapat faedah bagi masyarakat; b) untuk memperoleh berbagai ilmu pengetahuan sebagai alat untuk membantunya, hidup dengan baik di dalam masyarakat maju dan berbudaya, dan c) untuk memperoleh lapangan pekerjaan. Alasan Ibnu Khaldum merumuskan tujuan pendidikan ini 65
dipengaruhi oleh faktor filsafat sosiologi yang tidak bisa memisahkan antar masyarakat, ilmu pengetahuan dan kebutuhan masyarakat. Perencanaan ilmu pengetahuan sangat menentukan bagi perkembangan masyarakat berbudaya. Pendidikan sebagai aktivitas akal insani, merupakan salah satu industri yang berkembang di dalam masyarakat, karena sangat urgen dalam kehidupan setiap individu. Berkenaan dengan tujuan dan materi pendidikan, Ibnu Khaldun juga menyebutkan keutamaan metode diskusi, karena dengan metode ini anak didik telah terlibat dalam mendidik dirinya sendiri dan mengasah otak, melatih untuk berbicara, disamping mereka mempunyai kebebasan berfikir dan percaya diri. Atau dengan kata lain metode ini dapat membuat anak didik berfikir reflektif dan inovatif. Lain halnya dengan metode hafalan, yang menurutnya metode ini membuat anak didik kurang mendapatkan pemahaman yang benar. Lebih tegasnya ia mengatakan bahwa prinsip belajar bukan penghafalan di luar kepala, melainkan pemahaman, pembahasan dan kemampuan berdiskusi (Ibnu Khaldun, 1986:757-758) 2. Hakekat Pendidikan Dalam melaksanakan tugasnya, seorang pendidik hendaknya mampu menggunakan metode mengajar yang efektif dan efisien. Ibnu Khaldun mengemukakan 6 (enam) prinsip utama yang perlu diperhatikan pendidik, yaitu: a) prinsip pembiasaan, b) prinsip tadrij (berangsur-angsur), c) prinsip pengenalan umum (generalistik), d) prinsip kontinuitas, e) memperhatikan bakat dan kemampuan peserta didik, dan f) menghindari kekerasan dalam pendidikan. Dalam konteks kekinian, seorang pendidik harus mampu mewujudkan kompetensi akademik, personal, sosial dan profesional dalam proses pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya. 3. Hakekat Peserta Didik Peserta didik merupakan orang yang belum dewasa dan memiliki sejumlah potensi (kemampuan) dasar yang masih perlu dikembangkan. Di sini 66
peserta didik merupakan makhluk Allah yang memiliki fitrah jasmani maupun rohani yang belum mencapai taraf kematangan baik bentuk, ukuran, maupun perimbangan pada bagian-bagian lainnya. Dari segi rohaniah, ia memiliki bakat, kehendak, perasaan, dan pikiran yang dinamis dan perlu dikembangkan. Pada dasarnya peserta didik adalah: a) bukan merupakan miniatur orang dewasa, akan tetapi memiliki dunianya sendiri. b) manusia yang memiliki diferensiasi periodesasi perkembangan dan pertumbuhan sesuai dengan faktor dan usia perkembangannya, c) manusia yang memiliki kebutuhan, baik menyangkut kebutuhan jasmani maupun kebutuhan rohani yang harus dipenuhi, d) makhluk Allah yang memiliki perbedaan individual yang dipengaruhi oleh pembawaan dan lingkungan, e) merupakan resultan dari dua unsur alam, yaitu jasmani dan rohani. Adapun untuk mempertajam daya rasa dapat dilakukan melalui pendidikan akhlak dan ibadah, dan f) manusia yang memiliki potensi (fitrah) yang dapat dikembangkan dan berkembang secara dinamis. 4. Hakekat Kurikulum Kurikulum adalah merupakan landasan yang digunakan pendidik untuk membimbing peserta didiknya ke arah tujuan pendidikan yang diinginkan melalui akumulasi sejumlah pengetahuan, ketrampilan dan sikap mental. Menurut beliau ilmu pengetahuan dalam kebudayaan umat Islam dapat dibagi kepada dua bagian, yaitu: pertama, ilmu pengetahuan syar‟iyyah yaitu ilmuilmu yang bersandar pada wahyu Tuhan. Oleh karena itu akal manusia tidak mempunyai peluang untuk “mengotak-atiknya”, kecuali dalam lingkup cabangcabangnya. Kedua, ilmu pengetahuan filosofis yaitu ilmu yang bersifat alami yang diperoleh manusia dengan kemampuan akal dan pikirannya. Lingkup persoalan, prinsip-prinsip dasar dan metode pengembangannya sepenuhnya berdasar daya jangkau akal pikir manusia. 5. Metode Pendidikan Metode pendidikan adalah segala segi kegiatan yang terarah dalam membimbing peserta didik untuk mencapai proses belajar yang diinginkan dan 67
perubahan yang dikehendaki pada tingkah laku mereka. Metode pendidikan sama halnya dengan metode pembelajaran (pengajaran), yang mana pemikiran Ibnu Khaldun tentang metode pendidikan terungkap lewat empat sikap reaktifnya terhadap gaya para pendidik dimasanya dalam dasar empat dasar persoalan
pendidikan.
Pertama,
kebiasaan
mendidik
dengan
metode
“indoktrinasi” terhadap anak-anak didik, para pendidik memulai dengan masalah-masalah pokok yang ilmiah untuk diajarkan kepada anak-anak didik tanpa mempertimbangkan kesiapan mereka untuk menerima dan menguasainya. Maka Ibnu Khaldun lebih memilih metode secara gradual sedikit demi sedikit. Kedua, memilah-milah antara ilmu-ilmu yang mempunyai nilai instrinsik, semisal ilmu-ilmu keagamaan, kealaman, dan ketuhanan, dengan ilmu-ilmu yang instrumental, semisal ilmu-ilmu kebahasa-Araban, dan ilmu hitung yang dibutuhkan oleh ilmu keagamaan, serta logika yang dibutuhkan oleh filsafat. Ketiga, Ibnu Khaldun tidak menyukai metode pendidikan yang terkait dengan strategi berinteraksi dengan anak yang “militeristik” dan keras, anak didik harus seperti ini dan seperti itu, karena berdampak buruk bagi anak didik berupa munculnya kelainan-kelainan psikologis dan perilaku nakal. Ibnu Khaldun mengajarkan agar pendidik bersikap sopan dan halus pada muridnya. 6. Evaluasi Pendidikan Evaluasi pendidikan Islam ditujukan untuk menjelaskan tingkat keberhasilan pendidik dalam menyampaikan materi pendidikan Islam kepada peserta didik. Evaluasi dilakukan untuk mengetahui tingkat keberhasilan dan kelemahan suatu proses pendidikan Islam (dengan seluruh komponen yang terlibat di dalamnya) dalam mencapai tujuan pendidikan yang dicita-citakan. Secara umum ada empat kegunaan evaluasi dalam pendidikan Islam, yaitu: pertama, dari segi pendidik, evaluasi berguna untuk membantu seorang pendidik mengetahui sudah sejauh mana hasil yang dicapai dalam pelaksanaan tugasnya. Kedua, dari segi peserta didik, evaluasi berguna membantu peserta didik untuk dapat mengubah atau mengembangkan tingkah lakunya secara 68
sadar ke arah yang lebih baik. Ketiga, dari segi ahli fikir pendidikan Islam, evaluasi berguna untuk membantu para pemikir Islam dan membantu mereka dalam merumuskan kembali teori-teori pendidikan Islam yang relevan dengan arus dinamika zaman yang senantiasa berubah. Keempat, dari segi politik pengambil kebijakan pendidikan Islam (pemerintah), evaluasi berguna untuk membantu
mereka
dalam
membenahi
sistem
pengawasan
dan
mempertimbangkan kebijakan yang akan diterapkan dalam suatu pendidikan nasional (Islam). Konsep evaluasi dalam pendidikan Islam bersifat menyeluruh, baik dalam hubungan manusia dengan Allah SWT sebagai Pencipta, hubungan manusia dengan manusia lainnya, hubungan manusia dengan alam sekitarnya, dan hubungan manusia dengan dirinya sendiri. Spektrum kajian evaluasi dalam pendidikan Islam tidak hanya terkonsentrasi pada aspek kognitif, tetapi justru dibutuhkan keseimbangan yang terpadu antara penilaian iman, ilmu, dan amal. Sebab kualitas keimanan, keilmuan, dan amal shalihnya. Kesemuanya itu merupakan bahan pemikiran bagi pengembangan sistem evaluasi dalam pendidikan Islam. Keunikan pemikiran Ibnu Khaldun bila dibandingkan dengan ahli pendidikan pada masanya (teurtama kelompok Ikhwan al-Shafa) bahwa apakah prestasi dan keberhasilan dalam pembelajaran - hingga kini masih diperdebatkan- ditentukan oleh bawaan atau kemampuan hasil belajar, dan Ibnu Khaldun tampaknya cenderung pada pendapat terakhir yaitu hasil kemampuan belajar (Jawwad Ridla (2002:185).
F. Kesimpulan Walaupun di dalam menuangkan pandangannya tentang pendidikan Ibnu Khaldun hanya mengemukakan secara garis besar, namun harus diakui bahwa sumbangannya terhadap proses pendidikan cukuplah besar. Dia telah menyajikan pandangan-pandangannya dalam bentuk orientasi umum, sehingga dia mengatakan 69
bahwa aktifitas pendidikan bukan semata-mata bersifat pemikiran dan perenungan, akan tetapi merupakan gejala sosial yang menjadi ciri khas jenis insani, dan karenanya harus dinikmati oleh setiap makhluk sosial yang bernama manusia. Orientasi pendidikan menurutnya adalah bagaimana bisa hidup bermasyarakat. Sebagai ilmuan yang juga sejarawan Ibnu Khaldun telah banyak turut mewarnai pemikiran-pemikiran tentang pendidikan. Dia telah mencanangkan dasar-dasar dan sistem pendidikan yang patut diteladani baik di masa lalu maupun masa sekarang. Dari segi metode, materi, maupun kurikulum yang ditawarkan secara keseluruhan pantas untuk dikaji dan dicermati. Dan apabila
kita cermati satu demi satu
pandangannya tentang kurikulum materi dan metode pendidikan, maka dapat kita tarik suatu kesimpulan bahwa ilmuan yang diakui Barat dan Timur ini memang memiliki pandangan yang jauh ke depan dalam berbagai masalah pengetahuan, berfikir universal, sintetis, dan pragmatis-instrumental sehingga filsafatnya tentang pendidikan tidak pernah dirasakan usang bahkan banyak diteladani baik kawan maupun lawan.
DAFTAR PUSTAKA Abu Al Maira, http://jaksite.wordpress.com/biografi. Ibnu Khaldun, diunduh pada tanggal 4 Mei 2011. Al-Syaibani, Omar Muhammad al-Toumy., 1979. Filsafat Pendidikan Islam, terj. Hasan Langgulung, 1979, (Jakarta: Bulan Bintang) Beavers, Tedd D., 2001, Arabic Contributions to Educational Thought, (terj.) Deny Hamdani, (2001), Paradigma Filsafat Pendidikan Islam: Kontribusi Filosof Muslim, (Jakarta: Riora Cipta Publication) Jawwad Ridla, Muhammad, al-Fikr al-Tarbawiyy al-Islamiyyu Muqaddimat fiUshulih al-Ijtima‟iyyati wa al-„Aqlaniyyat, terj. Mahmud Arif (2002), Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam: Perspektif Sosiologis-Filosofis, (Yogyakarta: Tiara Wacana)
70
Khaldun, Ibnu, Muqaddimah, 1986,
(terj.) Ahmadi Thoha, (Jakarta: Pustaka
Firdaus). Langgulung, Hasan, 1989,
Manusia dan Pendidikan: Suatu Analisa Psikologi dan
Pendidikan, 1989, (Jakarta: Pustaka Al Husna) Machali, Imam dan Setiyawan, Adhi (ed), 2010. Antologi Kependidikan Islam, (Yogyakarta: Jurusan Kependidikan Islam Fak. Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga) Nizar, Samsul, H, 2002. Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Prakstis, (Jakarta: Ciputat Press, Jakarta) Sulaiman, Fathiyah Hasan,
1987, Pandangan Ibnu Khaldun Tentang Ilmu dan
Pendidikan, (Bandung: Diponegoro). ______________,1987. Sistem Pendidikan versi Al-Ghazali, (Bandung:Diponegoro)
71
Citra Ulul-Albab Pada Al-Ghazali Oleh : Machmoed Hadi, M.Hum. Dosen Pada Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Magelang (085643774969) Abstract Seorang Ulul-albab adalah intelektual atau cendekiawan yang senantiasa bertolak dari sikap taqwa Allah dan menjalin kedekatatan hubungan denganNya. AlGhazali merupakan cerminan dari profil Ulul-albab. Ciri-ciri atau kriteria seorang Ulul-albab terdapat dalam diri pribadi al-Ghazali.
Kata Kunci : Ulul-albab
A. Pendahuluan Ulul-albab merupakan sebutan khusus yang digunakan al-Qur‟am untuk menyebut sekolompok manusia pilihan semacam intelektual atau cendekiawan. Ulul-albab adalah kelompok manusia tertentu yang diberi keistimewaan oleh Allah SWT. Diantara keistimewaannya ialah mereka diberi hikmah, kebijaksaan, dan pengetahuan, disamping pengetahuan yang diperoleh mereka secara empiris. Di dalam al-Qur‟an sebutan Ulul-albab terdapat pada enam belas ayat, delapan ayat Makkiyah dan delapan ayat Madaniyah. Keenam belas ayat ini tersebar di sepuluh surat: tiga ayat al-Baqarah, dua ayat Ali Imran, dua ayat Shad, dan tiga ayat azZumar. Enam ayat lainnya ada dalam enam surat: al-Maidah, Yusuf, ar-Ra‟du, Ibrahim, Ghafir, dan ath-Thalaq (al-Baqi, 1981: 644). Sebutan intelektual saja belumlah cukup untuk menjelaskan maknanya. Ulul-albab mempunyai pengertian intelektual yang memliki ketaqwaaan dan kedekatan hubungan dengan Allah. Al-Ghazali adalah salah seorang di antara para pemikir muslim yang terkenal. Ketenarannya mewarnai sejarah pemikiran baik di dunia Islam maupun 72
di dunia luar Islam. Dia merupakan pemikir muslim yang penting dan menjadi lambang dalam sejarah filsafat keagamaan (Amstrong, 1993: 185). Pemikiran alGhazali mempunyai pengaruh dalam kehidupan keagamaan kaum muslimin di Indonesia. Bahkan, pengaruh al-Ghazali memasuki literatur kejawen, seperti: konsep tarikat, ma‟rifat dan hakikat (Madjid, 1989: 67). Pada umumnya pengaruh al-Ghazali berkisar pada bidang filsafat, teologi, fiqih, dan tasauf. Skeptisisme al-Ghazali tampak ada pengaruhnya terhadap metode skeptis Rene Descartes. Dalam buku terjemahan al-Munkidz min al-Dlalal yang dimilikinya, dia memberi komentar: "Bagian ini ditransfer ke metode kita" (alQardlawi, 1997: 110). Dalam khazanah kefilsafatan, Rene Descartes terkenal dengan sebutan Bapak Rasionalisme. Selain itu, dia juga dikenal sebagai pionir metode skeptis dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Dalam berbagai pembahasan keilmuan, al-Ghazali dikenal sebagai pemikir yang pernah mengalami skeptisisme pada masa hidupnya. Sudah banyak ditemukan tulisan maupun penelitian tentang al-Ghazali dari berbagai sudut pandangan. Tulisan ini mencoba menghubungkan konsep Ululalbab dengan ketokohan al-Ghazali.
