PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DALAM SETTING PENDIDIKAN INKLUSI
TESIS Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Magister dalam Ilmu Pendidikan Islam Oleh: MAMAH SITI ROHMAH 08.2.00.1.12.08.0048 PEMBIMBING PROF. DR. DEDE ROSYADA, MA
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2010
SURAT PERNYATAAN Yang bertandatangan di bawah ini: Nama
: Mamah Siti Rohmah
NIM
: 08.2.00.1.12.08.0048
Konsentrasi
: Pendidikan Islam
Status Program
: Non Reguler
Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang berjudul “PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DALAM SETTING PENDIDIKAN INKLUSI” adalah benar-benar karya saya sendiri, didukung oleh berbagai sumber terkait. Apabila terdapat kesalahan dan kekeliruan di dalamnya, sepenuhnya menjadi tanggungjawab saya. Demikian Surat Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya. Jakarta, 13 Agustus 2010 Yang Membuat Pernyataan
Mamah Siti Rohmah NIM: 08.2.00.1.12.08.0048
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING Tesis dengan judul “PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DALAM SETTING PENDIDIKAN INKLUSI” yang ditulis oleh Mamah Siti Rohmah dengan Nomor Induk Mahasiswa 08.2.00.1.12.08.0048
pada Konsentrasi Pendidikan Islam
Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, telah diperiksa dan disetujui untuk diajukan ke sidang ujian Tesis. Jakarta, 13 Agustus 2010 Pembimbing,
Prof. DR. Dede Rosyada, MA
iii
PERSETUJUAN DEWAN PENGUJI Tesis yang berjudul “Pendidikan Agama Islam Dalam Setting Pendidikan Inklusi”, yang ditulis oleh Mamah Siti Rohmah, NIM: 08.2.00.1.12.08.0048, telah diujikan dan dipertahankan di hadapan Dewan Penguji pada tanggal 30 Agustus 2010, dan telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan dari Dewan Penguji. Selanjutnya tesis dapat diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister.
Jakarta, 26 September 2010 Dewan Penguji:
1. Dr. Udjang Tholib, MA
………………………….
Ketua/Merangkap Penguji
Tanggal……………………
2. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA
…………………………..
Pembimbing/Merangkap Penguji
Tanggal………………….
3. Prof. Dr. Abuddin Nata, MA
………………………….
Penguji
Tanggal.………………....
4. Dr. Amelia Fauziah, MA
………………………….
Penguji
Tanggal………………….
iv
ABSTRAK Penelitian ini membuktikan bahwa model pembelajaran pendidikan agama Islam untuk siswa berkebutuhan khusus di sekolah inklusi adalah model pembelajaran berbasis kompetensi anak dengan mengembangkan lingkungan belajar secara terpadu antara prinsip-prinsip umum dan khusus dalam pembelajarannya. Ada dua pendapat tentang model pembelajaran untuk anak yang berkebutuhan khusus yaitu: Pertama, mempertahankan penyediaan model pendidikan dengan alternatif penempatan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus secara khusus dan terpisah dari siswa lain yang normal. Pendapat ini dikemukakan oleh Evelyn Deno dan Kauffman. Kedua, menyetujui model pembelajaran dengan penempatan anak berkebutuhan khusus dalam satu tempat bersama-sama anak normal lainnya. Pendapat ini dikemukakan oleh Stainback dan Stainback, Staub dan Peck, Sapon-Shevin, dan Bandi Delphie. Posisi tesis ini adalah menolak pendapat pertama dan memperkuat pendapat kedua. Untuk memperkuat posisi tesis ini diajukan argumentasi berikut: Pertama, pendidikan Inklusi yang mengakomodasi semua peserta didik tanpa mempertimbangkan kondisi fisik, intelektual, sosial, emosional, linguistik mereka dan kondisi lainnya, merupakan sarana yang sangat efektif untuk memberantas diskriminasi, menciptakan masyarakat yang hangat relasinya, membangun masyarakat inklusif, dan mensukseskan pendidikan untuk semua. Kedua, penempatan anak berkebutuhan khusus di sekolah regular bersama anakanak normal lainnya dapat menumbuhkan rasa percaya diri yang pada akhirnya akan memudahkan mereka untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya. Ketiga, pemberian hak pendidikan agama bagi siswa berkebutuhan khusus akan lebih optimal terlayani di sekolah inklusi untuk membantu mereka mengembangkan potensi ruhaniah yang memancar dari dimensi al-ruh dan alfitrah yang mereka miliki. Sumber utama penelitian ini adalah Koordinator Special Educational Need Unit (SEN Unit), guru-guru SEN Unit, guru-guru pendidikan agama Islam, dan data-data yang terkait dengan pembelajaran anak berkebutuhan khusus yang diperoleh melalui observasi, deep interview, maupun studi dokumentasi di Madania Progressive Indonesian School Parung Bogor yang menerapkan pendidikan inklusi. Semua data yang diperoleh dikumpulkan lalu disusun secara sistimatis sesuai dengan alur subyek penelitian. Kemudian data diklasifikasi dan dianalisis secara komprehenship dengan pendekatan kualitatif sehingga diperoleh satu kesimpulan sebagai temuan teori dalam penelitian ini.
v
ABSTRACT This research has found evidences that learning model of Islamic education for student with special need in the inclusion school is a learning model using competence-based learning by the support of environmental development which has been conducted integrally between general and specific principle in the learning process. There are two opinions concerning learning model for student with special need, as follows: Firstly, maintaining learning model by providing alternative placement for student with special need in a different place which is separated from normal students. This opinion is conveyed by Evelyn Deno and Kauffman. Secondly, accepting learning model by placement student with special need in one place together with normal students. This opinion is said by Stainback and Stainback, Staub and Peck, Sapon-Shevin and Bandi Delphie. The position of this thesis is rejecting the first opinion and strengthening the second opinion. In order to support this thesis, I argue, firstly, that inclusive learning which accommodates all students without considering their physical condition, intellectual, social, emotional, linguistic and other conditions, is an effective way to eliminate discrimination, creating a warmrelation society, building inclusive community, and encouriging education for all. Secondly, placement for student with special need in regular school with other normal student able to fostering their self-confidence which will enable them to develop their potency. Thirdly, personal right to acquire religious education for student with special need will be served more optimally in the inclusion school to help them in developing their spiritual potency from their internal nature of spirit. The main source of this research is Coordinator of Special Educational Need Unit (SEN Unit), teachers in SEN Unit, teachers of Islamic training and any relevant data with learning for students with special need that are acquired by observation, dept-interview, and searching document in Madania Progressive Indonesian School Parung-Bogor that has already implemented inclusive learning. All data is collected and managed systematically in accordance with the flow of research subject. This data, then, is classified and analysed comprehensively by qualitative approach to get conclusion as teoritical finding in this research.
vi
ﻣﻠﺨﺺ ﺍﻟﺒﺤﺚ ﺃﻳﺪ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺒﺤﺚ ﺃﻥ ﳕﻮﺫﺝ ﺗﺪﺭﻳﺲ ﺍﻟﺘﺮﺑﻴﺔ ﺍﻹﺳﻼﻣﻴﺔ ﻟﻠﻄﻠﺒﺔ ﺫﻭﻱ ﺍﻹﺣﺘﻴﺎﺟﺎﺕ ﺍﳋﺎﺻﺔ ﰲ ﺍﳌﺪﺭﺳﺔ ﺍﻟﺸﺎﻣﻠﻰ ) inklusiﻭﻫﻲ ﺍﳌﺪﺭﺳﺔ ﺍﻟﱵ ﺧﻠﹼﻄﺖ ﺑﲔ ﺍﻟﻄﻠﺒﺔ ﻏﲑ ﺫﻭﻱ ﺍﻟﻌﺎﻫﺎﺕ ﻭﺍﻟﻄﻠﺒﺔ ﺫﺍﻭﻱ ﺍﻹﺣﺘﻴﺎﺟﺎﺕ ﺍﳋﺎﺻﺔ ﰲ ﻧﻔﺲ ﺍﻟﻔﺼﻞ( ﻫﻮ ﳕﻮﺫﺝ ﺍﻟﺘﺪﺭﻳﺲ ﺍﳌﺆﺳﺲ ﻋﻠﻰ ﻛﻔﺎﺀﺓ ﺍﻟﻄﻠﺒﺔ ﺍﳌﺆﻳﺪﺓ ﺑﺘﻄﻮﻳﺮ ﺑﻴﺌﺔ ﺍﻟﺘﻌﻠﻴﻢ ﺍﳌﻮﺣﺪﺓ ﺑﲔ ﺍﻷﺳﺲ ﺍﻟﻌﺎﻣﺔ ﻭﺍﳋﺎﺻﺔ . ﻫﻨﺎﻙ ﺭﺃﻳﺎﻥ ﰲ ﻛﻴﻔﻴﺔ ﺗﺮﺑﻴﺔ ﺍﻟﻄﻠﺒﺔ ﺫﻭﻱ ﺍﻹﺣﺘﻴﺎﺟﺎﺕ ﺍﳋﺎﺻﺔ ،ﳘﺎ: ﺃﻭﻻ :ﺍﻟﺪﻓﺎﻉ ﻋﻦ ﻋﻘﺪ ﳕﻮﺫﺝ ﺍﻟﺘﺮﺑﻴﺔ ﺍﻟﺬﻱ ﻓﺮﻕ ﺑﲔ ﺍﻟﻄﻠﺒﺔ ﺫﻭﻱ ﺍﻹﺣﺘﻴﺎﺟﺎﺕ ﺍﳋﺎﺻﺔ ﻋﻦ ﺍﻟﻄﻠﺒﺔ ﻏﲑ ﺫﻭﻱ ﺍﻟﻌﺎﻫﺎﺕ ﰲ ﻓﺼﻞ ﻣﺴﺘﻘﻞ .ﺫﻫﺐ ﺇﱃ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺮﺃﻱ ﻛﻞ ﻣﻦ "ﺇﺑﻠﲔ ﺩﻳﻨﻮ" Evelyn Denoﻭ "ﻛﻮﻓﻤﺎﻥ" .Kauffmanﺛﺎﻧﻴﺎ :ﺍﻟﺮﺃﻱ ﺍﻟﺬﻱ ﻳﺆﻳﺪ ﺧﻠﻂ ﺍﻟﻄﻠﺒﺔ ﻏﲑ ﺫﻭﻱ ﺍﻟﻌﺎﻫﺎﺕ ﻭﺍﻟﻄﻠﺒﺔ ﺫﺍﻭﻱ ﺍﻹﺣﺘﻴﺎﺟﺎﺕ ﺍﳋﺎﺻﺔ ﰲ ﻓﺼﻞ ﻭﺍﺣﺪ .ﻗﺪﻡ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺮﺃﻱ ﻛﻞ ﻣﻦ "ﺳﺘﺎﻳﻦ ﺑﺎﻙ" " ،Stainbackﺳﺘﺎﻭﺏ"" ، Staubﻓﻴﻚ" ،Peck "ﺳﺎﻓﻮﻥ-ﺳﻴﻔﲔ" ،Sapon - Shevinﻭ "ﺑﺎﻧﺪﻱ ﺩﻳﻠﻔﻲ" .Bandi Delphie ﺭﻓﻀﺖ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﺮﺳﺎﻟﺔ ﺍﳌﺎﺟﺴﺘﺮﻳﺔ ﺍﻟﺮﺃﻱ ﺍﻷﻭﻝ ﻭﺗﺪﺍﻓﻊ ﺍﻟﺮﺃﻱ ﺍﻟﺜﺎﱐ ﺑﻌﺪﺓ ﺍﻷﺩﻟﺔ ﻭﻫﻲ :ﺃﻭﻻ ،ﺃﻥ ﺍﻟﻨﻈﺎﻡ ﺍﻟﺘﺮﺑﻮﻱ ﺍﻟﺬﻱ ﻳﻌﺎﻣﻞ ﺍﻟﻄﻠﺒﺔ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺴﻮﺍﺀ ﺑﻐﺾ ﺍﻟﻨﻈﺮ ﻋﻦ ﺣﺎﻟﺘﻬﻢ ﺍﳉﺴﺪﻳﺔ ،ﻭ ﺍﻟﻌﻠﻤﻴﺔ ،ﻭ ﺍﻹﺟﺘﻤﺎﻋﻴﺔ، ﻭﺍﻹﻧﻔﻌﺎﻟﻴﺔ ،ﻭﺍﻟﻠﻐﻮﻳﺔ ﻫﻮ ﺍﻟﻨﻈﺎﻡ ﺍﻟﻔﻌﺎﻝ ﻟﻠﻘﻀﺎﺀ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺘﻤﻴﻴﺰ ،ﻭﺇﺑﺪﺍﻉ ﺍﺘﻤﻊ ﺍﳌﺄﻟﻮﻑ ﻭ ﺍﳊﻤﻴﻢ ،ﻭﺑﻨﺎﺀ ﺍﺘﻤﻊ ﺍﳌﻨﻔﺘﺢ ،ﻭﺇﳒﺎﺡ ﺍﻟﺘﺮﺑﻴﺔ ﻟﻠﺠﻤﻴﻊ .ﺛﺎﻧﻴﺎ ،ﺃﻥ ﺧﻠﻂ ﺍﻟﻄﻠﺒﺔ ﺫﺍﻭﻱ ﺍﻹﺣﺘﻴﺎﺟﺎﺕ ﺍﳋﺎﺻﺔ ﻣﻊ ﺍﻟﻄﻠﺒﺔ ﻏﲑ ﺫﻭﻱ ﺍﻟﻌﺎﻫﺎﺕ ﰲ ﺍﳌﺪﺭﺳﺔ ﺍﻟﻌﺎﻣﺔ ﻳﺴﺎﻋﺪ ﻧﺸﻮﺀ ﻭﳕﻮ ﺿﺒﻂ ﻧﻔﺲ ﺍﻟﻄﻠﺒﺔ ﺫﺍﻭﻱ ﺍﻹﺣﺘﻴﺎﺟﺎﺕ ﺍﳋﺎﺻﺔ ﺣﱴ ﻳﺴﻬﻠﻬﻢ ﰲ ﺗﻄﻮﻳﺮ ﻣﻮﻫﺒﺘﻬﻢ .ﺛﺎﻟﺜﺎ ،ﺃﻧﻪ ﳝﻜﻦ ﺇﻋﻄﺎﺀ ﺣﻖ ﺍﻟﻄﻠﺒﺔ ﺫﺍﻭﻱ ﺍﻹﺣﺘﻴﺎﺟﺎﺕ ﺍﳋﺎﺻﺔ ﰲ ﺍﻟﺘﺮﺑﻴﺔ ﺍﻟﺪﻳﻨﻴﺔ ﻋﻠﻰ ﻭﺟﻪ ﺍﻷﻛﻤﻞ ﰲ ﺍﳌﺪﺭﺳﺔ ﺍﻟﺸﺎﻣﻠﻰ inklusiﻟﻴﺴﺎﻋﺪﻫﻢ ﰲ ﺗﻄﻮﻳﺮ ﻗﻮﻢ ﺍﻟﺮﻭﺣﻨﻴﺔ ﺍﳌﻨﺒﺜﻘﺔ ﻣﻦ ﻧﺎﺣﻴﺘﻬﻢ ﺍﻟﺮﻭﺣﻴﺔ ﻭﺍﻟﻔﻄﺮﻳﺔ. ﺍﳌﺼﺪﺭ ﺍﻷﺳﺎﺳﻲ ﳍﺬﺍ ﺍﻟﺒﺤﺚ ﻫﻮ ﺍﳌﻨﺴﻖ ﺍﳌﺘﺨﺼﺺ ﰲ ﻭﺣﺪﺓ ﺍﻟﺘﻌﻠﻴﻢ ﻟﺬﺍﻭﻱ ﺍﻹﺣﺘﻴﺎﺟﺎﺕ ﺍﳋﺎﺻﺔ ) ،(Special Need Unitﺍﳌﺪﺭﺳﲔ ﰲ ،Special Need Unitﺍﳌﺪﺭﺳﲔ ﻟﻠﻤﻮﺍﺩ ﺍﻟﺘﺮﺑﻴﺔ ﺍﻟﺪﻳﻨﻴﺔ ،ﺍﳌﻌﻄﻴﺎﺕ ﺍﻟﱵ ﺗﺘﻌﻠﻖ ﺑﺘﺪﺭﻳﺲ ﺍﻟﻄﻠﺒﺔ ﺫﺍﻭﻱ ﺍﻹﺣﺘﻴﺎﺟﺎﺕ ﺍﳋﺎﺻﺔ ﻭﺍﻟﱵ ﰎ ﲨﻌﻬﺎ ﻋﻦ ﻃﺮﻳﻖ ﺍﻹﻛﺘﺸﺎﻑ ،ﻭﺍﳊﻮﺍﺭ، ﻭﺍﻟﺪﺭﺍﺳﺔ ﺍﻟﻮﺛﺎﺋﻘﻴﺔ ﰲ ﻣﺪﺭﺳﺔ Madania Progressive Indonesiaﺑﺎﺭﻭﻧﺞ ،ﺑﻮﺟﻮﺭ ﻭﺍﻟﱵ ﻃﺒﻘﺖ ﻧﻈﺎﻡ ﺗﻌﻠﻴﻢ ﺷﺎﻣﻠﻰ . inklusiﻛﻞ ﺗﻠﻚ ﺍﳌﻌﻄﻴﺎﺕ ﰎ ﲨﻌﻬﺎ ﻭﺭﺗﺒﻬﺎ ﻋﻠﻰ ﻭﺟﻪ ﺍﳌﻨﻈﻢ ﻣﺴﺎﻳﺮﺍ ﻣﻊ ﻣﻮﺿﻮﻉ ﺍﻟﺪﺭﺍﺳﺔ .ﰒ ﺗﺼﻨﻴﻔﻬﺎ ﻭ ﺩﺭﺍﺳﺘﻬﺎ ﺩﺭﺍﺳﺔ ﺷﺎﻣﻠﺔ ﺑﺎﺳﺘﺨﺪﺍﻡ ﺍﳌﻨﻬﺞ ﺍﻟﻨﻮﻋﻲ ) (kualitatifﺣﱴ ﻭﺻﻠﺖ ﺇﱃ ﺍﻟﻨﺘﻴﺠﺔ ﻛﺎﻹﳚﺎﺩ ﺍﻟﻨﻈﺮﻱ ﰲ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺒﺤﺚ. vii
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memelihara alam dan keteraturan isinya. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW, yang telah berhasil memberi suritauladan ideal bagi seluruh umatnya sampai saat ini. Alhamdulillah penulis patut bersyukur kepada Allah karena akhirnya penulis dapat menyelesaikan penelitian Tesis yang berjudul “PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DALAM SETTING PENDIDIKAN INKLUSI “. Penulisan tesis ini diajukan kepada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta untuk memperoleh gelar Magister Agama. Keberhasilan ini bukan semata-mata karena hasil dari kemampuan dan kerja keras penulis saja,
akan tetapi penulis
menyadari bahwa peran pihak lain pun tidak bisa diabaikan turut mendukung baik secara moral, materil, maupun pengayaan gagasan. Dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Kementrian Agama RI melalui Direktorat Pendidikan Agama Islam pada Sekolah Umum yang telah memberikan kesempatan pada penulis untuk memperoleh dana beasiswa S2 tahun 2008-2010 secara penuh sehingga memperlancar penyelesaian studi ini. 2. Prof. Dr. Komaruddin Hidayat sebagai Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta Pembantu Rektor dan segenaf stafnya yang telah menciptakan lingkungan kampus UIN cukup kondusip bagi kelancaran studi. 3. Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA sebagai Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta seluruh pengelola lembaga ini khususnya Prof. Dr. Suwito, MA, Dr. Fuad Jabali, MA, Dr. Yusuf Rahman, MA, Dr. Udjang Tholib, MA yang telah memotivasi dan mengarahkan penulis selama studi di Sekolah Pascasarjana ini. Dan khusus kepada Feni Arifiani,MH, penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas bantuannya membukakan peluang untuk mendapatkan akses beasiswa dari Kementrian Agama.
viii
4. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA, yang telah meluangkan waktunya di tengahtengah kesibukannya sebagai Dekan Fakultas Tarbiyah UIN Jakarta yang dengan sabar selalu membimbing penulis dalam proses penelitian dan penulisan tesis. 5. Dewan Penguji: Dr. Udjang Tholib, MA, ketua sidang merangkap penguji; Prof. Dr. Dede Rosyada, MA, pembimbing merangkap penguji; Prof. Dr. Abuddin Nata, MA dan Dr. Amelia Fauziah, MA sebagai penguji. Terima kasih atas telaahannya halaman demi halaman, dan mengujinya secara kritis, serta masukan ide yang sangat berharga. 6. Kepala Perpustakaan SPs UIN, Perpustakaan Utama UIN, Perpustakaan Fakultas Tarbiyah UIN, Perpustakaan Fakultas Psikologi UIN, Perpustakaan Nasional Salemba, Perpustakaan Pusat UNJ, Perpustakaan Kemendiknas, dan Perpustakaan UI Depok yang telah memberi kesempatan penulis untuk mengakses sumber-sumber buku yang dibutuhkan dalam penulisan tesis. 7. Pimpinan dan Dewan Guru Madania Progressive Indonesian School, terutama Bapak Abdul Hakim Anshory, S.P., Bapak Mardaih, S.Pd., Bapak Abdullah, S.Ag., Ibu Ninik NR, S.Ag., Ibu Sabit Qolbi Khoiriyah, S.Ag., yang telah banyak membantu penulis dalam melaksanakan penelitian. 8. Kepala SMPN 1 Gunungsindur Bapak H. Mukmin Yusuf, S. Pd. yang telah memberi izin penulis untuk melanjutkan studi S2. 9. Orang tua penulis Drs. H. Hafidin Achmad dan Ibu yang selalu terus memberi dukungan dan doa pada penulis demi keberhasilan studi. Tidak lupa kepada kakak dan adik penulis : Ceu Wiwi, Teh Yoyoh, Neneng, Yeni, Encep Doni yang telah memberikan dorongan dan do’a pada penulis. 10. Suami tercinta Dr. H. Mamat Slamet Burhanuddin, MA, yang telah memberi dukungan penuh dengan kekuatan semangat untuk secepatnya menyelesaikan studi ini. Khususnya atas hadiah di sela-sela studi berupa “perjalanan suci” 40 hari di Haramain yang telah memberi kekuatan batin tersendiri bagi penulis. Dua anakku tersayang Keisa Ghautsi Arifa dan Nadwa Meilan Iffa yang telah terenggut waktunya untuk mendapatkan perhatian dari Bundanya
ix
selama penyelesaian studi. Penulis bangga meski masih anak-anak tetapi mereka memahami betul akan kesibukan Bundanya. 11. Teman- teman seperjuangan angkatan 2008-2010, khususnya teman-teman sekelas dalam beberapa matakuliah seperti Anita, Dzatil, Tatkul, Sansan, Syfa, Suparhun, Fatwa, Habibi, Teguh, Yunan, Fazlur, Fauzani, Asnawi, Evi, Juni, dan lainnya yang telah membuat suasana belajar menyenangkan sehingga tidak jenuh selama kuliah. Akhirnya hanya kepada Allah SWT jualah penulis panjatkan do’a semoga segala amal kebajikan semua pihak tersebut di atas diterima oleh Allah SWT, dan diberi pahala yang sebesar-besarnya. Namun di balik semua itu penulis menyadari bahwa tesis ini jauh dari kesempurnaan karena keterbatasan kemampuan dan wawasan penulis. Untuk itu penulis sangat mengharapkan masukan kritik dan saran dari berbagai pihak demi perbaikan tesis ini. Jakarta, Agustus 2010 Penulis,
Mamah Siti Rohmah
x
DAFTAR ISI COVER DEPAN ............................................................................................
i
PERNYATAAN PENULIS ...........................................................................
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ..................................................................
iii
PERSETUJUAN DEWAN PENGUJI .............................................................
iv
ABSTRAK TESIS .........................................................................................
v
KATA PENGANTAR ...................................................................................
viii
DAFTAR ISI ............................................................................................. ........
xi
PEDOMAN TRANSLITERASI......................................................................
xiii
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .............................................................
1
B. Permasalahan .............................................................................
16
1. Identifikasi Masalah ............................................................
16
2. PembatasanMasalah……………………………………... ...
17
3. Perumusan Masalah .............................................................
17
C. Tujuan Penelitian........................................................................
17
D. Signifikansi atau Kegunaan Penelitian ........................................
18
E. Penelitian Terdahulu Yang Relevan ............................................
19
F. Metodologi Penelitian ................................................................
21
G. Sistematika Penulisan .................................................................
24
BAB II. PENDIDIKAN INKLUSI DAN PENDIDIKAN ISLAM A. Pendidikan Inklusi dan Kebutuhan Khusus .................................
26
B. Dari Segregasi Menuju Inklusi ...................................................
36
C. Titik Singgung Pendidikan Islam dan Pendidikan Inklusi ...........
43
BAB III. ELEMEN-ELEMEN KEBERHASILAN PENDIDIKAN INKLUSI A. Disain Pengelolaan Sekolah Inklusi ............................................
54
B. Manajemen Pendidikan Inklusi ..................................................
69
C. Kurikulum yang Mengakomodasi Perbedaan ..............................
89
D. Kompetensi Pendidik yang dibutuhkan .......................................
99
E. Fundrising Sekolah Inklusi .........................................................
105
xi
BAB IV. MODEL PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI SEKOLAH INKLUSI A. Strategi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam di Sekolah Inklusi .......................................................................
116
B. Nilai-nilai Agama sebagai Budaya Sekolah Inklusi……………..
136
C. Penciptaan Lingkungan Religius Sebagai Core Pendidikan di Sekolah Inklusi ............................................
142
D. Pemenuhan Fasilitas ibadah dan Sarana Pembelajaran ................
147
E. Evaluasi dan Penilaian Pendidikan Agama ................................
152
BAB V. PENUTUP A. Kesimpulan ................................................................................
162
B. Saran-saran.................................................................................
163
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................
165
xii
Pedoman Transliterasi Arab-Latin dan Singkatan A. Translitersi
ﺀ ﺏ ﺕ ﺙ ﺝ ﺡ ﺥ ﺩ ﺫ ﺭ
= = = = = =
ﺯ ﺱ ﺵ ﺹ ﺽ ﻁ ﻅ ﻉ ﻍ ﻑ
' b t th j h}
= = =
kh
=
r
d dh
= = = = = =
Mad dan Diftong 1 a panjang ﺁ
=
ā
2
ﺇﻱ
i panjang
=
ī
3
ﺍﻭ
u panjang
=
ū
ﺃﻭ ﺍﻭ
=
au
=
uw
ﺃ ﻱ ﺇﻱ
=
ai
=
iy
4
diftong
z s sh s} d} t} z}
= = =
gh
=
f
‘
ﻕ ﻙ ﻝ ﻡ ﻥ ﻭ ﺓﻩ ﻱ
= = = = = = = =
q k l m n w h y
5. huruf “ ”الditulis al- seperti “ ”اﻟﺤﻤﺪditulis al- h}amdu 6. Nama orang, nama-nama dan istilah-istilah yang sudah dikenal di Indonesia tidak masuk dan tidak terkait dengan pedoman ini, contoh: Fatimah, fitnah, shalat, dan lain-lain.
xiv
B. Singkatan-singkatan: H.
= Hijriah
M
= Masehi
h.
= halaman
t.th.
= tanpa tahun
Saw.
= s}allallāhu ‘alaihi wasallam
t.p.
= tanpa penerbit
SWT.
= Subh}ānahū wa Ta’ālā
t.t.
= tanpa tempat
xiv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan salah satu hak asasi manusia yang dilindungi dan dijamin oleh berbagai instrumen hukum internasional1 maupun nasional.2 Hal ini dikarenakan pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia. Oleh karena itu pendidikan harus diberikan kepada setiap orang tanpa memandang perbedaan etnik/suku, kondisi sosial, kemampuan ekonomi, politik, keluarga, bahasa, geografis (keterpencilan) tempat tinggal, jenis kelamin, agama/ kepercayaan, dan perbedaan kondisi fisik atau mental. Instrumen hukum internasional yang menjamin hak azasi ini adalah Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tahun 1948 yang menegaskan bahwa setiap orang mempunyai hak atas pendidikan. 3 Deklarasi ini merupakan tahapan awal dalam kesadaran manusia akan hak pendidikan bagi semua tanpa diskriminasi. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
belum memandang anak dan
orang dewasa penyandang cacat sebagai warga masyarakat dunia yang utuh, maka pengecualian pun diberlakukan dalam hak universalnya. Mereka belum 1
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tahun 1948, Konvensi PBB tentang Hak Anak tahun 1989, Deklarasi Dunia tentang Pendidikan untuk Semua di Jomtien tahun 1990, Peraturan Standar tentang Persamaan Kesempatan bagi para penyandang cacat tahun 1993, Pernyataan Salamanca dan Kerangka Aksi tentang Pendidikan Kebutuhan Khusus tahun 1994, Kerangka Aksi Forum Pendidikan Dunia di Dakar tahun 2000. Lihat Berit H. Johnsen & Miriam D Skjorten , Education-Special Needs Education (Oslo University: Unifub Forlag, 2001), 4. Lihat juga Sue Stubbs, Inclusive Education Where There Are Few Resources (Oslo: The Atlas Alliance, 2002), 14. dengan tambahan yaitu Tujuan Pembangunan Millenium yang berfokus pada Penurunan Angka Kemiskinan dan Pembangunan tahun 2000, serta Flagship PUS tentang Pendidikan dan Kecacatan tahun 2001. 2
UUD 1945 pasal 31 ayat 1, Undang-undang No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 5, ayat 1 s.d. 4 telah menegaskan bahwa: setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu, warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus, warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus, dan warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus. 3
United Nations, Universal Declaration of Human Rights, 1948. http://www.un.org/en /documents/udhr/ (diakses 25 Januari 2010).