B. Citra Ulul-Albab Dalam bahasa Indnesia, kata intelektual/ cendekiawan merupakan istilah yang paling dekat dengan pengertian Ulul-albab. Selain itu, ada beberapa istilah yang hampir sama tetapi mempunyai makna yang berbeda, yaitu: sarjana, ilmuwan, dan intelektual. Berbagai istilah ini akan dibahas lebih dulu, sebelum pembahasan tentang citra/ gambaran Ulul-albab. 1. Sarjana mempunya arti orang pandai (ahli ilmu janpengetahuan); tingkatan yang dicapai oleh seseorang yang telah menamatkan pendidikan terakhir di perguruan tinggi (Tim Penyusun Kamus, 1989: 785). Seorang sarjana adalah orang yang telah menyelesaikan pendidikannya di perguruan tinggi dan meraih gelar sarjana. Jumlahnya sangat banyak dan akan selalu bertambah, karena 73
setiap tahun berbagai perguruan tinggi akan mencetak sarjana yang tidak sedikit. 2. Ilmuwan berarti orang yang ahli atau banyak pengetahuannya mengenai suatu ilmu; orang yang berkecimpung dalam ilmu pengetahuan (Tim Penyusun Kamus, 1989: 325). Ilmuwan ialah orang yang mendalami ilmunya, kemudian mengembangkannya, baik dengan pengamatan maupun dengan analisisnya sendiri. Diantara sekian banyak sarjana, beberapa orang sajalah yang kemudian berkembang menjadi ilmuwan. Sebagian besar terbelenggu dalam kegiatan rutin, dan menjadi tenaga-tenaga profesional. 3. Intelektual mempunyai arti cerdas, berakal, dan berpikiran jernih berdasarkan ilmu pengetahuan; yang mempunyai kesadaran tinggi; cendekiawan (Tim Penyusun Kamus, 1989: 335. Adapun cendekiawan berarti orang cerdik pandai; orang intelek; orang yang memiliki sikap hidup yang terus menerus meningkatkan kemampuan berpikirnya untu dapat mengetahui dan memahami sesuatu. Kata cendikia mempunyai arti cepat mengerti situasi dan pandai mencari jalan keluar (pandai menggunakan kesempatan) (Tim Penyusun Kamus, 1989: 161). Kata intelektual dan cendekiawan bisa digunakan dalam pengertian yang sama. Para intelektual bukan hanya menunjukkan kelompok orang yangsudah menyelesaikan jenjang pendidikan tinggi dan meraih gelar sarjana. Mereka juga bukan sekedar para ilmuwan yang mendalami dan mengembangkan ilmu mereka dengan penalaran dan penelitian. Mereka adalah kelompok orang yang merasa terpanggil untuk memperbaiki masyarakatnya, menangkap aspirasi mereka, merumuskannya dalam bahasa yang dapat dipahami setiap orang, menawarkan strategi dan alternatif pemecahan masalah. Dalam pandangan Islam, seorang intelektual bukan hanya orang yang sanggup mengemukakan gagasan-gagasan normatif dan mengaplikasikannya, tapi juga mampu memahami dan menghayati ajaran agamanya. Semua tindakannya dijiwai oleh nilai-nilai keislaman. Intelektual yang semacam inilah yang dalam alQur‟an disebut Ulul-albab. Dalam al-Qur‟an tidak ada penjelasan secara definitif 74
tentang pengertian Ulul-albab, yang disebutkan hanya tanda-tandanya saja. Oleh kare n a i t u , p a r a m u f a s s i r memberikan pengertian yang berbeda -beda tentang Ulul-albab. Misalnya, menurut Imam Nawawi Ulul -albab adalah mereka yang berpengetahuan suci, tidak hanyut dalam derasnya arus, dan yang terpenting mereka mengerti, menguasai, serta mengamalkan ajaran Islam. Adapun Ibnu Mundzir menafsirkan Ulul-albab sebagai orang yang bertaqwa kepada Allah, berpengetahuan tinggi dan mampu menyesuaikan diri di segala lapisan masyarakat, elit ataupun marginal. Menurut Ibn Katsir, selain mampu memahami gejala alam dengan segala hukumnya yang menunjukkan kekuasaan Allah, Ulul-albab juga seorang yang senantiasa berdzikir dan berpikir, yang melahirkan kekuatan intelektual, kekayaan spiritual dan keluhuran moral dalam dirinya (Soleh, t.t.). Citra atau gambaran tentang Ulul dapat dilukiskan dengan menunjukkan berbagai kriteria/ cirinya. Sioleh (t.t.) mengemukakan ciri-ciri Ulul-albab sebagai berikut: 1. Bersungguh menggali ilmu pengetahuan 2. Selalu berpegang pada kebaikan dan keadilan 3. Teliti dan kritis dalam menerima informasi, teori, proposisi ataupun dalil yang dikemukakan orang lain 4. Sanggup mengambil pelajaran dari umat terdahulu 5. Rajin bangun malam untuk rukuk dan sujud di hadapan allah swt. 6. Tidak takut kepada siapapun, kecuali kepada Allah semata. Dari keenam ciri diatas, ciri kelima dan keenamlah yang membedakan Ululalbab dari intelektual yang lain, cedekiawan biasa. Dengan redaksi yang berbeda, Abdurrahman menjelaskan tanda-tanda yang harus ada dalam diri Ulul-albab. Diantara tanda-tanda dimaksud adalah sebagai berikut: 1. Bersungguh-sungguh mencari ilmu 2. Mampu memisahkan yang jelek dari yang baik, kemudian ia pilih yang 75
baik 3. Kritis dalam mendengarkan
pembicaraan, pandai menimbang-nimbang
ucapan, teori, proposisi atau dalil yang dikemukakan oleh orang lain 4. Bersedia
menyampaikan
ilmunya
kepada
orang
lain
untuk
memperbaiki masyarakatnya 5. Tidak takut kepada siapa pun kecuali kepada allah 6. Rajin bangun tengah malam untuk bersujud dan ruku di hadapan allah. Dari dua penggambaran diatas nampak bahwa ciri khas yang membedakan antara Ulul-albab dengan intelektual adalah rasa takut kepada Allah yang merupakan perwujudan dari ketaqwaan, dan rajin sholat malam sebagai kedekatan hubungan dengan Allah. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa citra Ulul-albab adalah intelektual atau cendekiawan plus ketaqwaan dan kedekatan kepada Allah. Seorang Ulul-albab senatiasa bertolak dari sikap taqwa dan bertaqarrub, berusaha menjalin kedekatan hubungan dengan Allah.
C. Kehidupan Dan Perkembangan Intelektual Al-Ghazali A1-Ghazali dilahirkan di kota kecil Thus di Khurasan pada tahun 1058. Thus dan siKhurasan merupakan dua tempat yang mempunyai arti penting baik secara religius maupun politis. Kota Thus adalah tempat kelahiran banyak pribadi terpelajar dan menonjol dalam Islam, seperti penyair Firdausi dan negarawan Nizham alMulk yang mepunyai peran menonjol dalam kehidupan intelektual alGhazali. Adapun Khurasan merupakan tempat yang telah banyak menghasilkan sufi yang terkenal, sehingga sering disebut sebagai tanah di mana "bayangan kemurahan Tuhan mengayomi" serta "matahari cinta dan keberuntungan jalan Sufi berkuasa" (Bakar, 1997: 179) . Di samping Arab, Iraq dan Siria, Khurasan adalah daerah yang turut berperan dalam pertumbuhan gerakan kezuhudan (Arberry, 1985: 53). Pendidikan awal al-Ghazali diterima di kota Thus. Tidak lama sebelum meninggal dunia, ayahnya mempercayakan pendidikan al-Ghazali dan adik 76
lelakinya kepada seorang teman Sufi yang saleh. Pendidikan yang diterima mencakup mempelajari al-Qur' an dan Hadits, mendengarkan kisah tentang para ahli Hikmah serta menghapal puisi cinta mistis. Setelah dana pendidikannya habis, dia dikirim ke sebuah madrasah di mana dia pertama kali mempelajari fiqh dari Ahmad al-Radzakani. Sebelum berusia lima belas tahun, al-Ghazali pergi ke Jurjan untuk melanjutkan studinya di bidang fiqh kepada Abu Nashr al-Ismaili. Pada usia ketujuh belas dia kembali ke kota Thus. Selama tinggal di kota ini, ada kemungkinan dia belajar tasauf kepada Yusuf al-Nassaj (Sheikh, 1963: 583). Al-Ghazali pergi ke Nisyabur untuk belajar fiqh dan teologi dari al-Juwaini sebelum usianya yang kedua puluh. Pada masa ini dia berhasil menyusun karya pertamanya berjudul al-Manqul min al-Ushul, yang membahas metodologi dan teori hukum (Bakar, 1997: 181) . Menurut Madjid Fakhry (1983: 217) al-Juwaini merupakan guru al-Ghazali yang paling utama, seorang teolog Asy'ariyah terkemuka pada masanya. Dia mengarahkan muridnya yang brilian pada studi teologi, filsafat dan logika. Karena kepandaiannya, al-Ghazali dipercaya menjadi asisten pengajar al-Juwaini dan terus mengajar pada madrasah Nizhamiyah di Nisyabur hingga al-Juwaini meninggal dunia pada tahun 1085 (Bakar, 1997: 181). Al-Ghazali mengenal studi filsafat termasuk logika dan filsafat alam dari alJuwaini. Karena al-Juwaini seorang teolog, maka pengenalannya terhadap filsafat melalui disiplin teologi. Dalam hal ini alGhazali tidak puas dengan apa yang dia dapat dari gurunya. Kemudian dia mendalami filsafat dengan seksama dan secara otodidak. Dia mengakui bahwa apa yang dilakukannya ini belum pernah dilakukan oleh sarjana Muslim sebelumnya (al-Ghazali, t.t.: 38) Bidang studi lain yang menyibukkan pemikiran al-Ghazali adalah bidang studi tasawuf. Pengenalannya terhadap teori dan praktek tasauf tidak bisa dilepaskan dari peran al-Farmadzi (w. 1084), seorang sufi termasyhur pada masa itu (Fakhry, 1983: 217) . Darinya al-Ghazali mempelajari lebih banyak teori dan praktek tasauf. Bahkan di bawah bimbingannya dia mempraktekkan kehidupan asketik yang keras dan latihan-latihan sufistik, tetapi tidak mendapatkan hasil-hasil 77
yang diinginkan. Sebagaimana pengakuan Al-Ghazali sendiri, dia tidak dapat mencapai suatu tingkatan dimana para sufi mulai menerima inspirasi yang murni dari "Yang Diatas" (Sheikh, 1963: 583) . Pada umumnya, pandangan yang banyak diterima adalah bahwa Al-Ghazali mulai mempelajari doktrin dan ajaran Isma'iliyah pada masa pemerintahan alMustadzhiri. Tetapi, ada kemungkinan ketika al-Ghazali tinggal di Naisyabur sudah mengenal ajaran Isma' iliyah atau Ta'limiyah yang mengklaim bahwa hanyalah mereka yang berhak sebagai pemilik dan penerima ta' lim (pengajaran) otoritatif dari Imam yang Ma' shum. Ta' lim merupakan prinsip fundamental bagi kaum Isma' iliyah selama lebih satu abad sebelum al-Ghazali. Aktifitas Isma‟iliyah dibawah pimpinan al-Shabah di Persia sudah sangat menonjol pada saat al-Ghazali tinggal di Naisyabur. (Bakar, 1997: 182) . Selain Ta'limiyah, kaum Ismal‟ilyah juga sering disebut dengan Bathiniyah sebagai sebutan cemoohan karena bertujuan hendak mengesampingkan ketentuan-ketentuan syari'ah dan mendasarkan setiap tindakannya pada makna-makna esoterik (Bakar, 1997: 217). A1-Ghazali (alGhazali, t.t.: 57) sendiri menyatakan bahwa dia telah melakukan pengkajian terhadap buku-buku Ta'limiyah sebelum ada perintah dari khalifah al-Mustadzhiri untuk menyusun buku tentang hakikat madzhab mereka. Ketika usianya mencapai 25 tahun, A1-Ghazali sudah mulai mengajar di perguruan tinggi Nizhamiyah di Naisyabur, sebagai asisten dari al-Juwaini yang dikenal dengan Imam al-Haramain (Imam dua tempat suci: Makkah dan Madinah). Al-Juwaini mempunyai kedudukan penting di perguruan tinggi tersebut, yakni sebagai Guru Besar dan Rektor. Setelah Imam al-Haramain meninggal dunia pada tahun 1085, al-Ghazali ditunjuk oleh Perdana Menteri Nizham al-Mulk menjadi Rektor dan diangkat sebagai Guru Besar. Pada saat itu dia baru berusia 28 tahun. Penunjukkan kepada al-Ghazali muda ini berdasarkan atas kecerdasannya yang luar biasa yang menarik perhatian Nizham al-Mulk. Bagi al-Ghazali kedudukan ini baru merupakan karier awal dalam kehidupannya. Selanjutnya kariernya meningkat hingga mencapai puncaknya ketika dia diangkat menjadi Rektor di 78
perguruan tinggi Nizhamiyah di Baghdad yang merupakan pusat perguruan tinggi Nizhamiyah pada saat itu (Ahmad, 1975: 34-35). Dengan demikian, secara formal apa yang dicapai oleh al-Ghazali telah melebini apa yang diraih oleh al-Juwaini, gurunya yang terkemuka. Karena begitu tertarik kepada kecakapan al-Ghazali, maka Perdana Menteri Nizham al-Mulk mengundangnya agar pindah ke Mu'askar. Pada waktu itu Mu'askar merupakan tempat tinggal Perdana Menteri, para pejabat tinggi, para ulama dan para sarjana dari berbagai bidang ilmu. Di Mu'askar al-Ghazali memberi ceramah pada forum pengkajian yang diadakan dua minggu sekali dan dihadiri oleh para pembesar dan para ahli. Di samping itu al-Ghazali juga diangkat menjadi Mufti, Penasihat Agung, oleh Perdana Manteri Nizham a:1-Mulk (Ahmad, 1975: 37). Kenyataan ini menunjukkan bahwa kedudukan al-Ghazali semakin penting di kalangan formal dan mempunyai pengaruh yang besar terhadap politik pemerintahan Nizham al-Mulk. Sepeninggal al-Kaya al-Harisi sebagai Rektor perguruan tinggi Nizhamiyah di Baghdad pada tahun 1990, Nizham al-Mulk menunjuk al-Ghazali yang sudah dikenal kecakapannya untuk menduduki jabatan Rektor. Di samping menjadi Rektor dia juga menjadi Guru Besar di perguruan tinggi tersebut. Mahasiswa yang mengikuti kuliahnya mencapai ratusan orang yang datang dari berbagai penjuru. Dia juga sering dimintai pertimbangan tentang berbagai masalah kemasyarakatan oleh para ahli baik dari lingkungan akademik maupun dari lingkungan pemerintahan. Hal ini sesuai dengan keterangan Najibullah dalam Islamic Literature, sebagaimana dikutip oleh Zainal Abidin Ahmad sebagai berikut. "As an Imam, or leading scholar, he was invited in 1085 to the court of the Seljukid emperor Malik Shah, by his great scholarly prime minister, Nizham alMulk. This statesman, recognizing Ghazali's qualities, appointed him professor of law in Nizhamiya University of Baghdad, where he taught for four years, continuing to publish his works.
79
Hundreds of foreign scholar came to attend his lectures and he was consulted on many public affairs by eminent Islamic jurist and by government" (Ahmad, 1975: 39) . Prestasi yang diraih oleh al-Ghazali ini merupakan prestasi yang paling tinggi yang bisa dicapai oleh seorang ilmuwan. Dengan prestasi puncak ini, al-Ghazali bisa mendapatkan kehormatan dan kekuasaan yang tinggi. Seorang ilmuwan yang sezaman dengannya, Abdul Ghafir al-Farisi memberi komentar tentang prestasi yang telah dicapai al-Ghazali dengan pernyataan: "Al-Ghazali bertambah tinggi kehormatannya dan kekuasaannya dalam negara melebihi segala pembesar, umara, dan penasehat Khallfah" (Ahmad, 1975: 40) . Bagi para pemuka di Irak, kedudukan al-Ghazali ini merupakan kedudukan tertinggi dalam agama dan kedudukan puncak dalam ilmu pengetahuan (al-Ghazali, t.t.: 74) . Dalam kehidupan al-Ghazali terdapat dua macam fase kehidupan yang saling bertolak belakang. Pertama, fase kehidupan yang mementingkan hal-hal duniawi dan kedua, fase yang mementingkan hal-hal akhirat. Perubahan fase kehidupan ini ditandai dengan adanya keraguan al-Ghazali yang datang silih berganti antara terseret oleh keinginan-keinginan duniawi dan dorongan-dorongan untuk meraih akhirat. Keraguan ini mencapai puncaknya selama enam bulari dan mengakibatkan sakit secara fisik. Dice:iterakan bahwa ketika itu al-Ghazali mengalami kekeluan lidah sehingga tidak bisa mengajar. Kekeluan lidah ini menyebabkan kesusahan yang akhirnya mengganggu pencernaan makanan dan minuman. Kondisinya makin melemah dan para dokterpun sudah tidak mampu menanganinya. Sebagaimana pengakuan al-Ghazali sendiri, terbebasnya dari penyakitnya ini karena pertolongan Allah dengan memudahkannya menentukan pilihan untuk berpaling dari kedudukan, harta, anak-anak dan para sahabatnya (al-Ghazali, t.t.: 72-73) . Fase kedua dari kehidupan al-Ghazali diawali dengan hidup bertualang dari suatu daerah ke daerah lain. Daerah pertama yang menjadi tujuan al-Ghazali adalah Siria. Akan tetapi dia menyembunyikan maksud ini dan menyatakan 80
keinginannya untuk pergi ke Mekkah. Hal ini dilakukan karena kekhawatirannya terhadap para pemuka Irak yang tidak bisa memaharni bahwa alasan al-Ghazali meninggalkan Baghdad dan kedudukannya merupakan alasan keagamaan, sebab mereka beranggapan bahwa kedudukannya adalah kedudukan tertinggi dalam agama (al-Ghazali, t.t.: 74) . Persoalan motif pengasingan diri al-Ghazali dari kehidupan umum banyak diperdebatkan oleh para ahli sejak dahulu sampai sekarang. Pada masa itu, orang yang jauh dari pemerintahan beranggapan bahwa kepergiannya dari Baghdad karena peringatan dari penguasa. Anggapan ini dibantah oleh al-Ghazali dengan pernyataan bahwa para penguasa . sangat bergantung pada dirinya. Selain itu, juga ada pandangan bahwa persoalan tersebut merupakan perkara samawi dan tidak ada penyebabnya, kecuali pandangan yang telah menipu pakar Islam dan kalangan ilmuwan (al-Ghazali, t.t.: 74). Adapun diantara pendapat di kalangan para sarjana moderen adalah pendapat F. Jabre yang menyatakan bahwa motif kepergiannya dari Baghdad adalah ketakutan pribadi al-Ghazali terhadap pembunuhan oleh kaum Bathiniyah yang telah diserang dalam tulisan-tulisannya. D.B. Macdonald memandang kejadian-kejadian politik pada waktu itu membuat al-Ghazali merasa takut (Watt, 1960: 1039) . Al-Baqari berpandangan bahwa al-Ghazali sedang mencari kemasyhuran dan kesucian lain sebagai seorang pembaharu keagamaan. McCarthy berpendapat bahwa ceritera al-Ghazali sendiri tentang motifnyalah yang seharusnya diterima, yaitu perbahan kecenderungan ke sufisme (Bakar, 1997: 187). Nampaknya pendapat McCarthy inilah yang dimaksudkan oleh al-Ghazali sebagai alasan keagamaan. Al-Ghazali meninggalkan Baghdad dengan melepaskan segala kedudukan dan seluruh harta miliknya kecuali sebagian kecil, sekedar untuk mencukupi kebutuhan pokok keluarganya. Daerah yang pertama kali dikunjungi sejak meninggalkan Baghdad adalah Siria. Pada tahun 1095 dia sudah memulai „uzlah (pengasingan diri), dengan mengasingkan diri dari pertemuan dengan manusia dan tinggal di puncak menara masjid di kota Damaskus (Ahmad, 1975: 43). Mengenai 81
apa saja yang dikerjakan pada waktu itu, al-Ghazali (al-Ghazali, t.t.: 74) menceriterakan sebagai berikut. "Kemudian saya masuk negeri Syam (Siria) dan menetap di sana kurang lebih selama dua tahun. Tidak ada kesibukan lain, kecuali 'uzlah, khalwat, riyadlah dan mujahadah dengan tujuan utama membersihkan diri, melatih dan mendidik akhlak serta memurnikan hati untuk berdzikir kepada Allah swt., sebagaimana petunjuk ilmu tasawuf yang telah saya kuasai. Lantas mengadakan kunjungan ke Masjid Damaskus dan saya melakukan I'tikaf di sana beberapa saat lamanya. Kemudian saya naik ke menara masjid sepanjang siang hari dan mengunci pintu seorang diri di sana." Pilihan al-Ghazali untuk tinggal di Damaskus, nampaknya berhubungan dengan keberadaan seorang guru sufi yang bernama Abu al-Fath Nashr bin Ibrahim al-Maqdisi al- Nabulusi (w.1097) yang juga merupakan tokoh terkemuka madzhab Syafi'i di Siria (Bakar, 1997: 187-188). Setelah beberapa tahun alGhazali berkhalwat di masjid Damaskus, muncul keinginan untuk menunaikan ibadah haji, disamping untuk mendapat berkah Mekkah dan Madinah serta berziarah ke makam Rasulullah saw. sehabis melakukan ziarah ke makam nabi Ibrahim as. Setelah itu al-Ghazali ingin melakukan perjalanan menuju Hijaz, tetapi diurungkan kembali ke tanah air. Kemudian dia mengunjungi anak-anaknya setelah sekian lama meninggalkan pergaulan dengan manusia, termasuk keluarganya. Selanjutnya kembalilah dia ke Thus, kota kelahirannya. Meskipun demikian, alGhazali tetap memprioritaskan `uzlah karena keinginannya yang kuat melakukan khalwat dan membersihkan diri untuk berdzikir (al-Ghazali, t.t.: 75) . Dalam perjalanannya dan selama menjalankan khalwat yang berlangsung kurang lebih sepuluh tahun, terbuka baginya berbagai macam masalah yang tidak dapat dihitung maupun dijelaskan secara mendalam. Menurut al-Ghazali diantara yang bisa disampaikan untuk diambil manfaatnya adalah pemahaman bahwa kaum sufi adalah mereka yang secara khusus meniti jalan Allah, perjalanan mereka adalah paling baik, cara mereka adalah paling benar, dan akhlak mereka adalah 82
paling bersih. Tidak ada suatu jalan lain yang bisa menggantikan jalan mereka, sebab jalan mereka selalu disinari oleh cahaya kenabian dan tidak ada di balik cahaya kenabian cahaya lain sebagai penerang. Bahwa kaum sufi bisa meningkat sampai ke tingkat yang tidak dapat dijelaskan dengan kata-kata dan jika dijelaskan dengan kata-kata akan menimbulkan kesalahan yang besar. Tingkatan ini merupakan tingkat kedekatan yang oleh sekelompok orang disebut dengan hulul, ittihad, dan wushul. Semua sebutan tersebut adalah salah (al-Ghazali, t.t.: 75-76). Dengan demikian, dapat dipahami bahwa tasawuf yang dianut oleh al-Ghazali bukanlah tasawuf yang panteis, faham yang mengakui adanya perstuan antara Tuhan dan makhlukNya, Setelah mencapai tingkat tertinggi dalam realisasi spiritual, al-Ghazali merenungkan dekadensi moral dan keagamaan yanga ada pada masyarakat Islam ketika itu. Kemudian tergeraklah hatinya untuk memperbaikinya dengan cara memberikan penjelasan tentang rusaknya ketergantungan pada masalah keduniaan. Meskipun kembali mengajar, namun aktifitas mengajar al-Ghazali kali ini berbeda secara mendasar dengan aktifitas mengajar sebelumnya. Kalau sebelumnya, alGhazali dengan niat dan tujuan untuk meraih kedudukan, maka saat ini dia mengajar dengan niat dan tujuan sebaliknya. Dalam karyanya (al-Ghazali, t.t.: 9394) menyatakan: "Saya tahu bahwa meskipun saya kembali menyebarkan ilmu namun tidak kembali seperti keadaan semula. Dahulu saya menyebarkan ilmu untuk meraih kedudukan. Saya mendakwahkannya dengan ucapan dan amal dan itulah yang menjadi niat dan tujuanku. Adapun sekarang, saya berdakwah lewat ilmu yang mengarah untuk meninggalkan jabatan dan mengetahui betapa rendahnya suatu jabatan. Inilah yang menjadi niat, tujuan dan angan-anganku sekarang." Keinginan al-Ghazali untuk kembali mengajar didukung oleh para sahabatnya dan permintaan Fakhr al-Mulk putra Nizham al-Mulk yang menjadi perdana menteri dan memiliki istana di Khurasan. A1-Ghzalai mengajar di perguruan tinggi Nizhamiyah di Naisyabur selama beberapa tahun dan kemudian 83
sekitar tahun 1110 kembali di Thus. Di kota ini, dia mendirikan madrasah yang menkaji ilmu-ilmu keagamaan dan khalaqah bagi para sufi. Al-Ghazali menghabiskan sisa hidupnya sebagai pengajar ilmu-ilmu agama dan guru sufi sampai dia wafat pada tahun 1111 dalam usia lima puluh tiga tahun (Bakar, 1997: 89) . Dengan memperhatikan perkembangan intelektual dan apa yang pernah dialami oleh al-Ghazali, dapat diketahui bahwa kehidupannya bisa dibagi menjadi beberapa periode. Sulaiman Dunya (1971: 56-57) membuat periodisasi kehidupan al-Ghazali menjadi tiga periode sebagai berikut: 1. Periode Sebelum Keraguan. Dalam periode ini, al-Ghazali merupakan seorang pencari ilmu yang energik. Dia belum mencapai kematangan berpikir, sehingga membuahkan pemikiran yang bebas. 2. Periode Karaguan. Periode ini merupakan periode terpanjang dalam masa kehidupannya, yang berlangsung sejak masa remajanya sampai dia hidup dengan cara tasawuf. Di masa ini, dia pernah mengalami dua masa krisis yang diakibatkan oleh keraguannya. 3. Periode Mendapat Petunjuk dan Ketenangan. Dalam periode ini, al-Ghazali telah mendapat petunjuk kearah pemikiran sufistik. Karya-karanya pada masa ini menggambarkan hakikat pemikirannya. Dia telah merasakan ketenangan dalam kehidupan secara sufistik.