1
mendapat perhatian khusus dalam memperoleh hak asasinya. Instrumeninstrumen hak asasi manusia PBB berikutnya baru menyebutkan secara spesifik orang penyandang cacat, dan menekankan bahwa semua penyandang cacat, tanpa memandang tingkat keparahannya, memiliki hak atas pendidikan.4 Deklarasi ini dalam perkembangannya telah mengilhami dunia pendidikan untuk menyediakan model pendidikan khusus untuk mereka yang membutuhkan perhatian khusus. Model pendidikan khusus tersebut sering disebut dengan model pendidikan segregasi. Dalam dunia pendidikan penyandang cacat, model pendidikan ini merupakan model pendidikan khusus tertua yang menempatkan anak berkelainan di sekolah-sekolah khusus, terpisah dari teman sebayanya. Mereka memperoleh pendidikan secara khusus dengan kurikulum, metode mengajar, sarana pembelajaran, sistem evaluasi, dan guru khusus. Kemudian konvensi PBB tentang Hak Anak tahun 1989 lebih jauh menyatakan bahwa pendidikan dasar seyogyanya wajib dan bebas biaya bagi semua. Konvensi PBB tentang hak anak memiliki empat prinsip umum yang menaungi semua pasal lainnya termasuk pasal tentang pendidikan yaitu: non diskriminasi yang menyebutkan secara spesifik tentang anak penyandang cacat, kepentingan terbaik anak, hak untuk kelangsungan hidup dan perkembangan, serta menghargai pendapat anak. 5 4
Karakteristik penyandang cacat atau anak berkebutuhan khusus menurut Kauffman & Hallahan adalah: tunagrahita (mental retardation), kesulitan belajar (learning disabilities), hyperactive (attention deficit disorder with hyperactive), tunalaras (emotional or behavior disorder), tunarungu wicara (communication disorder and deafness), tunanetra (partially seing and legally blind), anak autistik (autistic children), tunadaksa (physical disability), tunaganda (multiple handicapped), anak berbakat (giftedness and special talents). Lihat J.M. Kauffman & D.P.Hallahan dalam Exceptional Children: Introduction to Special Education (New Jersey: Prentice-Hall, Englewood Clipps: 2005), 28-45. 5
Konvensi PBB tentang hak anak, pada pasal 2 dijelaskan bahwa negara harus menghormati dan menjamin hak-hak yang ditetapkan dalam konvensi ini bagi setiap anak yang berada di dalam wilayah hukumnya tanpa diskriminasi apapun, tanpa memandang ras anak atau orang tua atau walinya, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik atau pendapat lainnya, suku atau asal muasal sosial, hak milik, kecacatan, kelahiran ataupun status lainnya. Sedangkan pada pasal 23 dijelaskan bahwa negara mengakui bahwa anak yang menyandang kecacatan mental ataupun fisik seyogyanya menikmati kehidupan yang layak dan utuh, dalam kondisi yang menjamin martabat, meningkatkan kemandirian serta memberi kemudahan kepada anak untuk berpartisipasi aktif dalam masyarakat. Lihat United Nations, Convention on the Rights of the Child,1989. http://www.un.org/millennium/law/iv-10.htm (diakses 26 Januari 2010).
2
Konvensi PBB tentang Hak Anak 1989 merupakan babak baru dalam upaya menjamin hak anak dan penyandang cacat sekaligus mengkritisi model pelayanan pendidikan untuk mereka. Model pendidikan segregasi yang waktu itu masih diyakini efektif untuk memenuhi hak pendidikan mereka kini mulai terbuka sisi kelemahannya. Meskipun penyediaan pendidikan di sekolah luar biasa dengan model segregasi dapat memenuhi hak pendidikan anak penyandang cacat, tetapi masih
melanggar haknya untuk diperlakukan secara non
diskriminatif, dihargai pendapatnya dan hak untuk tetap berada di dalam lingkungan keluarga dan masyarakatnya. Karena itu, Deklarasi Dunia Jomtien tentang Pendidikan untuk Semua kemudian digelar di Thailand tahun 1990. Deklarasi ini menyatakan bahwa terdapat kesenjangan pendidikan dan bahwa berbagai kelompok tertentu rentan akan diskriminasi dan eksklusi. Kelompok tersebut mencakup anak perempuan, orang miskin, anak jalanan dan anak pekerja, penduduk pedesaan dan daerah terpencil, etnik minoritas dan kelompok-kelompok lainnya, dan secara khusus disebutkan para penyandang cacat.6 Melalui deklarasi ini, pendidikan untuk penderita cacat mulai mendapat perhatian khusus sehingga perlu diajukan alternatif model lain selain model segregasi. 6
Pasal 3 Konferensi Jomtien 1990 tentang Universalisasi Akses dan Peningkatan Kesamaan Hak menyebutkan bahwa pendidikan dasar seyogyanya diberikan kepada semua anak, remaja dan orang dewasa. Untuk mencapai tujuan ini, layanan pendidikan dasar yang berkualitas seyogyanya diperluas dan upaya-upaya yang konsisten harus dilakukan untuk mengurangi kesenjangan. Agar pendidikan dasar dapat diperoleh secara merata, semua anak, remaja dan orang dewasa harus diberi kesempatan untuk mencapai dan mempertahankan tingkat belajar yang wajar. Prioritas yang paling mendesak adalah menjamin adanya akses ke pendidikan dan meningkatkan kualitasnya bagi anak perempuan, dan menghilangkan setiap hambatan yang merintangi partisipasi aktifnya. Semua bentuk diskriminiasi gender dalam pendidikan harus dihilangkan. Selanjutnya, suatu komitmen yang aktif harus ditunjukkan untuk menghilangkan kesenjangan pendidikan. Kelompok-kelompok yang kurang terlayani: orang miskin; anak jalanan dan anak yang bekerja; penduduk desa dan daerah terpencil; pengembara dan pekerja migran; suku terasing; minoritas etnik, ras dan linguistik; pengungsi; mereka yang terusir oleh perang; dan penduduk yang berada di bawah penjajahan, seyogyanya tidak memperoleh perlakuan diskriminasi dalam mendapatkan kesempatan untuk belajar. Selain itu, kebutuhan belajar para penyandang cacat menuntut perhatian khusus. Langkah-langkah perlu diambil untuk memberikan kesamaan akses pendidikan bagi setiap kategori penyandang cacat sebagai bagian yang integral dari system pendidikan. Lihat UNESCO, “Education for all 1,II, III Jomtien”, Thailand World Conference on Education for All, 1990. http://www.unesco.org/education/efa/ed_for_all/background/jomtien_declaration.shtml (diakses 28 Januari 2010.
3
Pada tahun 1993, PBB mengeluarkan Dokumen Peraturan Standar tentang Persamaan Kesempatan bagi para Penyandang Cacat yang terdiri dari peraturan-peraturan yang mengatur semua aspek hak penyandang cacat. Dokumen ini telah melengkapi apa yang harus diberikan pada anak cacat untuk mendapatkan hak pendidikannya yang layak. Hal ini terlihat dalam beberapa peraturan yang secara tegas mengatur pelayanan pendidikkan bagi penyandang cacat. Sebagai contoh yaitu peraturan 6 memfokuskan pada pendidikan bagi para penyandang cacat harus merupakan bagian integral dari pendidikan umum, dan bahwa negara seyogyanya bertanggung jawab atas pendidikan bagi penyandang cacat. Peraturan 6 mempromosikan pendidikan inklusi (disebut pendidikan integrasi pada masa itu).7 Atas dasar suara-suara keprihatinan dari para profesional pendidikan sekolah yang selalu berusaha menemukan cara agar semua anak dapat belajar bersama-sama maka setahun kemudian Konferensi Salamanca lahir. Pernyataan Salamanca dan Kerangka Aksi tentang Pendidikan Kebutuhan Khusus tahun 1994 hingga saat ini masih merupakan dokumen internasional utama tentang prinsip-prinsip dan praktek pendidikan yang tidak menimbulkan diskriminasi. Akhirnya para profesional mengajukan model inklusi8 sebagai pengganti segregasi yang masih menyisakan diskriminasi. Dokumen international tersebut mengemukakan beberapa prinsip dasar inklusi yang fundamental, yang belum dibahas dalam
dokumen-dokumen
sebelumnya. Beberapa konsep inti iklusi yaitu bahwa anak-anak memiliki keberagaman yang luas dalam karakteristik dan kebutuhannya, perbedaan itu adalah normal, sekolah perlu mengakomodasi semua anak, anak penyandang cacat seyogyanya bersekolah di lingkungan sekitar tempat tinggalnya, partisipasi masyarakat itu sangat penting bagi inklusi, pengajaran yang terpusat pada diri 7
United Nations , Standard Rules on the Equalization of Opportunities for Persons with Disability, 1993. http://www.un.org/ecosocdev/geninfo/dpi1647e.htm (diakses 26 Januari 2010). 8
Penggunaan istilah inklusi di Indonesia belum ada pembakuan sebab terkadang digunakan dua istilah yang bersamaan yakni inklusi dan inklusif. Bandi Delfie dalam semua bukunya secara konsisten menggunakan istilah inklusi. Untuk konsistensi penggunaan istilah dalam tesis ini selanjutnya penulis akan menggunakan istilah inklusi.
4
anak merupakan inti dari inklusi, kurikulum yang fleksibel seyogyanya disesuaikan dengan anak dan bukan kebalikannya, inklusi memerlukan sumbersumber dan dukungan yang tepat, inklusi itu penting bagi harga diri manusia dan pelaksanaan hak asasi manusia secara penuh, sekolah inklusi memberikan manfaat untuk semua anak karena membantu menciptakan masyarakat yang inklusif, serta inklusi meningkatkan efisiensi dan efektivitas biaya pendidikan.9 Pasca Konferensi Salamanca, beberapa negara di dunia mulai mengintegrasikan prinsip-prinsip dari penyataan Salamanca tersebut, baik seluruhnya ataupun sebagian, ke dalam perundang-undangan atau dokumen kebijakan. Menurut Mel Ainscow, banyak negara yang sudah merumuskan strategi-strategi berdasarkan Pernyataan Salamanca dan Kerangka Aksi tentang Pendidikan Kebutuhan Khusus untuk mendukung gerakan menuju pendidikan inklusi. Dia mencontohkan negara-negara seperti Australia, Ghana, Hongaria, dan Cina. 10 Selanjutnya, Forum Pendidikan Dunia di Dakar, Senegal tahun 2000, diselenggarakan untuk mengevaluasi pelaksanaan dasawarsa pendidikan untuk semua yang telah diawali di Jomtien. 9
Dalam forum ini muncul
kritikan
UNESCO, The Salamanca Statement and Frame Work for Action on Special Needs Education, 1994. http://unesdoc.unesco.org/images/0009/000984/098427Eo.pdf (diakses 28 Januari 2010). 10 Mel Aincsow, “Towards Inclusive Schooling”. British Journal of Special Education, no 1/1997, 3-6. Lihat juga Kurt Kristensen & Kirsten Kristensen,” School for All: A Challenge to Special Needs Education in Uganda-A Brief Country Report”. African Journal of Special Needs Education. No. 1/1997, 25-27. yang menjelaskan contoh lainnya yaitu pemerintah Uganda yang telah menetapkan Program Pendidikan Dasar Universal (PDU). Salah satu upaya program ini adalah untuk memberikan prioritas kepada anak-anak yang berkebutuhan khusus di sekolah reguler. Sebagai hasilnya, antara 200.000 hingga 300.000 anak dengan berbagai kebutuhan khusus telah terdaftar di sekolah-sekolah reguler sejak dirumuskannya program tersebut pada tahun 1997. Lihat juga Berit H Johnsen, A Historical Perspective on Ideas about a School for All (Oslo: Unipub, 1998), 21-22. yang mencontohkan Norwegia yang sejak tahun 1975, anak-siswa berkebutuhan khusus telah dijamin kesamaan haknya dalam pendidikan dengan perundang-undangan yang sama. Menurut undang-undang, sekolah harus menyediakan pendidikan yang setara dan diadaptasikan untuk setiap orang dalam sistem pendidikan yang terkoordinasi berdasarkan kurikulum nasional yang sama. Dan lihat juga Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa, Mengenal Pendidikan Inklusif (Jakarta: Ditplb, 2006), 2. yang mencontohkan di Amerika Serikat, diperkirakan hanya sekitar 0,5% anak berkebutuhan khusus yang belajar di sekolah khusus, lainnya berada di sekolah biasa. Sedangkan di Inggris, pada tahun 1980-1990-an, peserta didik di sekolah khusus diproyeksikan menurun dari sembilan juta menjadi sekitar dua juta orang, karena kembali ke sekolah biasa, dan ternyata populasi peserta didik di sekolah khusus kurang dari 3% dari jumlah anak berkelainan.
5
terhadap implementasi dari butir-butir Deklarasi Jomtien yang saat itu dinilai belum berhasil mencapai tujuan. Dalam laporan anggota forum disebutkan bahwa saat itu tercatat lebih dari 117 juta anak penyandang cacat masih belum bersekolah. Dalam kaitannya dengan kelompok-kelompok yang termarjinalisasi, terdapat penekanan yang lebih besar pada penghapusan kesenjangan jender dan mempromosikan akses anak perempuan ke sekolah. Tetapi sayangnya anak penyandang cacat tidak secara spesifik disebutkan walaupun istilah inklusi dipergunakan.11 Tidak disebutkannya secara spesifik tentang anak penyandang cacat itu menggugah berbagai lembaga yang mempromosikan pendidikan Inklusi untuk mengadakan pertemuan.
Hasil dari beberapa pertemuan berikutnya antara
UNESCO dan Kelompok Kerja Internasional untuk Penyandang Cacat dan Pembangunan (IWGDD), maka Program Flagship untuk pendidikan penyandang cacat pun diluncurkan pada akhir tahun 2001. Tujuan flagship tersebut adalah untuk menempatkan isu kecacatan dengan tepat pada agenda pembangunan dan memajukan pendidikan inklusi sebagai pendekatan utama untuk mencapai tujuan pendidikan untuk semua.12 Pendidikan inklusi yang merupakan tujuan flagship tersebut adalah perkembangan terkini dari model pendidikan bagi anak berkelainan. Model pendidikan sebelumnya yang
merupakan model pendidikan khusus tertua
adalah model segregasi yang menempatkan anak berkelainan di sekolah-sekolah khusus, terpisah dari teman sebayanya. Model inklusi ini dapat dikatakan sebagai alternatif dari model segregasi yang sebenarnya merugikan bila dilihat dari sudut pandang peserta didik. Reynolds dan Birch mengatakan bahwa model segregasi tidak menjamin kesempatan anak berkelainan mengembangkan potensi secara optimal, karena kurikulum dirancang berbeda dengan kurikulum sekolah biasa. Selain itu, secara filosofis model segregasi tidak logis, karena menyiapkan peserta didik untuk kelak dapat berintegrasi dengan masyarakat normal, tetapi mereka dipisahkan 11
Sue Stubbs, Inclusive Education Where There Are Few Resources, 20.
12
Sue Stubbs, Inclusive Education Where There Are Few Resources, 20-21.
6
dengan masyarakat normal. Kelemahan lain yang tidak kalah penting adalah bahwa model segregasi relatif mahal.13 Pada awalnya model alternatif dari pendidikan segregasi yang masih menyisakan diskriminasi ini muncul pada pertengahan abad XX yakni model mainstreaming.14 Belajar dari berbagai kelemahan model segregasi, model mainstreaming memungkinkan berbagai alternatif penempatan pendidikan bagi anak berkelainan. Alternatif yang tersedia mulai dari yang sangat bebas (kelas biasa penuh) sampai yang paling terbatas (sekolah khusus sepanjang hari). Oleh karena itu, model ini juga dikenal dengan model yang paling tidak berbatas (the least restrictive environment), artinya seorang anak berkelainan harus ditempatkan pada lingkungan yang paling tidak berbatas menurut potensi dan jenis tingkat kelainannya. Para ahli pendidikan yang ada di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, negara di daratan Eropa seperti Norwegia, kemudian menyebar ke Asia termasuk Indonesia menyatakan bahwa mainstreaming berbeda dengan inklusi. Mainstreaming merupakan istilah yang biasa digunakan dalam pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus (children with special needs) yang memberikan kesempatan kepada peserta didik berkelainan khusus untuk belajar di kelas-kelas umum berdasarkan pada kemampuan untuk mengikuti kegiatan di sekolah dengan beberapa modifikasi. Bantuan pembelajaran
yang berkaitan dengan
kelainan khusus setiap peserta didik umumnya dilakukan di luar setting pendidikan umum.15 13
Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa, Mengenal Pendidikan Inklusif, 2.
14
Istilah mainstreaming di Amerika Serikat dan Inggris diartikan sebagai penempatan peserta didik dari sekolah luar biasa ke dalam kelas regular secara penuh, tetapi program penempatan belajarnya tidak bersatu dengan peserta didik normal tetapi terpisah dalam program khusus sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Sekolah yang menggunakan model mainstreaming mempunyai tanggung jawab terhadap siswa berkebutuhan khusus untuk diajar sesuai dengan keberadaannya dan menekankan pada program khusus yang efektif. Untuk itu diperlukan guru khusus untuk setiap kelainannya. Lihat S. J. Piji, C. J. W. Meijer, and S. Hegarty, Inclusive Education (London: Routledge, 1997), 65. 15
Bandi Delphie, Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus dalam Setting Pendidikan Inklusi (Klaten:PT Insan Sejati Klaten, 2009), 16-17.
7
Model pendidikan lainnya sebagai alternatif dari segregasi yang muncul kemudian adalah model integrasi. Model ini digunakan untuk menunjukkan penempatan siswa berkebutuhan khusus dalam kelas-kelas tersendiri di sekolahsekolah umum tertentu dimana peserta didik dapat berpartisipasi dalam beberapa kegiatan dengan teman-teman sebayanya, seperti kegiatan seni, musik, perpustakaan, kepramukaan dan kegiatan di luar sekolah (outbond activity). Layanan pendidikan khusus seringkali juga dilakukan dalam ruang kelas khusus (resource room centre)
melalui rekomendasi guru kelas. Dalam kondisi
demikian, pembelajaran dalam sistem rangkap dapat menyebabkan mereka menjadi terpisah dengan teman sebayanya. Semenjak tahun 1980-an,
fakta-fakta menunjukkan bahwa siswa
berkebutuhan khusus selalu mencari dan mengharapkan adanya lingkungan yang memberikan kesempatan-kesempatan yang sama dengan mereka yang normal. Kesempatan tersebut harus dijamin keberlangsungannya dari sudut hukum perundang-undangan negara agar mereka dapat mengakses lebih luas.16 Bertitik tolak dari harapan dan keinginan anak berkebutuhan khusus tersebut, maka penyelenggaraan pendidikan inklusi merupakan salah satu syarat yang harus terpenuhi untuk membangun tatanan masyarakat inklusif (inclusive society). Sebuah tatanan masyarakat yang saling menghormati dan menjunjung tinggi nilai – nilai keberagaman sebagai bagian dari realitas kehidupan. Melalui pendidikan inklusi, anak berkelainan dididik bersama-sama anak lainnya (normal) untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya. Menurut M.A. Fattah Santoso, ada tiga langkah penting menuju inklusi yang nyata yaitu : komunitas, persamaan dan partisipasi. 17 Yang dimaksud 16
Undang-undang kenegaraan yang akan mengatur realisasinya telah mulai nampak bermunculan, misalnya di Australia muncul International Years of Disable Person (IYDP) pada 1981 dan di Indonesia sendiri telah diberlakukannya Hak Anak melalui Keputusan Presiden No. 36/1990 tertanggal 25 Agustus 1990 yang diberlakukan mulai tanggal 5 Oktober 1990. Pemberlakuan keputusan tersebut menekankan pada hak-hak masyarakat berkelainan untuk mendapatkan pemenuhan kebutuhan hidup yang sama dengan orang lain, serta memilih pola hidup, mendapatkan pekerjaan, dan mengatur dirinya sendiri dalam memanpaatkan waktu-waktu luangnya. Lihat Bandi Delphie, Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus, 13. 17
M.A. Fattah Santoso, “Sekolah Syariah dan Pendidikan Inklusi”, Makalah Seminar Nasional dan Peluncuran Kurikulum Sekolah Syariah dan Panduan Implementasi Pendidikan Inklusi UNESCO, yang diselenggarakan oleh Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS) dan
8
komunitas adalah bahwa semua staf yang terlibat dalam pendidikan merupakan suatu komunitas yang memiliki visi dan pemahaman yang sama tentang pendidikan inklusi,
baik konsep dan pentingnya maupun dasar-dasar
filosofisnya. Yang dimaksud persamaan adalah bahwa setiap anggota komunitas memiliki persamaan (hak yang sama). Dan yang dimaksud dengan partisipasi adalah bahwa sebagai anggota komunitas harus bersama-sama berpartisipasi dalam mengembangkan pendidikan inklusi, sejak dari perencanaan, pelaksanaan sampai evaluasinya. Dalam pendidikan inklusi, sistem sekolah tidak berhak menentukan tipe peserta didik, namun sebaliknya sistem sekolah yang harus menyesuaikan untuk memenuhi kebutuhan semua peserta didik. Prinsip pendidikan yang disesuaikan dalam sekolah inklusi menyebabkan adanya tuntutan yang besar terhadap guru reguler maupun guru pendidikan kebutuhan khusus. Mereka mempunyai tugas bersama untuk mengadaptasikan lingkungan belajar dengan kebutuhan dan kemampuan setiap siswa di kelas. Jadi, kelas reguler akan menjadi tempat bertemunya pendidikan reguler dan pendidikan kebutuhan khusus. Dalam menangani siswa berkebutuhan khusus, diperlukan keahlian tersendiri karena tidak semua aktivitas di sekolah dapat diikuti oleh anak cacat, misalnya anak cacat netra tak mampu mengikuti pelajaran menggambar atau olah raga, begitu pula anak tuna rungu sulit mengikuti pelajaran seni suara dan cacat yang lain perlu penanganan khusus karena keterbatasannya. Maka sangat diperlukan guru pembimbing khusus yang mampu memahami sekaligus menangani keberadaan anak cacat termasuk di dalamnya memahami karakter dari masing-masing jenis kecacatannya. Disamping itu, juga perlu membekali pengetahuan tentang karakter anak cacat terhadap guru umum, siswa yang normal maupun masyarakat sekitar dengan harapan anak cacat tersebut dapat diperlakukan secara wajar. Indonesia sebagai Negara yang menyelenggarakan pendidikan untuk siswa berkebutuhan khusus, menyediakan tiga macam lembaga pendidikan, yaitu Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Tengah dengan dukungan Braillo, IDP-Norwegia dan SD Muhammadiyah Program Khusus Surakarta, di UNS, 11 Juni 2005.
9
Sekolah Luar Biasa (SLB), Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), dan Pendidikan Terpadu. SLB, sebagai lembaga pendidikan khusus tertua, menampung anak dengan jenis kelainan yang sama, sehingga ada SLB Tunanetra, SLB Tunarungu, SLB Tunagrahita, SLB Tunadaksa, SLB Tunalaras, dan SLB Tunaganda. SDLB menampung berbagai jenis anak berkelainan, sehingga di dalamnya mungkin terdapat anak tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, dan/atau tunaganda. Sedangkan Pendidikan Terpadu menampung anak normal dengan anak berkelainan dalam satu lembaga pendidikan tapi dengan kelas yang berbeda. 18 Berdasarkan data Susenas tahun 2003, penyandang cacat di Indonesia berjumlah 1,48 juta orang (0,7% dari jumlah penduduk Indonesia). Sedangkan jumlah penyandang cacat usia sekolah (5-18 tahun) berjumlah 21,42% dari seluruh penyandang cacat. Sejak dikeluarkannya SK Dirjen Dikdasmen no. 380/C.C6/MN/2003, Direktorat Pendidikan Luar Biasa telah mengembangkan sekolah-sekolah inklusi menjadi 600 sekolah dan mendidik 9.492 peserta didik berkebutuhan khusus. Pada tahun 2007 tercatat 343 SD dan 19 SMP yang menjadi sekolah inklusi, sedangkan pada jenjang Sekolah Menengah, menurut data tahun 2005 berjumlah 40 SMA dan 1 SMK.19 Sedangkan
menurut Statistik Sekolah Luar Biasa tahun 2006/2007
jumlah peserta didik penyandang cacat yang telah mengenyam pendidikan baru mencapai 87.801 anak (27,35%), dimana 72.620 anak mengikuti pendidikan segregasi di SDLB, SMPLB, SMALB atau SLB dan 15.181 anak cacat lainnya mengikuti pendidikan inklusi.20 Jumlah tersebut belum termasuk mereka yang cacat tingkat ringan yang jumlahnya jauh lebih banyak dari survey tersebut, dan semuanya belum sepenuhnya mendapat layanan pendidikan yang maksimal sebagai kebutuhan dasarnya. 18
Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa, Mengenal Pendidikan Inklusif, 1.
19
Pusat Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan Balitbang Diknas, Pengkajian Pendidikan Inklusif bagi anak Berkebutuhan khusus pada jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah (Jakarta: Ditplb, 2008), 2. 20
Direktorat PSLB, Naskah dan Informasi Pendidikan Khusus (Jakarta: Ditpslb, 2006 /
2007), 3.
10
Proses menuju pendidikan inklusi di Indonesia diawali pada awal tahun 1960-an oleh beberapa orang siswa tunanetra di Bandung dengan dukungan organisasi para tunanetra sebagai satu kelompok penekan. Pada masa itu SLB untuk tunanetra hanya memberikan layanan pendidikan hingga ke tingkat SLTP. Sesudah itu para pemuda tunanetra diberi latihan kejuruan dalam bidang kerajinan tangan atau pijat. Sejumlah pemuda tunanetra bersikeras untuk memperoleh tingkat pendidikan lebih tinggi dengan mencoba masuk ke SMA biasa meskipun ada upaya penolakan dari pihak SMA itu. Lambat-laun terjadi perubahan sikap masyarakat terhadap kecacatan dan beberapa sekolah umum bersedia menerima siswa tunanetra. Pada akhir tahun 1970-an pemerintah mulai menaruh perhatian terhadap pentingnya pendidikan integrasi, dan mengundang Helen Keller International, Inc. untuk membantu mengembangkan sekolah integrasi. Keberhasilan proyek ini telah menyebabkan diterbitkannya Surat Keputusan Menteri Pendidikan nomor 002/U/1986 tentang Pendidikan Terpadu bagi Anak Cacat yang mengatur bahwa anak penyandang cacat yang memiliki kemampuan seyogyanya diberi kesempatan untuk belajar bersama-sama dengan sebayanya yang non-cacat di sekolah biasa. Sayangnya, ketika proyek pendidikan integrasi itu berakhir, implementasi pendidikan integrasi semakin kurang dipraktekkan, terutama di jenjang SD.21 Menjelang akhir tahun 1990-an upaya baru dilakukan lagi untuk mengembangkan pendidikan inklusi melalui proyek kerjasama antara Depdiknas dan pemerintah Norwegia di bawah manajemen Braillo Norway dan Direktorat PLB. Agar tidak mengulangi kesalahan di masa lalu dengan program pendidikan integrasi yang nyaris mati, perhatian diberikan pada keberlangsungan program pengimplementasian pendidikan inklusi.22 21
Didi Tarsidi, Pendidikan Inklusif Sebagai Satu Inovasi Kependidikan Untuk Mewujudkan Pendidikan untuk Semua. http://d-tarsidi.blogspot.com/2007/07/inovasiinklusi.html (diakses 9 Februari 2010). 22
Strategi implementasi pendidikan inklusi yang dilakukan pemerintah adalah: Pertama, diseminasi ideologi pendidikan inklusi melalui berbagai seminar dan lokakarya; Kedua,
11
Berbagai upaya dilakukan pemerintah agar para penyandang cacat memperoleh segala haknya sebagai warga negara. Pada tahun 2003 pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN). Dalam undang-undang tersebut di kemukakan hal-hal yang erat hubungannya
dengan pendidikan bagi anak-anak dengan
kebutuhan pendidikan khusus.23 Pendidikan
yang diberikan kepada mereka
tidak hanya menghasilkan keterampilan dan pengetahuan yang terikat pada mata pelajaran saja. Pendidikan ditujukan untuk mengembangkan individu mandiri yang aktif dan bertanggung jawab di dalam masyarakat yang baik. Salah satu contoh lembaga pendidikan yang berusaha mengembangkan individu mandiri yang aktif tanpa membedakan apakah terdapat kelainan mental, cacat fisik ataupun hambatan psikis adalah Madania Progressive Indonesian School.24 Madania memandang bahwa setiap individu adalah istimewa dan layak memperoleh pelayanan dan penghargaan yang sama karena Tuhan telah mengubah peranan SLB yang ada agar menjadi pusat sumber untuk mendukung sekolah inklusi (dengan alat bantu mengajar, materi ajar, metodologi, dan sebagainya); Ketiga, penataran/pelatihan bagi guru-guru SLB maupun guru-guru reguler untuk memungkinkan mereka memberikan layanan yang lebih baik kepada anak berkebutuhan khusus dalam setting inklusi; Keempat, reorientasi pendidikan guru di LPTK dan keterlibatan universitas dalam program tersebut; Kelima, desentralisasi pembuatan keputusan untuk memberikan lebih banyak peran kepada pemerintah daerah dalam implementasi pendidikan inklusi; Keenam, mendorong dan memfasilitasi pembentukan kelompok-kelompok kerja untuk mempromosikan implementasi pendidikan inklusi; Ketujuh, keterlibatan LSM dan organisasi internasional dalam program ini; Kedelapan, menjalin jejaring antar berbagai pihak terkait; Kesembilan, mengembangkan sekolah inklusi perintis; Kesepuluh, pembukaan program magister dalam bidang inklusi dan pendidikan kebutuhan khusus. Lihat Didi Tarsidi, Pendidikan Inklusif Sebagai Satu Inovasi Kependidikan. http://d-tarsidi.blogspot.com. 23
Bab IV pasal 5 ayat 1, 2, 3, 4 berisi penjelasan bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu baik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus. Demikian juga warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil dan warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus. 24
Selanjutnya dalam Tesis ini penulis akan menggunakan istilah Madania untuk menyebut lembaga ini. Madania yang terletak di Telaga Kahuripan Parung Bogor, menerapkan prinsip-prinsip inklusi dalam pendidikannya. Lembaga ini memiliki landasan filosofis pendidikan yang menjunjung tinggi peradaban yang diikat dengan aturan hukum, disiplin, mendukung tegaknya prinsip egaliterianisme, demokrasi, dan nilai-nilai luhur yang bersifat transenden. Landasan filosofi ini mendasari penerapan pendidikan inklusi di sekolah ini sejak tahun 1998. Sekalipun pendidikan Madania dirancang dan didirikan oleh kelompok orang muslim yang menaruh minat pada dunia pendidikan, namun wawasan keagamaannya bersifat terbuka, toleran dan inklusif.
12
menganugerahkan mereka derajat dan hak-hak yang sama, sekalipun dengan potensi, minat dan pertumbuhan pribadi yang berbeda-beda. Madania memiliki suatu wadah pendidikan bagi anak dengan kebutuhan khusus yang merupakan laboratorium sosial yaitu Special Educational Need (SEN) Unit. SEN Unit berperan memfasilitasi proses adaptasi siswa berkebutuhan khusus dalam mengikuti kegiatan sekolah agar mereka memiliki perkembangan potensi individu yang optimal, memiliki perkembangan emosi sesuai dengan usianya, menjadi individu yang mandiri, dan mampu menyesuaikan diri dalam lingkungan sosial melalui pendekatan holistik antara sekolah, orang tua dan tim profesional. 25 Sejalan dengan tujuan SEN Unit, ada beberapa tujuan lainnya dalam pendidikan untuk siswa berkebutuhan khusus. Tujuan tersebut terbagi kepada empat kategori yaitu: tujuan pendidikan dalam latihan keterampilan tertentu, dalam
memberikan
pengetahuan
tertentu,
dalam
kemungkinan
untuk
mengembangkan sikap, dan dalam memberikan akses ke pengalaman belajar. 26 Meskipun beberapa keterampilan dan jenis pengetahuan dapat dengan mudah ditransfer ke dalam butir-butir yang konkret dan dapat diukur untuk penilaian, tujuan pendidikan dalam pembentukan sikap dan pembiasaan seringkali lebih sulit untuk dirumuskan, karena sikap dan kebiasaan sulit untuk diukur – baik dalam bentuk nilai ataupun dalam bentuk penyataan tertulis tentang prilaku siswa yang seharusnya. Akan tetapi, mengembangkan sikap dan kebiasaan yang pantas itu merupakan tujuan pendidikan yang sangat penting. Oleh karena itu tidak boleh diabaikan hanya karena sulit untuk diukur. Pembentukan sikap dan kebiasaan
yang baik akan dapat terwujud,
diantaranya dengan memberikan pemahaman yang benar tentang pendidikan agama. Dengan pemahaman yang benar akan agamanya diharapkan siswa 25
Madania Progressive School , Handbook 2009-2011: Educational Support Department (Parung: Madania, 2009), 7. 26
Berit H. Johnsen, Kurikulum untuk Pluralitas Kebutuhan Belajar Individual. http://www.idp-europe.org /indonesia/buku-inklusi/pdf/15-Kurikulum.pdf. (diakses 9 Februari 2010).
13
berkebutuhan khusus memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Dan untuk membentuk dan mengarahkan mereka pada moralitas baik atau berperilaku baik diperlukan kondisi dan situasi yang kondusif, saling tolong menolong, bekerjasama, tenang, tentram, tanpa perselisihan, tanpa pertentangan, damai satu sama lain, saling memberi dan menerima. Ironisnya pendidikan moral melalui pendidikan agama bagi siswa berkebutuhan khusus kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah. Demikian juga porsi perhatian dari para pengelola pendidikan masih banyak diberikan pada penguatan skill keterampilan yang bersifat fisik ketimbang pada aspek spiritual yang bersifat non fisik. 27 Padahal mewujudkan sebuah lingkungan pendidikan yang agamis akan lebih memberikan dampak yang positif karena mereka akan merasa dihargai dan dapat menerima keberadaan dirinya dengan segala kelebihan dn kekurangannya yang berbeda dengan teman-teman sebaya di lingkungannya. Sikap positif guru terhadap siswa berkebutuhan khusus akan berdampak positif pula pada proses pembelajarannya.
28
Sikap positif ini secara
27
Beberapa kelemahan pembelajaran pendidikan agama, diidentifikasi oleh Thowaf yaitu: Pertama, pendekatan masih cenderung normatif, menyajikan norma-norma yang seringkali tanpa ilustrasi konteks sosial budaya, sehingga peserta didik kurang menghayati nilai-nilai agama sebagai nilai yang hidup dalam keseharian. Kedua, kurikulum yang dirancang boleh dikatakan menawarkan minimum kompetensi atau minimum informasi bagi peserta didik. Semangat pendidik untuk memperkaya kurikulum dengan pengalaman belajar yang bervariasi terlihat masih kurang. Ketiga, pendidik kurang berupaya menggali berbagai metode yang mugkin bisa dipakai untuk pendidikan agama, sehingga pembelajaran cenderung monoton. Keempat, keterbatasan sarana prasarana sehingga pengelolaan cenderung seadanya. Lihat Siti Malikhah Towaf, “Pembinaan Kampus sebagai Lembaga Pendidikan Ilmiah Edukatif yang Religius”, Makalah disajikan dalam Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia III (Ujung Pandang, 4-7 Maret 1996). 28
Keteladanan dalam pendidikan adalah metode influentif yang paling meyakinkan keberhasilannya dalam mempersiapkan dan membentuk anak di dalam moral, spiritual dan sosial. Hal ini karena pendidik adalah contoh terbaik dalam pandangan anak, yang akan ditirunya dalam tindak tanduknya, dan tata santunnya, disadari ataupun tidak, bahkan tercetak dalam jiwa dan perasaan suatu gambaran pendidik tersebut, baik dalam ucapan atau perbuatan, baik material atau spiritual, diketahui atau tidak diketahui. Lihat ‘Abd Alla>h Na>s}ih} ‘Ulwa>n dalam
14
otomatis akan mempengaruhi pula orang-orang di sekitarnya yaitu temantemannya, guru dan orang tua. Minimnya perhatian terhadap pendidikan agama bagi siswa berkebutuhan khusus bukan semata-mata karena para aktivis dan profesional pendidikan inklusi mengabaikan pendidikan agama, akan tetapi juga karena minimnya model pendidikan agama yang dapat diaplikasikan yang cocok dan sesuai dengan mereka. Sesungguhnya pendidikan agama adalah hak bagi semua manusia tanpa membedakan normal dan tidak normal. Siswa berkebutuhan khusus juga memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan agama karena mereka adalah manusia ciptaan Allah yang mendapat khitab (titah) untuk menjadi khalifah di muka bumi ini. Islam mengajarkan bahwa pendidikan wajib bagi setiap muslim laki-laki maupun perempuan selama masih memiliki daya dan iradah dalam hidup.
29
Nabi Muhammad pun pernah ditegur oleh Allah ketika
menjelaskan ajaran Islam kepada para sahabatnya lantaran tidak mengindahkan pertanyaan Ummi Maktum, seorang sahabat tunanetra.30 Bahasan tentang pentingnya
pendidikan agama Islam telah banyak
dimuat dalam ribuan buku akan tetapi jumlah tersebut tidak seimbang dengan kebutuhan pembahasan dan diskusi mengenai model pendidikan agama bagi siswa berkebutuhan khusus. Kajian ini masih terbilang sedikit—kalau tidak dikatakan langka padahal sangat dibutuhkan. Mengingat
pentingnya
menemukan
konsep
model
pengajaran
pendidikan agama Islam dan pentingnya menciptakan suasana yang agamis di
Tarbiyat al-Awla>d fi>-al-Isla>m (Kairo: Da>ru al-Sala>m li al-T}iba><<>><@||<’ah wa-alNashr wa-al-Tawzi>’, 1981), 6. 29
Ma>jid al-‘Arsa>n al-Kayla>ni> mengelaborasi kemampuan manusia yang mendapat perintah untuk berdzikir dan berfikir lantaran mereka memiliki kekuatan untuk taat pada Allah dan memiliki kekuatan untuk berfikir sebagaimana dinyatakan al-Qur’an surat S>}ad ayat 45. Lihat Ma>jid al-‘Arsa>n al-Kayla>ni>, Ahda>f al-Tarbiyah al- Isla>mi>yah fi> Tarbiyat alFardi wa-Ikhra>ji al- U>mmah wa-Tanmiyat al-Ukhuwwah al-Insa>niyah (Firjiniya>: alMa’ahad al-‘A>lami> li al-Fikri al-Isla>mi>, 1997/1417), 70. 30
Abd al-Rahma>n al-Nah}la>wi>, Us}u>l al-Tarbiyah al-Isla>mi>yah waAs>ali>biha> fi> al-Bayti wa-al-Madrasati wa-al-Mujtama’ (Bairut Libanon: Da>ru al- Fikri al-Ma’a>s}ir, 1999), 36.
15
lingkungan pendidikan serta memperhatikan dampak positifnya terhadap siswa berkebutuhan khusus dan orang-orang di sekitarnya, maka penelitian tentang pendidikan agama Islam dalam setting pendidikan inklusi laik bahkan penting untuk dilakukan. Karena itu penulis akan melakukan penelitian tesis ini berjudul PENDIDIKAN
AGAMA
ISLAM
DALAM
SETTING
PENDIDIKAN
INKLUSI. B. Permasalahan 1. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dideskripsikan di atas maka masalah penelitian ini dapat diidentifikasi, antara lain: a. Adanya perbedaan karakteristik setiap peserta didik berkebutuhan khusus, akan memerlukan kemampuan khusus guru. Guru dituntut memiliki kemampuan untuk menyelaraskan kurikulum dengan keberadaan siswanya, kemudian diramu menjadi sebuah program pembelajaran individual yang diarahkan pada hasil akhir berupa kemandirian setiap siswa. Akan tetapi karena kemampuan pengetahuan guru yang mengajar di sekolah inklusi masih terbatas, menyebabkan mereka kurang bisa membuat perencanaan pelajaran yang bagus yang memperhatikan kemampuan dan kelemahan setiap individu siswa. b. Kurangnya pedoman pembelajaran bagi guru-guru di sekolah inklusi menyebabkan guru-guru menggantungkan diri pada guru sekolah luar biasa (SLB) dan guru-guru tersebut mengajar berdasarkan nalurinya yang menyebabkan layanan pendidikan khusus di sekolah inklusi tidak optimal. c. Minimnya pengetahuan guru tentang model pembelajaran agama Islam untuk siswa berkebutuhan khusus menyebabkan model pembelajaran yang diterapkan kurang sesuai dengan kebutuhan mereka sehingga sulit untuk bisa dipahami. d. Masih belum terciptanya suasana pendidikan yang agamis di sekolah inklusi dikarenakan kurangnya rumusan konsep tentang pendidikan agama Islam bagi siswa berkebutuhan khusus baik dari sudut manajemen, proses pembelajaran, ketenagaan, maupun fasilitas dan sebagainya. Kalaupun ada
16
guru agama, akan tetapi seringkali dia hanya memperhatikan aspek kognitif saja, padahal siswa membutuhkan pendidikan sebatas pengetahuan saja tapi
agama yang tidak hanya
juga penciptaan suasana agamis yang
menenangkan yang membuat siswa berkebutuhan khusus merasa diterima lingkungannya walaupun memiliki keterbatasan kemampuan. 2. Pembatasan Masalah Lazimnya pada sebuah penelitian, lingkup masalah dan keluasannya harus dibatasi sehingga kajian penelitian akan lebih fokus dan terarah. Batasan masalah juga dapat menjadi acuan pencarian data sehingga terarah dan tepat sasaran atau dengan kata lain valid dan objektif. Oleh karena itu, penelitian ini dibatasi pada kajian terhadap konsep model pembelajaran pendidikan agama Islam yang dipakai di sekolah inklusi dengan alasan bahwa pendidikan agama merupakan aspek yang paling penting bagi pemenuhan hak peserta didik yang berkebutuhan khusus sebagai seorang manusia beragama Islam tanpa diskriminasi. Fokus utama diarahkan pada konsep model pendidikan agama Islam yang paling tepat bagi siswa berkebutuhan khusus dalam lingkungan sekolah yang menerapkan pendidikan inklusi. 3. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah, identifikasi serta pembatasan masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka pertanyaan pokok yang akan dicarikan jawabannya pada penelitian ini adalah:
Bagaimanakah
model
pembelajaran pendidikan agama Islam bagi siswa berkebutuhan khusus di sekolah inklusi? C. Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan utama penelitian ini adalah untuk menemukan
konsep model pembelajaran pendidikan agama Islam bagi siswa
berkebutuhan
khusus di lembaga pendidikan yang menerapkan pendidikan
inklusi. Selanjutnya, penelitian ini diharapkan mempunyai nilai manfaat, setidaknya bagi peneliti sendiri dan umumnya bagi pihak lain. Oleh karena itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat:
17
1. Menambah wawasan mengenai model pembelajaran pendidikan agama Islam yang sesuai bagi siswa berkebutuhan khusus. 2. Memberikan pemahaman tentang pentingnya memberikan perlakuan yang sama kepada siswa berkebutuhan khusus dalam mendapatkan pendidikan agama di lingkungan yang sama dengan siswa yang normal. 3. Memberikan motivasi kepada para pemikir pendidikan untuk mengadakan pembahasan lebih lanjut tentang pembelajaran pendidikan agama Islam bagi siswa berkebutuhan khusus untuk kemudian menemukan teori-teori baru yang bermanfaat khususnya bagi siswa berkebutuhan khusus. 4. Memberikan kesadaran kepada masyarakat khususnya orang tua bahwa pendidikan agama untuk siswa berkebutuhan khusus adalah penting dan perlu diupayakan agar mereka bisa menjadi generasi muslim yang mandiri dan berkualitas. D. Signifikansi atau Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara
teoritis maupun secara
praktis. Secara teoritis penelitian ini diharapkan
memberikan kontribusi terhadap khazanah ilmiah yang menjadi bahan bacaan yang berguna bagi masyarakat umum dalam pengembangan wacana pendidikan terutama pendidikan agama Islam bagi siswa berkebutuhan khusus. Sedangkan secara praktis penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk: 1.
Guru pada umumnya agar memahami pentingnya upaya meningkatkan kualitas pembelajaran di sekolah inklusi yang
berimplikasi pada
keberhasilan belajar siswa. 2. Memberikan informasi dan masukan bagi pengambil kebijakan, dalam hal ini kepala sekolah, terhadap pengembangan model pembelajaran pendidikan agama Islam di sekolah inklusi dan pola pembinaan guru-gurunya dalam meningkatkan mutu pendidikan. 3. Menjadi bahan pertimbangan bagi
instansi terkait, dalam hal ini
Kementrian Pendidikan Nasional dan Kementrian Agama tingkat daerah dan pusat untuk peningkatan perhatiannya pada pendidikan bagi kelompok siswa berkebutuhan khusus.
18
4. Memberikan pemahaman ulang kepada masyarakat tentang perlakuan yang harus diberikan kepada anak berkebutuhan khusus, terutama pemenuhan hak memperoleh layanan pendidikan bagi mereka sebagai warga masyarakat yang memiliki hak yang sama dengan orang lain. E. Penelitian Terdahulu yang Relevan Penelitian tentang model pembelajaran pendidikan agama Islam bagi siswa berkebutuhan khusus sejauh penelusuran penulis belum ada yang melakukannya. Hasil dari pelacakan penulis tercatat ada beberapa penelitian serupa tetapi tidak spesifik mengkaji aspek pendidikan agama Islam, diantaranya: Berit H. Johnsen dan Miriam D. Skjorten
dalam Education-Special
Needs Education,31 menjelaskan tentang hakikat dan penyebab kecacatan yang pada dasarnya tidak ada perbedaan antara kebudayaan di Utara, Selatan, Timur dan Barat. Dalam buku ini dibahas pula pentingnya memberikan layanan pendidikan yang disesuaikan secara individual. Oleh karena itu, guru perlu diberi pelatihan tentang metode dan teknik yang diperlukan untuk diterapkan. Namun kita tidak bisa
berharap bahwa guru akan dapat mengatasi semua
tantangan yang dihadapinya. Mereka kadang memerlukan saran dan bimbingan dari seorang
ahli
berdasarkan pengalaman
praktek
digabung
dengan
pengetahuan berbasis penelitian. Dalam buku ini tidak dibahas sama sekali tentang pendidikan agama bagi siswa berkebutuhan khusus. Sue Stubs dalam buku Inclusive Education Where There Are Few Resources,32 menjelaskan tentang berbagai instrumen internasional yang mendasari pendidikan inklusi. Disamping itu dijelaskan pula tentang isu utama dalam pendidikan inklusi yaitu bahwa pendidikan inklusi didasarkan pada hak 31
Berit H. Johnsen & Miriam D Skjorten , Education-Special Needs Education (Oslo University: Unifub Forlag, 2001), 2-4. 32
Sue Stubbs, Inclusive Education Where There Are Few Resources (Oslo: The Atlas Alliance, 2002), 1-5.
19
asasi dan model sosial. Dengan demikian maka sistem yang harus disesuaikan dengan anak, bukan anak yang menyesuaikan diri dengan sistem. Dan untuk menghadapi tantangan dan mengatasi hambatan, sangat diperlukan adanya partisipasi yang berkesinambungan dari semua stakeholder utama pendidikan. Dalam buku ini sama sekali tidak dibahas tentang pendidikan agama untuk mendukung dalam menyukseskan pendidikan inklusi. Siti Barokah dalam Moralitas Peserta Didik Pada Pendidikan Inklusif : Studi Kasus pada Sekolah Inklusi SD Hj.Isriati Semarang,33 penelitian Tesis yang dilakukan di Program Magister Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang tahun 2008 ini mengkaji tentang pendidikan moral atau etika bagi siswa berkebutuhan khusus di sekolah yang menerapkan pendidikan Inklusi. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pendidikan moral dapat dilakukan oleh institusi sekolah umum terhadap semua siswa tanpa membedakan yang normal dan tidak normal. Dengan instrumen yang digunakannya, disimpulkan bahwa pendidikan moral yang diterapkan oleh pihak sekolah dalam penanaman moral terbukti telah berhasil
dengan prosentase yang memuaskan. Akan tetapi
penelitian ini hanya sebatas pendidikan moral yang hanya terbatas pada aspek lahiriyah semata
dan tidak sampai pada penanaman penghayatan dan
pengamalan aspek spiritual agama sesuai dengan agama yang dianutnya. Selanjutnya sebuah penelitian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan (PULITJAKNOV) Badan Penelitian dan Pengembangan
(BALITBANG) Depdiknas tahun 2008 tentang Pengkajian
Pendidikan Inklusif Bagi Anak Berkebutuhan Khusus Pada Jenjang Pendidikan Dasar Dan Menengah,34 mengkaji tentang efektifitas pendidikan inklusi
di beberapa tempat yang dijadikan
penyelenggaraan percontohan oleh
pemerintah. Hasil penelitiannya menilai bahwa ada beberapa fasilitas dan faktor
33
Siti Barokah, “Moralitas Peserta Didik Pada Pendidikan Inklusif : Studi Kasus pada Sekolah Inklusi SD Hj.Isriati Semarang”, Tesis, Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang, 2008. 34
PUSLITJAKNOV BALITBANG DEPDIKNAS, Pengkajian Pendidikan Inklusif Bagi Anak Berkebutuhan Khusus Pada Jenjang Pendidikan Dasar Dan Menengah (Jakarta: Diknas, 2008), 1-5.
20
pendukung yang belum siap dalam penyelenggaraan pendidikan Inklusi. Hal yang paling dominan dari ketidaksiapan itu adalah faktor penyediaan fasilitas belajar yang tingkat kesesuaiannya dengan tujuan dan hakikat pendidikan Inklusi belum terpenuhi. Selain itu, ditemukan juga beberapa kasus yang menunjukkan adanya ketidaksesuaian antara teori dan kebijakan yang diterapkan di sekolah inklusi. Dalam penelitian ini tentu saja tidak menyinggung sama sekali tentang model pembelajaran pendidikan agama yang diterapkan di sekolah-sekolah inklusi tersebut. Bandi Delphie dalam Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus dalam Setting Pendidikan Inklusi, menjelaskan tentang pengenalan jenis kelainan anak dan sejumlah teknik pembelajaran yang berpusat pada aplikasi gerak. Gerak manusia dapat dijadikan sebagai basis pembelajaran bagi siswa berkebutuhan khusus. Buku ini sama sekali tidak menyentuh aspek pendidikan agama bagi siswa berkebutuhan khusus. F. Metodologi Penelitian 1.
Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang sering disebut juga
metode penelitian naturalistik karena penelitiannya dilakukan pada kondisi yang alamiah (natural setting).35 Pengambilan data dalam penelitian ini dilakukan secara alamiah, apa adanya dalam situasi normal yang tidak dimanipulasi keadaan dan kondisinya.36 Fokus penelitian ini adalah upaya menemukan konsep
model
pembelajaran pendidikan agama Islam di sebuah lembaga pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan inklusi. Dan lembaga pendidikan yang dijadikan tempat penelitian oleh penulis adalah Madania Progressive Indonesian School.
35
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D (Bandung: Alfabeta,
2008), 8. 36
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktik Rineka Cipta, 2006), 12.
21
(Jakarta:
Pemilihan lokasi ini didasarkan pada alasan bahwa lembaga pendidikan ini telah menerapkan pendidikan inklusi sejak tahun 1998. 2. Sumber Data Penelitian Sumber data penelitian ini terdiri dari sumber primer dan sumber sekunder. Adapun sumber informasi rujukan primer yang dipakai adalah sumber informasi yang diperoleh dari komunitas sekolah Madania yang ditetapkan sebagai representasi penelitian. Untuk menentukan key informan yang akan menjadi responden dalam penelitian ini maka digunakan teknik purpossive sampling yang dipilih dengan pertimbangan dan tujuan tertentu. 37 Key informan dalam hal ini adalah koordinator SEN Unit, guru-guru SEN Unit dan guru-guru pendidikan agama Islam yang bertanggungjawab dalam penerapan pendidikan inklusi di Madania. Adapun sumber sekunder yang akan digunakan adalah tulisan yang terkait dengan pendidikan inklusi seperti: Sue Stubbs dalam Inclusive Education Where There Are Few Resources, (Oslo: The Atlas Alliance, 2002). Berit H. Johnsen, dan Miriam D Skjorten dalam Education-Special Needs Education,, (Oslo University: Unifub Forlag, 2001. Bandi Delphie dalam Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus dalam Setting Pendidikan Inklusi, (Klaten: PT Insan Sejati Klaten, 2009), serta dokumen buku-buku panduan Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa. Penelitian ini juga mengacu pada data-data ilmiah yang berkaitan dengan permasalahan penelitian. Sumber data tersebut diperoleh dari berbagai referensi yang telah ditelaah oleh peneliti, sehingga diharapkan dapat memberikan informasi yang lebih akurat dan valid. Selain itu, peneliti juga menggunakan internet search terutama terhadap bahan-bahan yang sulit didapatkan. Teknik pengumpulan data pada penelitian ini adalah observasi, wawancara, dokumentasi dan gabungan triangulasi. Observasi digunakan untuk memahami secara holistik atau menyeluruh terhadap konteks situasi sosial pendidikan yang ada di Madania. Wawancara digunakan untuk memperoleh data 37
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D, 216.
22
secara langsung dari sumber informasi dengan mengajukan beberapa pertanyaan yang berhubungan dengan data yang diperlukan dalam penelitian. Pertanyaan yang digunakan berupa pertanyaan terbuka yang memungkinkan peneliti menemukan data-data yang tidak terduga. Sementara teknik dokumentasi diperlukan untuk melengkapi data yang diperoleh dari observasi dan wawancara. Sedangkan Triangulasi digunakan untuk memperkuat data yang diperoleh dengan menguji kredibilitas data melalui berbagai teknik pengumpulan data dan berbagai sumber data. 3. Pendekatan Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan filosofis pendidikan, yaitu suatu metode penelitian untuk meneliti dan menyelidiki bagaimana ide-ide dan konsep-konsep dalam filsafat pendidikan yang memungkinkan para peneliti untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang doktrin atau memahami pandangan filsafat pendidikan secara lebih akurat melalui pemikiran secara argumentatif atau kritis. 38 Pendekatan ini digunakan untuk melacak dan mengungkap konstruk konsep pendidikan inklusi untuk kemudian dianalisis secara mendalam hingga diperoleh model pendidikan agama Islam di sekolah inklusi, baik konsep maupun penerapannya dalam sistem pendidikan. Pendekatan filosofis pendidikan akan membantu peneliti dalam memahami subyek penelitian secara terstruktur dan terarah. Seluruh proses penelitian baik dalam tahap analisis dan validasi serta penyimpulan penelitian tidak lepas dari konteks pendidikan dan landasan filosofisnya yang mempengaruhi seluruh proses pendidikan yang berlangsung di lokasi penelitian. 4.
Langkah-langkah Penelitian Langkah-langkah yang ditempuh dalam penelitian ini adalah: 38
Peter Connely, Aneka Pendekatan Studi Agama ( Yogyakarta: LKiS, 1999), 149-
150.
23
a. Mengumpulkan data-data yang relevan dengan menggunakan teknik analisis dokumen, wawancara dan observasi. b. Mengolah data dengan sistem pengolahan metode kualitatif. c. Melakukan interpretasi terhadap data-data yang sudah terkumpul sesuai dengan kebutuhan penelitian. d. Menyusun sistematika penyajian data untuk dideskripsikan sebagai laporan hasil penelitian. 5. Teknik Penulisan Adapun dalam teknik penulisan dan transliterasi, penulis mengacu kepada buku “Pedoman Penelitian Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi)” karya Hamid Basuhi et. al., terbitan ceQDA Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Cetakan II Tahun 2007. G. Sistematika Penulisan Penulisan tesis ini terdiri atas lima bab (bagian). Bab 1 sebagai pendahuluan terdiri atas latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah yang akan diteliti, perbandingan dengan karya terdahulu yang relevan, tujuan penulisan, metode penelitian dan pendekatan yang akan digunakan, sumber primer dan sekunder serta sistematika penelitian. Pada bab dua sebagai landasan teoritis akan dibahas seputar pendidikan inklusi dan pendidikan agama Islam. Hal ini dilakukan untuk mengungkap maksud dari pendidikan inklusi, mulai dari awal kehadirannya yang merupakan kelanjutan dari model pendidikan mainstreaming dan integrasi sampai dengan pembahasan mengenai perdebatan antara inklusi dengan segregasi. Disamping itu diungkap pula persamaan nilai yang terdapat dalam pendidikan Islam dan Pendidikan Inklusi. Pada bab tiga akan dibahas tentang disain pengelolaan, manajemen, kurikulum, kompetensi pendidik dan fundrising sekolah inklusi. Kepentingan hal tersebut diulas lebih detil untuk mengetahui elemen-elemen penting yang sangat menentukan dan faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan pengelolaan pendidikan inklusi.
24
Selanjutnya pada bab empat akan dibahas mengenai model pembelajaran pendidikian agama Islam di sekolah inklusi. Model pembelajaran tersebut meliputi strategi pembelajaran, penerapan nilai-nilai agama sebagai budaya sekolah, penciptaan lingkungan religius di sekolah yang melibatkan pihak orang tua dan masyarakat, pemenuhan fasilitas ibadah dan sarana pembelajaran serta evaluasi dan penilaian pendidikan agama. Hal ini dilakukan demi terciptanya sebuah lembaga pendidikan inklusi yang dilandasi nilai-nilai agama sehingga tercipta suasana religius di sekolah inklusi. Bab lima sebagai penutup berupa kesimpulan dari penelitian yang telah diuraikan pada bab-bab terdahulu serta implikasi atau saran-saran yang mengharapkan akan kesinambungan oleh para peneliti, para pemerhati pendidikan untuk senantiasa mengkaji dan meneliti lebih
lanjut pendidikan
inklusi guna memperkaya khazanah intelektual pendidikan Islam Indonesia.