D. Skeptisisme Al-Ghazali Masa hidup al-Ghazali berada pada masa tatkala pemikiran-pemikiran di dunia Islam mengalami perkembangan yang tinggi. Pemikiran-pemikiran tersebut kemudian berkembang menjadi aliran-aliran yang masing-masing mempunyai metode dan sistemnya sendiri-sendiri, sehingga muncul berbagai macam aliran agama dan filsafat yang saling bertentangan dan memasuki bidang keislaman. Suasana pada masa itu ibarat lautan dalam yang banyak gelombangnya dan menenggelamkan banyak orang karena tidak pandai menyelam dan berenang. 84
Ketika itu al-Ghazali tidak diam dan tidak takut pada dalamnya lautan, dahsyatnya gelombang maupun banyaknya orang yang tenggelam. Dia justru mengarungi lautan tersebut, sebagai seorang yang mahir dan berani bukan sebagai seorang penakut ataupun pengecut. Dalam otobioghrafinya (al-Ghazali, t.t.: 24), alGhazali menceriterakan bahwa perbedaan-perbedaan dan pertentangan-pertentangan yang terjadi dalam aliran-aliran bagaikan lautan dalam yang menenggelamkan banyak orang. Sejak masih remaja sampai usianya mencapai lima puluh tahun, dia telah memasuki dasar lautan yang dalam ini. Dengan berani, tanpa perasaan takut, dia menyelami gelombangnya. Dia masuki semua kegelapannya, setiap masalah dan problemnya. Dia teliti semua keyakinan tiap aliran, disingkap rahasia-rahasia madzhab setiap aliran untuk dibedakan mana yang benar dan mana yang salah, mana yang mengikuti sunah dan mana yang bid'ah . Dalam pengakuan al-Ghazali (t.t.: 25), semangat untuk mengetahui hakikat sesuatu sudah ada pada dirinya sejak masih kecil. Semangat ini merupakan insting yang diciptakan Allah untuk dirinya, bukan merupakan pilihan dan usahanya sendiri. Dengan demikian, dia telah terbebas dari belenggu taklid dan terlepas dari keyakinan warisan sejak masih usia muda. Bagaimana sikap dan pandangannya tentang taklid bisa dilihat dari pernyataannya dalam Mi'raj al-Salikin, sebagaimana dikutip oleh al-Qardlawi sebagai berikut. "Ketahuilah wahai saudaraku, bila anda pergi untuk mengenal kebenaran lewat tokoh, tanpa bersandar pada hati, berarti usaha anda itu telah sesat, karena sesungguhnya para ulama' itu adalah tokoh, is bagaikan matahari atau pelita, ia mernberi sinar. Kemudian lihatlah, bila anda buta berarti pelita dan matahari pun tidak ada gunanya. Barang siapa bersandar pada taklid berarti dia hancur sehancurhancurnya" (al-Qardlawi, 1997: 21-22). Untuk bisa mebedakan mana yang benar dan mana yang salah, perlu dicari apa yang menjadi hakikat ilmu, sebagai parameternya. Menurut al-Ghazali, Ilmu Yaqinlah yang bisa disebut sebagai hakikat ilmu. Baginya, Ilmu Yaqin adalah ilmu 85
yang menyingkap obyeknya tanpa meninggalkan keraguan, tidak diiringi kemungkinan keliru ataupun khayalan. Sebagai contoh dari apa yang setara dengan ilmu yakin adalah pengetahuan bahwa sepuluh itu lebih banyak dari tiga. Pengetahuan semacam ini tidak bisa diragukan oleh siapapun dan apapun, tidak mengandung kekeliruan maupun khayalan (al-Ghazali, t.t.: 26) . Dengan parameter ilmu yaqin tersebut, al-Ghazali merenungkan kembali terhadap semua pengetahuan yang telah dikuasainya. Dia mendapatkan kenyataan bahwa semua pengetahuannya tidak memiliki ciri-ciri ilmu yaqin. Kenyataan ini mengakibatkannya masuk dalam suasana skeptis atau keraguan. Telaah terhadap karya al-Munqidz min al-Dlalal menunjukkan bahwa skeptisisme al-Ghazali menyebabkan munculnya dua masa krisis dalam periode keraguan dari kehidupannya. Masa krisis pertama berlangsung kurang lebih selama dua bulan (al-Ghazali, t.t.: 31) sedangkan krisis kedua berlangsung sekitar enam bulan (alGhazali, t.t.: 73). Kedua krisis tersebut mempunyai efek dalam kegiatankegiatanya baik secara jasmani, intelektual maupun spiritual. 1. Krisis Pertama Harun Nasution (1973: 41) memperkirakan bahwa skeptisime al-Ghazali timbul karena mendapat pelajaran ilmu kalam atau teologi dari al-Juwaini. Sebagaimana diketehui, dalam ilmu kalam terdapat berbagai aliran yang bertentangan. Karena itu, munculah keraguannya untuk menentukan pilihan aliran mana yang benar diantara berbagai aliran tersebut. Dalam pandangan Osman Bakar (1997: 183) bukan hanya perkenalan terhadap. klairn-klaim metodologis para teolog saja, tetapi perkenalan terhadap kiaim-klaim metodologis para filosof, kaum ta' limiyah dan para sufi juga memberikan andil sebagai penyebab krisis pribadinya yang pertarna ini. Nampaknya, skeptisisme al-Ghazali di sini bersifat epistemlogis karena merupakan keraguan untuk mencari metodologi yang tepat bagi daya-daya kognitif dalam skema keseluruhan pengetahuan. Lebih khusus lagi, al-Ghazali ragu-ragu dalam menentukan hubungan yang tepat antara rasio atau akal dan intuisi supra rasional. Dia dibingungkan oleh pertentangan antara 86
kehandalan akal sebagaimana pada kasus para teolog serta filosof di satu pihak dan kehandalan pengalaman supra-rasional seperti halnya dalam kasus kaum ta'limiyah dan para sufi di pihak lain. Di bawah bimbingan al-Farmadli, al-Ghazali pernah mempratekkan kehidupan asketik yang keras dan latihan-latihan sufistik. Akan tetapi dia tidak dapat mencapai tingkatan dimana para sufi mulai menerima ilham murni dari "Yang Diatas". Oleh karena itu dia tidak merasakan ketentraman sama sekali dalam jiwanya. Di satu pihak, dia merasa tidak puas secara filosofis terhadap sistem-sistem spekulatif dari para teolog skolastik dan tidak mendapatkan sesuatu yang handal. Di pihak lain, latihan-latihan sufistik juga gagal membuat kesan pada dirinya karena dia tidak mendapatkan hasil-hasil yang meyakinkan. Namun demikian, peningkatan pelajaran tasawuf dengan penekanan pada pengalaman pribadi tentang Tuhan menambah keraguan al-Ghazali terhadap teologi dogmatik (Sheikh, 1963: 583-584). Pada masa ini, keraguan al-Ghazali juga sudah sampai pada taraf keraguan terhadap kehandalan data inderawi dan data rasional berkatagori aksiomatik. Penglihatan, yang dia anggap sebagai indera paling kuat, ternyata tidak memberikan data yang meyakinkan. Bayang bayang pohon yang kelihatan diam ternyata bergerak sedikit demi sedikit. Bintang yang terlihat hanya sebesar uang logam, ternyata menurut dalil ilmu falak lebih jauh besar dari bumi. Adapun analogi dari ketidakmampuan data rasional untuk memberikan keyakinan adalah seperti halnya peristiwa yang nampak benar-benar terjadi dalam mimpi, ternyata tidak benar-benar terjadi dalam waktu jaga. Mungkin akan datang suatu waktu dengan hukum-hukum yang berbeda dari hukum-hukum waktu jaga, sehingga waktu jaga bisa diibaratkan sebagai waktu mimpi bila dibandingkan dengan waktu dimaksud. Dengan demikian, al-Ghazali sudah ridak percaya lagi terhadap data inderawi dan data rasional. Selama kurang lebih dua bulan, dia berada dalam suasana skeptis yang mengakibatkannya hanya mampu untuk menentukan tindakan tapi tidak bisa menetapkan logika dan ucapan (al-Ghazali, t.t.: 29-31). 87
Dalam pengakuannya, al-Ghazali bisa terbebas dari krisis ini bukan melalui argumen dan bukti rasional, melainkan karena adanya "Nur" (cahaya), yang disusupkan Allah swt. kedalam hatinya. Dia menyatakan bahwa Nur tersebut merupakan kunci sebagian besar pengetahuan (al-Ghazali, t.t.: 31). Selanjutnya alGhazali bisa menerima kehandalan data rasional lagi berkatagori aksiomatik. Hal ini berarti dia membenarkan bahwa intuisi supra rasional bersifat superior terhadap akal. 2. Krisis Kedua Al-Ghazali mengakui bahwa penguasaannya terhadap doktrin dan ajaran tasawuf didapatkan melalui tulisan para Sufi, seperti al-Makki, al-Muhasibi, alJunaid, al-Syibli, al-Bistami dan para guru mereka. Disamping dari sumber tulisan, ajaran tasawuf juga didapatkan dari sumber lisan (al-Ghazali, t.t.: 68). Namun, dia tidak menyebutkan siapa sebagai sumber lisannya. Mungkin yang dimaksud sebagai sumber lisan adalah saudaranya sendiri yang bernama Ahmad (Bakar, 1997: 187). Menurut al-Ghazali (al-Ghazali, t.t.: 69-70) pengetahuan kalangan Khawas dari para Sufi bukan hanya dicapai melalui belajar dan penyimakan saja, tetapi juga harus melalui rasa dan suluk, yakni tahapan ruhani dalam pembinaan sifatsifat. Mereka adalah orang-orang yang memiliki laku ruhani bukan orang-orang yang memiliki kepandaian bicara. Penelaahannya terhadap bidang ilmu syar'iyah dan aqliyah membawa kepada keimanan yang yakin kepada Allah, Kenabian dam Hari Akhir. Tiga prinsip iman ini telah meresap dalam jiwanya, bukan dengan sekedar dalil tertentu namun disertai dengan sebab dan bukti konkrit serta berbagai pengalaman yang tidak bisa dijelaskan secara rinci. Bagi al-Ghazali, kebahagiaan akhirat hanya bisa diraih melalui takwa dan pengekangan nafsu. Pokok dari semua ini adalah pemutusan ketergantungan hati pada kenikmatan duniawi dengan menghadap sepenuhnya kepada Allah swt. Hal ini tidak tercapai kecuali dengan memalingkan diri dari kedudukan, harta dan melepaskan diri dari berbagai kesibukan serta ketergantungan duniawi. Dengan 88
pendirian seperti ini, al-Ghazali melaksanakan instropeksi terhadap semua amal perbuatannya, termasuk pendidikan dan pengajaran yang dia anggap sebagai amal perbuatannya yang terbaik. Dari pengamatannya terhadap niat dalam mengajar, dia menilai bahwa niatnya tidak murni karena Allah swt. Motifasi dan penggeraknya, sebagaimana dia akui, merupakan usaha mencari kedudukan dan popularitas, sehingga dia merasa berada di pinggir jurang yang membahayakan, berada di pinggir neraka, yang akan terjerumus ke dalamnya bila tidak segera membebaskan diri dari kondisinya (AlGhazali, t.t.: 71). Keraguan datang silih berganti menimpa pribadi al-Ghazali antara terseret oleh keinginan-keinginan duniawi dan dorongan-dorongan untuk meraih akhirat. Hal ini berlangsung sekitar enam bulan yang diawali bulan Rajab 488 H/Juli 1095 M. Pada bulan ini keraguan mencapai titik kulminasinya yang mengakibatkan kekeluan lidah sehingga dia tidak mampu untuk mengajar. Kekeluan lidah ini menimbulkan kesedihan hati yang mengganggu pencernaan makanan dan minuman. Kondisi fisik al-Ghazali makin melemah dan para dokter pun tidak mampu lagi mengatasinya. Menurut mereka penyakitt ini berawal dari hati dan menjalar ke seluruh tubuh. Maka tidak ada jalan lain kecuali dengan menghilangkan dan mengusir sebab kesedihan hati yang sangat menyakitkan (alGhazali, t.t.: 73) . Dari sini nampak bahwa krisis kedua ini bersifat spiritual. Dalam keadaan semacam ini, al-Ghazali berlindung kepada Allah swt. dan memohon pertolonganNya, sebagaimana yang dilakukan oleh orang yang terdesak yang tidak ada tempat lagi untuk menghindar. Allah swt. mengabulkan permohonannya sebagaimana mengabulkan doa orang yang terdesak. Allah memberikan pertolonganNya dengan jalan memberikan kemudahan bagi alGhazali menentukan pilihan untuk berpaling dari kedudukan, harta, ank-anak dan para sahabatnya (al-Ghazali, t.t.: 73) . Selanjutnya fase kehidupan al-Ghazali berubah dari fase kehidupan yang terseret oleh keinginan duniawi ke fase kehidupan yang penuh dengan dorongan untuk meraih kebahagiaan akhirat. Nampaknya, krisis kedua yang dialami oleh alGhazali lebih serius daripada krisis 89
pertama, karena berkaitan dengan suatu keputusan untuk melepaskan suatu jenis kehidupan demi jenis kehidupan lain yang secara esensial bertentangan dengan yang terdahulu dan akibatnya pun secara fisik lebih berat dirasakan. Henry Corbin (1972: 327) menyebutnya dengan istilah "a profound crisis". Dari keterangan-keterangan di atas dapat dipahami bahwa skeptisisme AlGhazali mencapai puncaknya dalam dua masa dan berbeda coraknya. Krisis yang pertama bercorak intelektual sedang yang kedua bercorak spiritual, maka bisa disebut dengan `krisis intelektual' dan „krisis spiritual‟. Keduanya berlangsung pada periode keraguan al-Ghazali yang panjang. Dalam pengakuannya sendiri, terbebasnya dari kedua macam krisis tersebut tidak lain karena peran pertolongan Allah swt. semata.
E. Kesimpulan Al-Ghazali merupakan cerminan dari citra Ulul-albab. Ciri-ciri seorang Ululalbab terdapat dalam diri pribadi al-Ghazali. Perjalanan hidup dan perkembangan intelektualnya menunjukkan perwujudan citra Ulul-albab.
DAFTAR PUSTAKA Abdurrahman, O. (2008). Ulul-albab: Profil Intelektual Plus. [Online]. Tersedia: http:
//
ahmadsamantho.wordpress.com/2008/09/24/ulul-albab-profil-
intelektual-plus/ [30 Juni 2012] Al-Baqi, M. F. A. (1981). Al-Mu‟jamu al-Mufahros li alfazhi al-Qur‟an al-Karim. t.t.: Daar al-Fikri. Ahmad, Z. A. (1968). Riwayat Hidup Imam Al-Gazali. Jakarta: Bulan Bintang Al-Ghazali, A. H. (t.t.). Al- Munqidz min al-Dlalal.