25
BAB II PENDIDIKAN INKLUSI DAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
Implementasi pendidikan inklusi mulai banyak dipertimbangkan sebagai alternatif pendidikan berkeadilan bagi setiap kelompok masyarakat. Pemerintah pun merasa berkewajiban menyediakan layanan inklusi ini untuk dapat diakses lebih banyak oleh sebagian masyarakatnya yang berkebutuhan khusus. Namun belum banyak orang yang memahami asal usul dan landasan filosofis yang mendasarinya. Terlebih lagi jika pendidikan inklusi ini dikaitkan dengan pentingnya pendidikan agama Islam bagi anak berkebutuhan khusus. Untuk itu, bab ini akan menunjukkan tentang pengertian pendidikan inklusi dan landasan filosofisnya, serta sekilas perdebatan teori mengenai implementasi segregasi dan inklusi. Selain itu perlu ditunjukan juga tentang titik temu gagasan pendidikan inklusi dengan ajaran Islam yang sangat menekankan pendidikan bagi setiap penganutnya tanpa membedakan kelas, jenis dan kenormalannya. A. Pendidikan Inklusi dan Kebutuhan Khusus Pendidikan Inklusi merupakan istilah baru dalam dunia pendidikan di Indonesia, terutama pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus. Istilah pendidikan inklusi akhir-akhir ini menjadi perhatian pemerintah Indonesia seiring dengan perhatian negara-negara maju dan berkembang lainnya terhadap pemenuhan pendidikan masyarakat marginal. Bahkan untuk memperkaya hasanah, dewasa ini pendidikan inklusi mulai banyak dibahas di dunia akademik perguruan tinggi dan para aktivis pendidikan. Munculnya sebuah istilah yang digunakan oleh masyarakat seringkali tidak difahami secara tunggal akan tetapi terkadang ia memiliki sejumlah pengertian dan pemahaman yang beragam sesuai dengan jumlah pengguna istilah. Apalagi pendidikan inklusi merupakan istilah yang digunakan dalam ranah filosofis yang selalu mengalami perkembangan, baik perkembangan yang sejalan dengan hasil renungan orang terhadap praktek pendidikan inklusi
26
maupun dengan hasil pengalaman pendidikan inklusi dalam berbagai konteks budaya dan tradisi. Landasan filosofis pendidikan inklusi didasarkan pada hak semua individu (normal maupun berkelainan) untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas dengan kesempatan yang sama untuk mengembangkan potensi mereka dan menghormati martabat kemanusiaan mereka. Konsep pendidikan inklusi sangat banyak diilhami oleh gerakan Pendidikan untuk Semua (Education for All) dan peningkatan mutu sekolah yang lantang disuarakan oleh negara-negara anggota Perserikatan BangsaBangsa. 1Gerakan ini berawal dari keprihatinan dunia terhadap minimnya sebagian kelompok masyarakat yang terpinggirkan untuk memperoleh akses pendidikan. Semangatnya adalah pemenuhan layanan pendidikan untuk semua warga dunia tanpa membedakan warna, jenis, sifat dan lainnya dari setiap siswa karena pendidikan merupakan hak bagi semua tanpa ada diskriminasi. Pendidikan inklusi dapat diartikan sebagai suatu
bentuk penyedia
instruksional dan dukungan yang didesain khusus untuk siswa dengan kebutuhan khusus dalam konteks tata cara pendidikan umum.2 Menurut Normal Kunc, pendidikan inklusi adalah bagian dari nilai-nilai kehidupan. Prinsip dasar inklusi adalah menghargai perbedaan dalam masyarakat manusia. Melalui inklusi kita mencari dan memelihara anugerah yang ada pada setiap orang. Dengan cara ini bisa diyakini bahwa siswa di sekolah inklusi akan terbebaskan dari tirani dengan mendapatkan hak mereka.3
1
Gerakan Pendidikan untuk Semua (Education for All) berawal dari sebuah deklarasi yang bernama Deklarasi Pendidikan untuk Semua (World Declaration on Education for All) yang dibuat dalam sebuah pertemuan yang membahas masalah pendidikan dunia di kota Jomtien, Thailand tahun 1990. Pertemuan ini memvisikan sebuah kondisi pembelajaran di mana setiap orang akan memiliki akses dan kesempatan untuk memperoleh pendidikan dalam berbagai bentuk, serta memungkinkan terbukanya peran penuh masyarakat dalam pendidikan. 2
C.Moore, Educating Students with Disabilities in General Education Classrooms: a Summary of Research (Alaska, USA: Department of Education, Teaching and Learning Support, 1998), 25. 3
Normal Kunc, “The Need to Belong: Rediscovering Maslow’s Hierarchy of Needs”, dalam R. Villa, J. Thousand, W. Stainback, dan S. Stainback, Education: An Administrative Guide to Creating Heterogeneous School (Baltimore MD: Brooks, 1992), 38-39.
27
J. David Smith mengartikan pendidikan inklusi sebagai penyatuan anakanak berkelainan (penyandang hambatan / cacat) ke dalam program-program sekolah.
4
Senada dengan pengertian ini, Departemen Pendidikan Nasional
memahami pendidikan Inklusi dengan mendidik anak berkelainan bersamasama anak lainnya (normal) untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya 5. Martin Omagor-Loican berpendapat bahwa inklusi adalah penyesuaian dan pengubahan praktis di rumah-rumah, sekolah-sekolah dan masyarakat luas. Inklusi juga berarti membuat perubahan-perubahan yang diperlukan, memenuhi kebutuhan-kebutuhan semua anak, tanpa memandang perbedaan mereka dan memastikan mereka memiliki kesempatan untuk berpartisipasi dan berkontribusi secara penuh serta setara pada apa yang terjadi dalam komunitas mereka.
6
Sedangkan definisi yang paling mencakup dan sesuai dengan perkembangan pelaksanaan pendidikan Inklusi di berbagai negara adalah sebagaimana dinyatakan dalam satu paragraf dalam Pasal 2 Pernyataan Salamanca. Pernyataan Salamanca menyebutkan bahwa sekolah reguler dengan orientasi inklusi merupakan cara yang paling efektif untuk memerangi sikap diskriminatif, menciptakan masyarakat yang terbuka, membangun suatu masyarakat inklusif dan mencapai pendidikan untuk semua. Selain itu, sekolah inklusi juga memberikan pendidikan yang efektif kepada mayoritas anak dan meningkatkan efisiensi sehingga menekan biaya untuk keseluruhan sistem pendidikan.7 4
J. David Smith, Inclusion, School for All Student, diterjemahkan Denis & Ny. Enrica (Bandung: Nuansa, 2006), 45. 5
Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa, Mengenal Pendidikan Inklusif, (Jakarta: Ditplb, 2006), 1. Lihat juga Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No.70 tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusi Bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa, Pasal 1 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan pendidikan inklusi adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya. Selanjutnya pada pasal 2 disebutkan bahwa pendidikan inklusi ini salah satu tujuannya adalah untuk mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang menghargai keanekaragaman, dan tidak diskriminatif bagi semua peserta didik. 6
Martin Omagor-Loican, Towards Inclusive Education. www.eenet.org.uk/.../docs /Towards_ Inclusive_ Education_Uganda.doc (diakses 16 Mei 2010). 7
UNESCO, The Salamanca Statement and Frame Work for Action on Special Needs Education, 1994. http://unesdoc.unesco.org/images/0009/000984/098427Eo.pdf (diakses 28 Januari 2010).
28
Definisi yang relatif bisa diterima oleh semua pihak adalah definisi yang dirumuskan dalam Seminar Agra 8 yang disetujui oleh 55 peserta dari 23 negara pada tahun 1998. Definisi ini kemudian diadopsi dalam South African White Paper on Inclusive Education. Adapun pengertian yang relatif diterima oleh semua peserta seminar bahwa pendidikan inklusi adalah lebih luas dari pada pendidikan formal. Pendidikan inklusi mencakup pendidikan di rumah, masyarakat, sistem nonformal dan informal. Pendidikan inklusi juga mengakui bahwa semua anak dapat belajar, memungkinkan struktur, sistem dan metodologi pendidikan memenuhi kebutuhan semua anak. Selain itu, mengakui dan menghargai berbagai perbedaan pada diri anak: usia, jender, etnik, bahasa, kecacatan, status HIV/AIDS dll. Pendidikan inklusi juga merupakan proses yang dinamis yang senantiasa berkembang sesuai dengan budaya dan konteksnya, juga merupakan bagian dari strategi yang lebih luas untuk mempromosikan masyarakat yang inklusif.9 Dari berbagai definisi yang diungkapkan oleh beberapa tokoh pendidikan apabila disederhanakan maka
pendidikan inklusi adalah pendidikan tanpa
diskriminasi terhadap anak didik. Oleh karenanya semua anak berhak mendapat pendidikan di lingkungan yang sama supaya segala potensi yang dimilikinya bisa berkembang. Namun dalam implementasinya, jumlah masyarakat yang memerlukan layanan khusus di bidang pendidikan di setiap negara masih relatif banyak dibandingkan dengan jumlah layanan pendidikannya. Dari catatan data diperkirakan bahwa jumlah orang cacat di dunia antara 500 dan 600 juta orang. Dari jumlah tersebut, 120-150 juta adalah anak-anak , 80-90 persen hidup di 8
Seminar Agra menghimpun lebih dari 40 praktisi pendidikan inklusi yang bekerja di berbagai negara yang secara ekonomi lebih miskin. Mereka dapat belajar jauh lebih banyak dari sesama negara Selatan dibanding dari para ahli dan praktisi dari Utara yang memiliki tingkat ketersediaan yang berbeda dan sistem yang berbeda pula. Dalam banyak hal, pengalaman mereka tidak hanya relevan dengan sesama negara miskin, tetapi juga dapat memberikan pelajaran yang berharga bagi perkembangan pendidikan inklusi di Utara. Lihat Jonathan Rix, Katy Simmons, Melanie Nind, dalam Policy and Power in Inclusive Education : Values into Practice (London: Routledge, 2005), 2. 9
Sue Stubbs, Inclusive Education Where There Are Few Resources (Oslo: The Atlas Alliance, 2002), 38-39.
29
negara-negara berkembang dan 15-20 persen memiliki kebutuhan khusus di beberapa titik dalam kehidupan mereka. 10 Menurut laporan William Kennedy Smith dari Lembaga Rehabilitasi di Chicago Amerika Serikat, di seluruh dunia ada sekitar 600 juta penduduk menderita cacat dan diantaranya sekitar 80 persen ada di Asia. Dengan demikian di Asia ada sekitar 480 juta penduduknya menderita kecacatan. Di negara-negara Asia, nasib penyandang cacat kurang beruntung.11 Perhatian masyarakat dan pemerintah terhadap penyandang cacat sangat rendah. 12 Bertambahnya angka jumlah anak berkebutuhan khusus di dunia bukan saja diakibatkan karena semakin luasnya jangkauan survey sampai daerah atau lokasi sulit dan terpencil dalam proses pendataannya akan tetapi penambahan itu karena
semakin luasnya pengertian istilah
anak berkebutuhan khusus.
Untuk itu perlu dijelaskan terlebih dahulu apa arti anak berkebutuhan khusus tersebut.13 10
Richard Rieser, Implementing Inclusive Education: A Commonwealth Guide to Implementing (London: Commonwealth Secretariat, 2008), 9. 11
Di India misalnya, sekitar 74 persen penduduk yang menderita cacat tidak bekerja. Di Filipina, tetangga kita dengan tingkat pendidikan penduduk yang cukup tinggi, sekitar 20 persen anak-anak cacat tidak pernah bersekolah. Di Kambodia, penduduk dengan kecacatan umumnya harus hidup sengsara sebagai peminta-minta. Lihat Hayono Suyono, Mewujudkan Masyarakat Beradab Bersama Aksi Penyandang cacat, 2005. http://www.dradio1034 fm.or.id/detail. php?id=281 (diakses 16 mei 2010). 12
Perhatian yang rendah itu sangat beralasan. Banyak negara tidak mempunyai data yang akurat tentang jumlah penduduknya yang cacat. Umumnya negara-negara tersebut, kecuali Jepang dan RRC, tidak aktif melakukan usaha untuk mengumpulkan data yang akurat. Negaranegara tersebut bergantung pada angka perkiraan yang dibuat WHO, yaitu dengan jumlah penyandang cacat sekitar 10 persen dari seluruh penduduk negaranya. Perkiraan itu dianggap akan bertambah tinggi kalau penduduk negara tersebut dianggap kekurangan gizi, menderita karena musibah tanah longsor, ada kejadian gunung berapi yang meletus, atau ada kejadian musibah lainnya. Tanpa data yang akurat sukar sekali diharapkan pemerintah negara yang bersangkutan bisa merencanakan program untuk menangani masalah kecacatan dan penderitaannya. Lihat Hayono Suyono, Mewujudkan Masyarakat Beradab Bersama Aksi Penyandang cacat, 2005. http://www.dradio1034 fm.or.id. 13
Banyak Faktor yang dapat menyebabkan seseorang menjadi berkebutuhan khusus, misalnya saja: Pertama, faktor pranatal (sebelum lahir) berkaitan dengan apa yang dilakukan, dikonsumsi atau kondisi-kondisi yang terjadi dengan si Ibu ketika mengandung misalnya: gizi dan makanan yang dikonsumsi ibu hamil, NAZA, rokok, pemakaian alkohol, kokain, amfetamin dan obat lainnya pada ibu hamil, infeksi karena virus TORCH (toxoplasma, rubella, cytomegalo, dan herpess), infeksi karena meningitis atau ensefalitis, kelainan kromosom, keracunan metilmerkuri, keracunan timah hitam. Kedua, faktor natal seperti: trauma kepala karena penggunaan alat sewaktu kelahiran, perdarahan intrakranial sebelum atau sesudah lahir, cedera
30
Anak berkebutuhan khusus menurut Suran dan Rizo adalah anak yang secara signifikan berbeda dalam beberapa dimensi yang penting dari fungsi kemanusiaannya. Mereka adalah anak-anak yang secara fisik, psikologis, kognitif, atau sosial terhambat dalam mencapai tujuan-tujuan atau kebutuhan dan potensinya secara maksimal, meliputi mereka yang tuli, buta, mempunyai gangguan bicara, cacat tubuh, retardasi mental, dan gangguan emosional. Selain itu, termasuk anak berkebutuhan khusus juga yaitu anak-anak yang berbakat dengan inteligensi yang tinggi, karena mereka memerlukan penanganan yang terlatih dari tenaga profesional. 14 Hallahan dan Kauffman mendefinisikan siswa berkebutuhan khusus adalah mereka yang memerlukan pendidikan khusus dan pelayanan terkait, jika mereka menyadari potensi penuh kemanusiaan mereka. Pendidikan khusus diperlukan karena mereka mungkin memiliki salah satu atau lebih hal berikut yaitu: keterbelakangan mental, ketidakmampuan belajar atau gangguan atensi, gangguan emosi atau perilaku, hambatan fisik, hambatan berkomunikasi, autisme, traumatic brain injury, hambatan pendengaran, hambatan penglihatan, atau anak-anak yang berbakat. 15 Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa anak yang tergolong luar biasa atau berkebutuhan khusus adalah anak yang menyimpang dari rata-rata anak normal dalam hal: ciri-ciri mental, kemampuan-kemampuan sensorik, fisik dan neuromuskular, perilaku sosial dan emosional, kemampuan berkomunikasi, maupun kombinasi dua atau lebih dari hal-hal di atas; sejauh ia kepala yang berat, prematuritas. Ketiga, faktor postnatal seperti kecelakaan, gangguan gizi yang berat dan yang berlangsung lama sebelum umur 4 tahun sangat mempengaruhi perkembangan otak dan dapat mengakibatkan retardasi mental, keadaan dapat diperbaiki dengan memperbaiki gizi sebelum umur enam tahun, sesudah itu biarpun anak itu dibanjiri dengan makanan bergizi, intelegensi yang rendah itu sudah sukar ditingkatkan, gangguan penyakit seperti kwashiorkor, marasmus, malnutrisi, gangguan akibat kekurangan yodium (GAKY). Keempat, faktor lingkungan seperti kemiskinan, status ekonomi rendah, pengaruh negatif di dalam rumah seperti pengabaian anak dan kurangnya perangsangan sosial dan bahasa mungkin turut berperan dalam berkembangnya kasus yang ringan. Lihat Agustyawati dan Solicha, Psikologi Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus (Jakarta: Lembaga Penelitian UI Jakarta, 2009), 4-6. 14
B.G. Suran & J.V. Rizzo, “Special Children: an Integrative Approach”, Journal of Education 161-162 (Boston University, 1979), 95. 15
D.P. Hallahan & J.M .Kauffman, Exceptional Children: Introduction to Special Education (New Jersey: Prentice-Hall, Englewood Clipps, 2005), 8.
31
memerlukan modifikasi dari tugas-tugas sekolah, metode belajar atau pelayanan terkait lainnya, yang ditujukan untuk mengembangkan potensi atau kapasitasnya secara maksimal.16 Anak dengan kebutuhan khusus mempunyai karakteristik yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Karakteristik anak berkebutuhan khusus menurut Hallahan dan Kauffman
adalah: tunagrahita (mental retardation),
kesulitan belajar (learning disabilities), hyperactive (attention deficit disorder with hyperactive), tunalaras (emotional or behavior disorder), tunarungu wicara (communication disorder and deafness), tunanetra (partially seing and legally blind), anak autistik (autistic children), tunadaksa (physical disability), tunaganda (multiple handicapped), anak berbakat (giftedness and special talents).17 Sedangkan karakteristik anak berkebutuhan khusus menurut UU RI nomor 20 tahun 2003 adalah anak yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan atau sosial sehingga berhak memperoleh pendidikan khusus. Selain itu, anak di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil sehingga berhak memperoleh pendidikan layanan khusus. Dan anak yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa sehingga berhak memperoleh pendidikan khusus. 18 Menurut Bandi Delfi,
anak berkebutuhan khusus
yang terlayani di
Indonesia antara lain adalah anak yang mengalami hendaya (impairment) penglihatan (tunanetra), anak dengan hendaya mendengar dan berbicara (tunarungu
wicara),
anak
dengan hendaya
perkembangan kemampuan
fungsional (tunagrahita), anak dengan hendaya kondisi fisik motorik atau
16
Frieda Mangunsong, Psikologi dan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus (Depok: LPSP3 UI, 2009), 4. 17
D.P. Hallahan & J.M .Kauffman, Education, 28-45. 18
Exceptional Children: Introduction to Special
UU RI No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab IV Pasal 1, 2, 3, 4.
32
tunadaksa, anak dengan hendaya perilaku ketidakmampuan menyesuaikan diri (maladjustment), dan anak berkesulitan belajar khusus.19 Berdasarkan realitas masyarakat berkebutuhan khusus dengan variasi karakteristiknya tersebut, sangat pendidikan dan pembelajaran
diperlukan adanya upaya
inovasi sistem
yang dapat melayani mereka dengan tanpa
mengurangi sisi kualitas prosesnya. Untuk mewujudkan pendidikan kebutuhan khusus yang berkualitas maka para pendidik yang terlibat di dalamnya harus melakukan
pengajaran kreatif yang berfokus pada anak dan yang tanggap
terhadap gaya belajar setiap individu, pendekatan holistik kepada anak, yang berfokus pada semua bidang kemampuannya, hubungan erat antara keluarga dan sekolah, dan keterlibatan orang tua yang sangat aktif,
pengembangan
teknologi dan peralatan khusus untuk memfasilitasi akses ke pendidikan dan membantu mengatasi hambatan belajar. 19
Anak yang mengalami hambatan penglihatan (tunanetra), khususnya buta total, tidak dapat menggunakan indra penglihatannya untuk mengikuti segala kegiatan belajar maupun kehidupan sehari-hari. Kegiatan belajar umumnya dilakukan dengan rabaan atau taktil karena kemampuan indra raba sangat menonjol untuk menggantikan indra penglihatan. Anak dengan hendaya mendengar dan berbicara (tunarungu wicara) pada umumnya mempunyai hambatan pendengaran dan kesulitan melakukan komunikasi secara lisan dengan orang lain. Anak dengan hendaya perkembangan kemampuan fungsional (tunagrahita) memiliki problematik belajar yang disebabkan adanya hambatan perkembangan inteligensi, mental, emosi, sosial dan fisik. Secara umum, mereka mempunyai tingkat kemampuan intelektual di bawah rerata, dan secara bersamaan mengalami hambatan terhadap perilaku adaptif selama masa perkembangan dari 0 tahun hingga 18 tahun. Anak dengan hendaya kondisi fisik motorik atau tunadaksa ditandai adanya kelainan pada tulang, persendian, dan saraf pengerak otot-otot tubuhnya sehingga digolongkan sebagai anak yang membutuhkan layanan khusus pada gerak anggota tubuhnya. Kelainan pada peserta didik tunadaksa dikelompokkan menjadi dua bagian besar, yaitu kelainan pada sistem serebral (cerebral system) dan kelainan pada sistem otot dan rangka (musculoskeletal system). Anak dengan hendaya perilaku ketidakmampuan menyesuaikan diri (maladjustment) sering disebut dengan anak tunalaras. Karakteristik yang menonjol, antara lain sering membuat keonaran secara berlebihan, bertendensi ke arah perilaku kriminal, agresif, sering menghindarkan diri, perilaku anti sosial, mudah marah, kurang konsentrasi, suka menjawab seenaknya, tidak mampu mengendalikan diri, banyak berbicara yang tidak perlu, dan mempunyai problematik belajar. Anak berkesulitan belajar khusus merupakan anak yang mempunyai kesulitan belajar dalam satu atau lebih dari proses psikologis dasar secara spesifik meliputi pemahaman atau penggunaan bahasa secara tulisan atau lisan, kemampuan mendengar, berpikir, berbicara, membaca, menulis, pengucapan kata, atau penghitungan yang berkaitan dengan matematika. Lihat Bandi Delphie, Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus dalam Setting Pendidikan Inklusi (Klaten: PT Insan Sejati Klaten, 2009), 2-3.
33
Faktor-faktor
penentu
utama
keberhasilan
dan
keberlangsungan
pendidikan inklusi adalah: adanya kerangka yang kuat, implementasi berdasarkan budaya dan konteks lokal, serta partisipasi yang berkesinambungan dan refleksi diri yang kritis.20 Sedangkan faktor-faktor yang dapat menjadi penghambat inklusi adalah terlalu banyak penekanan pada pencapaian akademik dan ujian dan kurang memberi penekanan pada perkembangan anak secara menyeluruh. Ini biasanya terjadi di dalam budaya-budaya tertentu dan juga di kalangan masyarakat kelas menengah di daerah perkotaan. Faktor lainnya yang menjadi penghambat inklusi adalah sistem pendidikan khusus segregasi yang telah ada sebelumnya. Hambatan terbesar biasanya muncul dari guru-guru reguler yang menganggap bahwa mengajar anak-anak berkebutuhan khusus bukanlah pekerjaan mereka.21 Adapun tujuan utama dari pendidikan inklusi adalah untuk menyediakan pengalaman mendapatkan pendidikan secara normal untuk semua siswa.22 Tujuan utama dari pendidikan inklusi ini bukan sekedar untuk melayani secara dekat pendidikan untuk semua siswa, yaitu dengan memberi fasilitas dan membantu proses belajar mengajar serta proses penyesuaian diri seluruh siswa tetapi juga untuk lebih meringankan secara finansial. Pendidikan inklusi menguntungkan semua siswa, dimana mereka mempunyai kesempatan untuk saling belajar untuk mempunyai empati dan simpati (sensitive), membentuk perilaku yang positif, meningkatkan kemampuan akademik dan keterampilan sosial, serta melatih untuk siap hidup bermasyarakat. Pembentukan perilaku 20
Kerangka yang kuat adalah kerangka nilai-nilai, keyakinan, prinsip-prinsip dan indikator keberhasilan. Pendidikan inklusi tidak akan berhasil apabila pihak-pihak yang terlibat mempunyai konflik nilai-nilai yang tidak terselesaikan. Dalam mencari solusi atas suatu permasalahan, maka solusi harus dikembangkan secara lokal dengan memanfaatkan sumbersumber daya lokal. Solusi yang diekspor dari suatu budaya/konteks lain tidak akan bertahan lama. Disamping itu, pendidikan inklusi merupakan proses yang dinamis, oleh karena itu diperlukan adanya monitoring partisipatori yang berkesinambungan, yang melibatkan semua stakeholder dalam refleksi diri yang kritis. Lihat Sue Stubbs, Inclusive Education Where There Are Few Resources, 53. 21
Sue Stubbs, Inclusive Education Where There Are Few Resources, 62.
22
K.A.Waldron, Introduction to a Special Education: the Inclusive Classroom ( USA: Delmar Publisher, 1996), 65.
34
positif pada siswa berkebutuhan khusus terjadi dengan adanya bimbingan dan arahan dari guru-guru yang terlibat dalam kelas ini. Sebagai wadah yang ideal, pendidikan inklusi memiliki makna
yaitu:
karakteristik
pendidikan inklusi adalah proses yang berjalan terus dalam
usahanya menemukan cara-cara merespon keragaman individu anak, pendidikan inklusi berarti memperoleh cara-cara untuk mengatasi hambatan-hambatan anak dalam belajar, pendidikan inklusi membawa makna bahwa anak mendapat kesempatan utuk hadir (di sekolah), berpartisipasi dan mendapatkan hasil belajar yang bermakna dalam hidupnya, dan pendidikan inklusi diperuntukkan bagi anak-anak yang tergolong marginal, esklusif
dan membutuhkan layanan
pendidikan khusus dalam belajar. 23 Karakteristik lainnya menurut Waldron adalah adanya kerjasama antara sekolah, orang tua dan orang-orang yang terkait dalam menyediakan program pendidikan yang terbaik bagi tiap-tiap anak, dimana mereka mempunyai kebutuhan yang berbeda dan unik.24 Disamping itu, karakteristik lainnya adalah guru dan stafnya perlu mendapat pelatihan, informasi dan simulasi yang mendetail dalam
membantunya melaksanakan program inklusi di kelasnya.
Demikian juga para siswa di kelas inklusi juga perlu mendapatkan informasi tentang kelebihan dan keterbatasan (strengths and weaknesses) pada manusia. Tujuan dari pemberian informasi ini perlu sebagai dasar dalam melaksanakan program pelatihan teman sebaya, memperkenalkan model klub perkawanan, meningkatkan pengetahuan tentang kecacatan, dan memperbaiki kehidupan bagi anak yang kurang mendapat kesempatan ikut serta dalam kehidupan sosial di masyarakat. Pembahasan tentang pendidikan inklusi dan kebutuhan khusus telah membuktikan bahwa pendidikan inklusi sebagai sebuah layanan pendidikan untuk siswa berkebutuhan khusus dapat mengoptimalkan potensi mereka sehingga tujuan pendidikan untuk menjadikan mereka sebagai individu yang mandiri bisa tercapai. 23
Departemen Pendidikan Nasional, Prosedur Operasi Standar Pendidikan Inklusif (Jakarta: Diknas, 2007), 4. 24
K.A. Waldron, Introduction to a Special Education: the Inclusive Classroom, 70.
35
B. Dari Segregasi Menuju Inklusi Sebagaimana penjelasan pada sub bab sebelumnya bahwa pendidikan inklusi bagi anak berkebutuhan khusus merupakan tawaran alternatif atau kelanjutan dari sistem pendidikan segregasi. Awalnya layanan pendidikan bagi mereka dilaksanakan dalam sistem segregasi namun akhir-akhir ini muncul kecenderungan menggunakan pola pendidikan inklusi bagi siswa berkebutuhan khusus. Sistem pendidikan segregasi adalah sistem pendidikan dimana anak berkelainan terpisah dari sistem pendidikan anak normal. Penyelengggaraan sistem pendidikan segregasi dilaksanakan secara khusus dan terpisah dari penyelenggaraan pendidikan untuk anak normal. 25 Pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus dalam setting segregasi dapat memberikan lingkungan belajar yang aman, nyaman dan memenuhi kebutuhan khusus mereka secara akademik. Bentuk-bentuk sistem pendidikan segregasi adalah : Pertama, Sekolah Luar Biasa. Kedua, Sekolah Dasar Luar Biasa. Ketiga, Kelas Jauh/Kelas Kunjung. Keempat, Sekolah Berasrama. Dan kelima, Hospital School. Penggunaan sistem segregasi didasari oleh pandangan klasik terhadap siswa berkelainan fisik. Dalam pandangan klasik, siswa bekelainan khusus dipersepsikan sebagai manusia penyandang cacat yang memerlukan perhatian khusus untuk memperoleh hak pendidikannya.
Diasumsikan bahwa siswa
berkelainan khusus memiliki kemampuan belajar yang berbeda dengan siswa yang lain sehingga diperlukan penangan khusus dan tersendiri dalam pelayanan pendidikannya. Untuk memberikan layanan maksimal bagi mereka maka dipersiapkan sistem pendidikan terpisah dari siswa normal. Ide-ide dan langkahlangkah yang spesifik dalam proses pendidikannya dikembangkan dalam tradisi sekolah khusus seperti ini. Penggunaan bahasa isyarat dan membaca bibir bagi orang yang tunarungu, dan alfabet ukiran untuk dibaca dengan indera perabaan oleh orang tunanetra merupakan contoh klasik yang berakar pada hasil pemikiran dan pandangan masa lampau. 25
Teguh Eko Saputro, Sistem Pendidikan Anak Luar Biasa. http://teguhekosaputro. Wordpress .com /2007/12/03/9/ (diakses 16 Mei 2010).
36
Dari sudut layanan akses pendidikan bagi masyarakat penyandang cacat, pendidikan segregasi memang mampu melayani mereka secara maksimal dan mendapat perhatian khusus, akan tetapi belum mampu menjangkau semua yang membutuhkan karena jumlah masyarakat penyandang cacat dengan variasinya tidak sebanding dengan jumlah satuan sekolah penyandang cacat yang disediakan. Akibatnya mereka banyak yang terlantar, tidak memperoleh kesempatan belajar, dan bahkan tidak jarang mereka dianggap beban masyarakat. Dalam perkembangannya kemudian, banyak kajian dan penelitian yang mulai meninjau ulang penyelenggaraan sistem pendidikan segregasi ini. Dalam artikelnya,
Lloyd
Dunn
meminta
para
pendidik
khusus
untuk
mempertimbangkan kembali hasil penelitian yang menunjukkan bahwa perkembangan akademis anak-anak yang memiliki hambatan yang ditempatkan di sekolah reguler lebih besar dibandingkan mereka yang ditempatkan di sekolah khusus. Dunn juga menekankan bahwa memberikan label kepada anak-anak untuk ditempatkan di kelas khusus membuat suatu stigma yang sangat destruktif bagi konsep diri mereka. Penempatan mereka di kelas khusus mungkin memberikan pengaruh yang signifikan pada perasaan rendah diri dan problem penerimaan diri.26 Sistem segregasi memang menyediakan layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus yang lebih nyaman dan spesifik akan tetapi model pendidikan ini cenderung memisahkan anak dari lingkungan sosialnya (termasuk dari lingkungan keluarganya), dan kurang memberi kesempatan kepada anak untuk bersosialisasi secara lebih luas. Selain itu, segregasi tidak memberikan kesempatan kepada masyarakat luas untuk mengenal orang berkebutuhan khusus secara benar, dan hal ini cenderung mengekalkan sikap diskriminatif terhadap mereka. Pengajaran yang dilakukan dalam setting segregasi biasanya sering difokuskan pada apa yang tidak dapat dilakukan oleh anak. Hal ini kadangkadang dapat mengakibatkan berkurangnya harga diri anak berkebutuhan khusus dan bahkan dapat menambah masalah. 26
J. David Smith, Inclusion, School for All Student, 42.
37
Khusus di Indonesia, selama ini anak-anak yang memiliki perbedaan kemampuan (difabel) disediakan fasilitas pendidikan khusus disesuaikan dengan derajat dan jenis kelainannya yang disebut dengan Sekolah Luar Biasa (SLB). Secara tidak disadari sistem pendidikan SLB telah membangun tembok eksklusifisme bagi mereka. Tembok eksklusifisme tersebut selama ini tidak disadari telah menghambat
proses saling
mengenal antara anak-anak
berkebutuhan khusus dengan yang lainnya. Akibatnya dalam interaksi sosial di masyarakat, mereka menjadi komunitas yang teralienasi dari dinamika sosial di masyarakat. Seiring dengan berkembangnya tuntutan dari orang-orang yang memiliki perbedaan kemampuan dalam menyuarakan hak-haknya, maka kemudian muncul konsep pendidikan inklusi. Seruan untuk menyatukan anak-anak yang memiliki hambatan ke dalam program-program pendidikan reguler yang dinamakan dengan pendidikan inklusi terus bergulir di beberapa negara.27 Hampir semuanya diilhami oleh sebuah kesadaran akan pemenuhan hak asasi manusia dalam upaya untuk memperoleh pendidikan. Kesadaran itu diawali dari pernyataan yang dikeluarkan oleh Assistant Secretary for Special Education and Rehabilitative Service of the US Departement of Education pada tahun 1986. Sekretaris Madeline Will mengajukan apa yang dia sebut Reguler Education Initiative (REI). REI mengusulkan restrukturissi pendidikan Amerika ke dalam suatu sistem tunggal dalam memberikan layanan bagi semua siswa yaitu dengan menyatukan pendidikan khusus dan reguler. Dengan penyatuan ini akan tercipta tanggung jawab bersama sehingga akan melayani anak-anak tanpa stigma labellabel diagnostik atau kelas-kelas yang terpisah.28 27
Salah satu kesepakatan Internasional yang mendorong terwujudnya sistem pendidikan inklusi adalah Convention on the Rights of Persons with Disabilities and Optional Protocol yang disahkan pada Maret 2007. http://www.un.org/disabilities/default.asp?id=311#list (diakses 16 Mei 2010). 28
Usulan serupa dengan Will tidak hanya muncul di belahan Amerika akan tetapi muncul di beberapa wilayah lain. Wajar jika sejarah mengatakan bahwa perkembangan pendidikan inklusi di dunia pada mulanya diprakarsai dan diawali dari negara-negara Scandinavia (Denmark, Norwegia, Swedia). Di Amerika Serikat sendiri pada tahun1960-an, Presiden Kennedy mengirimkan pakar-pakar pendidikan luar biasa ke Scandinavia untuk mempelajari mainstreaming dan least restrictive environment, yang ternyata cocok untuk diterapkan di Amerika Serikat. Selanjutnya, Inggris mulai memperkenalkan adanya konsep pendidikan inklusi dengan ditandai adanya pergeseran model pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus dari segregatif ke integratif. Lihat J. David Smith, Inclusion, School for All Student, 43-44.
38
Berbagai kontroversi muncul sehubungan dengan usulan Will ini, terutama dari mereka yang berprofesi di bidang pendidikan khusus. Pada tahun 1987 sekelompok pimpinan di bidang ini bertemu untuk menilai implikasi dari usulan tersebut. Pada dasarnya mereka memuji restrukturisasi sekretaris Will, tetapi menurut mereka yang harus diperhatikan adalah bahwa pendidikan khusus bisa diubah secara mendasar hanya bila institusi sekolah umum diubah.29 Kritikan
lain
datang
dari
Kauffman
yang
mengungkapkan
kekhawatirannya dari sisi layanan, dia mengatakan bahwa layanan-layanan pengajaran khusus bagi anak berkebutuhan khusus akan berkurang atau hilang apabila mereka disatukan di kelas reguler, apalagi guru-guru di kelas reguler pada umumnya tidak mendapatkan pelatihan untuk menangani siswa-siswa yang masuk di kelas khusus. Menurutnya, berbagai keinginan untuk menyatukan pendidikan reguler dan
pendidikan khusus ternyata terbukti hanyalah
merupakan satu kepentingan dimensional karena ternyata para pendukungnya hampir dimonopoli oleh para pendidik khusus. 30 Senada dengan pendapat Kauffman, Evelyn Deno mengatakan bahwa seorang anak yang berkelainan harus ditempatkan pada lingkungan yang tidak terbatas menurut potensi dan jenis kelainannya. Hal ini memungkinkan berbagai alternatif penempatan pendidikan bagi anak berkelainan. 31 Fuchs dan Fuchs menganalisis bahwa alasan-alasan kurang berminatnya para pendidik reguler mungkin disebabkan karena mereka memandang pendidikan khusus sebagai sesuatu yang terpisah. Disamping itu, minat mereka selama ini lebih dikonsentrasikan pada keunggulan dibanding keadilan. 32 Berbeda
dengan
pendapat
Kauffman
dan
Deno,
Sapon-Shevin
menyatakan bahwa pendidikan inklusif sebagai sistem layanan pendidikan yang 29
J. David Smith, Inclusion, School for All Student, 43-44.
30
J. M. Kauffman, “The Regular Education Initiative as Reagen – Bush Education Policy: A Trickle – Down Theory of Education of the Hard – to Teach”. Journal of Special Education , 23, 1989, 273. 31
Evelyn Deno, Teaching Exceptional Children and Youth in the Regular Classroom (New York: Syracuse University Press, 1986), 22. 32
Douglas Fuchs & Lynn S. Fuchs. “Inclusive Schools Movement and the Radicalization of Special Education Reform”, Exceptional Children, 60, 1994, 295.
39
mempersyaratkan agar semua anak berkelainan dilayani di sekolah-sekolah terdekat, di kelas reguler bersama-sama teman seusianya.33 Staub dan Peck mengemukakan bahwa pendidikan inklusif adalah penempatan anak berkelainan tingkat ringan, sedang, dan berat secara penuh di kelas reguler. Hal ini menunjukkan bahwa kelas reguler merupakan tempat belajar yang relevan bagi anak berkelainan, apapun jenis kelainannya dan bagaimanapun gradasinya.34 Sedangkan Bandi Delphie menyatakan bahwa konsep inklusi berdasarkan atas gagasan bahwa sekolah regular harus menyediakan lingkungan belajar bagi seluruh peserta didik sesuai dengan kebutuhannya, apapun tingkat kemampuan ataupun kelainannya.35 Tuntutan penyelenggaraan pendidikan inklusi di dunia semakin nyata terutama sejak diadakannya konvensi dunia tentang hak anak pada tahun 1989 dan konferensi dunia tentang pendidikan tahun 1990 di Bangkok yang menghasilkan deklarasi Education for All. Implikasi dari statemen ini mengikat bagi semua anggota konferensi agar semua anak tanpa kecuali (termasuk anak berkebutuhan khusus) mendapatkan layanan pendidikan secara memadai. Sebagai tindak lanjut deklarasi Bangkok, pada tahun 1994 diselenggarakan konvensi pendidikan di Salamanca Spanyol yang mencetuskan perlunya pendidikan inklusi yang selanjutnya dikenal dengan The Salamanca Statement on Inclusive Education. Setelah beberapa negara melakukan uji coba maka diasumsikan bahwa pendidikan inklusi tampaknya dapat mengatasi kekurangan-kekurangan yang ditimbulkan oleh sistem segregasi. Pendidikan inklusi memberikan kesempatan yang sama kepada semua anak – termasuk anak berkebutuhan khusus – untuk belajar bersama-sama dalam lingkungan belajar yang sama, di mana semua anak
33
John O’Neil, “Can Inclusion Work? A Conversation with Jim Kauffman and Mara Sapon Shevin”, Educational Leadership 52, No.4 (1989), 7-11. 34
Debbie Staub and Charles A. Peck, “What are the Outcomes for Nondisabled Students?”, Educational Leadership, Volume 52, No.4, Desember-Januari 1994-1995, 36-40. 35
Bandi Delphie, Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus, 15.
40
memiliki akses yang sama ke sumber-sumber belajar yang tersedia, dan kebutuhan khusus setiap anak diperhatikan dan dipenuhi. Terdapat banyak contoh tentang praktek pendidikan inklusi yang baik dari berbagai budaya dan konteks. Walaupun pendidikan inklusi bukan merupakan cetak biru yang dapat dialihkan dari satu budaya ke budaya lainnya, tetapi terdapat banyak pelajaran yang dapat diambil terutama jika hambatan yang dihadapi dan sumber-sumber yang tersedia sangat mirip. Sebagai contoh lebih dari 40 praktisi pendidikan inklusi yang bekerja di berbagai negara Selatan yang status ekonominya rendah, mereka dapat belajar jauh lebih banyak dari sesama negara Selatan dibanding dari para ahli dan praktisi dari Utara yang memiliki tingkat ketersediaan yang berbeda dan sistem yang berbeda pula. 36 Bersamaan dengan pengalaman berbagai negara selatan, di China juga mengalami perkembangan yang sama. Di sana terjadi perubahan besar dengan merumuskan kembali pendidikan khusus sebagai bagian integral dari pendidikan dasar dengan menjadikan status pendidikan lebih inklusif . Intervensi pemerintah melalui legislasi dan regulasi merupakan pendekatan efektif dipakai untuk menyempurnakan pelayanan pendidikan. 37 Hasilnya tampak pada implementasi integrasi kelas dan bertambahnnya anak masuk sekolah. Pengalaman China mungkin bermanfaat untuk negeri berkembang yang sedang mencari alternatif mempersiapkan pelayanan pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus. Berbeda halnya dengan negara-negara Islam, konsep inklusi sebagai sebuah ideologi profesional relatif baru di kawasan Timur Tengah, yang didominasi oleh nilai-nilai dan keyakinan budaya tradisional. Anak-anak dan remaja penyandang cacat tradisional dididik di sekolah -sekolah khusus yang diisolasi. Penyandang cacat traditional meliputi
siswa dengan cacat fisik,
36
Jonathan Rix, Katy Simmons, and Melanie Nind, Policy and Power in Inclusive Education : Values into Practice (London: Routledge, 2005), 2. 37
Sebagai contoh yaitu pemerintah kota meminta pemerintah lokal untuk mengalokasikan anggaran untuk mengembangkan kebijakan mereka sendiri dalam meningkatkan kualitas pendidikan anak cacat. Lihat Peng Xianguang & Meng Deng, “Pendidikan Inklusif di Cina”, EENET ASIA Newsletters, Edisi 3, 2002.
41
kognitif, emosional, atau cacat indera. Dengan demikian pendidikan untuk mereka tidak terintegrasi dengan sekolah reguler. 38 Di Qatar, Bahrain dan Quwait misalnya, inklusi kini telah diterima sebagai salah satu unsur dalam perencanaan modern untuk penanganan orang cacat. Para praktisi pendidikan tidak menolak konsep inklusi yang dapat memajukan kesejahteraan para penyandang cacat. Namun pada saat yang sama, banyak kendala yang menghambat kemajuan perencanaan ini yang diantaranya karena faktor produk tradisional masyarakat. Pelayanan medis dan sosial untuk orang cacat diutamakan, sedangkan integrasi pendidikan dan sosial untuk para penyandang cacat itu terbatas atau tidak ada.39 Di Indonesia, sejak awal tahun 2000 pemerintah mengembangkan program pendidikan inklusi. Program ini merupakan kelanjutan program pendidikan terpadu yang sesungguhnya pernah diluncurkan di Indonesia pada tahun 1980-an, tetapi kemudian kurang berkembang, dan baru mulai tahun 2000 dimunculkan kembali dengan mengikuti kecenderungan dunia, menggunakan konsep pendidikan inklusi. Pada tahun 2004, di Indonesia diselenggarakan konvensi nasional dengan menghasilkan Deklarasi Bandung dengan komitmen Indonesia menuju pendidikan inklusi. Untuk memperjuangkan hak-hak anak dengan hambatan belajar, pada tahun 2005 diadakan simposium internasional di Bukittinggi dengan menghasilkan Rekomendasi Bukittinggi yang isinya antara lain menekankan perlunya terus dikembangkan program pendidikan inklusi sebagai salah satu cara menjamin bahwa semua anak benar-benar memperoleh pendidikan dan pemeliharaan yang berkualitas dan layak. Pembahasan dari segregasi menuju inklusi memberikan bukti bahwa pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus selalu mengalami perkembangan dari waktu ke waktu sejalan dengan tuntutan mereka untuk mendapatkan pendidikan yang sama dengan anak normal lainnya. Dan pendidikan inklusi 38 39
David Mitchell, Contextualizing Inclusive Education (New York: Routledge, 2005), 256.
David Mitchell, Contextualizing Inclusive Education, 256.
42
dianggap sebagai layanan pendidikan yang paling sesuai untuk mengembangkan potensi mereka pada saat ini. C. Titik Singgung Pendidikan Islam dan Pendidikan Inklusi Pendidikan inklusi sebagai implikasi lebih lanjut dalam gerakan perhatian dunia terhadap hak asasi manusia merupakan bagian dari kesadaran global tentang pentingnya pendidikan bagi manusia. Gerakan ini tentu saja banyak diilhami oleh tatanan nilai masyarakat yang sudah mengakar di masyarakat dunia sebelumnya yang bersumber dari nilai budaya, agama dan tradisi. Semua agama yang mengajarkan nilai menempatkan pendidikan sebagai bagian pokok dalam sendi kehidupan manusia. Islam sebagai bagian dari tatanan nilai yang hidup di sepertiga warga dunia juga telah mengilhami kesadaran hak asasi manusia dalam bidang pendidikan ini. Bahkan Islam sejak kelahirannya di abad 7 M telah mewajibkan pengikutnya untuk menuntut ilmu dari mulai lahir hingga akhir hayat. Seiring dengan gerakan reformasi kebangkitan Islam di akhir abad 19 M, kesadaran akan pentingnya pendidikan menemukan momentumnya. Gema kebangkitan pendidikan Islam ke seluruh pelosok dunia Islam tersebut telah berjasa menumbuhkan kesadaran global akan perlunya kesempatan pendidikan yang merata kepada semua manusia, tanpa membedakan kemampuan fisik (normal atau tuna), strata sosial, jender, dan latar belakang etnis, budaya dan agamanya. Tuntutan global ini telah melahirkan sebuah deklarasi dunia yang dikenal dengan Education for All. Aplikasi dari deklarasi tersebut telah melahirkan kesadaran akan pendidikan inklusi yang dinyatakan secara eksplisit dalam Salamanca Statement and Framework
for Action, dan kemudian
diperteguh dalam Dakar Framework for Action. Islam sebenarnya sangat menekankan pentingnya pendidikan tanpa membedakan manusia sejak awal kemunculannya 14 abad yang lalu. Kewajiban menuntut ilmu tidak terbatas hanya bagi sebagian atau golongan tertentu saja akan tetapi wajib bagi seluruh penganut Islam baik laki-laki, perempuan, cacat ataupun normal. Dengan demikian, pendidikan agama Islam wajib pula bagi
43
penyandang cacat selama dia disebut
sebagai manusia. 40 Adapun wacana
tentang bentuk implementasi lebih teknis dalam model pendidikan bagi mereka masih merupakan barang baru untuk diperbincangkan, baik di kalangan akademisi pendidikan Islam maupun para praktisinya. Apabila diperbandingkan antara nilai ajaran Islam tentang pendidikan dengan semangat implementasi pendidikan inklusi, dapat ditemukan titik temu yang bisa dijadikan landasan betapa pentingnya pendidikan Islam di kelompok siswa berkebutuhan khusus. Diantara titik temu tersebut adalah: pendidikan sebagai kewajiban/hak, prinsip pendidikan untuk semua, prinsip non-segregasi, perspektif holistik dalam memandang peserta didik
dan
cara memandang
hambatan yang lebih berorientasi pada faktor eksternal, terutama lingkungan sekolah.41 Titik singgung
pertama adalah
pendidikan sebagai kewajiban/hak.
Dalam ajaran Islam, menuntut ilmu atau pendidikan bagi setiap penganut agama Islam adalah wajib hukumnya. Sumber Islam baik al-Qur’an maupun Hadis banyak memuat betapa pentingnya menuntut ilmu sehingga harus diwajibkan. Ayat yang pertama kali turun adalah suruhan untuk membaca yakni surat al‘Alaq ayat 1-5. Membaca merupakan bagian penting dalam proses pendidikan. Islam sejak awal sudah menyadari bahwa membaca merupakan aktifitas pendidikan yang sangat kompleks yang memiliki arti yang sangat luas baik secara psikologis maupun sosiologis.42 40
Abd al-Rahma>n al-Nah}la>wi> mengaitkan kewajiban pendidikan dengan amanat manusia hidup di dunia. Manusia diberi amanat oleh Allah sebagai khalifah di dunia untuk beribadah dan mengamalkan serta menegakkan syariat Allah. Lihat Abd al-Rahma>n alNah}la>wi>, Us}u>l al-Tarbiyah al-Isla>mi>yah wa-As>ali>biha> fi> al-Bayti wa-alMadrasati wa-al-Mujtama’ (Bairut Libanon: Da>ru al- Fikri al-Ma’a>s}ir, 1999), 18. 41
M.A. Fattah Santoso, “Sekolah Syariah dan Pendidikan Inklusi”, Makalah Seminar Nasional dan Peluncuran Kurikulum Sekolah Syari’ah dan Panduan Implementasi Pendidikan Inklusi UNESCO, yang diselenggarakan oleh Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS) dan Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Tengah dengan dukungan Braillo, IDP-Norwegia dan SD Muhammadiyah Program Khusus Surakarta, di UNS, 11 Juni 2005. 42
Membaca, secara psikologis mengandung muatan; proses mental yang tinggi, proses pengenalan (cognition), ingatan(memory), pengamatan (perception), pengucapan (verbalization), pemikiran (reasoning), daya kreasi (creativity) dan proses psikologi. Sementara secara sosiologis, membaca mengandung arti: proses yang menghubungkan perasaan, pemikiran dan tingkah laku seseorang dengan orang lain. Selanjutnya, penggunaan bahasa (yang tertulis dan
44
Dalam perspektif Islam, pendidikan merupakan kewajiban baik untuk memahami kewajiban Islam maupun untuk membangun kebudayaan/peradaban. Tuntutan kewajiban yang banyak tertuang dalam sumber Islam baik al-Qur’an maupun Hadis ini43 tidak dibatasi oleh batasan waktu dan usia. Karena ilmu merupakan kebutuhan seorang muslim dalam menjalankan peran dan fungsinya di dunia sebagai makhluk Tuhan, maka umat Islam diwajibkan menuntut ilmu di sepanjang hayat. 44 Dengan demikian, bagi umat Islam belajar tidak hanya merupakan bagian dari hak asasinya akan tetapi juga merupakan bagian dari haknya dalam mengekspresikan pengamalan doktrin ajaran dan keyakinannya. Manusia diperintahkan belajar secara terus menerus sepanjang hidupnya untuk membangun peradabannya. Selain itu, manusia telah ditetapkan Tuhan sebagai khalifah dan pengelola bumi, memanfaatkan semua yang ada untuk kemajuan dan kesejahteraan hidupnya dalam rangka memenuhi tujuan yang satu, yaitu mengabdi kepada pencipta-Nya. 45 Islam selalu memberi motivasi berfikir kepada manusia, dengan kadar citra (derajat) tinggi yang melebihi malaikat. Tidak ada agama yang lebih jauh dibanding Islam, dalam mengukuhkan kekuatan rasional (akal) yang pada gilirannya akan memproduk ilmu pengetahuan dalam realitas kehidupan ini. 46 dibaca) merupakan gudang tempat menyimpan nilai-nilai budaya yang dipindahkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Lihat Mubarok, Pandangan Islam tentang Pendidikan. http://mubarok-institute.blogspot.com/2009/06/ pandangan – Islam – tentang - pendidikan.html (diakses tgl 1-6-2010). 43
Hadis yang diriwayatkan oleh Ibn ‘Abd al-Bar menyebutkan bahwa menuntut ilmu adalah fardhu bagi tiap-tiap muslim, baik laki-laki maupun perempuan. Hadis lain yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim menyatakan bahwa barang siapa menginginkan soal-soal yang berhubungan dengan dunia, wajiblah ia memiliki ilmunya; dan barang siapa yang ingin (selamat dan berbahagia) di akhirat, wajiblah ia mengetahui ilmunya pula; dan barangsiapa yang meginginkan kedua-duanya, wajiblah ia memiliki ilmu kedua-duanya pula. 44
Hadis yang masyhur di kalangan umat dalam hal ini adalah ”Tuntutlah ilmu sejak dalam buaian ibu hingga liang lahat”. Meskipun hadis ini berstatus hadis maudlu atau disangsikan keasliannya namun hadis ini cukup efektif untuk membangkitkan umat Islam dalam mencari ilmu.Ulama ahli hadis merekomendasikan penggunaan hadis maudlu atau hadis palsu untuk mendorong melakukan amal baik. 45
Al-Quran surat al-Dha>riya>t ayat 60 menyatakan bahwa tujuan penciptaan jin dan manusia adalah untuk mengabdi kepada Allah SWT. Senada dengan ayat tersebut, Ruppert C. Lodge menyatakan bahwa hidup adalah pendidikan, dan pendidikan adalah hidup itu sendiri. Lihat Mastuhu dalam Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 30. 46
M. Lukman Hakim, Deklarasi Islam tentang HAM (Surabaya: Risalah Gusti, 1993), 138.
45
Sementara dalam perspektif inklusi, pendidikan merupakan hak asasi manusia. Pernyataan pendidikan sebagai hak atau kewajiban bukan sesuatu yang perlu diperdebatkan . Pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia untuk menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat. Karena itu negara memiliki kewajiban untuk memberikan pelayanan pendidikan yang bermutu kepada setiap warganya tanpa terkecuali termasuk mereka yang memiliki perbedaan dalam kemampuan (difabel),
karena perbedaan hanya
terletak pada sudut pandang terhadap substansi yang sama: pendidikan sebagai hak lebih antroposentris dan pendidikan sebagai kewajiban lebih teosentris.47 Titik singgung kedua adalah prinsip pendidikan untuk semua. Pendidikan inklusi merupakan implikasi dari prinsip pendidikan sebagai hak asasi manusia yang penerjemahannya dalam kebijakan global 1990 menjadi pendidikan untuk semua, sementara pendidikan Islam secara historis di masa peradaban klasik telah memfasilitasi lingkungan yang kondusif bagi pendidikan untuk semua melalui pembentukan tradisi melek huruf.48 Dalam sejarah umat manusia, Islam yang pertama kali menggemakan bahwa dunia ilmu pengetahuan dan kebudayaan adalah diperuntukkan bagi semua manusia, yang pada gilirannya nanti menjadi tanggung jawab para cendekiawan untuk mengarahkan dan membentuk masyarakat berperadaban.49 Titik singgung ketiga adalah prinsip non-segregasi. Titik singgung ketiga 47
M.Quraish Shihab memandang perhatian terhadap hak-hak individu termasuk hak pendidikan bagi setiap warga dan memberikan hak-hak itu kepada setiap pemiliknya adalah makna dari adil. Lawannya adalah kezaliman dalam arti pelanggaran terhadap hak-hak pihak lain. Pengertian keadilan seperti ini yang akan melahirkan keadilan sosial. Lihat M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran (Bandung : Mizan, 1997), 116. 48
Pendidikan adalah kebutuhan mendasar bagi seorang anak yang senantiasa berada di lingkungan masyarakat. Semua anak harus mendapat pendidikan agar terhindar dari arus negatif yang muncul dari luar dirinya sehingga tidak terjerumus dalam kehinaan sebagai manusia. Lihat Abd al-Rahma>n al-Nah}la>wi, Us}u>l al-Tarbiyah al-Isla>mi>yah wa-Asa>li>biha> fi> alBayti wa-al-Madrasati wa-al-Mujtama’ (Bairut Libanon : Da>ru al- Fikri al-Ma’a>s}ir, 1999), 18. 49
Ayat Al-Qur’an yang sejalan dengan pernyataan ini adalah surat al-Tawbah ayat 122. Selain itu, ayat tentang pentingnya dunia ilmu pengetahuan terdapat dalam surat al-‘Alaq ayat 12. Ayat yang menekankan tentang bidang tulis menulis terdapat pada surat al-Qolam ayat 1-2. Serangkaian ayat lain juga turut mengangkat derajat keilmuan dan ketinggian bendera para ulama yaitu surat A>li ‘Imra>n ayat 18, al-Zumar ayat 19, al- Muja>dalah ayat 11. Lihat M. Lukman Hakim, Deklarasi Islam tentang HAM, 133-134.
46
ini merupakan implikasi lain dari pendidikan sebagai kewajiban/hak. Dengan memandang pendidikan sebagai kewajiban/hak asasi manusia, maka setiap manusia tidak boleh termarjinalisasikan dan tersisih dalam memperoleh layanan pendidikan. Metode spesifik Islam yang sempurna mampu menciptakan
sistem
pendidikan Islam yang jauh dari diskriminasi dan fanatisme kebangsaan, bahkan tidak mengasingkan mereka yang berbeda. Semua itu merupakan manifestasi dari proses pembentukan ke arah manusia yang paripurna.50 Islam tidak pernah membedakan manusia dalam memperoleh ilmu pengetahuan karena di hadapan Allah semua manusia adalah sama. Persamaan (musawah) telah menjadi dasar atau prinsip Islam dalam sistem hubungan antar individu. Selain itu persamaan juga menjadi landasan dalam semua segi pergaulan sosial, seperti dalam hak-hak sosial, pertanggungjawaban dan sanksi, dan hak-hak umum seperti hak pendidikan, ekonomi dan hukum dan lain-lain. Dalam Islam, kesetaraan dan keadilan sosial diterapkan untuk menjamin dan mengangkat harkat dan martabat nilai-nilai kemanusiaan yang universal. Prinsip-prinsip keadilan sosial yang diajarkan dalam Islam akan menghindarkan penyelewengan
dan kejahatan
sosial. Islam memperlakukan seluruh manusia secara sama. Dalam sejarah Islam tidak pernah ditemukan bukti pembatasan dalam Islam untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Titik singgung keempat adalah perspektif holistik dalam memandang peserta didik. Baik pendidikan Islam maupun pendidikan inklusi berupaya menumbuh-kembangkan kepribadian manusia dengan mengakui segenap daya dan potensi yang dimiliki peserta didik. Karena semua individu berbeda dalam bakat dan kemampuan, maka tidak dapat diharapkan bahwa dua orang atau lebih bereaksi dengan cara yang sama terhadap rangsangan lingkungan yang sama. Demikian juga seseorang tidak dapat mengharapkan hasil yang sama dari orang dengan perkembangan usia dan intelektual yang sama.
50
M. Lukman Hakim, Deklarasi Islam tentang HAM, 139.
47
Perbedaan bakat, kecenderungan dan kecerdasan individual manusia itu menegaskan individu sebagai pribadi yang khas dan unik, yang justru diperlukan bagi individualitas dalam pembentukan kepribadian. Individualitas bukan hanya membuat orang menyenangkan, tetapi juga memungkinkan masing-masing mengembangkan diri dan merealisasikan diri ke arah kemajuan sosial, serta menumbuhkan sikap kompetisi antar individu dalam mencapai prestasi tinggi atau musabaqah fi> al-khaira>t. Perbedaan tabiat individu ini diisyaratkan dalam al-Qur’an surat Al-An’a>m ayat 165. Hal ini hendaklah menjadi perhatian khusus para pendidik, yakni untuk mendidik dan mengasuh setiap individu sesuai dengan bakat, kemampuan, dan kecerdasan pribadinya. Salah satu prinsip pendidikan Islam adalah keharusannya untuk menggunakan metode pendekatan yang menyeluruh terhadap manusia, meliputi dimensi jasmani ruhani dan semua aspek kehidupan, baik yang dapat dijangkau dengan akal maupun yang hanya diimani melalui kalbu, bukan hanya lahiriyah saja tapi juga batiniahnya.51 Titik singgung kelima adalah cara memandang hambatan yang lebih berorientasi pada faktor eksternal. Karena segenap daya dan potensi peserta didik wajib/berhak ditumbuh-kembangkan, maka faktor eksternal (lingkungan sekolah) harus memainkan peran sentral dalam transformasi hambatan-hambatan peserta didik. Hambatan belajar tidak lagi terletak pada diri peserta didik. Bila memfokuskan pada potensinya, bukan pada hambatan belajarnya, guru akan berusaha untuk melakukan asesmen terhadap anak itu. Dengan kata lain penilaian memfokuskan pada apa yang dapat dan senang dilakukan oleh anak sehingga dapat membuka jalan untuk menemukan potensi pendidikan anak serta kebutuhannya. Disamping
itu
lingkungan belajar juga berperan dalam
menciptakan
suasana belajar yang menyenangkan sehingga dapat meningkatkan keaktifan peserta didik dan keefektifan belajar. Dalam lingkungan masyarakat inklusif, harus siap mengubah dan menyesuaikan sistem, lingkungan dan aktivitas yang 51
Muhammad Qut}b, Sistem Pendidikan Islam, diterjemahkan Salman Harun (Bandung: Al-Ma’arif, 1984), 27-28.