Beirut: Al-Mathba‟ah al-
Sya‟biyah. Al-Qardlawi, Y. (1997). Al-Imam al-Ghazali baina Madihihi wa Naqidihi. (terj.) Ismail, A. S. Pro-Kontra Pemikiran Al-Ghazali. Surabaya: Risalah Gusti. 90
Arberry, A. J. (1985). Sufism: An Account of the Mystics of Islam. (terj.) Herawan, B. Pasang-Surut Aliran Tasauf. Bandung: Mizan. Bakar, O. (1997). Classification of Knowledge in Islam: A Study of Islamic Philosophies of Sciences. (terj.) Purwanto Hierarki Ilmu, Membangun Rangka-Pikir Islamisasi Ilmu. Bandung: Mizan. Corbin, H. (1972). Al-Ghazali dalam The Encyclopedia of Philosophy vol. III. New York: Macmillan Publishing. Dunya, S. (1971). Al-Haqiqah fi Nadhar al-Ghazali. Mesir: Dar al-Ma‟arif. Fakhry, M. (1983). A History of Islamic Philosophy. New York: Columbia University Press. Nasution, H. (1978). Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang. Sheikh, M. S. (1963). Al-Ghazali: Metaphysics dalam M.M. Sharif (ed) History of Muslim Philosophy. Wiesbaden: Otto Harrassowitz. Soleh, A. Kh. (t.t.). Ulul-albab Konsep al Qur‟an tentang Intelektualisme. [Online]. Tersedia: http://www.scribd.com/doc/5885241/Konsep-Ulul-Albab- [05 Juli 2012]. Tim Penyusun Kamus (1989). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Watt, W. M. (1960). Ghazali dalam Encyclopedia of Islam II. Leiden: E.J. Brill.
91
Aspek Kemanusiaan dalam Pendidikan Islam (Perspektif Hadits Riwayat Muslim dan Abu Dawud) Oleh : Muis Sad Iman Dosen Pada Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Magelang dan Mahasiswa Sekolah Pascasarjana Program Doktoral Ilmu Pendidikan Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (08562876642)
Abstraksi Terdapat sebuah adagium yang cukup terkenal dalam diskursus Ushul Al Fiqh, annushshuushu muntanahiya wa al waqi‟u ghairu muntanahiya. Fiqh kemudian menjadi ilmu alat untuk menerjemahkan nash-nash guna merespon setiap kejadian yang selalu berkembang. Berkaitan dengan adagium tersebut muncul banyak pergolakan pemikiran, mengenai cara memahami nash baik Al Qur‟an maupun Al Hadits, sebagai upaya pembumian nash yang ukhrawi dalam menanggapi permasalahan duniawi yang selalu berkembang. Konsekuensi dari hal tersebut muncul banyak perbedaan pendapat satu masalah yang sama dengan sumber rujukan yang sama. Dalam konteks fiqh, timbulnya mahzab-mahzab fiqhiyah merupakan sebuah bukti riil. Terkait dunia ekonomi, khususnya perdagangan ekspor impor dengan segala instrumen pendukungnya memerlukan landasan hukum yang dinamis namun tetap mengacu pada syariah, sehingga ada korelasi yang jelas antara agama dan muamalah. Tulisan ini mengupas hukum L/C Ekspor Impor yang disandarkan pada hiwalah bil ujrah dan wakalah bil ujrah.
Kata Kunci: Fiqh Muamalah, Hiwalah, L/C Ekspor Impor.
92
A. Pendahuluan Penyusunan makalah ini berawal dari suatu konsep bahwa pendidikan adalah sebuah upaya kemanusiaan agar seseorang dapat mengatasi kesulitan-kesulitan dalam hidupnya. Disamping itu pendidikan juga merupakan upaya agar manusia hidup bahagia di dunia dan akhirat. Terlebih pendidikan adalah proses penyadaran terhadap orang untuk mengakui dirinya sebagai hamba Allah yang memiliki kewajiban beribadah kepadaNya dalam bentuk praksis. Dari sini penulis teringat suatu penggalan hadits yang bunyinya ُ َٔ Dari penggalan hadits tersebut penulisهَّللا ُي ًِي َْٕو ٌِي ْون َ ْو ِذي َي ي َ ٌَ ي ْون َ ْوذُي ًِي َْٕو ٌِي َ ِ ٍ ِّي mencoba melacak dengan program maktabah syamilah. Ditemukanlah bahwa penggalan hadits tersebut ada di dalm shahih Muslim dan sunan Abu Dawud. Pelackan selanjutnya penulis menggunakan program Kutubut Tis‟ah (Al Maushu‟ah). Bunyi hadits tersebut adalah sebagai berikut :
B. Hadits Riwayat Muslim صذٍخييسهىي:٤٨٦٧ يد ُهَّللاذثََُ يٌَذْو ٍَىيبْوٍُ يٌَذْو ٍَىي نحُهَّللا ًٍِ ًِ ًُّي َٔ َبُٕيبَ ْوك ِشيبْوٍُ ي َ ِبًي َش ْوٍ َةَي َٔ ُي َذ ُهَّللاًذُيبْوٍُ ي ْون َ ََل ِءي ْونَٓ ْوً َذ َِ ًُّي َٔ نهُهَّللا ْوفظُينٍَِذْو ٍَىييقَ َليٌَذْو ٍَىي َ َ َ َ َ يسسُٕلُي ِيُهَّللا خي ْوٍَي ِبًيُْ َشٌ َْوشةَيقَ َلييقَ َل َ شي ْوٍَي ِبًي َ َ ْو َ َشََ ئيقَ َلي ْوَ َ َش ٌِي َد ُهَّللاذثََُ ي بُٕي ُي َ ٌَِٔةَي ْوٍَي ْوْل ْو ًَ ِ ص نِ ٍ ئ َي ْوٍي بي ن ُّذ ْوٍََ يََفُهَّللا َ صهُهَّللاىي ُهَّللا ُي َ هَ ْوٍ ِّي َٔ َسهُهَّللا َىي َي ْوٍيََفُهَّللا َ َ سي ُهَّللا ُي َ ْوُُّي ُشْو بَةًي ِي ْوٍي ُ َش ِ سي ْوٍَي ُي ْوؤ ِي ٍٍي ُشْو بَةًي ِي ْوٍي ُ َش ِ بيٌَْٕو ِوي ْونقٍَِ َي ِة َ ُهَّللا ُهَّللا ُهَّللا ْو ْو ئ ُي ًِي َْٕو ٌِي ئ َ ِ َش ِةي َٔ َي ْوٍي َسحَ َشي ُي ْوسهِ ًً ي َسحَ َشُِي ُي ًِي ن ُّذ ْوٍََ ي َٔ َ ِ َش ِة َ ٌَس َُهَّللاشي َ هَىي ُي ْو ِس ٍشيٌَ ُهَّللاس َشي ُي َ هَ ْوٍ ِّي ًِي ن ُّذ ْوٍََ َ ْو ُهَّللا ْو ْو ُهَّللا ً َ ً َ ئ َي ْوٍي َسهَكَيط ِشٌق يٌَهحَ ًِسُ ي ٍِ ِّي ِ ه ًً ي َسُٓهَّللا َمي ُينَُّيبِ ِّيط ِشٌق يإِنَىي ن َجُ ِةي َٔ َي ي جْو حَ ًَ َعي ْون َ ْو ِذي َي ي َ ٌَ ي ْون َ ْوذُي ًِي َْٕو ٌِي َ ِ ٍ ِّ َ بي ُهَّللا ِي ٌََٔحَ َذ َسسََُُّٕيبَ ْوٍَُُٓ ْوىيإِ ُهَّللاَّليََ َضنَ ْو ئ َدفُهَّللا ْوحُٓ ْوىي تي ُهَّللا ِيٌَ ْوحهٌَُٕ ي ِحَ َ قَْٕو ٌوي ًِيبَ ْوٍ ٍ ثي ِي ْوٍيبٍُُٕ ِ ئ َغ ِشٍَ ْوحُٓ ْوىي نشُهَّللادْو ًَةُ َ ثي َ هَ ْوٍ ِٓ ْوىي ن ُهَّللاس ِكٍَُةُ َ َ ُهَّللا ُهَّللا ُهَّللا ُ ْو َ ُ َ َ ْوش ْوعيبِ ِّيََ َس ُُّييي َد ُهَّللاذثَُ ي ُي َذ ُهَّللاًذُيبْوٍُ ي َ ْو ِذي ِي ْوب ٍِيَ ًٍَ ٍْوشي َد ُهَّللاذثَُ ي ْون ًَ ََلئِ َكةُي َٔ َر َ َشُْ ْوىي ُي ٍِ ًَ ْوٍي ِ ُ َذُِي َٔ َي ْوٍيبَطأيبِ ِّي َ ًَهُّين ْوىيٌُس ِ خي َ ْوض ًِ ًُّي َد ُهَّللاذثََُ ي َبُٕي ُ َس َيةَيقَ ََّلي َد ُهَّللاذثََُ ي ْوْلَ ْو ًَشُ َ َبًِيحئي َد ُهَّللاذثََُ ِيََصْو شُيبْوٍُ ي َ هِ ًٍّي ْون َجٓ َ يد ُهَّللاذثََُ ي بْوٍُ يَُ ًٍَ ٍْوشي ْوٍَي َبِ ًيص نِ ٍ ئ َسهُهَّللا َىيبِ ًِ ْوث ِمي بي َسسُٕلُي ُهَّللا ِي َ يص َخ َ خي ْوٍَي َبًِيُْ َش ْوٌ َشةَيقَ َل َ ثي َبًِي ُ َس َيةَي َد ُهَّللاذثََُ ي َبُٕي َ َٔ ًِي َد ِذٌ ِ صهُهَّللاىي ُهَّللا ُي َ هَ ْوٍ ِّ َ ص نِ ٍ ُ َ َ ْو ُهَّللا ْو َ َ َ َ َ ٍشي َ هىي ن ًُ ْو ِس ِشييييييييييييييييييييييييييييييييييييي ثي َبًِي ُي َ ٌَِٔةي َغ ْوٍ َشي ُهَّللاٌي َد ِذٌثي بًِي َس َيةينٍ َ َد ِذٌ ِ ْوسي ٍِ ِّي ِر شُي نح ْوٍ ِس ِ يييييييييييييييييييييييييييييييييييي Shahih Muslim 4867: Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya At Tamimi dan Abu Bakr bin Abu Syaibah dan Muhammad bin Al 'Ala Al Hamdani -dan lafadh ini
93
milik Yahya- dia berkata; telah mengabarkan kepada kami, dan berkata yang lainnya, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah dari Al A'masy dari Abu Shalih dari Abu Hurairah dia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah bersabda: 'Barang siapa membebaskan seorang mukmin dari suatu kesulitan dunia, maka Allah akan membebaskannya dari suatu kesulitan pada hari kiamat. Barang siapa memberi kemudahan kepada orang yang berada dalam kesulitan, maka Allah akan memberikan kemudahan di dunia dan akhirat. Barang siapa menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan menutup aibnya di dunia dan akhirat. Allah akan selalu menolong hamba-Nya selama hamba tersebut menolong saudaranya sesama muslim. Barang siapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan jalan ke surga baginya. Tidaklah sekelompok orang berkumpul di suatu masjid (rumah Allah) untuk membaca Al Qur'an, melainkan mereka akan diliputi ketenangan, rahmat, dan dikelilingi para malaikat, serta Allah akan menyebut-nyebut mereka pada malaikat-malaikat yang berada di sisi-Nya. Barang siapa yang ketinggalan amalnya, maka nasabnya tidak juga meninggikannya.' Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin 'Abdullah bin Numair telah menceritakan kepada kami Bapakku Demikian juga diriwayatkan dari jalur lainnya, dan telah menceritakannya kepada kami Nashr bin 'Ali Al Jahdhami telah menceritakan kepada kami Abu Usamah mereka berkata; telah menceritakan kepada kami Al A'masy -telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair- dari Abu Shalih. Sebagaimana di dalam hadits Abu Usamah Telah menceritakan kepada kami Abu Shalih dari Abu Hurairah dia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berkata dengan lantang, -sebagaimana Hadits Abu Mu'awiyah, hanya saja di dalam Hadits Abu Usamah tidak disebutkan; memberi kemudahan kepada orang yang kesusahan.يي 1. Sanad Abdur Rahman bin Shakhr ↑ Dzakwan ↑ Sulaiman bin Mihram
94
↑ Muhammad bin Khazim ↑ Yahya bin Yahya bin Bukair bin „Abdur Rahman
a. Abdur Rahman bin Shakhr : Dari klangan Shahabat; Kuniyah : Abu Hurairah; Negeri Hidup : Madinh; Tahun Wafat : 57 H. Komentar ulama terhadap perawi, Ibnu Hajar al-Asqalani, katanya : Seorang Shahabat. b. Dzakwan : Dari klangan Tabi‟in Pertengahan; Kuniyah : Abu Shalih; Negeri Hidup : Madinh; Tahun Wafat : 101 H. Komentar ulama terhadap perawi, (1) Abu Zur‟ah, katanya : Seorang Mustaqiimul Hadits; (2) Muhammad bin Sa‟d, katanya : Tsiqah banyak haditsnya; (3) As Saaji, katanya : Tsiqah Shaduuq; (4) Al „Ajli : Tsiqah; (5) Ibnu Hibban : Disebutkan dalam Ats-Tsiqaat; (6) Ibnu Hajar al-Asqalani : Tsiqah Tsabat; (7) Adz Dzahabi : Termasuk dari imam-imam Tsiqah. c. Sulaiman bin Mihram : Dari Tabi‟in kalangan biasa; Kuniyah : Abu Muhammad; Negeri Hidup : Kuffah; Tahun Wafat : 147 H. Komentar ulama terhadap perawi, (1) Al Ajli : Tsiqah Tsabat; (2) An Nasa‟i : Tsiqah Tsabat; (3) Yahya bin Ma‟in : Tsiqah; (4) Ibnu Hibban : Disebutkan dalam Ats-Tsiqaat; (5) Ibnu Hajar al-Asqalani : Tsiqah Hafidz; (6) Ibnu Hajar al-Asqalani : Yudallis; (7) Abu Hatim Ar Rozy : Tsiqah, haditsnya dijadikan hujjah. d. Muhammad bin Khazim : Dari Tabi‟ul atba‟ kalangan tua; Kuniyah : Abu Mu‟awiyah; Negeri Hidup : Kuffah; Tahun wafat : 195 H.