48
berkaitan dengan semua orang serta mempertimbangkan kebutuhan semua orang. Bukan lagi anak yang berkebutuhan khusus yang harus menyesuaikan diri agar cocok dengan setting yang ada. Untuk ini diperlukan fleksibilitas, kreativitas dan sensitivitas. Dari lima kesamaan prinsip nilai pendidikan Islam dan pendidikan inklusi tersebut kita dapat mengambil satu kesimpulan bahwa anak berkebutuhan khusus memiliki kewajiban sekaligus hak untuk memperoleh pendidikan agama. Pendidikan agama bagi mereka merupakan kewajiban sebagai seorang muslim sebagaimana muslim lainnya yang normal. Selama dia tercatat sebagai seorang muslim dan mukmin maka dia memiliki hak dan tanggungjawab sebagai makhluk Allah yang hidup di dunia yang kelak akan diperhitungkan di akhirat tentang amal perbuatannya. Wacana Ushul Fiqh menyatakan bahwa manusia sebagai subyek hukum (takli>f shar’i) yang memiliki tanggungjawab terhadap syariat Islam dibagi dua kategori umum. Pertama, ahliyat al-wuju>b, yakni seorang muslim yang hanya memiliki hak memperoleh penjelasan tentang syariat Islam dan belum atau tidak memiliki tanggunggungjawab (takli>f) dalam menjalankannya. Kedua, ahliyat al-ada>, yakni seorang muslim yang berhak memiliki hak memperoleh penjelasan tentang syariat Islam dan bertanggungjawab dalam pelaksanaannya (takli>f). Kelompok masyarakat yang masuk dalam kategori pertama adalah kelompok masyarakat yang belum sempurna akalnya seperti anak-anak belum tamyi>z dan orang tua yang sudah pikun. Mereka termasuk ahliyat al-wuju>b dan belum ahliyat al- ada>. Sementara yang termasuk kelompok kedua adalah semua muslim yang normal dan dewasa (‘a>qil ba>ligh) dan mampu menjalankan semua syariat ajaran Islam, mereka termasuk kelompok ahliyat alwuju>b sekaligus juga ahliyat al-ada>. Dari sudut ilmu ushul fiqh tersebut, anak berkebutuhan khusus dengan sejumlah variasi kecacatannya dapat dipetakan melalui dua kategori ini. Mereka dapat dimasukkan dalam kategori
49
ahliyat al-wuju>b atau ahliyat al-ada> tergantung dari kemampuan akal dan kemampuan menjalankannya. 52 Untuk itu, anak berkebutuhan khusus harus mendapatkan pendidikan agama Islam yang sama dengan anak-anak normal lainnya karena semuanya termasuk dalam kategori ahliyat al-wuju>b. Perbedaannya hanyalah jika anakanak normal memiliki tanggung jawab mengamalkan ajaran Islam setelah ‘a>qil ba>ligh, sementara anak berkebutuhan khusus tergantung tingkat kemampuan akal pikirannya. Ajaran Islam menjelaskan bahwa semua anak manusia diciptakan sejak lahir dalam keadaan fitrah, artinya tidak terkecuali anak berkebutuhan khusus juga memiliki kecenderungan bawaan kepada ketauhidan dan kebajikan. Fitrah merupakan kecenderungan bawaan untuk mengimani dan menyembah Allah. Fitrah bersifat umum dan tidak berubah, dia ada sejak lahir dalam struktur metafisika manusia (QS. al-Ru>m: 30).
53
Pendidikan agama
seharusnya bertujutan memelihara dan mengembangkan kecenderungan keTauhid-an ini. Karena itu, pendidikan agama bagi anak berkebutuhan khusus sebenarnya memelihara dan mengembangkan kecenderungan beragama Tauhid yang sudah ada sejak lahir. Adapun cara mendidik dan membina siswa berkebutuhan khusus tidak jauh berbeda dengan siswa normal lainnya. Sebagaimana mendidik siswa lainnya, siswa berkebutuhan khusus ditempatkan sebagai manusia normal yang siap menerima semua ajaran Islam. Khusus bagi mereka yang memiliki tingkat kecacatan mental yang parah,
maka diperlukan pola dan metode tersendiri
dalam mendidik dan mengajarkan nilai-nilai agama Islam kepada mereka. Metode yang diperlukan adalah metode yang lebih dekat dengan kecenderungan dan minat serta sesuai dengan kemampuan perkembangan kejiwaannya. Biasanya materi yang diberikan adalah materi yang paling mudah dicerna dalam bentuk visual. Diantara metode yang lebih dekat dengan mereka adalah metode yang ditawarkan Muhammad Qut}b dalam karyanya Mana>hij al-Tarbiyah al52
Yasen Muhammad, Insan yang Suci: Konsep Fitrah dalam Islam Mizan,1997), 134. 53
Yasen Muhammad, Insan yang Suci : Konsep Fitrah dalam Islam, 132.
50
(Bandung:
Isla>mi>yah. Dia menyebutnya dengan metode pembiasaan (al-Tarbiyah bil‘A>dah). Dengan metode ini siswa diperkenalkan ajaran Islam langsung dengan cara menerapkan dan mempraktekkannya. 54 Berdasarkan bukti-bukti tersebut, dapat disimpulkan bahwa ternyata terdapat titik temu antara pendidikan Islam dan pendidikan inklusi. Menurut kedua perspektif tersebut, manusia harus diperlakukan sama tanpa memandang kelainan yang dimiliki satu dan yang lainnya, karena Allah telah menciptakan manusia dengan potensi dan keunikan masing-masing. Potensi yang dimilikinya apabila dikembangkan maka akan menjadikannya manusia yang mandiri dan berkualitas.
54
Muhammad Qut}b, Mana>hij al-Tarbiyah al-Isla>mi>yah (Da>r al-Shuru>q, tt),
246-250.
51
BAB III ELEMEN-ELEMEN KEBERHASILAN PENDIDIKAN INKLUSI Prinsip dan landasan filosofis pendidikan inklusi sebagaimana dijelaskan pada bab II, harus menjadi acuan dasar dalam pengelolaan satuan pendidikan yang menerapkan pendidikan inklusi. Semua elemen penting yang dibutuhkan dalam proses operasional belajar dan mengajar harus disiapkan sedemikian rupa untuk mendukung keberhasilan tujuan pendidikan inklusi. Mulai dari unsur manajemen pengorganisasiannya sampai personil yang terlibat dalam proses pendidikan harus mencerminkan upaya ke arah pendidikan inklusi. Setidaknya ada lima unsur penting yang harus diperhatikan oleh satuan pendidikan yang menerapkan pengelolaan pendidikan inklusi. Pertama, sekolah harus memiliki disain
pengelolaan sekolah inklusi yang benar sejak awal
diterapkannya. Kedua, perlu menerapkan manajemen pendidikan inklusi yang tepat. Ketiga, kurikulum yang dipakai harus disiapkan untuk mengakomodasi perbedaan. Keempat, kompetensi pendidik harus memenuhi standar kualifikasi dan kualitas yang dibutuhkan. Kelima, fundrising sekolah inklusi memerlukan penanganan terencana sehingga dapat mendukung keberlangsungan pendidikan inklusi. Sebelum dijelaskan lebih lanjut tentang kelima elemen tersebut, perlu dijelaskan terlebih dahulu sekolah Madania Progressive Indonesian School yang menjadi contoh sekolah inklusi yang memenuhi ke-lima elemen ini. Madania Progressive Indonesian School adalah sebuah lembaga pendidikan yang terletak di Perumahan Telaga Kahuripan, Parung, Bogor. Luas lokasi sekolah sekitar 4 hektar. Pendiriannya diprakarsai oleh Nurcholish Madjid dan beberapa orang koleganya seperti Utomo Danandjaya, Ahmad Fuadi, Komaruddin Hidayat, dll. Pendirian lembaga pendidikan ini—salah satunya— berangkat dari keinginan untuk menciptakan sebuah lembaga pendidikan yang
52
53
dapat menjadi sarana pembumian ide dan wacana pluralisme yang diyakini telah menjadi suatu keniscayaan dalam kehidupan global. 1 Yayasan Madania didirikan pada tahun 1995. Yayasan Madania mendirikan sebuah lembaga pendidikan tingkat menengah yang bernama SMU Madania Boarding School di Parung Bogor pada tahun 1996. Tahun 1998, yayasan Madania mengembangkan lembaga pendidikan binaannya ke tingkat TK, SD, dan SMP. Dalam hal management, kedua lembaga ini bersifat independen (berdiri sendiri) dengan sistem yang diberlakukan juga berbeda. SMU memakai sistem boarding, sedangkan TK, SD, dan SMP memakai sistem full day. Pada tahun 2003, atas berbagai pertimbangan, akhirnya kedua lembaga pendidikan yang memiliki management berbeda ini disatukan ke dalam satu management yang bernama Sekolah Berwawasan Internasional Madania, 2 yang pada perkembangan selanjutnya lembaga ini berubah nama menjadi Madania Progressive Indonesian School. Wawasan
ataupun
filsafat
pendidikan
Madania
sebagian
sudah
terkandung dalam kata ”madania” itu sendiri. Berasal dari bahasa Arab, kata ”madania” masih seakar dengan kata ”diri” dan ”madinah”, yaitu sebuah ”civil society” yang menjunjung tinggi peradaban yang diikat dengan aturan hukum, disiplin, mendukung tegaknya prinsip egaliterianisme, demokrasi, dan nilai-nilai luhur yang bersifat transenden.3 Di Madania, setiap individu adalah istimewa dan layak memperoleh pelayanan dan penghargaan yang sama karena Tuhan telah menganugerahkan kita derajat dan hak-hak yang sama, sekalipun dengan potensi,minat, dan pertumbuhan pribadi yang berbeda-beda. 4 Pendidikan inklusi sudah diterapkan di Madania sejak tahun 1998. Oleh karena itu, siswa siswi yang belajar di 1 2 3
M. Monib dan Endang H. Rosyidi (ed), Sewindu SMU Madania Boarding School, vii. M. Monib dan Endang H. Rosyidi (ed), Sewindu SMU Madania Boarding School, 137. Komaruddin Hidayat, Selamat Datang ke Dunia Pendidikan Madania. www.madania
.com. 4
.com.
Komaruddin Hidayat, Selamat Datang ke Dunia Pendidikan Madania. www.madania
54
Madania sangat heterogen tidak saja siswa yang normal tapi juga siswa yang tidak normal. Siswa tidak normal yang diterima di Madania adalah siswa yang memiliki gangguan perkembangan yaitu: autism, asperger syndrom, Attention Deficit Disorder (ADD) / Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD), learning difficulties,
dyslexia,
Pervasive Developmental Disorder Not
Otherwise Specified ( PDD-NOS) dan speech delay.5 Berdasarkan dokumen database dari SEN Unit, dari keseluruhan siswa Madania yang berjumlah 780, jumlah siswa berkebutuhan khusus tingkat SD ada 16 siswa, tingkat SMP ada 16 siswa, dan tingkat SMA ada 16 siswa. A. Disain Pengelolaan Sekolah Inklusi Menerapkan pendidikan inklusi dalam satuan pendidikan perlu memiliki disain pengelolaan yang jelas.6 Landasan teori dan filosofis yang kuat akan menentukan arah dan tujuan yang konsisten dalam penyelenggaraan pendidikan inklusi. Disain pendidikan yang mencerminkan keseriusan dari para pengelola pendidikan harus dibangun dari landasan filosofis dan teori yang kuat sehingga akan memperkuat konsistensinya untuk memberikan layanan pendidikan bagi siswa berkebutuhan khusus dengan baik. Cerminan disain yang jelas akan nampak terlihat dalam keseluruhan rencana pendidikannya, mulai dari landasan filosofis, visi, misi, tujuan, perencanaan program
dan tenaga pendidik dan
kependidikannnya sampai sistem manajemennya. Sebagaimana layaknya dalam pengelolaan satuan pendidikan pada umumnya, penyusunan disain pengelolaan sekolah
7
satuan pendidikan inklusi mengikuti standar
yang tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional RI No. 19 tahun 2007 tentang Standar Nasional Pendidikan. Peraturan 5
Educational Support Department, Handbook 2009-2011, 9-10.
6
Menurut Peraturan Standar Nasional Pendidikan, kewenangan penyusunan disain pengelolaan sebuah sekolah ada pada pihak sekolah sendiri dimana sekolah harus memiliki dokumen yang menjelaskan tentang kewenangannya dalam merencanakan, mengorganisasikan, mengarahkan, mengkoordinasikan, mengawasi, dan mengevaluasi komponen-komponen pendidikan sekolah yang bersangkutan. Lihat Peraturan Pemerintah RI No. 19 tahun 2005. 7
Standar adalah kriteria minimum. Standar Pengelolaan Sekolah berarti kriteria minimum pengelolaan sekolah yang harus dilakukan oleh setiap satuan pendidikan yang mengacu kepada Permendiknas RI no. 19 tahun 2007.
55
Menteri ini
menjelaskan bahwa dalam menyusun disain pengelolaan harus
tergambar beberapa elemen yang meliputi perencanaan program, pelaksanaan rencana kerja, pengawasan dan evaluasi, kepemimpinan sekolah, dan sistem informasi manajemen.8 Unsur terpenting dalam penyusunan disain pengelolaan pendidikan inklusi adalah landasan filosofisnya.
9
Disain pengelolaan pendidikan inklusi
harus dibangun di atas satu pandangan terhadap siswa sebagai manusia utuh tanpa membedakan jenis, suku dan kecatatannya. Pandangan ini akan menentukan kerangka acuan dalam pengelolaan pendidikan inklusi sekaligus juga akan menentukan kualitas proses pendidikannya. Pendidikan inklusi sebagian besar didasarkan pada pandangan terhadap siswa sebagai manusia utuh yang memiliki hak memperoleh pendidikan sebagai hak asasinya. Bahwa semua individu memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas dengan kesempatan yang sama untuk mengembangkan potensi dan menghormati martabat kemanusiaan mereka.10 Manusia sebagai makhluk ciptaan Allah memiliki keunikan tersendiri yang membedakan antara yang satu dengan lainnya. Kekurangan manusia pada satu sisi akan ditutupi dengan kelebihan pada sisi yang lain. Siswa berkebutuhan khusus yang memiliki kelainan baik pada fisik, psikis maupun mentalnya pada dasarnya memiliki kelebihan pada sisi lain yang apabila dikembangkan maka hasilnya hampir sama dengan anak normal lainnya dan bahkan bisa lebih.Tidak 8
Lihat juga Standar Pengelolaan Sekolah berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan pada pasal 49 dinyatakan bahwa standar pengelolaan sekolah harus menerapkan manajemen berbasis sekolah yang ditunjukkan dengan kemandirian, kemitraan, partisipasi, keterbukaan, dan akuntabilitas. Selain itu pada pasal 52 dinyatakan bahwa setiap satuan pendidikan harus memiliki pedoman yang mengatur tentang kurikulum tingkat satuan pendidikan dan silabus, kalender pendidikan, struktur organisasi, pembagian tugas diantara pendidik dan tenaga kependidikan, peraturan akademik, tata tertib dan kode etik hubungan antara sesama warga sekolah. 9
Landasan pendidikan inklusi lainnya adalah landasan yuridis dan landasan empiris, lihat Dirjen Dikdasmen Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa, Pedoman Umum Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif ( Jakarta: Ditpslb, 2007), 5. Lihat juga Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa, Mengenal Pendidikan Inklusif (Jakarta: Ditplb, 2006), 3. dengan tambahan yaitu landasan pedagogis. 10
Dirjen Dikdasmen Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa, Pedoman umum penyelenggaraan pendidikan inklusif, 2.
56
ada manusia yang sempurna di dunia ini, karenanya pada diri individu yang normal dan berbakat sekalipun pastilah terdapat juga kecacatan dan kelemahan seperti halnya anak berkebutuhan khusus yang pasti juga memiliki keunggulankeunggulan dibalik kekurangannya. Pandangan universal Hak Azasi Manusia menyatakan bahwa setiap manusia mempunyai hak untuk hidup layak, hak pendidikan, hak kesehatan, dan hak pekerjaan. 11 Sementara dalam pandangan pendidikan inklusi di Indonesia, landasan filosofis utamanya adalah Pancasila yang merupakan lima pilar sekaligus cita-cita yang didirikan atas fondasi yang lebih mendasar lagi, yang disebut Bhineka Tunggal Ika. Filsafat ini sebagai wujud pengakuan kebhinekaan manusia, baik kebhinekaan vertikal maupun horizontal, yang mengemban misi tunggal sebagai umat Tuhan di bumi. Kebhinekaan vertikal ditandai dengan perbedaan kecerdasan, kekuatan fisik, kemampuan finansial, kepangkatan, kemampuan pengendalian diri, dan sebagainya. Sedangkan kebhinekaan horizontal diwarnai dengan perbedaan suku bangsa, ras, bahasa, budaya, agama, tempat tinggal, daerah, afiliasi politik, dan sebagainya. Karena berbagai keberagaman namun dengan kesamaan misi yang diemban di bumi ini, maka menjadi kewajiban manusia untuk membangun kebersamaan dan interaksi dilandasi dengan saling membutuhkan.12 Landasan Filosofis lainnya yang bisa turut mewarnai dalam pendidikan inklusi adalah filosofis berdasarkan pandangan agama (khususnya Islam) yang menegaskan bahwa manusia dilahirkan dalam keadaan suci, kemuliaan seseorang di hadapan Tuhan (Allah) bukan karena fisik tetapi taqwanya, Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang merubahnya, dan manusia diciptakan berbeda-beda untuk saling silaturahmi (inklusif).13 11
Dirjen Dikdasmen Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa, Pedoman umum penyelenggaraan pendidikan inklusif, 2. 12 13
Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa, Mengenal Pendidikan Inklusif, 3.
Dirjen Dikdasmen Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa, Pedoman Umum Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif, 4. Lihat juga Qur’an surat al-H{ujurat>: 13 dan surat alRa’du: 11.
57
Manusia sebagai hamba Allah SWT, mempunyai potensi ruhaniah yang memancar dari dimensi al-ru>h dan al-fitrah, sehingga ia siap mengadakan hubungan vertikal dengan-Nya (h}abl min Alla>h) sebagai manifestasi dari sikap teosentris manusia yang mengakui Ketuhanan yang Maha Esa. Sebagai khalifah-Nya, ia memiliki potensi jismiah dan nafsiah yang mengandung dimensi al-nafs, al-‘aql dan al-qalb, sehingga ia siap mengaktualisasikan potensinya dalam konteks hubungan horisontal (h}abl min al-na>s), yaitu hubungan antara sesama ciptaan-Nya (alam dan sesama manusia), yang diwujudkan dalam bentuk rekonstruksi sosial secara berkelanjutan untuk mencapai rido-Nya. H{abl min Alla>h
dikembangkan dari konsep Tauhid
Uluhiyah, sedangkan h}abl min al-na>s atau rekonstruksi sosial dikembangkan dari konsep Tauhid Rububiyah, Mulkiyah, dan Ruhmaniyah.14 Pandangan filosofis terhadap sosok manusia seperti demikian perlu dimiliki oleh setiap penyelenggara pendidikan inklusi yang tercermin dalam disain pengelolaannya. Lembaga pendidikan seperti Madania sebagai sekolah penyelenggara layanan inklusif memiliki disain yang mencerminkan wawasan atau filsafat pendidikan yang benar-benar mendukung terhadap penyelenggaraan pendidikan inklusi. Landasan filosofisnya tergambar dari penggunaan istilah kata “madania” itu sendiri. Istilah ini berasal dari bahasa Arab, kata “madania” masih seakar dengan kata “diri” dan “madinah”, yaitu sebuah “civil society” yang menjunjung tinggi peradaban yang diikat dengan aturan hukum, disiplin, mendukung tegaknya prinsip egaliterianisme, demokrasi, dan nilai-nilai luhur yang bersifat transenden. Dengan demikian, pendidikan Madania senantiasa memiliki komitmen untuk mengenalkan dan menumbuhkembangkan pada siswa didik, nilai-nilai moral untuk mendukung terwujudnya masyarakat yang beradab (civilized atau madani). Di Madania, setiap individu adalah istimewa dan layak memperoleh pelayanan dan penghargaan yang sama karena Tuhan telah menganugerahkan manusia derajat dan hak-hak yang sama, sekalipun dengan potensi, minat dan pertumbuhan pribadi yang berbeda-beda. 15 14 15
Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam (Bandung: Nuansa, 2003), 50.
Komaruddin Hidayat, Selamat www.madania.com (diakses 28-10-2008).
Datang
ke
Dunia
Pendidikan
Madania.
58
Visi
Madania
nampak
terlihat
mencerminkan
penyelenggaraan
pendidikan inklusi. Madania memiliki visi mengoptimalkan potensi siswa, sehingga siswa dapat memenuhi tahapan perkembangan sesuai usianya dan dapat mandiri di kehidupan sehari-hari.16 Pada tiap-tiap tahapan terdapat tugas perkembangan yang harus dilalui siswa, dimana pada setiap tahapan tersebut diharapkan
terdapat
suatu
kemampuan
atau
keterampilan
baru
yang
dikembangkan, seperti kemampuan kognitif, afektif, psikomotor, komunikasi, sosialisasi, dan aspek lainnya.17 Menurut wagner, landasan filosofis akan menjadi ruh dalam gerak dan langkah serta fungsi dari setiap komponen dalam disain pendidikan inklusi. Selain itu, hal itu juga akan menjadi ciri dan karakteristik yang harus melekat dalam pendidikan inklusi. Disain pendidikan inklusi tersebut harus jelas nampak tergambar secara rinci dalam
setiap elemen
penting dalam pengelolaan
pendidikan inklusi yang meliputi: dukungan administrasi, kompetensi guru, koordinator program inklusi, kolaborasi dari pendidikan umum/reguler dan pendidikan khusus, dukungan kelas, Individualized Education Plan (IEP), reguler education ownership, serta kolaborasi antara orang tua di rumah dan sekolah.
18
Berikut ini akan dijelaskan kelengkapan disain pendidikan inklusi
tersebut : 1. Dukungan Administrasi Kesuksesan penyelenggaraan pendidikan inklusi diantaranya karena dukungan penuh dari para administrator sekolah – termasuk kepala sekolah – dan bagian pendidikan khusus. Dukungan ini sangat penting sekali, karena dalam menangani kelas inklusi tentunya akan menemui banyak kendala yang ditimbulkan karena perbedaan karakteristik siswa, khususnya siswa yang berkebutuhan khusus. Pendidikan inklusi akan berhasil apabila ada kerjasama 16
Komaruddin www.madania .com. 17 18
Hidayat,
Selamat
Datang
ke
Dunia
Pendidikan
Madania.
Educational Support Department, Handbook 2009-2011 (Bogor: Madania, 2009), 7.
K.A. Waldron, Introduction to a Special Education: the Inclusive Classroom ( USA: Delmar Publisher, 1996), 52.
59
dari berbagai pihak yang ada di sekolah, dari mulai kepala sekolah, guru, staff tata usaha, pegawai dan khususnya bagian pendidikan khusus yang secara teori memiliki pengetahuan dan kemampuan yang melebihi guru reguler lainnya dalam menangani siswa berkebutuhan khusus. Penanganan siswa berkebutuhan khusus tidak sesederhana menangani siswa normal lainnya. Dalam hal-hal tertentu, terdapat keunikan-keunikan tersendiri yang merupakan keunggulannya. Dibalik kelainannya dibanding siswa normal, terdapat kelebihan yang apabila guru dengan dukungan semua pihak di sekolah
mampu
menemukan
keunggulan
tersebut
untuk
kemudian
dikembangkan, maka proses pendidikan terhadap siswa berkebutuhan khusus tersebut akan berhasil. Perhatian terhadap kelebihan siswa akan lebih berarti untuk kemajuan pengetahuannya daripada berfokus pada kecacatannya. Dukungan lainnya yang lebih penting lagi bagi guru adalah mendapat dukungan dalam bentuk bantuan melakukan penjadwalan konsultasi program, pemecahan masalah dan masukan yang membangun. Apabila penanganan terhadap siswa berkebutuhan khusus dilakukan secara bersama-sama maka kemungkinan perkembangan ke arah kemajuan akan lebih cepat terwujud. Di
Madania,
dukungan
administrasi
dalam
penanganan
siswa
berkebutuhan khusus diantaranya diwujudkan dalam bentuk student’s recording yang berfungsi untuk memantau perkembangan siswa dengan cara mencatat hasil kerja siswa. Student’s recording meliputi: worksheet, catatan aktivitas siswa, daily log, visual recording, dan audio recording. Dukungan administrasi juga diwujudkan dalam bentuk buku komunikasi dari guru SEN Unit, buku komunikasi dari guru pendamping, komunikasi lewat telepon, sms, dan menggunakan e-mail.
19
Buku komunikasi tersebut berfungsi
sebagai alat komunikasi antara pihak sekolah dan orang tua untuk memantau perkembangan kemampuan siswa dari segi akademik dan atau bidang non akademik. 19
Educational Support Department, Handbook 2009-2011, 33-36.
60
Selain itu, ada juga buku program kegiatan harian yang juga berfungsi untuk memantau perkembangan sikap siswa berkebutuhan khusus tertentu.20 Apabila pada saat mengikuti materi pada hari tersebut sikapnya baik, maka diberi ceklis berwarna hitam, tetapi sebaliknya apabila sikapnya kurang kooperatif, maka diberi tanda ceklis merah. 21 2. Pelatihan untuk Guru Pelatihan untuk guru dalam rangka meningkatkan kompetensinya merupakan kegiatan yang harus mendapatkan perhatian semua elemen di sekolah. Sebagai orang yang banyak berperan dalam proses pendidikan di sekolah, guru harus selalu ditingkatkan kemampuannya supaya dapat mengikuti perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan. Apalagi di sekolah inklusi yang siswanya heterogen, guru dituntut memiliki pengetahuan yang luas agar dapat mengakomodasi semua kebutuhan siswa yang beranekaragam kemampuannya. Semua guru yang terlibat dalam pendidikan ini harus mendukung prinsip pendidikan inklusi bagi siswa berkebutuhan khusus. Mereka harus mempunyai semangat dalam melaksanakan program dan mempunyai gaya mengajar yang fleksibel. Guru perlu berperilaku yang positif dalam melakukan pendidikan terhadap perilaku (behaviour management) dan keterampilan sosial (social skills interventions) pada siswa-siswanya. Di Madania, pelatihan untuk guru mengenai penanganan siswa berkebutuhan khusus merupakan kegiatan rutin yang sudah teragendakan dalam program kerja sekolah. Pelatihan dilakukan dalam bentuk pelatihan berkala baik dalam bentuk seminar maupun workshop. Setiap awal tahun ajaran baru, guru diberikan penjelasan tentang cara penanganan siswa berkebutuhan khusus dan bahkan dilibatkan langsung dalam pembuatan kurikulum individual siswa yang akan dihadapinya setahun yang akan datang. Demikian juga untuk guru yang 20
Buku program kegiatan harian ini hanya dimiliki oleh Ilen, siswa berkebutuhan khusus kelas 9 P yang termasuk kelompok individual. Berdasarkan wawancara dengan Bapak Abdul Hakim Anshory, S.P., koordinator SEN Unit di Madania, 22-7-2010. 21
5-5- 2010.
Berdasarkan wawancara dengan Bapak Mardaih, S.Pd., guru SEN Unit di Madania,
61
baru bergabung di Madania, pelatihan cara menangani siswa berkebutuhan khusus merupakan kegiatan yang mutlak harus diikuti. 22 Khusus untuk guru yang secara khusus menangani siswa berkebutuhan khusus (guru-guru SEN Unit), selalu ditingkatkan kemampuan dan wawasannya dengan cara mengirim mereka secara bergiliran ke berbagai pelatihan, workshop atau seminar yang diadakan di luar Madania.23 Demikian juga dengan guru pendamping yang diberi nama aide teacher.24 Guru pendamping berhak
mengikuti training atau pelatihan in house yang
diselenggarakan oleh Madania.25 Pelatihan dilakukan supaya mereka bisa memberikan pelayanan yang baik kepada siswa berkebutuhan khusus yang didampinginya yang biasanya tingkat kebutuhan pelayanannya termasuk berat. 3. Koordinator Program Inklusi Untuk mempermudah implementasi pendidikan inklusi perlu ada wadah yang bertanggungjawab menanganinya, bisa berupa koordinator, tim atau organ tersendiri yang masih berada
dibawah kendali pimpinan pendidikan.
Tanggungjawab utama dari koordinator ini adalah membuat program layanan untuk siswa berkebutuhan khusus di sekolah inklusi. Selain itu, tugas lainnya adalah melaksanakan program integrasi, pelatihan terhadap guru-guru yang akan terlibat dalam penanganan siswa berkebutuhan khusus, pemberian informasi dan strategi yang berguna kepada guru-guru dalam pengajaran untuk siswa-siswa berkebutuhan khusus, ikut berpartisipasi dalam evaluasi program, serta memonitor pelaksanaan IEP. 22
Berdasarkan wawancara dengan Bapak Abdul Hakim Anshory, S.P., koordinator SEN Unit di Madania, 30-4- 2010. 23
Berdasarkan wawancara dengan Bapak Abdul Hakim Anshory, S.P., koordinator SEN Unit di Madania, 30-4- 2010. 24
Aide Teacher sebagai pendamping siswa berkebutuhan khusus bertugas: membimbing dan mengarahkan mereka agar dapat beradaptasi di sekolah, di bidang akademik dan atau bidang non akademik; melakukan one to one teaching untuk membantu mereka dalam memahami materi yang diajarkan, menjembatani komunikasi mereka dengan guru, teman, dan pegawai sekolah; berkoordinasi dengan orang tua dan sekolah dalam memantau perkembangan mereka; dan memantau mereka yang menjadi tanggungjawabnya di sekolah. Lihat Educational Support Department, Handbook 2009-2011, 44-45. 25
Educational Support Department, Handbook 2009-2011, 45.
62
Di Madania, organ ini disebut SEN Unit (Special Educational Need Unit) sebagai organisasi yang menangani siswa berkebutuhan khusus. Organ ini dipimpin oleh seorang koordinator SEN Unit yaitu Bapak Abdul Hakim Anshory, S.P. yang membawahi 14 guru SEN Unit. Keberadaan SEN Unit adalah untuk men-support guru-guru tentang bagaimana cara menangani siswa berkebutuhan khusus. 26 Dengan demikian, sumber daya manusia yang menangani SEN Unit adalah Head of Educational Support, koordinator SEN Unit, dan guru-guru SEN Unit. SEN Unit berperan memfasilitasi proses adaptasi siswa berkebutuhan khusus dalam mengikuti kegiatan sekolah agar mereka memiliki perkembangan potensi individu yang optimal, memiliki perkembangan emosi sesuai dengan usianya, menjadi individu yang mandiri, serta mampu menyesuaikan diri dalam lingkungan sosial melalui pendekatan holistik antara sekolah, orangtua, dan tim professional.27 Adapun tugas dan tanggungjawab guru SEN Unit adalah bekerjasama dengan guru dan atau guru pendamping dalam menangani siswa berkebutuhan khusus agar mereka dapat lebih beradaptasi di lingkungan sekolah. Tugas dan tanggungjawab lainnya adalah membuat rancangan IEP yang merupakan program siswa berkebutuhan khusus di bidang akademis dan non-akademis, dan melakukan evaluasi secara berkala. Guru SEN Unit juga bertugas membuat IEP final dengan cara berkoordinasi dengan guru, guru pendamping, dan pihak-pihak yang terkait antara lain psikolog, terapis, dan orang tua dalam membuat dan menjalankan IEP. Membuat laporan tertulis mengenai program yang dijalankan adalah tugas lainnya dari guru SEN Unit disamping membuat dan mempresentasikan profil siswa berkebutuhan khusus mengenai program dan hasil pencapaian mereka selama 1 tahun pelajaran pada pihak yang terkait.28 26
Berdasarkan wawancara dengan Bapak Abdul Hakim Anshory, S.P., koordinator SEN Unit di Madania, 30-4- 2010. 27 28
Educational Support Department, Handbook 2009-2011, 7-9. Educational Support Department, Handbook 2009-2011, 8.
63
4. Kolaborasi dari pendidikan umum/reguler dan pendidikan khusus. Sekolah dikatakan sekolah inklusi apabila ada kolaborasi antara pendidikan reguler dan pendidikan khusus. Semua guru yang terlibat di dalamnya harus memahami karakteristik masing-masing siswa, khususnya yang berkebutuhan
khusus,
memahami persoalannya
dan
berusaha
mencari
pemecahan masalahnya. Oleh karenanya, perlu sering dilakukan pertemuan diantara seluruh guru yang terlibat dalam pelayanan siswa berkebutuhan khusus paling tidak 1 atau 2 minggu sekali. Pertemuan ini sekaligus untuk mengevaluasi program yang telah dilaksanakan seminggu sebelumnya. Di Madania yang sejak awal kehadirannya mengusung nilai-nilai inklusif dalam penyelenggaraannya, tentunya kolaborasi antara pendidikan umum dan pendidikan khusus sudah ada di dalamnya. Oleh karena itu, dalam pengelolaannya senantiasa ada kerjasama antara kepala sekolah, guru kelas, guru mata pelajaran, guru SEN Unit, guru pendamping, dan semua pihak yang ada di lingkungan pendidikan Madania. 5. Dukungan kelas. Dukungan kelas yang dimaksud disini adalah dukungan dari seluruh warga kelas
yang terdiri dari guru, guru pendamping, dan siswa tanpa
kebutuhan khusus (siswa normal). Di Madania, dukungan guru kelas sangat dirasakan mampu menciptakan suasana belajar mengajar yang nyaman bagi seluruh siswa khususnya siswa berkebutuhan khusus, karena mereka merasakan perlakuan yang wajar seperti yang lain. Dukungan dari siswa normal juga sangat membantu siswa berkebutuhan khusus dalam mengembangkan harga diri dan potensinya. 29 Dukungan yang diberikan akan memberikan manpaat juga bagi mereka sendiri yaitu mereka dapat belajar tentang perbedaan individu dan bagaimana menyikapinya dengan
29
Bentuk dukungan mereka diantaranya menjadi pendamping dari teman sebaya yang membantu proses adaptasi temannya yang berkebutuhan khusus di dalam kelas. Berdasarkan wawancara dengan Bapak Abdul Hakim Anshory, S.P., koordinator SEN Unit di Madania, 304- 2010.
64
cara menunjukkan sikap toleransi.
30
Dengan begitu semua siswa dilatih untuk
menyadari dan memahami keragaman dan perbedaan sesama temannya baik perbedaan suku, agama dan ras bahkan perbedaan fisik dan mentalnya. Sementara dukungan guru pendamping di dalam kelas adalah membantu proses belajar mengajar secara individual agar siswa berkebutuhan khusus mendapatkan kemajuan di bidang akademik dan sosial secara optimal.Tidak semua siswa berkebutuhan khusus membutuhkan guru pendamping, tergantung dari karakteristik siswa yang bersangkutan. Siswa berkebutuhan khusus yang didampingi adalah siswa yang mengalami hambatan dalam komunikasi, bahasa (reseptif-ekspresif), sosialisasi, perilaku dan akademik.31 6. Individualized Educational Plan (IEP). Penyelenggaraan
pendidikan inklusi yang baik dan terencana
memerlukan penentuan IEP32 yang sesuai dengan kebutuhan siswa. IEP diperlukan untuk memberikan layanan pendidikan bagi siswa berkebutuhan khusus secara individual. Setiap
individu siswa mendapat perhatian khusus
mulai dari rencana pertahun, progress perkembangan hasil belajar sampai penentuan bentuk evaluasinya. Untuk mendapatkan IEP yang tepat sehingga menghasilkan kemajuan harus didukung data yang akurat dan analisis data yang dilakukan secara teratur. Dengan IEP seorang guru dapat memonitor keterampilan sosial siswa pada awal,
30
Meningkatkan Persahabatan antara anak dengan dan tanpa kebutuhan khusus dapat dilakukan dengan cara mengembangkan model pertemanan, memberikan kesempatan kepada anak-anak untuk mengenal satu sama lain, mengajarkan keterampilan interpersonal untuk menciptakan dan memelihara persahabatan, menyediakan kondisi yang sesuai untuk mendorong interaksi sosial yang tepat, mengidentifikasi dan menetapkan peran dalam pengalaman pembelajaran kooperatif untuk membina persahabatan, membantu anak-anak membuat lingkaran teman sebelum pindah ke lingkungan pendidikan yang baru, serta menggunakan buku-buku, video, dan lagu-lagu / tarian yang mendorong persahabatan. Lihat David Auxter, Jean Pyfer, Carol Huettig, Principles and Methods of Adapted Physical Education and Recreation (New York: McGraw-Hill , 2005),162. 31 32
Educational Support Department, Handbook 2009-2011, 8.
Format IEP Madania dibuat oleh guru SEN Unit yang pembuatannya disepakati oleh semua guru yang terlibat, psikolog, dan pihak ahli lain yang ditunjuk oleh orang tua. Aspek yang dicantumkan adalah aspek akademik dan non akademik yang diharapkan dicapai oleh siswa, dengan prioritas aspek yang digali sesuai kesepakatan pihak yang terkait. Lihat Educational Support Department, Handbook 2009-2011, 18-19.
65
tengah dan akhir tahun ajaran. Dengan demikian, pengambilan dan pencatatan data awal dan akhir (pre and post data) harus terus dilakukan secara teratur terutama data tentang perilaku dan interaksi sosial siswa. Pembuatan IEP di Madania biasanya dilakukan untuk satu tahun ajaran. Pembuatan IEP dilakukan di awal tahun ajaran oleh tim edukasi siswa yang terdiri atas orang tua, guru, psikolog, dan pendamping siswa. IEP ini akan dievaluasi setiap akhir semester dan akhir tahun ajaran. 33 IEP dibuat secara individual sesuai dengan kebutuhan siswa dan menekankan pada
potensi
yang
dimiliki
oleh
siswa,
bukan pada
ketidakmampuannya. Oleh karenanya, program yang tercantum dalam IEP akan berbeda-beda untuk setiap siswa berkebutuhan khusus. 34 7. Reguler Education Ownership. Dalam pelaksanaan pendidikan inklusi terutama dalam proses belajar mengajar, perlu ditanamkan rasa percaya diri pada siswa berkebutuhan khusus dengan pemahaman bahwa dia merupakan bagian tak terpisahkan dari temanteman sekelasnya. Meskipun dalam beberapa materi tertentu dipisahkan dari teman sekelasnya akan tetapi dia tetap kembali dan masih menjadi bagian dari kelas tersebut.
Dengan kata lain meskipun siswa tersebut tidak mampu
berpartisipasi secara penuh dalam kelas regulernya, namun ia masih mengikuti pembelajaran bersama siswa-siswa lain setiap harinya. Ini berarti siswa tersebut tetap bagian dari kelas regulernya dan bukan sekedar siswa pendatang semata. Untuk mengoptimalkan proses pembelajaran, siswa berkebutuhan khusus yang diterima di Madania dibagi menjadi 3 kelompok berdasarkan hasil tes tingkat kemampuan menyerap pelajaran, yaitu reguler, reguler modifikasi dan individual.35 Untuk kelompok reguler yang tingkat kemampuan daya serap 33
Berdasarkan wawancara dengan Bapak Abdul Hakim Anshory, S.P., koordinator SEN Unit di Madania, 30-4- 2010. 34
35
Educational Support Department, Handbook 2009-2011, 18.
Di sekolah inklusi lain pembagian tingkat kelainan peserta didik berkebutuhan khusus adalah a): mild disabilities (tingkat kelainan yang ringan dan masih bisa melakukan kegiatan dengan anak-anak seusianya); b) moderate disabilities (tingkat kelainan sedang, masih bisa
66
pelajarannya lebih bagus, siswa belajar 90-100% di kelas dan belajar individual 0-10% dengan guru SEN Unit. Sementara kelompok reguler modifikasi yang tingkat kemampuannya lebih rendah , siswa belajar 80-90% di kelas dan belajar individual 10-20% dengan guru SEN Unit atau guru remedial. Sedangkan untuk kelompok individual yakni siswa yang tingkat kemampuan daya serapnya sangat rendah, siswa belajar 70-80% di kelas dan belajar individual 20-30% dengan guru SEN Unit atau guru remedial. 36 Berdasarkan pengelompokkan tersebut, siswa berkebutuhan khusus di Madania yang masuk kelompok reguler ada 39,5%, kelompok reguler modifikasi ada 39,5%, dan kelompol individual ada 21% dari keseluruhan jumlah siswa berkebutuhan khusus. 37 8. Kolaborasi antara sekolah dan orangtua di rumah. Kerjasama secara aktif antara sekolah dan orang tua dalam pendidikan inklusi mutlak diperlukan. Pendidikan inklusi tidak bisa hanya mengandalkan sekolah saja sementara orang tua menyerahkan 100% kepada sekolah. Orang tua merupakan bagian penting dalam pendidikan inklusi. Jika orang tua dan para guru dapat bekerjasama dengan baik, kemajuan yang nyata biasanya akan tampak. Kolaborasi antara orang tua di rumah dan guru di sekolah dapat membantu siswa dalam melakukan generalisasi keterampilan yang ia dapatkan, sekaligus memberi kesempatan untuk orang tua dan guru berbagi ide tentang strategi pembelajaran yang terbaik untuknya.
melakukan kegiatan dengan bantuan); c) severe atau profound disabilities (tingkat kelainan beratyang memerlukan pendampingan dan bantuan); d) most-severe disabilities (tingkat kelainan sangat berat yang memerlukan bantuan dan perawatan terus-menerus). Lihat Pusat Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan Balitbang Diknas, Pengkajian Pendidikan Inklusif bagi Anak Berkebutuhan Khusus pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah (Jakarta: Diknas, 2008), 7-8. 36 37
Educational Support Department, Handbook 2009-2011, 16.
Berdasarkan dokumen database dari SEN Unit, jumlah siswa berkebutuhan khusus tingkat SD ada 16 siswa dengan jumlah siswa yang masuk kelompok reguler ada 6 siswa, reguler modifikasi 6 siswa, dan kelompok individual 4 siswa. Untuk tingkat SMP, jumlah siswa berkebutuhan khusus ada 16 siswa dengan jumlah siswa yang masuk kelompok reguler ada 8 siswa, reguler modifikasi 5 siswa, dan individual 3 siswa. Dan untuk tingkat SMA, jumlah siswa berkebutuhan khusus ada 16 siswa dengan jumlah siswa yang masuk kelompok reguler ada 5 siswa, reguler modifikasi 8 siswa, dan individual 3 siswa.
67
Madania meyakini bahwa keberhasilan dalam menangani siswa berkebutuhan khusus terletak pada kerjasama semua pihak , khususnya pihak sekolah dan pihak orang tua di rumah. Oleh karenanya, disamping memiliki program yang mempertemukan pihak orang tua dan sekolah seperti dalam pembuatan IEP, Madania pun membuat buku penghubung yang dijadikan sebagai alat komunikasi antara orang tua di rumah dan guru di sekolah tentang perkembangan kemajuan siswa. 38 Pendidikan Inklusi lebih dari integrasi fisik, sehingga selain dapat mengakses ruang kelas dan seluruh fasilitas, siswa berkebutuhan khusus harus diberikan dukungan sistem pembelajaran yang memadai. Dukungan ini meliputi dukungan kurikulum yang fleksibel (untuk beberapa siswa), guru-guru yang dipersiapkan, dan sebuah budaya masyarakat sekolah yang terbuka dan toleran. Masyarakat sekolah akan terwujud apabila setiap orang berbagi aktivitas dan nilai-nilai, setiap orang merasa bahwa mereka berada di sisi yang sama, meraih tujuan yang sama, dan mereka tahu bahwa mereka semua saling bergantung satu sama lain. Agar setiap siswa bisa berhasil dalam belajarnya, maka kita perlu menghargai keragaman masing-masing siswa untuk kemudian dikembangkan , karena setiap siswa adalah unik. Semua orang akan memiliki sesuatu untuk berkontribusi pada pengetahuan kelas dan kesejahteraan serta siswa akan merasa didukung dalam upaya mereka menciptakan sebuah budaya kelas yang inklusif.39 Demikian pula halnya dengan perkembangan interaksi sosial dan komunikasi dalam pembentukan persahabatan dan bekerja dalam kelompok. Seluruh siswa belajar untuk mempunyai empati dan simpati (sensitive), penuh pengertian dan tumbuh dengan nyaman bersama dengan teman-teman sekelasnya yang berbeda-beda. Kondisi ini akan meningkatkan kemampuan sosial diantara siswa-siswa selama belajar di sekolah. Siswa mendapat kesempatan untuk mengembangkan kemampuan akademik, bina diri (daily life skills), komunikasi, dan keterampilan sosial. 40 38
Berdasarkan wawancara dengan Bapak Mardaih, S.Pd., guru SEN Unit di Madania,
5-5- 2010. 39
Alan S Canestrari & Bruce A Marlowe, Educational Foundations An Anthology of Critical Readings (California : Sage Publications, 2004), 64. 40
Alan S Canestrari & Bruce A Marlowe, Educational Foundations, 63.
68
Seluruh siswa termasuk siswa berkebutuhan khusus, memerlukan adanya interaksi antara guru dengan siswa, dan antara siswa dengan siswa , yang merupakan model dalam akademik dan keterampilan sosial. Selanjutnya untuk siswa-siswa dengan keterbatasan akademik (cognitive disabilities) sebaiknya tidak harus diberatkan dengan materi-materi akademik. Strain menjelaskan bahwa cukup beralasan untuk siswa-siswa dengan gangguan perkembangan untuk mendapat kesempatan mengembangkan keterampilan sosialnya saja. Mereka mungkin tidak mampu menerima semua kurikulum pendidikan umum, namun mereka perlu mendapatkan pengalaman belajar dalam lingkungan pendidikan umum. Mereka menjadi siap untuk hidup bermasyarakat.41 Manfaat dari penyelenggaraan program inklusi dapat dirasakan tidak hanya oleh siswa berkebutuhan khusus saja tetapi dapat juga dirasakan oleh siswa lainnya, guru dan keluarga. Manfaat bagi siswa berkebutuhan khusus adalah terhindar dari label negatif sehingga memiliki rasa percaya diri dan memiliki kesempatan menyesuaikan diri untuk menghadapi kehidupan nyata. Manfaat bagi siswa normal lainnya adalah dapat belajar tentang keterbatasan dan keunikan temannya, serta dapat mengembangkan keterampilan sosialnya seperti berempati terhadap permasalah temannya dan membantu temannya yang kesulitan. Manfaat bagi guru adalah meningkatkan wawasan guru mengenai karakter siswa sehingga guru mengenali peta kekuatan dan kelemahan siswanya serta menambah kompetensi guru sehingga guru lebih kreatif dan terampil mengajar dan mendidik. Sedangkan manfaat bagi keluarga yaitu dapat meningkatkan penghargaan terhadap anak. Orang tua yang memiliki siswa berkebutuhan khusus, senang ketika anaknya dapat bersosialisasi dengan baik tanpa ada diskriminasi. Sedangkan orang tua yang anaknya tidak memiliki kebutuhan khusus, merasa senang ketika anaknya memiliki keterampilan sosial yang baik. Berdasarkan uraian tersebut, disain pengelolaan sekolah inklusi yang 41
Alan S Canestrari & Bruce A Marlowe, Educational Foundations, 64.
69
tepat
akan sangat mempengaruhi kualitas proses pendidikannya. Cerminan
disain yang tepat akan terlihat pada keseluruhan rencana pendidikannya mulai dari landasan filosofis, visi, misi, tujuan, perencanaan program dan tenaga pendidik dan kependidikannnya sampai sistem manajemennya. B.
Manajemen Pendidikan Inklusi
Elemen penting dalam pengelolaan pendidikan inklusi adalah penerapan manajemen pendidikan yang mendukung pada inklusivitas pengajaran dan pembelajaran untuk siswa berkebutuhan khusus. Manajemen pendidikan sebagai suatu disiplin ilmu dan sebagai seni, dalam prakteknya dapat memainkan peranan yang amat penting dalam mewujudkan sistem pendidikan yang bermutu dan berkelanjutan. Apabila manajemen pendidikannya profesional, maka seluruh sumber daya pendidikan yang ada akan berpengaruh terhadap pembangunan sumber daya manusia yang bermutu. Sumber daya manusia yang bermutu tinggi hanya akan didapatkan melalui pendidikan yang bermutu, berperadaban, efektif dan efisien. Manajemen pendidikan merupakan alternatif strategis untuk meningkatkan mutu pendidikan. Hasil penelitian Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1991 menunjukkan bahwa manajemen sekolah merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi mutu pendidikan.42 Sebagai tindak lanjutnya belakangan ini pemerintah mensosialisasikan penerapan sistem Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang disebut juga sebagai otonomi sekolah (school autonomy) atau site-based management. 43 Sistem manajemen ini juga dapat dijadikan sebagai alat pendukung dalam proses pendidikan inklusi karena dalam MBS, otonomi sekolah diberikan lebih besar dalam pengelolaannya sehingga sekolah lebih bisa menyesuaikan dengan kebutuhan di lapangan. MBS pada prinsipnya bertujuan untuk memberdayakan sekolah dalam menetapkan berbagai kebijakan internal sekolah yang mengarah pada 42
Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI, Ilmu dan Aplikasi Pendidikan (Bandung: Intima, 2007), 228. 43
L.G. Beck & J. Murphy, The Four Imperatives of a Successful School (Thousand Oaks, California: Corwin, 1996), 53.
70
peningkatan mutu dan kinerja sekolah secara keseluruhan.44 Melalui MBS, sekolah lebih diberdayakan untuk menentukan sendiri kebijakan (operasional) yang dipandang sesuai dengan kondisi-kondisi internal dan lokalnya. Kepala Sekolah, guru, karyawan, siswa dan orang tua memiliki kewenangan yang luas untuk mengambil keputusan yang terbaik bagi sekolahnya dalam memecahkan masalah dan menjawab tantangan yang dihadapinya serta memenuhi kebutuhan dan mewujudkan cita-citanya (yang dirumuskan dalam visi, misi, tujuan, dan strategi pokok dan operasional) dalam kerangka upaya peningkatan mutu. Beck dan Murphy mengemukakan empat kondisi yang wajib dipenuhi untuk peningkatan mutu sekolah yaitu: fokus yang kuat dan konsisten pada mutu, kepemimpinan yang kuat dan fasilitatif, komitmen untuk memelihara kekompakan internal dan eksternal, dan sumberdaya yang diarahkan untuk meningkatkan kemampuan semua orang dalam komunitas sekolah.45 Keuntungan dari pengambilan keputusan partisipatoris dalam MBS adalah keputusan merupakan hasil bersama, dan upaya mewujudkannya pun harus bersama-sama, disertai rasa ikut terlibat dan ikut memiliki. Orang tua misalnya, tidak bisa lagi hanya mempercayakan sepenuhnya pendidikan anaknya kepada sekolah, melainkan harus ikut memantau dan mendorong siswa serta menciptakan lingkungan yang kondusif bagi belajar anak dalam keluarganya. Bila orang tua memiliki harapan yang tinggi terhadap pendidikan anaknya di sekolah- yang itu diperlukan dukungan dana, maka mereka pun harus siap menanggungnya.46 Dalam pendidikan, manajemen
dapat diartikan sebagai aktivitas
memadukan sumber-sumber pendidikan agar terpusat dalam usaha mencapai tujuan pendidikan yang telah ditentukan sebelumnya. 47 Tujuan pendidikan terus menerus diarahkan pada pemerdekaan manusia yaitu manusia yang dapat 44
Dedi Supriadi, Satuan Biaya Pendidikan Dasar dan Menengah (Bandung: Rosda,
2003), 18. 45
L.G.Beck & J.Murphy, The Four Imperatives of a Successful School , 63.
46
Dedi Supriadi, Satuan Biaya Pendidikan Dasar dan Menengah, 22.
47
Made Pidarta, Manajemen Pendidikan Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), 4.
71
memilih kehidupannya yang rasional dan bermoral di dalam tatanan budayanya, masyarakat lokalnya, masyarakat nasional dan kemanusiaan global. Dalam pandangan H.A.R Tilaar, pedagogik yang demikian adalah pedagogik yang membebaskan peserta didik atau pedagogik libertarian. Pedagogik libertarian adalah pedagogik transformatif
yang melihat proses
pendidikan bukan sebagai suatu proses yang statis yang membawa peserta didik menyesuaikan diri dengan berbagai peraturan yang ada baik berupa tradisi, maupun ikatan-ikatan sosial lainnya yang disepakati oleh manusia seperti lembaga-lembaga sosial yang ada, lembaga negara, serta lembaga-lembaga organisasi dunia. Pedagogik transformatif berupaya mentransformasikan potensi yang ada pada diri seseorang sebagai makhluk yang bebas, dan dengan mentransformasikan dirinya dia dapat mentransformasikan lingkungannya, adat istiadatnya, dan lembaga-lembaga masyarakat yang dimilikinya.48 Istilah manajemen sekolah acapkali disandingkan dengan istilah administrasi sekolah. Berkaitan dengan itu, terdapat tiga pandangan berbeda yaitu:
pertama, mengartikan administrasi lebih luas dari pada manajemen
(manajemen merupakan inti dari administrasi); kedua, melihat manajemen lebih luas dari pada administrasi ( administrasi merupakan inti dari manajemen); dan ketiga yang menganggap bahwa manajemen identik dengan administrasi. 49 Istilah manajemen yang diartikan sama dengan istilah administrasi atau pengelolaan, yaitu segala usaha bersama untuk mendayagunakan sumbersumber, baik personal maupun material, secara efektif dan efisien guna menunjang tercapainya tujuan pendidikan di sekolah secara optimal. 50 Dengan demikian perbedaan penggunaan istilah tersebut tidak untuk diperdebatkan, karena yang paling esensi adalah bagaimana agar suatu organisasi atau institusi 48
H.A.R. Tilaar, Manifesto Pendidikan Nasional (Jakarta: Kompas, 2005), 126-127.
49
Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa, Manajemen Sekolah dalam Pendidikan Inklusif (Jakarta, Ditplb, 2006), 1-2. 50
Inklusif, 2.
Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa, Manajemen Sekolah dalam Pendidikan
72
pendidikan dapat mencapai tujuan secara efektif dan efisien dengan sumber daya pendidikan yang ada. Pengertian lain tentang manajemen diungkapkan oleh Dale yang mengutip beberapa pendapat ahli tentang pengertian manajemen sebagai: mengelola orang-orang, pengambilan keputusan dan proses mengorganisasi dan memakai sumber-sumber untuk menyelesaikan tujuan yang sudah ditentukan.51 Pengertian yang lain adalah kelompok khusus orang-orang yang tugasnya mengarahkan usaha ke arah tujuan-tujuan melalui aktivitas-aktivitas orang lain atau membuat sesuatu dikerjakan oleh orang-orang lain. 52 Sesuatu aktivitas menggerakkan orang lain, sesuatu kegiatan memimpin, atas dasar sesuatu yang telah diputuskan terlebih dahulu.53 Dan suatu pandangan yang lebih bersifat umum menyatakan bahwa manajemen ialah proses mengintegrasikan sumbersumber yang tidak berhubungan menjadi sistem total untuk menyelesaikan suatu tujuan.54 Yang dimaksud sumber disini ialah mencakup orang-orang, alatalat, media, bahan-bahan, uang dan sarana. Semuanya diarahkan dan dikoordinasi agar terpusat dalam rangka menyelesaikan tujuan. Manajemen pendidikan adalah penerapan prinsip-prinsip manajemen dalam mengelola praksis pendidikan agar efektif dan efisien sehingga output dari organisasi pendidikan mempunyai mutu yang tinggi. 55 Manajemen pendidikan diarahkan untuk meningkatkan kualitas pendidikan, yaitu pendidikan yang mempunyai relevansi serta akuntabilitas. Relevansi pendidikan hanya dapat dicapai apabila masyarakat sendiri ikut serta dalam proses pelaksanaan visi, misi, kebutuhan dari masyarakat pemiliknya. Demikian pula, lembaga
51
Ernest Dale, Management: Theory and Practice (Tokyo: Mc Graw Hill Kogakhusa, Ltd, 1973), 4. 52
Joseph L. Massie, Essentials of Management (New Delhi: Prentice Hall off India Private Limited, 1973), 4. 53
Siagian, Filsafat Administrasi (Jakarta: Gunung Agung, 1979), 74-75.
54
Richard A. Johnson, et al, The Theory and Management of Systems (Tokyo: Mc Graw Hill Kogakhusa Ltd, 1973), 15. 55
H.A.R. Tilaar, Kekuasaan dan Pendidikan (Magelang: Indonesiatera, 2003), 270.
73
pendidikan memiliki kualitas yang tinggi apabila mempunyai akuntabilitas terhadap masyarakatnya. 56 Dalam pelaksanaan manajemen pendidikan, perlu seorang pemimpin yang berpandangan luas dan berkemampuan, baik dari segi pengetahuan, keterampilan, maupun sikap. Seorang pemimpin sekolah diharapkan memiliki pengetahuan tentang administrasi sekolah. Selain itu memiliki keterampilan dalam bidang: perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pengkoordinasian, pengawasan, dan penilaian pelaksanaan kegiatan yang ada di bawah tanggungjawabnya. Manajemen yang baik ialah manajemen yang sesuai dengan konsep, obyek yang ditanganinya serta tempat organisasi itu berada. Namun variasi bisa terjadi akibat kreasi dan inovasi para pimpinan. Variasi ini berkaitan dengan obyek yang ditangani dan tempat organisasi itu. Artinya setiap obyek membutuhkan cara tersendiri untuk menanganinya, begitu pula masing-masing tempat organisasi memiliki situasi dan kondisi yang berbeda yang membutuhkan penyesuaian pula bagi manajemen pada organisasi itu. Demikian juga dengan sekolah yang menerapkan pendidikan inklusi, diperlukan keterampilan manajemen yang inovatif dan kreatif dari para pengelolanya. Tentu saja kebutuhan penanganannya tidak jauh berbeda dengan sekolah regular, hanya terdapat penanganan tambahan untuk melayani siswa berkebutuhan khusus. Dalam implementasinya di lapangan, manajemen yang dijalankan di sekolah inklusi akan membutuhkan kreatifitas dan inovasi dari seorang pimpinan karena kondisi sekolah akan lebih banyak menyesuaikan dengan kekhususan layanan masing-masing siswa. Disamping itu, diperlukan suatu
upaya
penciptaan suasana lingkungan pendidikan yang dapat memungkinkan setiap individu dalam kelas dapat mengoptimalkan potensinya untuk maju dan berhasil. Salah satunya adalah upaya manajemen sekolah yang dapat mengidentifikasi kekurangan siswa sehingga dapat dibantu dan maju dalam lingkungan pendidikan inklusinya. 56
H.A.R. Tilaar, Kekuasaan dan Pendidikan, 284.
74
Manajemen pengelolaan pendidikan yang dibutuhkan sekolah yang menerapkan pendidikan inklusi dicontohkan dengan baik oleh lembaga pendidikan Madania.57 Suasana pendidikan yang mendukung terhadap pendidikan inklusi digerakkan oleh satu unit yang bertanggungjawab dalam upaya pemenuhan pendidikan inklusi terutama untuk siswa berkebutuhan khusus. Di Madania, manajemen layanan untuk siswa berkebutuhan khusus ditangani oleh satu unit organisasi yang diberi nama Special Educational Needs Unit (SEN Unit).58 Ditinjau dari struktur organisasi pendidikan di Madania, SEN Unit merupakan sub bagian dari bidang Head of Educational Support yang sejajar dengan sub bagian student services, sub bagian extra curricular dan sub bagian community service. Head of Educational
Support yang menangani urusan
pendukung pendidikan sejajar dengan Kepala SD, Kepala SMP dan Kepala SMA yang semuanya berada di bawah koordinasi satu badan yang bernama Prinsipal. Prinsipal sendiri langsung berada di bawah koordinasi Direktur Pendidikan Madania. 59 Keberadaan SEN Unit adalah bertujuan untuk membantu sekolah dalam layanan pendidikan bagi siswa berkebutuhan khusus. Dari sudut manajemen, wilayah kerja unit ini adalah melakukan upaya proses kegiatan kerjasama untuk mencapai tujuan pendidikan inklusi. Urutan-urutan proses kegiatan SEN Unit dimulai dari planning, organizing, implementing, dan controlling. Unit ini menjalankan fungsi manajemen yakni menggerakkan keseluruhan kegiatan atau fungsi untuk mencapai tujuan yang diinginkan dalam pendidikan inklusi. Kemudian, dari sudut institusi manajemen, SEN Unit juga merupakan suatu lembaga yang secara totalitas melakukan kegiatan organisasi untuk mencapai tujuan institusi yang telah ditetapkan bersama sebelumnya.
57
Madania menerapkan pendidikan inklusi sejak tahun 1998. Berdasarkan wawancara dengan Bapak Abdul Hakim Anshory, S.P. di Madania, 30-4-2010. 58 59
Educational Support Department, Handbook 2009-2011, 9.
Berdasarkan wawancara dengan Bapak Abdul Hakim Anshory, S.P., koordinator SEN Unit di Madania, 22-7- 2010.