95
Komentar ulama terhadap perawi, (1) An Nasa‟i : Tsiqah; (2) Ibnu Kharasy : Shaduuq; (3) Ibnu Hibban : Disebutkan dalam Ats-Tsiqaat; Yahya bin Ma‟in : Tsiqah; (4) Ibnu Sa‟d : Tsiqah; (5) Al Ajli : Tsiqah; (6) Al Ajli : Tertuduh Seorang Murji‟ah. e. Yahya bin Yahya bin Bukair bin ‘Abdur Rahman : Dari Tabi‟ul Atba‟ kalangan tua; Kuniyah : Abu Zakariya; Negeri Hidup : Himsh; Tahun Wafat : 226 H. Komentar ulama terhadap perawi, (1) An Nasa‟i : Tsiqah Tsabat; (2) Ibnu Hibban : Disebutkan dalam Ats-Tsiqaat; (3) Ahmad bin Hambal : Tsiqah; (4) Ibnu Hajar al-Asqalani : Tsiqah Tsabat; (5) Adz Dzahabi : Tsabat. 2. Matan Isi hadits tersebut mengandung ajaran sebagai berikut : a. Barang siapa membebaskan seorang mukmin dari suatu kesulitan dunia, maka Allah akan membebaskannya dari suatu kesulitan pada hari kiamat. b. Barang siapa memberi kemudahan kepada orang yang berada dalam kesulitan, maka Allah akan memberikan kemudahan di dunia dan akhirat. c. Barang siapa menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan menutup aibnya di dunia dan akhirat. d. Allah akan selalu menolong hamba-Nya selama hamba tersebut menolong saudaranya sesama muslim. e. Barang siapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan jalan ke surga baginya. f. Tidaklah sekelompok orang berkumpul di suatu masjid (rumah Allah) untuk membaca Al Qur'an, melainkan mereka akan diliputi ketenangan, rahmat, dan dikelilingi para malaikat, serta Allah akan menyebut-nyebut mereka pada malaikat-malaikat yang berada di sisi-Nya. g. Barang siapa yang ketinggalan amalnya, maka nasabnya tidak juga meninggikannya.
96
3. Rawi Hadits tersebut di atas diriwayatkan oleh Muslim. 4. Kualitas Hadits Berdasarkan ijma‟ Ulama‟, derajat hadits tersebut adalah Shahih.
C. Hadits Riwayat Abu Dawud ي:٤٢٩٥سٍُي بًيد ٔٔدي ئ َج ِشٌشٌي ن ُهَّللاش ِصيُّ يحئي َد ُهَّللاذثََُ ي َ ٌُ ًَ َد ُهَّللاذثََُ ي َبُٕيبَ ْوك ٍشي َٔ ُ ْوث ًَ ٌُ ي ْوبَُ ي َبًِي َش ْوٍ َةَي ْون ًَ ْو َُىيقَ ََّلي َد ُهَّللاذ َث َُ ي َبُٕي ُي َ ٌَِٔ َةي َق َلي ُ ْوث ُ صمٌيقَ َلي ُد ِّذ ْوث خيثُ ُهَّللاىي َ َ ِ َٔ خي َٔقَ َلي ِ َٔ ِثي ْوٍَي َب ِشي ْوٍَي َب ِ ًَ صمُيبْوٍُ ي َ ْو ِذي ْوْلَ ْو هَىي َد ُهَّللاذثََُ ي َ ْوس َ طٌي ْوٍَي ْوْلَ ْو ٍ ًِيص ن ٍ ًِيص ن َ ُهَّللا ُهَّللا ُهَّللا ُهَّللا ُهَّللا ُهَّللا ْو ْو ً ُهَّللا ُ ُ َ سي ُي َ ُُّي َ بي ن ُّذٍََ يََف َ صهىي ُي َ ه ْوٍ ِّي َٔ َسه َىيقَ َلي َي ْوٍيََف َ جُهَّللافَقُٕ ي ْوٍَي بًِيُْ َش ْوٌ َشةي ْوٍَي نُ ِ ًِّي ِ سي ْوٍَي ُي ْوسهِ ٍىي شْو بَةي ِي ْوٍي َش ئ َي ْوٍيٌَس َُهَّللاشي َ هَىي ُي ْو ِس ٍشيٌَ ُهَّللاس َشي ُهَّللا ُي َ هَ ْوٍ ِّي ًِي ن ُّذ ْوٍََ ي َٔ ْوَ ِ َش ِةي َٔ َي ْوٍي َسحَ َشي َ هَىي ُي ْوسهِ ٍىي َسحَ َشي ِ ُشْو بَةًي ِي ْوٍي ُ َش َ بيٌَْٕو ِوي ْونقٍَِ َي ِة ئ ُهَّللا ُي ًِي َْٕو ٌِي ْون َ ْو ِذي َي ي َ ٌَ ي ْون َ ْوذُي ًِي َْٕو ٌِي َ ِ ٍ ِّيقَ َلي َبُٕي َد ُٔدينَ ْوىيٌَ ْوز ُشْو ي ُ ْوث ًَ ٌُ ي ْوٍَي َ ئ ْوَ ِ َش ِة َ ٍََُهَّللا ُي َ هَ ْوٍ ِّي ًِي ن ُّذ ْو َبًِي ُي َ ٌَِٔةَي َٔ َي ْوٍيٌَس َُهَّللاشي َ هَىي ُي ْو ِس ٍشييي
1. Sunan Abu Daud 4295: Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar dan Utsman -keduanya anak Abu Syaibah- secara makna, keduanya berkata; telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah -Utsman mengatakan- dan Jarir Ar Razi. (dalam jalur lain disebutkan) Telah menceritakan kepada kami Washil bin Abdul A'la berkata, telah menceritakan kepada kami Asbath dari Al A'masy dari Abu Shalih Washil berkata; aku diceritakan dari Abu Shalih, kemudian keduanya sepakatdari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Barangsiapa meringankan satu kesusahan seorang muslim di dunia, maka Allah akan meringankan darinya satu kesusahan dari kesusahan-kesusahan pada hari kiamat. Barangsiapa memberi kemudahan kepada orang yang sedang kesulitan, maka Allah akan memberikan kemudahan kepadanya di dunia dan di akhirat. Barangsiapa menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan menutupi aibnya di dunia dan di akhirat. Dan Allah akan selalu menolong seorang hamba selama hamba tersebut mau menolong saudaranya." Abu
97
Dawud berkata, "Riwayat Utsman dari Abu Mu'awiyah tidak menyebutkan, "Barangsiapa memberi kemudahan kepada orang yang sedang kesulitan." 2. Sanad Abdur Rahman bin Shakhr ↑ Dzakwan ↑ Sulaiman bin Mihram ↑ Muhammad bin Khazim ↑ Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah Ibrahim bin „Utsman
a. Abdur Rahman bin Shakhr : Dari klangan Shahabat; Kuniyah : Abu Hurairah; Negeri Hidup : Madinh; Tahun Wafat : 57 H. Komentar ulama terhadap perawi, Ibnu Hajar al-Asqalani, katanya : Seorang Shahabat. b. Dzakwan : Dari klangan Tabi‟in Pertengahan; Kuniyah : Abu Shalih; Negeri Hidup : Madinh; Tahun Wafat : 101 H. Komentar ulama terhadap perawi, (1) Abu Zur‟ah, katanya : Seorang Mustaqiimul Hadits; (2) Muhammad bin Sa‟d, katanya : Tsiqah banyak haditsnya; (3) As Saaji, katanya : Tsiqah Shaduuq; (4) Al „Ajli : Tsiqah; (5) Ibnu Hibban : Disebutkan dalam Ats-Tsiqaat; (6) Ibnu Hajar al-Asqalani : Tsiqah Tsabat; (7) Adz Dzahabi : Termasuk dari imam-imam Tsiqah. 98
c. Sulaiman bin Mihram : Dari Tabi‟in kalangan biasa; Kuniyah : Abu Muhammad; Negeri Hidup : Kuffah; Tahun Wafat : 147 H. Komentar ulama terhadap perawi, (1) Al Ajli : Tsiqah Tsabat; (2) An Nasa‟i : Tsiqah Tsabat; (3) Yahya bin Ma‟in : Tsiqah; (4) Ibnu Hibban : Disebutkan dalam Ats-Tsiqaat; (5) Ibnu Hajar al-Asqalani : Tsiqah Hafidz; (6) Ibnu Hajar al-Asqalani : Yudallis; (7) Abu Hatim Ar Rozy : Tsiqah, haditsnya dijadikan hujjah. d. Muhammad bin Khazim : Dari Tabi‟ul atba‟ kalangan tua; Kuniyah : Abu Mu‟awiyah; Negeri Hidup : Kuffah; Tahun wafat : 195 H. Komentar ulama terhadap perawi, (1) An Nasa‟i : Tsiqah; (2) Ibnu Kharasy : Shaduuq; (3) Ibnu Hibban : Disebutkan dalam Ats-Tsiqaat; Yahya bin Ma‟in : Tsiqah; (4) Ibnu Sa‟d : Tsiqah; (5) Al Ajli : Tsiqah; (6) Al Ajli : Tertuduh Seorang Murji‟ah. e. Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah Ibrahim bin ‘Utsman : Dari Tabi‟ul Atba‟ kalangan tua; Kuniyah : Abu Bakar; Negeri Hidup : Kufah; Tahun Wafat : 235 H. f. Komentar ulama terhadap perawi, (1) Ahmad bin Hambal : Shaduuq; (2) Abu Hatim : Tsiqah. 3. Matan Isi hadits tersebut mengandung ajaran sebagai berikut : a. Barangsiapa meringankan satu kesusahan seorang muslim di dunia, maka Allah akan meringankan darinya satu kesusahan dari kesusahan-kesusahan pada hari kiamat. b. Barangsiapa memberi kemudahan kepada orang yang sedang kesulitan, maka Allah akan memberikan kemudahan kepadanya di dunia dan di akhirat. c. Barangsiapa menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan menutupi aibnya di dunia dan di akhirat.
99
d. Dan Allah akan selalu menolong seorang hamba selama hamba tersebut mau menolong saudaranya. 4. Rawi Hadits tersebut di atas diriwayatkan oleh Abu Dawud. 5. Kualitas Hadits Menurut Syaikh Al Albani, derajat hadits tersebut adalah Shahih.
D. Latar Belakang Dan Rumusan Masalah Memperhatikan pada dua hadits tersebut di atas bahwa ada beberapa pelajaran yang dapat di ambil yaitu : No 1
2
3
4
5
Shahih Muslim 'Barang siapa membebaskan seorang mukmin dari suatu kesulitan dunia, maka Allah akan membebaskannya dari suatu kesulitan pada hari kiamat. Barang siapa memberi kemudahan kepada orang yang berada dalam kesulitan, maka Allah akan memberikan kemudahan di dunia dan akhirat. Barang siapa menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan menutup aibnya di dunia dan akhirat. Allah akan selalu menolong hambaNya selama hamba tersebut menolong saudaranya sesama muslim. Barang siapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah
Sunan Abu Dawud Barangsiapa meringankan satu kesusahan seorang muslim di dunia, maka Allah akan meringankan darinya satu kesusahan dari kesusahankesusahan pada hari kiamat. Barangsiapa memberi kemudahan kepada orang yang sedang kesulitan, maka Allah akan memberikan kemudahan kepadanya di dunia dan di akhirat. Barangsiapa menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan menutupi aibnya di dunia dan di akhirat. Dan Allah akan selalu menolong seorang hamba selama hamba tersebut mau menolong saudaranya -
100
6
7
akan memudahkan jalan ke surga baginya. Tidaklah sekelompok orang berkumpul di suatu masjid (rumah Allah) untuk membaca Al Qur'an, melainkan mereka akan diliputi ketenangan, rahmat, dan dikelilingi para malaikat, serta Allah akan menyebut-nyebut mereka pada malaikat-malaikat yang berada di sisi-Nya. Barang siapa yang ketinggalan amalnya, maka nasabnya tidak juga meninggikannya
Melihat matan hadits tersebut di atas secara sederhana pendidikan Islam diharapkan dapat berfungsi atau memberi nilai kehidupan bagi subyek pendidikan (peserta didik) yaitu membantu mengatasi kesulitan hidup di dunia, menumbuhkan kesadaran untuk mau menolong orang lain terutama ketika orang lain dalam kesulitan, menahan hawa nafsu untuk tidak membuka aib orang lain, selalu menolong
orang
lain,
menumbuhkan
semangat
untuk
mencari
ilmu,
memakmurkan masjid dengan membaca kitab suci al-Qur‟an, dan selalu mengingatkan agar jangan sampai ketinggalan atau meninggalkan amal sholih. Dengan kata lain pendidikan Islam akan tidak berfungsi atau tidak bernilai jika tidak dapat membantu mengatasi kesulitan hidup di dunia, tidak dapat menumbuhkan kesadaran untuk mau menolong orang lain, dan seterusnya. Maka pelaku pendidikan hendaknya memperhatikan hal-hal tersebut. Manusia sebagai pelaku pendidikan adalah makhluk unik. Unik dalam watak, dalam fungsi dalam tujuan, dan wujudnya. Begitu juga unik dalam nasib kesudahannya. Suatu makhluk yang tidak ada persamaannya dengan makhlukmakhluk lain yang kita kenal dan juga yang kita tidak kenal. Ia tidak diciptakan
101
secara kebetulan atau tanpa tujuan. Manusia dalam pandngan Islam adalah penguasa bumi ini. Segala sesuatu diciptakan untuknya. Juga diberi peluang untuk menikmati hasil-hasil dan keindahannya sebagai suatu karunia Alloh Swt. Namun manusia juga mkhluk yang lemah. Ia kadang-kadang dikalahkan oleh nafsu, diperintah oleh kelemahan, dan selalu disertai oleh kejahilan terhadap dirinya. Kejahilan manusia terhadap dirinya disebabkan ia terpengaruh oleh hawa nafsu dan kelemahannya, sehingga ia tidak sanggup meletakkan patokan hidup walaupun ia telah dilengkapi dengan kemampuannya oleh Alloh untuk kehidupannya. Dalam kaitannya dengan nafsun, menurut Imam Ghazali ada empat istilah untuk jiwa, yaitu hati (qolbun), ruh, nafsun (jiwa), dan akal (‟aqlun). Nafsun lebih menyeluruh dan lebih banyak digunakan serta menunjukkan manusia sebagai makhluk hidup; qalbun digunakan untuk menunjukkan aspek yang sadar dan perasaan manusia; ruh menunjukkan suatu hakekat (realitas) yang abstrak yang mempunyai unsur ilahi yang berhubungan dengan manusia secara khusus. Sedang kata kerja „aql dipakai dalam al-Qur‟an untuk menyatakan pemahaman dan pemikiran. Melihat permasalahan di atas, bahwa keberhasilan yang tertunda dalam pendidikan Islam disebabkan oleh hawa nafsu dan kelemahan manusia yang lebih dominan. Karena itu penting untuk ditanyakan, Manakah diantara fungsi pendidikan yang lebih utama ? Pembinaan jasmani ataukah ruhani ? Duniakah atau akhirat ? Pendidikan Islam kaya akan konsep. Namun diskursus antroposentris dan teosentris terus berlangsung, seperti tak akan pernah kunjung usai. Banyak pakar pendidikan Islam yang memaparkan teori-teorinya namun belum banyak pendidikan Islam yang menunjukkan keberhasilannya. Quovadis pendidikan Islam ? Mau dibawa kemanakah pendidikan Islam kita ? Antroposentriskah ? atau teosentris ? Kalo dilihat dari segi keinginan sudah amat jelas, bahwa orientasi pendidikan Islam adalah dunia akhirat. Tetapi implementasinya barangkali yang belum menunjukkan kejelasan. Ketidakjelasan pendidikan Islam ini barangkali disebabkan oleh banyaknya kendala yang dihadapi oleh umat Islam. Penangannan 102
yang variatif terkadang membikin bingung dikalangan umat Islam sendiri. Untuk itu penulisan makalh ini dimaksudkan ingin memberikan kontribusi walaupun kecil. Melalui telaah hadits tersebut di atas, setidak-tidaknya dapat memberikan gambaran bagaimanakah pendidikan Islam yang semestinya, Berdasarkan uraian di atas, rumusan masalahnya adalah : 1. Bagaimanakah kualitas hadits tersebut di atas ? 2. Bagaimanakah aspek kemanusiaan dalam pendidikan Islam ?
Adapun tujuannya adalah menjawab rumusan masalah yang ada. E. Aspek Kemanusiaan Dalam Pendidikan Maksud dari aspek kemanusiaan di sini adalah aspek kemanusiaan yang terdapat dalam hadits tersebut di atas. Dalam hadits shahih Muslim (4867) dan sunan Abu Dawud (4295) ada unsure menolong orang lain dan menuntut ilmu. Ketika kedua unsure ini dihubungkan maka
mengandung maksud bahwa
menolong orang ketika seseorang mengalami kesulitan dalam menuntut ilmu. Baik dari segi beaya, tempat, waktu maupun kesulitan dalam belajar itu sendiri. Menolong orang lain yang kesulitan dalam menuntut ilmu ini tampak jelas sekali ketika masa Rasulullah Saw, kemudian masa Khulafaur Rasyidin. Jauh sesudah masa itu pun juga masih dilakukan oleh umat Islam, sebagai contoh pada masa dinasti Saljuq. Di beberapa lembaga pendidikan Islam yang ada pada masa itu seperti di kuttab, masjid, bimaristan, baitul hikmah, observatorium, dan utamanya di ribat beaya pendidikan diambilkan dari harta wakaf kaum muslimin. Beaya yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk sector pendidikan dipandang sebagai investasi. Maksud dari aspek kemanusiaan lainnya yaitu melembagakan nilai kemanusiaan agar menjadi prinsip yang kukuh dan diterima sebagai bagian mendasar dalam budaya (kultur) bangsa Indonesia atau sebagai salah satu pola 103
perangkat prilaku (an organized pattern of group of behavior). Atau dapat juga dikatakan sebagai suatu upaya untuk memantapkan landasan nilai pada kegiatan pendidikan sebagai realisasi dari tujuan pendidikan maupun keterkaitan sains, agama, dan budaya pada kepentingan dan kebutuhan manusia, baik sebagai pribadi maupun sebagai anggota masyarakat, dan keluarga antar bangsa. Bagaimanakah mengkaitkan ilmu yang bebas nilai dengan agama yang terikat dengan nilai, dan selanjutnya keterkaitan tersebut menjadi suatu budaya dan membudaya. Menurut Cak Nur, kemajuan iptek dapat menimbulkan efek positif dan efek negative. Pada sisi yang positif, iptek (industrialisasi) akan membawa kemakmuran. Dan kemakmuran melahirkan peningkatan kemanusiaan. Sementara sisi negatifnya industrialisasi sering menimbulkan persoalan kehidupan seperti terjadinya depersonalisasi dan dehumanisasi. Akibatnya ia tak sanggup mengenali dirinya sendiri dan kehilangan makna hidup, baik terhadap dirinya, orang lain dan Tuhan. Ketika unsure materi semakin menguasai masyarakat maka masalah mencari dan menemukan makna hidup yang ultimate menjadi serius dan akut. Dalam kontek inilah kehadiran agama yang oleh Paul Tillich dipandang sebagai the ultimate universal concern for human being menjadi sangat penting. Mnurut Ian G. Barbour, komitmen religious dan sains (penyelidikan reflektif) dapat didamaikan dan bahwa keimanan dan keraguan jika difahami dengan sebaik-baiknya tidak saling mengecualikan. Disinilah peran pendidikan Islam yaitu mengupayakan budaya kedamaian dan membudayakannya. Dalam konteks hadits di atas upaya kedamaian itu dapat dicapai dengan membebaskan orang lain dari suatu kesulitan dunia, memberi kemudahan kepada orang yang berada dalam kesulitan, menutupi aib orang lain, selalu menolong orang lain. Untuk dapat melkukan kebaikankebaikan tersebut seseorang haruslah memiliki ilmu dan ilmu tersebut diperoleh melaluli proses pendidikan yang materinya bersumber dari al-Qur‟an yang diajarkan secara kelembagaan (tersistem). Proses pendidikan seperti inilah yang akan mendatangkan ketenangan, rahmat, dan dikelilingi para malaikat, serta Allah akan menyebut-nyebut mereka pada malaikat-malaikat yang berada di sisi-Nya. 104
Inilah pendidikan yang dikehendaki dalam hadits tersebut. Pendidikan seperti yang dikehendaki tersebut akan menjadi amal shalih dan membantu para pelaku pendidikan di akhirat nanti. (Wallahu a‟lam). Ada dua orientasi pendidikan yang saling bertolak belakang. Disatu sisi lebih menekankan pada aspek humaniora, sementara disisi lain lebih berorientasi pada penguasaan hi_tech. Kontroversi ini pada dasarnya merefleksikan adanya perbedaan, sekaligus adanya dualisme pandangan yaitu antara pendidikan yang filosofis dengan kepentingan pragmatis. Kenapa kita butuh pandangann yang integral ?. Pertama pendidikan pada dasarnya sebagai suatu instrument strategis pengembangan potensi dasar yang dimiliki oleh setiap manusia. Potensi ini diantaranya adalah potensi moral. Potensi moral menjadikan manusia secara esensial dan eksistensial sebagai makhluk religious (homo religious). Konsep ini seperti dikatakan oleh Toshihiku Izutzu dalam Ethico Religious Consept in The Quran (1966) mencerminkn karakteristik spiritual sifat manusia. Dengan karakteristik tersebut manusia harus menjadi makhluk religius. Keadaan potensial ini bukanlah suatu yang bersifat telah jadi (state of being), tapi merupakan keadaan natural (state of nature) yang perlu diproses (state of becoming) dalam konteks budaya secara makro maupun secara mikro melalui pendidikan. Kedua, realitas sosiologis manusia, meminjam konsep Peter L. Berger (1991) yang selalu terlibat dengan proses dialektika fundamental dalam kehidupan masyarakat. Keterlibatan ini merupakan kebutuhan yang paling fundamental bagi setiap manusia untuk melibatkan diri kemampuan subyektifnya dengan kenyataan dunia empiric obyektif (kebudayaan). Dalam proses semacam ini manusia tidak hanya ingin menempatkan dirinya sebagai recipient , tetapi sekaligus secara dialektikal sebagai subyek yang terlibat secara aktif dan kreatif dengan proses kebudayaan, disamping tidak menutup kemungkinan mendapatkan pengaruh, baik secara negative maupun positif. Ketiga, tentang terjadinya perubahan secara kontinyu dimasa depan. Adalah sunnatulloh bahwa kehidupan ini akan terus berkembang menuju masa depan, baik secara evolutif maupun revolutif. Persoalannya, apa implikasinya bagi 105
mmasyarakat dan pendidikan ?. Bagi masyarakat hal ini harus dipandang sebagai suatu keharusan sejarah. Sedangkan bagi pendidikan, perlu bersikap prepatorisantisipatoris. (H.A.R Tilaar, 1992). Artinya pendidikan perlu membuat suatu proyeksi tentang kecenderungan besar (megatrend) yang akan terjadi di masa depan. Hasil proyeksi tersebut digunakan sebagai kerangka acuan untuk mengadakan kaji ulang terhadap makna pendidikan.
F. Kesimpulan Adapun kesimpulannya : 1. Kualitas hadits tersebut adalah shohih. 2. Aspek kemanusiaan dalam pendidikan Islam dapat diwujudkan dalam bentuk bantuan beaya pendidikan dan sarana pendidikan bagi para penuntut ilmu.
DAFTAR PUSTAKA
A. Malik Fadjar, Reorientasi Pendidikan Islam, (Jakarta Timur : Fajar Dunia, 1999). Asy‟ari, dkk, Pengantar Studi Islam, (Surabaya : IAIN Ampel Press, 2006), cet.4. Hasan Langgulung. Asas-Asas Pendidikan Islam, (Jakarta : Al Husna, 1992). Ian G. Barbour, Isu Dalam Sains dan Agama, pener : Damayanti dan Ridwan (Yogyakarta : UIN Su-Ka, 2006). Mukti, ,Abd. Konstruksi Pendidikan Islam, Belajar dari Kejayaan Madrasah Nizhamiyah Dinasti Saljuq, (Bandung : Citapustaka Media, 2007), hlm.129146. Nizar Ali, Tujuan Pendidikan Dalam Perspektif Hadits Nabi, dalam : Antologi Pendidikan Islam, ed. Nizar Ali & Sumedi. (Yogyakarta : PPS UIN Su-Ka kerjasama dengan Idea Press, 2010). Siradj Sa‟id Agiel dkk, Pesantren Masa Depan, Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, (Bandung : Pustaka Hidayah, 1999), hlm.172Yusuf Amir Feisal, Reorientasi Pendidikan Islam, (Jakarta : Gema Insani Press, 1995).
106
Bimbingan Islami Untuk Meningkatkan Kepercayaan Diri Remaja Oleh : Dra. Lilis Madyawati, M.Si. Dosen Kop. Wil VI dpk di FKIP- Univ. Muhammadiyah Magelang
Abstrak Bimbingan islami adalah proses pemberian bantuan terhadap individu agar dalam kehidupan kemasyarakatannya senantiasa selaras dengan ketentuan dan petunjuk Allah. Bimbingan islami bertujuan mengembangkan kepribadian muslim yang sempurna dan optimal yaitu pribadi yang sehat jasmani dan rohani. Bimbingan islami yang diberikan kepada remaja diharapkan remaja mampu mewujudkan potensi iman, ilmu, amal serta dzikir sesuai kemampuannya dalam kehidupan seharihari; agar remaja dapat meningkatkan kepercayaan dirinya sehingga dapat menikmati hidup dan kehidupan selaku hamba Allah yang shaleh. Kata Kunci : Bimbingan Islami, Kepercayaan diri
A. Pendahuluan Tantangan kehidupan manusia di masa mendatang akan semakin rumit. Perubahan yang terjadi sulit diprediksi atau di luar jangkauan kemampuan individu akan melahirkan diskontinuitas perkembangan perilaku individu seperti terjadinya masalah-masalah pribadi atau penyimpangan perilaku. Menghadapi kecenderungan-kecenderungan tersebut, individu dituntut untuk lebih kreatif dalam mengembangkan potensinya (Sugiyo, dkk.: 2004). Proses pengembangan diri banyak dipengaruhi oleh berbagai macam aspek yang ada dalam kehidupan itu sendiri. Salah satu aspek yang mempunyai pengaruh cukup besar terhadap perkembangan seseorang adalah lingkungan, tempat individu tumbuh dan berkembang. Lingkungan mampu memberikan reinforcement bagi setiap perilaku yang dimunculkan oleh individu.
107
Adaptasi dengan lingkungan sosial kemasyarakatan tidak terlepas adanya sebuah interaksi para individu tersebut. Percaya diri merupakan salah satu komponen utama dalam interaksi sosial. Masa remaja, masa pembentukan kepribadian seseorang yang sangat dipengaruhi oleh bagaimana individu tersebut berinteraksi dengan lingkungan sekitar tanpa memandang suatu apapun baik kekurangan ataupun kelebihan yang dimiliki orang lain ataupun diri sendiri. Firman Allah yang artinya:” Hai manusia, sesungguhnya kami cipakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal (QS. Al Hujurat: 13). Manusia diharapkan dapat memahami bahwa mereka harus berinteraksi dengan segala kelebihan dan kekurangan yang dimiliki. Kepercayaan diri yang dimiliki seseorang berpengaruh dalam interaksi dan hubungan atau sosialisasi dengan lingkungan sekitar, maka bimbingan islami dilakukan untuk membangun sebuah interaksi yang sehat. Pemberian dan penekanan kereligiusan dalam interaksi juga tidak kalah penting karena pemahaman tentang siapa kita, untuk apa kita hidup dan keyakinan kita terhadap Tuhan YME juga mempunyai kontribusi dalam kepercayaan diri. B. BIMBINGAN ISLAMI 1. Pengertian Bimbingan Islami Bimbingan islami adalah proses pemberian bantuan terhadap individu agar mampu hidup selaras dengan ketentuan dan petunjuk Allah, sehingga dapat mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akherat (Musnawar, 2002). Proses pemberian bantuan terhadap individu agar menyadari kembali eksistensinya sebagai mahluk Allah yang seharusnya hidup selaras dengan ketentuan dan petunjuk Allah. Dengan bimbingan islami individu dapat meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah swt., dapat menemukan
108
serta mengembangkan potensi-potensi mereka melalui usaha sendiri baik untuk kebahagiaan pribadi maupun kemaslahatan sosial. Bimbingan islami sebagai upaya membantu individu belajar mengembangkan fitrah dan atau kembali kepada fitrah dengan cara memberdayakan iman, akal dan kemauan yang dikaruniakan Allah swt kepadanya untuk mempelajari tuntutan Allah dan Rasul-Nya, agar fitrah yang ada pada individu berkembang dengan benar dan kokoh
sesuai
tuntunan
Allah
swt.
Bimbingan
islami
tidak
hanya
mengedepankan permasalahan dunia dan hubungan antar manusia dengan manusia serta penyelesaian permasalahan yang menyangkut hal-hal tersebut tetapi bagaimana „hablumminallah‟ dan kebahagiaan dunia akherat juga penting (QS Az Zariyat 51-56) dan QS. Al-Baqarah, 2: 201). Jadi, bimbingan islami merupakan sebuah usaha yang dilakukan dalam rangka membantu individu dalam menyelesaikan permasalahan dengan memanfaatkan fitrahnya sebagai mahluk Allah agar menjadi pribadi yang berada di jalan lurus untuk mencapai sebuah kebahagiaan dunia dan akherat. Konsep bimbingan islami memiliki makna atau signifikansi yang sangat berarti karena ternyata terdapat perbedaan yang sangat esensial dan fundamental dengan bimbingan konseling barat. Perbedaan itu tentu saja membawa konsekuensi yang jauh mengenai dasar, tujuan, materi, kualitas, petugas bimbingan, metode, sampai dengan output yang ingin dihasilkan (Musnawar, 2002). Ada 3 pokok bimbingan islami meliputi: a. Dalam keluarga Pentingnya peranan keluarga dalam pendidikan mental spiritual dalam pembentukan
masyarakat sejahtera yang tidak dapat kita ingkari.
Pendidikan memerlukan contoh teladan yaitu sebuah keluarga harmonis yang di dalamnya terdapat unsur kasih sayang yang disebut „Keluarga Sakinah‟ yang diharapkan dapat memenuhi peran sebagai teladan dan pembina masyarakat sejahtera. 109
b. dalam masyarakat luas Islam mengajarkan bahwa satu individu harus memberikan manfaat untuk orang di sekitarnya, karena Allah telah memberi dirinya potensi yang harus dimanfaatkan bukan hanya dirinya saja yang menikmati melainkan orang lain pun juga harus dapat mendapatkan manfaatnya (QS. Ibrahim, 14: 24). Keterkaitan bimbingan islami dengan masyarakat adalah konselor sebagai mahluk Allah juga harus bisa memberi manfaat untuk orang lain karena memberi bantuan dalam Islam merupakan sebuah amal (QS. Al Anam, 6: 162). c. Pembinaan Kelompok Persaudaraan dalam
Islam
sangat
dianjurkan. Shibab (2006)
menerangkan bahwa Ukhuwah yang biasa diartikan sebagai persaudaraan berarti memperhatikan. Persaudaraan mengharuskan adanya perhatian semua pihak yang merasa bersaudara.
Umat Islam juga dilandasi oleh pedoman
yang digariskan oleh Allah untuk senantiasa menjadi kesatuan bahwa sesungguhnya semua mukmin itu bersaudara (QS. Al Hujarat, 9:10). Ka‟bah merupakan simbol persatuan umat Islam sedunia. Untuk membina persatuan umat harus diciptakan simbol kebersamaan sekaligus melaksanakan ajaran Islam. Islam juga mengajarkan untuk hidup berdampingan dengan saling memberi manfaat, tidak saling merugikan. Karena itulah selagi kita bisa menempatkan dalam situasi yang sesuai dalam hubungan dengan sesama mahluk Allah maka tidak akan terjadi perselisihan dan jika terjadi perselisihan maka kita dianjurkan mencari titik temu (QS. As Saba‟, 34). 2. Tujuan Bimbingan Islami Bimbingan Islami bertujuan membantu individu mencegah timbulnya masalah yang berkaitan dengan kehidupan bermasyarakat dengan jalan
110
membantu individu memahami kehidupan menurut Islam, membantu individu memahami dan menghayati ketentuan dan petunjuk Allah tentang cara hidup bermasyarakat. Bimbingan islami juga bertujuan untuk mengembangkan kepribadian muslim yang sempurna atau optimal yaitu pribadi yang sehat jasmani dan rohani, yang mampu mewujudkan potensi iman, ilmu amal serta dzikir sesuai kemampuannya dalam kehidupan sehari-hari (Sutoyo: 2007). 3. Azas Bimbingan Islami Azas bimbingan islami harus dijadikan landasan dan pegangan dalam melakukan bimbingan, yaitu azas yang bersumber dari Al-Qur‟an dan Hadits mencakup: 1. Azas kebahagiaan dunia dan akherat Individu harus didasarkan akan kehidupannya di dunia dalam rangka mencapai kebahagiaan hidup di akherat. 2. Azas komunikasi dan musyawarah Berkomunikasi secara musyawarah dalam arti komunikasi dua arah untuk memperoleh pemahaman dan kesepakatan bersama. Allah menyuruh kita bersikap lemah lembut, tidak kaku, serta menghargai pendapat orang lain dalam bermasyarakat (QS Ali- Imron, 3: 159). 3. Azas manfaat Pembimbing berusaha memberikan bimbingan kepada pihak yang dibimbing segala sesuatu yang bermanfaat. 4. Azas kasih sayang Bimbingan islami dilakukan dengan berlandaskan kasih sayang sebab Islam adalah agama kasih sayang dan dengan kasih sayanglah bimbingan islam akan berhasil. 5. Azas menghargai dan menghormati
111
Pembimbing diberi kehormatan oleh yang dibimbing karena dirinya dianggap mampu menyelesaikan masalah. Konseli diberi kehormatan/ dihargai oleh pembimbing dengan cara konselor bersedia membantu atau membimbingnya 6. Azas rasa aman Rasa aman perlu diciptakan oleh pembimbing maupun yang dibimbing, termasuk rasa aman karena segala rahasia tidak diketahui oleh orang lain.
C. Kepercayaan Diri Kepercayaan diri dihasilkan oleh suatu keyakinan untuk menentukan hidupnya sendiri (Vallet, 2005). Suatu keyakinan seseorang terhadap segala aspek kelebihan yang dimilikinya dan keyakinan tersebut membuat dirinya mampu untuk bisa mencapai berbagai tujuan dalam hidupnya. Kepercayaan diri merupakan keyakinan dalam diri dan mampu untuk bisa mencapai berbagai tujuan di dalam hidupnya. Kepercayaan diri adalah suatu dorongan hidup dalam melakukan suatu aktivitas yang disertai keterkaitan dengan keberhasilan, yaitu suatu keberhasilan seorang individu untuk melakukan sesuatu yang menurutnya benar. Lenney (2006) mengungkapkan bahwa kepercayaan diri sebagai kemampuan individu untuk mengevaluasi tingkah laku secara keseluruhan sehingga ia akan melakukan sesuatu sebagaimana yang diharapkan. Berdasarkan beberapa konsep kepercayaan terbentuk melalui proses belajar dengan lingkungan sosial. Kepercayaan diri merupakan suatu keadaan dalam diri seseorang yang berisi keyakinan tentang kemampuan dan ketrampilan yang dimilikinya. Selanjutnya keadaan ini mendorong individu untuk melakukan dan meraih kesuksesannya untuk mencapai tujuan hidupnya. Calhoun dan Acocella (2008) mengemukakan ada beberapa faktor yang mempengaruhi kepercayaan diri yang bersumber dari dalam dan dari luar individu. 112
1. Faktor yang berasal dari dalam individu: a. Konsep diri b. Kondisi fisik c. Harga diri d. Pengalaman masa lalu 2. Faktor-faktor yang berasal dari luar individu a. Lingkungan Lingkungan yang mendukung percaya diri adalah lingkungan yang submisif dan didukung oleh sikap positif dalam anggota keluarga di rumah yang tentram (Hars, 1998) b. Pendidikan Tinggi rendahnya tingkat pendidikan dapat mempengaruhi penilaian seseorang terhadap orang lain. c. Pekerjaan Manusia akan mampu mengatasi rasa keterasingan dengan bekerja. Bekerja adalah cara paling bermanfaat untuk mengungkap diri seutuhnya.
Lanur (2005) mengatakan bahwa kepercayaan diri sendiri bersumber hanya pada kodrat kita sendiri sebagai karunia Tuhan yang telah menjadi milik kita berkat kesetiaan kita. Semakin dalam kecintaan kita pada diri kita sendiri dan hidup ini, semakin dalam pula taqwa kita kepada Sang Maha Pencipta. Untuk membentuk kepercayaan diri diperlukan situasi yang memberikan kesempatan untuk berkompetensi (Kumara, 2008). Hal tersebut dapat dibenarkan karena dari interaksi langsung dengan orang lain akan diperoleh informasi tentang diri dan dapat menilai dirinya dibandingkan dengan orang lain. Kepercayaan pada diri sendiri mempunyai peranan yang penting untuk mendapatkan sukses (Handaya, 2005). Ciri kepercayaan diri dapat dinilai melalui tiga aspek, yaitu: 1. Bila seseorang dapat diterima oleh kelompoknya (merasa kelompok atau orang lain menunjuknya). 113
2. Bila seseorang percaya sekali pada dirinya sendiri serta memiliki ketenangan sikap, tidak gugup jika melakukan atau mengatakan sesuatu yang teryata hal itu adalah salah. 3. Bila seseorang merasa memadai, sama harkatnya terhadap apa yang ia lakukan, merasa bahwa ia dapat melakukan segala sesuatu yang ia inginkan. Ciri atau karakteristik individu yang mempunyai rasa percaya diri yang proporsional adalah: 1. Berani menerima dan menghadapi penolakan orang lain; 2. Punya pengendalian diri yang baik dan emosi stabil. 3. Percaya akan kompetensi kemampuan diri sehingga tidak butuh pujian dari orang lain; 4. Memiliki harapan yang realistik terhadap diri sendiri sehingga ketika harapan tidak terwujud ia tetap mampu melihat sisi positif dirinya dari situasi yang terjadi. Instone (2006) mengemukakan orang yang percaya diri bertindak lebih aktif terhadap lingkungan yang dihadapi daripada mereka yang kurang memiliki kepercayaan diri dan seseorang yang percaya pada diri sendiri memiliki kemampuan untuk bertindak. Dalam kepercayaan diri terkandung kemandirian dan ketenangan dalam menghadapi berbagai situasi. Orang yang percaya diri juga bertanggung jawab atas pekerjaan dan keputusannya, berani dan mampu mengoreksi kesalahannya. Individu berani mencoba atau melakukan hal-hal yang baru dalam situasi baru, ia tidak perlu membandingkan dirinya dengan orang lain. Kepercayaan diri remaja adalah orang lain yang berusia kurang lebih 12- 22 tahun yang memiliki keyakinan dalam hati atas kemampuannya terhadap kelebihan dan kekurangannya dan merasa mampu untuk dapat berperilaku sebagaimana mestinya dan positif dalam mencapai apa yang diinginkan menjadi tujuannya serta mampu berdaya tahan terhadap tantangan dan permasalahan yang ada. Ada beberapa kiat membangun kepercayaan diri: 1. Menumbuhkan sikap positif terhadap penampilan dan kemampuan diri; 114
2. Bersikap dan berpikir realistis; 3. Memberi penghargaan terhadap diri sendiri 4. Mengembangkan kualitas kemandirian; 5. Mengembangkan perencanaan yang tepat; 6. Menciptakan suasana kondusif. Kepercayaan diri tersebut merupakan kualitas pribadi yang diperoleh seseorang melalui pengembangan konsep diri yang baik serta harga diri yang sehat. Remaja diharapkan mampu menjalin komunikasi dengan orang lain secara baik.
Orang
yang
mempunyai
kepercayaan
diri
tinggi
akan
berani
mengekspresikan pikiran, perasaan, dan hak-hak pribadinya serta tidak akan ragu untuk mengemukakan pendapat dalam bersosialisasi dengan orang lain. Pembahasan tentang bimbingan islami adalah masalah umum yang menjadi kepedulian bersama anggota kelompok. Masalah yang menjadi topik pembicaraan dalam bimbingan islami dibahas melalui suasana dinamika kelompok secara intens dan konstruktif, diikuti oleh semua anggota kelompok di bawah bimbingan pemimpin kelompok. Informasi yang bersumber dari Dzat Yang Maha menciptakan manusia perlu digali dan dikembangkan menjadi topik bahasan yang menarik karena jika manusia mengenal Tuhannya lebih dalam, dia akan yakin bahwa dia selalu dalam pengawasannya. Topik yang dibahas bisa memberikan kontribusi positif dalam kehidupan dan lebih percaya diri karena individu merasa mempunyai sesuatu yang melindungi dan memberi segalanya. Hal ini karena Allah mengetahui berbagai masalah yang dihadapi manusia, penyebab dan solusinya. Allah lebih mengetahui pula potensi internal yang dikaruniakan untuk manusia. Allah pasti maha mengetahui apa-apa yang pernah dilakukan manusia dalam mengembangkan potensi tersebut agar manusia selamat dalam hidupnya di dunia dan akherat. Bimbingan islami memberikan bagaimana hubungan kita dengan masyarakat dan terutama dengan Allah swt, sehingga bimbingan islami baik diterapkan untuk meningkatkan kepercayaan diri. Semakin mengertinya remaja mengenai kehidupan sosial menurut konsep religius dan semakin seringnya 115
mereka bersosialisasi dengan orang lain dalam kelompok, maka semakin tinggi pula kepercayaan dirinya. Bimbingan islami yang berupa proses pemberian bantuan individu agar menyadari kembali eksistensinya sebagai mahluk Allah yang seharusnya dalam kehidupan kemasyarakatan senantiasa selaras dengan ketentuan dan petunjuk-Nya.
D. Kesimpulan Bimbingan islami dapat dipergunakan untuk membantu individu, mencegah timbulnya masalah yang berkaitan dengan kehidupan bermasyarakat dengan jalan memahami kehidupan menurut Islam, memahami manfaat kehidupan menurut Islam, memahami dan menghayati ketentuan dan petunjuk Allah tentang cara hidup bermasyarakat serta mampu menjalankan ketentuan dan petunjuk Allah mengenai hidup bermasyarakat. Bimbingan islami dapat mengembangkan kepribadian remaja yang sempurna dan optimal sesuai kemampuan remaja dalam kehidupan sehari-hari yang dimaksudkan agar remaja tidak bingung dalam menikmati hidup dan kehidupan selaku hamba Allah yang sholeh.
DAFTAR PUSTAKA Handaya, Ben. 2005. Berguru Pengalaman, Bertemu Kesuksesan. Yogyakarta: Kanisius. Hars, K. 1990. The Nature of Adolescence. London: Metheun Instone & Afiatin, T. 2006. Validitas Eksternal Skala Kepercayaan Diri. Laporan Penelitian (Tidak diterbitkan). Yogyakarta: Universitas Gajah Mada. Lanur, A.O.F.M. Menemukan Diri. Yogyakarta: Kanisius. Lenney. 1986. Human Development and Emergent Science. Tokyo: Mc Graw- Hill Kogakusha Ltd. Musnamar, Tohari. 2002. Bimbingan dan Konseling Islami. Yogyakarta: UII Press. Shihab, M. Quraish. 2006. Wawasan Al- Qur‟an. Bandung: Mizan. 116
Sugiyo. 2004. Administrasi dan Organisasi Bimbingan dan Konseling. Semarang:: Universitas Negeri Semarang. Sutoyo, Anwar. 2007. Bimbingan dan Konseling Islami: Teori dan Praktek. Semarang: CV Cipta Prima Nusantara. Vallet, R.E. 2005. Aku Mengembangkan Diriku. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Ceraka. Yusuf, Syamsu. Nurhudaya. 2004. Pengembangan Diri: Materi Bimbingan bagi Mahasiswa. Bandung: UPT LBK UPI.
117