75
Tanggungjawab SEN Unit adalah merencanakan dan melaksanakan seluruh aktifitas pendidikan yang diperlukan untuk siswa berkebutuhan khusus. Diantara tugasnya selain menangani langsung siswa berkebutuhan khusus secara individual,
juga menciptakan suasana belajar yang bisa membentuk sikap
toleran dan mengenal perbedaan bagi seluruh siswa yang normal di lingkungan Madania. Selain itu, unit ini bertugas untuk menjelaskan dan melatih semua guru yang akan mengajar di kelas yang berkebutuhan khusus.
diantara siswanya adalah siswa
60
SEN Unit di Madania ini dipimpin oleh seorang koordinator SEN Unit yang membawahi 14 guru SEN Unit. SEN Unit ini berada di bawah tanggung jawab Head of Educational Support yang menangani bidang pendukung pendidikan di lingkungan Madania. Personil yang terlibat dalam menjalankan fungsi lembaga ini adalah Head of Educational Support, koordinator SEN Unit, dan guru-guru SEN Unit. Seorang guru SEN Unit bertanggung jawab untuk menangani antara 3 sampai 5 siswa berkebutuhan khusus. Dalam menjalankan tugas dan tanggungjawabnya, guru SEN Unit dapat dibantu oleh guru pendamping yang disediakan oleh orang tua siswa berkebutuhan khusus untuk mendampingi anaknya selama menjalankan aktivitas sehari-hari di sekolah.61 Siswa berkebutuhan khusus yang ditangani oleh SEN Unit adalah siswa yang didiagnosa mempunyai gangguan perkembangan. Orang yang berhak melakukan asesmen psikologi dan memberi diagnosa gangguan perkembangan tertentu
adalah
psikolog.
Oleh
karenanya,
untuk
menentukan
siswa
berkebutuhan khusus yang ditangani SEN Unit, mutlak diperlukan data tertulis mengenai hasil asesmen psikologi.62
60
Berdasarkan wawancara dengan Bapak Abdul Hakim Anshory, S.P., koordinator SEN Unit di Madania, 30-4- 2010. 61
62
Educational Support Department, Handbook 2009-2011, 8-9.
Educational Support Department, Handbook 2009-2011, 9. Lihat juga pendapat Wagner yang mengatakan bahwa dalam melakukan pengkajian terhadap anak berkebutuhan khusus, ia melakukan beberapa langkah yaitu: menentukan kelebihan dan kekurangan siswa
76
Tidak semua sekolah yang menerapkan pendidikan inklusi dapat melayani pendidikan bagi semua jenis gangguan perkembangan siswa.63 Masing-masing sekolah memiliki kemampuan dan kelengkapan fasilitas yang berbeda sehingga hanya beberapa jenis gangguan saja yang dapat dilayani oleh sebuah sekolah. Demikian juga
Madania yang hanya menerima siswa
berkebutuhan khusus yang mengalami gangguan perkembangan saja.64 Adapun jenis gangguan perkembangan siswa berkebutuhan khusus yang ditangani oleh SEN Unit di Madania adalah autism, asperger syndrom, Attention Deficit Disorder (ADD) / Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD), learning difficulties,
dyslexia,
Pervasive Developmental Disorder Not Otherwise
Specified ( PDD-NOS) dan speech delay.65 Penjelasan tentang masing-masing jenis ganguan perkembangan tersebut diuraikan dalam buku panduannya sebagai berikut: Pertama, autism adalah gangguan atau abnormalitas yang nyata pada interaksi sosial dan komunikasi dan adanya pengulangan kegiatan dan minat yang kaku. Gejala autism adalah kekakuan yang sangat besar pada hal-hal yang sama, isolasi sosial yang ekstrim, dan hambatan yang berat pada kemampuan bahasa. Kedua, asperger syndrom atau sindroma asperger mirip dengan autisma infantil (autisma pada masa kanakkanak). Sindroma asperger ditandai oleh adanya gangguan yang berat dan (strengths and deficits), mengobservasi kelas reguler yang akan dimasuki anak, mengulas tujuan IEP, menetapkan target keterampilan sosial, melakukan pengkajian motivasional, mengadakan pertemuan rutin, dan menarik kesimpulan. K.A.Waldron, Introduction to a Special
Education: the Inclusive Classroom (USA: Delmar Publisher, 1996), 83. 63
Berdasarkan kemampuan intelektualnya, peserta didik berkebutuhan khusus dapat dikelompokkan menjadi dua kategori yaitu (1) peserta didik berkelainan tanpa disertai dengan kemampuan intelektual di bawah rata-rata, (2) peserta didik berkelainan yang memiliki kemampuan intelektual di bawah rata-rata. Kelompok yang pertama merupakan peserta didik yang dapat mengikuti pendidikan inklusi. Hal ini sesuai dengan Lampiran Peraturan Menteri No.22 Tahun 2006 yang menyatakan bahwa peserta didik pendidikan inklusi adalah peserta didik berkelainan tanpa disertai dengan kemampuan intelektual di bawah rata-rata yang berkeinginan untuk melanjutkan pendidikan sampai ke jenjang pendidikan tinggi. Berkelainan dalam hal ini adalah tunanetra, tunarungu, tunadaksa ringan, dan tunalaras. Lihat Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No.22 Tahun 2006. 64
Fasilitas yang ada di Madania belum memungkinkan untuk menerima siswa berkebutuhan khusus yang mengalami gangguan fisik. Berdasarkan wawancara dengan Bapak Abdul Hakim Anshory, S.P., koordinator SEN Unit di Madania, 30-4- 2010. 65
Educational Support Department, Handbook 2009-2011, 9-10.
77
menetap dalam interaksi sosial serta adanya perkembangan yang terbatas, polapola perilaku, minat dan kegiatan yang berulang.66 Ketiga, Attention Deficit Disorder (ADD) atau gangguan pemusatan perhatian dan Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) atau gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas mempunyai gejala yang sekilas mirip autisma tetapi memiliki kemampuan komunikasi dan interaksi sosial yang jauh lebih baik. Keempat, learning difficulties atau kesulitan belajar adalah sebuah kondisi dimana seseorang mengalami kesulitan belajar yang disebabkan oleh satu atau beberapa faktor yang tidak diketahui yang berpengaruh terhadap kemampuan otak menerima dan memproses informasi.67 Kelima, dyslexia adalah sebuah kondisi ketidakmampuan belajar pada seseorang yang disebabkan oleh kesulitan pada orang tersebut dalam melakukan aktivitas membaca dan menulis. Keenam, Pervasive Developmental Disorder Not Otherwise Specified
(PDD-NOS) umumnya digunakan untuk menjelaskan
beberapa karakteristik autisma pada seseorang. PDD-NOS adalah gangguan perkembangan yang cenderung memiliki karakteristik serupa dan gejalanya muncul sebelum usia 3 tahun dan bersifat neurologis yang mempengaruhi kemampuan berkomunikasi, pemahaman bahasa, bermain, dan kemampuan berhubungan dengan orang lain. Ketujuh, speech delay atau keterlambatan bicara merupakan salah satu penyebab gangguan perkembangan yang paling sering ditemukan pada siswa terutama keterlambatan bicara fungsional. 68 Berdasarkan diagnosa psikolog, siswa berkebutuhan khusus di Madania ada 48 siswa dengan perincian gangguan perkembangan sebagai berikut: autism 21 siswa, autism & mental retardation 1 siswa, dyslexia 5 siswa, learning difficulties 7 siswa, learning difficulties dan sensorik 1 siswa, ADD 1 siswa, speech delay 2 siswa, ADHD 8 siswa, asperger 1 siswa, PDD-NOS 1 siswa. 69 66 67 68 69
Educational Support Department, Handbook 2009-2011, 10. Educational Support Department, Handbook 2009-2011, 10-11. Educational Support Department, Handbook 2009-2011, 11-13.
Berdasarkan dokumen database, dilihat dari sudut sebaran jenjang, jumlah tersebut tersebar di tingkat SD, SMP, dan SMA. Untuk perincian gangguan perkembangan tingkat SD adalah: autism 5 siswa, dyslexia 2 siswa, learning difficulties 4 siswa, ADD 1 siswa, speech
78
Kemudian masih terkait dengan manajemen, berdasarkan fungsi pokoknya,
manajemen mempunyai fungsi
merencanakan (planning),
mengorganisasikan (organizing), mengarahkan (directing), mengkoordinasikan (coordinating), mengawasi (controlling), dan
mengevaluasi (evaluation).70
Fungsi-fungsi ini sebagian besar
sebelum proses pendidikan
dikerjakan
berlangsung, kecuali mengontrol dan melaporkan dilakukan selama dan setelah proses pendidikan berlangsung. Dalam penelitian ini penulis menemukan beberapa langkah yang dilakukan oleh Madania dalam penyelenggaraan pendidikan inklusi dan termasuk dalam konteks manajemen ini. Berikut ini dijelaskan langkah-langkah manajemen yang diperlukan dalam penyelenggaraan pendidikan inklusi : 1. Perencanaan (planning) Perencanaan merupakan kegiatan untuk menetapkan tujuan yang akan dicapai beserta cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut. T. Hani Handoko mengemukakan bahwa
perencanaan (planning) adalah pemilihan atau
penetapan tujuan organisasi dan penentuan strategi, kebijaksanaan, proyek, program, prosedur, metode, sistem, anggaran dan standar yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan.
71
Arti penting perencanaan terutama adalah memberikan
kejelasan arah bagi setiap kegiatan, sehingga setiap kegiatan dapat diusahakan dan dilaksanakan seefisien dan seefektif mungkin. Sembilan manfaat perencanaan yaitu membantu manajemen untuk menyesuaikan diri dengan perubahan- perubahan lingkungan, membantu dalam kristalisasi persesuaian pada masalah-masalah utama, memungkinkan manajer memahami keseluruhan gambaran, membantu penempatan tanggung jawab lebih tepat, memberikan cara pemberian perintah untuk beroperasi, memudahkan delay 2 siswa, autism & mental retardation 1 siswa, learning difficulties & sensorik 1 siswa. Untuk perincian gangguan perkembangan tingkat SMP adalah: autism 7 siswa, dyslexia 1 siswa, learning difficulties 3 siswa, ADHD 5 siswa. Dan untuk perincian gangguan perkembangan tingkat SMA adalah: autism 9 siswa, dyslexia 2 siswa, ADHD 3 siswa, asperger 1 siswa, PDD NOS 1 siswa. 70
Hersey menyederhanakan fungsi manajemen menjadi 4 saja yaitu: merencanakan, mengorganisasi, memotivasi, dan mengontrol. Lihat Paul Hersey and Kenneth H. Blanchard, Manajemen of Organizational Behavior (New Delhi: Prentice-Hall of India Private Limited, 1978), 4. 71
T. Hani Handoko, Manajemen ( Yogyakarta : BPFE, 1995), 93.
79
dalam melakukan koordinasi di antara berbagai bagian organisasi, membuat tujuan lebih khusus dan terperinci serta lebih mudah dipahami, meminimumkan pekerjaan yang tidak pasti, dan menghemat waktu, usaha dan dana. 72 Sedangkan Indriyo Gito Sudarmo dan Agus Mulyono mengemukakan langkah-langkah pokok dalam perencanaan, yaitu: Pertama, penentuan tujuan dengan memenuhi persyaratan yaitu menggunakan kata-kata yang sederhana, mempunyai sifat fleksibel, mempunyai sifat stabilitas, ada dalam perimbangan sumber daya, dan
meliputi semua tindakan yang diperlukan. Kedua,
pendefinisian gabungan situasi secara baik, yang meliputi unsur sumber daya manusia, sumber daya alam, dan sumber daya modal. Ketiga, merumuskan kegiatan yang akan dilaksanakan secara jelas dan tegas.73 Hal senada dikemukakan pula oleh T. Hani Handoko yang menyatakan bahwa ada beberapa tahap dalam perencanaan, yaitu : menetapkan tujuan atau serangkaian tujuan, merumuskan keadaan saat ini, mengidentifikasi segala kemudahan dan hambatan, dan
mengembangkan rencana atau serangkaian
kegiatan untuk pencapaian tujuan. 74 Berdasarkan luasnya cakupan masalah serta jangkauan yang terkandung dalam suatu perencanaan, maka menurut Indriyo Gito Sudarmo dan Agus Mulyono, perencanaan dapat dibedakan dalam tiga bentuk, yaitu : Pertama, rencana global yang merupakan
penentuan tujuan secara menyeluruh dan
jangka panjang. Kedua, rencana strategis merupakan rencana yang disusun guna menentukan tujuan-tujuan kegiatan atau tugas yang mempunyai arti strategis dan mempunyai dimensi jangka panjang. Ketiga, rencana operasional yang merupakan rencana kegiatan-kegiatan yang berjangka pendek guna menopang pencapaian tujuan jangka panjang, baik dalam perencanaan global maupun perencanaan strategis.75
72
T. Hani Handoko, Manajemen, 93. Walida, Konsep Manajemen Sekolah. http://manajemensekolah.teknodik.net/?p=883 (diakses 21-7-2010). 73
74 75
T. Hani Handoko, Manajemen, 94. Walida, Konsep Manajemen Sekolah. http://manajemensekolah.teknodik.net.
80
Langkah perencanaan ini secara seksama dilaksanakan oleh Madania sesuai dengan visi dan misi serta landasan filosofisnya. Perencanaan pendidikan di Madania diarahkan untuk mengoptimalkan segala potensi yang dimiliki siswa. Perencanaan dibuat untuk jangka pendek dan jangka panjang yang dibuat setiap awal tahun ajaran baru, untuk kemudian dievaluasi pada akhir semester dan akhir tahun ajaran.76 Dengan dikoordinasikan oleh SEN Unit, Madania memiliki perencanaan yang spesifik dalam hal pendidikan inklusi. Disamping perencanaan yang umum mengenai langkah-langkah yang akan dilakukan oleh SEN Unit dalam menangani siswa berkebutuhan khusus secara keseluruhan, perencanaan yang khusus untuk setiap siswa juga dibuat yang diantaranya dalam bentuk IEP. 2. Pengorganisasian (organizing) George R. Terry
mengemukakan bahwa
pengorganisasian adalah
tindakan mengusahakan hubungan-hubungan kelakuan yang efektif antara orang-orang, sehingga mereka dapat bekerja sama secara efisien, dan memperoleh kepuasan pribadi dalam melaksanakan tugas-tugas tertentu, dalam kondisi lingkungan tertentu guna mencapai tujuan atau sasaran tertentu.77 Dengan demikian dapat dipahami bahwa pengorganisasian pada dasarnya merupakan upaya untuk melengkapi rencana-rencana yang telah dibuat dengan susunan organisasi pelaksananya. Setiap kegiatan harus jelas siapa yang mengerjakan, kapan dikerjakan, dan apa targetnya. Berkenaan dengan pengorganisasian ini, Hadari Nawawi mengemukakan beberapa asas dalam organisasi, diantaranya adalah : organisasi harus profesional, pengelompokan satuan kerja harus menggambarkan pembagian kerja, organisasi harus mengatur pelimpahan wewenang dan tanggung jawab, organisasi harus mencerminkan rentangan kontrol, organisasi harus mengandung kesatuan perintah dan organisasi harus fleksibel dan seimbang. 78 76
Berdasarkan wawancara dengan Bapak Abdul Hakim Anshory, S.P., koordinator SEN Unit di Madania, 30-4- 2010. 77
George R. Terry, Principles of Management (Madison: R.D. Irwin, 1977), 123.
78
Hadari Nawawi, Organisasi Sekolah dan Pengelolaan Kelas (Jakarta: Haji Masagung,
1989), 74.
81
Ernest
Dale
mengemukakan
langkah-langkah
dalam
proses
pengorganisasian, yaitu: pemerincian seluruh pekerjaan yang harus dilaksanakan untuk mencapai tujuan organisasi, pembagian beban pekerjaan total menjadi kegiatan-kegiatan yang logis dapat dilaksanakan oleh satu orang, dan pengadaan dan pengembangan suatu mekanisme untuk mengkoordinasikan pekerjaan para anggota menjadi kesatuan yang terpadu dan harmonis. 79 Di Madania, pengorganisasian dilakukan secara profesional. Pembagian kerja disesuaikan dengan kemampuan dan keahlian masing-masing guru dan karyawan.
Pembagian wewenang dan tanggung jawab seluruh guru dan
karyawan biasanya dilakukan setahun sekali pada awal tahun ajaran. Misalnya, untuk pelayanan siswa berkebutuhan khusus, di Madania ditangani oleh SEN Unit. Pembagian kerja di SEN Unit dikoordinir oleh seorang koordinator SEN Unit yang membagi habis tugas-tugas unit yang dipimpinnya kepada seluruh stafnya yang berjumlah 14 orang. Masing-masing guru SEN Unit mendapat tugas untuk menangani 3 sampai 5 siswa berkebutuhan khusus dari tingkat SD, SMP dan SMA. Mereka berkumpul dalam satu ruangan SEN Unit untuk memudahkan berkoordinasi. Selain guru SEN Unit, guru kelas, guru pendamping (aide teacher), dan guru mata pelajaran, diorganisir untuk ikut terlibat dalam proses pendidikan inklusi. Secara berkala mereka mengadakan pertemuan untuk memastikan program inklusi tetap berjalan. Demikian juga dengan pengorganisasian setiap rumpun mata pelajaran yang dikoordinir oleh seorang koordinator mata pelajaran. Koordinator mata pelajaran bertugas mengkoordinir seluruh guru mata pelajaran yang sama dari tingkat SD, SMP dan SMA. Mereka berkumpul dalam satu ruangan supaya memudahkan mereka untuk saling berbagi informasi mengenai berbagai hal menyangkut pelajaran tersebut dan kemudian mendiskusikannya untuk dicarikan solusinya. Setiap seminggu dua kali,80 diprogramkan untuk berkumpul untuk 79
80
Ernest Dale, Management: Theory and Practice , 54.
Untuk rumpun mata pelajaran PAI, rapat dilakukan setiap hari rabu dan jum’at. Rapat hari rabu sore membicarakan tentang evaluasi pembelajaran minggu sebelumnya dan rencana pembelajaran untuk minggu berikutnya, sekaligus membuat dan merevisi RPP. Sedangkan rapat
82
mengevaluasi pembelajaran minggu itu dan membahas metode pembelajaran yang akan dipakai pada minggu berikutnya. Tidak jarang diantara guru ada yang mengeluh kesulitan menghadapi reaksi siswa berkebutuhan khusus ketika belajar di kelas. Dalam hal ini SEN Unit sangat berperan penting untuk diminta informasinya tentang cara penanganan siswa berkebutuhan khusus tersebut. 81 3.
Pelaksanaan (Implementing) Dari seluruh rangkaian proses manajemen, pelaksanaan (implementing)
merupakan fungsi manajemen yang paling utama. Pada fungsi perencanaan dan pengorganisasian lebih banyak berhubungan dengan aspek-aspek abstrak proses manajemen, sedangkan fungsi pelaksanaan justru lebih menekankan pada kegiatan yang berhubungan langsung dengan orang-orang dalam organisasi. Dalam hal ini, George R. Terry mengemukakan bahwa pelaksanaan merupakan usaha menggerakkan anggota-anggota kelompok sedemikian rupa hingga mereka berkeinginan dan berusaha untuk mencapai sasaran tertentu.82 Dengan demikian, maka pelaksanaan tidak lain merupakan upaya untuk menjadikan perencanaan menjadi kenyataan, dengan melalui berbagai pengarahan dan pemotivasian agar setiap orang dapat melaksanakan kegiatan secara optimal sesuai dengan peran, tugas dan tanggung jawabnya. Reddin memberikan beberapa gambaran tentang perilaku pimpinan yang efektif. Perilaku tersebut antara lain mengembangkan potensi para bawahan, tahu tentang apa yang diinginkan dan giat mengejarnya, memiliki motivasi yang tinggi, serta memperlakukan bawahan secara berbeda-beda sesuai dengan individunya. Seorang pimpinan tidak hanya memanfaatkan tenaga bawahannya yang sudah ahli atau terampil demi kelancaran organisasi yang dia pimpin saja, melainkan
juga
seharusnya
memberikan
kesempatan
bahkan
menghimbau/memberi jalan agar para bawahan dapat meningkatkan keahlian
hari jum’at adalah rapat koordinasi dan membicarakan hal-hal yang sifatnya global. Berdasarkan wawancara dengan Bapak Abdullah, koordinator mata pelajaran PAI di Madania, 26-7-2010. 81
Berdasarkan wawancara dengan Bapak Abdullah, koordinator mata pelajaran PAI di Madania, 26-7-2010. 82
George R. Terry, Principles of Management, 145.
83
atau keterampilannya. Dengan cara itu, mutu organisasi akan semakin meningkat.83 Hal yang penting untuk diperhatikan dalam pelaksanan ini adalah bahwa seorang karyawan akan termotivasi untuk mengerjakan sesuatu jika mereka merasa yakin akan mampu mengerjakan,
yakin bahwa pekerjaan tersebut
memberikan manfaat bagi dirinya, mereka juga tidak sedang dibebani oleh problem pribadi atau tugas lain yang lebih penting, atau mendesak, tugas tersebut merupakan kepercayaan bagi yang bersangkutan dan hubungan antar teman dalam organisasi tersebut harmonis. Menggerakkan semua unit kerja dalam organisasi pendidikan yang merupakan salah satu dari prinsip manajemen mendapat perhatian penting di Madania. Semua organ organisasi berjalan sesuai dengan fungsinya. Khusus di SEN Unit, untuk menjalankan proses pendidikan bagi siswa berkebutuhan khusus, semua guru dan karyawan diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk berkreasi sesuai keahlian masing-masing. Bahkan di luar keahliannya sekalipun, kalau mau belajar maka siapapun akan menguasai bidang lain tersebut. Mereka diberikan kesempatan untuk meningkatkan kemampuannya dengan diikutkan pada berbagai pendidikan dan pelatihan, baik yang diadakan sendiri oleh pihak Madania maupun pihak lain.84 4.
Pengawasan (Controlling) Pengawasan dimaksudkan untuk menilai proses pendidikan dan hasil
pendidikan. Pengawasan adalah bagian dari tugas pimpinan untuk melakukan kontrol apakah proses dan hasil pendidikan itu sudah sesuai dengan rencana semula atau dengan revisinya, secara kualitatif maupun kuantitatif. Kontrol terhadap proses pendidikan mencakup materi pelajaran yang diberikan, media 83
William J Reddin, Managerial Effectiveness (Tokyo: Mc Graw Hill Kogakhusa, Ltd,
1970), 13. 84
Berdasarkan wawancara dengan Bapak Abdul Hakim Anshory, S.P., koordinator SEN Unit di Madania, 30-4- 2010.
84
yang dipakai, metode belajar dan mengajar, pengendalian kelas, dan cara guru menilai siswa. Kegiatan ini dilakukan pada akhir semester dan akhir tahun ajaran/tahun kuliah. Hasil pengawasan dan laporan-laporan diolah
oleh
pimpinan sebagai umpan balik untuk memberikan revisi seperlunya kepada proses pendidikan dan untuk penyusunan aktivitas semester atau tahun berikutnya. Pengawasan merupakan fungsi manajemen yang tidak kalah pentingnya dalam suatu organisasi. Semua fungsi terdahulu, tidak akan efektif tanpa disertai fungsi pengawasan. Pengawasan manajemen adalah suatu usaha sistematik untuk menetapkan standar pelaksanaan dengan tujuan – tujuan perencanaan, merancang sistem informasi umpan balik, membandingkan kegiatan nyata dengan standar yang telah ditetapkan sebelumnya, menentukan dan mengukur penyimpangan-penyimpangan, diperlukan
untuk
serta
menjamin
mengambil
bahwa
semua
tindakan sumber
koreksi
daya
yang
perusahaan
dipergunakan dengan cara paling efektif dan efisien dalam pencapaian tujuantujuan perusahaan. 85 Dengan demikian, pengawasan merupakan suatu kegiatan yang berusaha untuk mengendalikan agar pelaksanaan dapat berjalan sesuai dengan rencana dan
memastikan
apakah
tujuan
organisasi
tercapai.
Apabila
terjadi
penyimpangan di mana letak penyimpangan itu dan bagaimana pula tindakan yang diperlukan untuk mengatasinya. Pengawasan terhadap pelaksanaan pendidikan inklusi juga merupakan bagian penting dalam unsur manajemen pengelolaan organisasi pendidikan. Pengawasan dan kontrol dalam pendidikan inklusi diarahkan pada tiga aspek penting yang juga merupakan indikator keberhasilannya yakni aspek input, proses dan out put. Kontrol terhadap aspek input diarahkan pada penilaian terhadap upaya persiapan dalam pengelolaan pendidikan mulai dari konsep disain pendidikan inklusi, kriteria input siswa berkebutuhan khusus, kriteria input guru, sampai unit pendukung lainnya. Kontrol terhadap aspek proses
85
T. Hani Handoko, Manajemen, 102.
85
dalam pengelolaan pendidikan diarahkan pada upaya memastikan seluruh elemen pendidikan yang terlibat berjalan sesuai dengan rencana. Adapun kontrol terhadap outputnya diarahkan pada penilaian terhadap produk layanan pendidikan mulai dari prestasi siswa didik, sampai kepuasan customer terhadap layanan pendidikan inklusi dari kalangan orang tua. 86 Langkah ini dilakukan oleh lembaga pendidikan Madania. Fungsi kontrol ini dijalankan dengan baik oleh tim pengawas yayasan Madania. Khusus untuk pengawasan pendidikan inklusi pengawasan terhadap kinerja seluruh guru dan karyawan dijalankan oleh pimpinan berdasarkan jenjang dan tingkatan pendidikan. Untuk tingkat SD, maka pengawasan dilakukan oleh Kepala SD. Untuk tingkat SMP, pengawasan dilakukan oleh Kepala SMP, untuk tingkat SMA pengawasan dilakukan oleh Kepala SMA, dan untuk lembaga-lembaga seperti SEN Unit, pengawasan dilakukan oleh Head of Educational Support.87 Selanjutnya, dikemukakan pula oleh T. Hani Handoko bahwa proses pengawasan memiliki lima tahapan, yaitu : penetapan standar pelaksanaan, penentuan pengukuran pelaksanaan kegiatan, pengukuran pelaksanaan kegiatan nyata, pembandingan pelaksanaan kegiatan dengan standar dan penganalisaan penyimpangan-penyimpangan dan pengambilan tindakan koreksi, bila perlu. 88 Fungsi-fungsi manajemen ini berjalan saling berinteraksi dan saling terkait antara satu dengan lainnya, sehingga menghasilkan apa yang disebut dengan proses manajemen. Dengan demikian, proses manajemen sebenarnya merupakan proses interaksi antara berbagai fungsi manajemen. Dalam perspektif persekolahan, agar tujuan pendidikan di sekolah dapat tercapai secara efektif dan efisien, maka proses manajemen pendidikan memiliki peranan yang amat vital. Karena bagaimana pun sekolah merupakan suatu sistem yang di dalamnya melibatkan berbagai komponen dan sejumlah kegiatan yang perlu dikelola secara baik dan tertib. Sekolah tanpa didukung proses manajemen 86
Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa, Manajemen Sekolah dalam Pendidikan
Inklusif, 2. 87
Berdasarkan wawancara dengan Bapak Abdul Hakim Anshory, S.P., koordinator SEN Unit di Madania, 22-7- 2010. 88
T.Hani Handoko, Manajemen, 112.
86
yang baik, boleh jadi hanya akan menghasilkan kesemrawutan lajunya organisasi, yang pada gilirannya tujuan pendidikan pun tidak akan pernah tercapai secara semestinya. Dengan demikian, setiap kegiatan pendidikan di sekolah harus memiliki perencanaan yang jelas dan realisitis, pengorganisasian yang efektif dan efisien, pengerahan dan pemotivasian seluruh personil sekolah untuk selalu dapat meningkatkan kualitas kinerjanya, dan pengawasan secara berkelanjutan. Komponen-komponen pendidikan yang meliputi input siswa (kesiswaan), kurikulum, tenaga kependidikan, sarana-prasarana, dana, lingkungan (hubungan sekolah dengan masyarakat), dan kegiatan belajar-mengajar, merupakan subsistem dalam sistem pendidikan (sistem pembelajaran).89 Secara spesifik, subsistem ini memerlukan manajemen tersendiri sehingga dapat berjalan efektif untuk mendukung proses pendidikan inklusi. Diperlukan manajemen tersendiri karena apabila terdapat perubahan pada salah satu sub-sistem (komponen), maka menuntut perubahan/ penyesuaian komponen lainnya. Dalam hal ini, bila dalam suatu kelas terdapat perubahan pada input siswa, yakni tidak hanya menampung siswa normal tetapi juga siswa luar biasa, maka menuntut penyesuaian (modifikasi) pengelolaan kesiswaan, kurikulum (program
pengajaran),
lingkungan,serta
kegiatan
tenaga
kependidikan,
belajar-mengajar. 90
sarana-prasarana, Untuk
itu
dalam
dana, upaya
pengendalian proses pendidikan yang mendukung pada efektifitas belajar mengajar sekolah maka diperlukan manajemen setiap komponennya. Komponen pertama adalah manajemen kesiswaan. Diantara manajemen kesiswaan adalah penerimaan siswa baru. Siswa berkebutuhan khusus yang diterima di Madania, menurut Bapak Abdul Hakim Anshory, S.P.adalah siswa yang didiagnosa mempunyai gangguan perkembangan. Orang yang berhak melakukan asesmen psikologi dan memberi diagnosa gangguan perkembangan 89
Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa, Manajemen Sekolah dalam Pendidikan
Inklusif, 2. 90
Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa, Manajemen Sekolah dalam Pendidikan Inklusif, 3.
87
tertentu adalah psikolog.
91
Manajemen kesiswaan dimaksudkan untuk mengatur
berbagai kegiatan kesiswaan agar kegiatan belajar-mengajar di sekolah dapat berjalan lancar, tertib, dan teratur. Komponen kedua adalah manajemen kurikulum. Manajemen program pengajaran di Madania yaitu dengan melakukan modifikasi kurikulum nasional sesuai dengan kemampuan awal dan karakteristik siswa berkebutuhan khusus.92 Modifikasi kurikulum dilakukan tehadap program pengajaran untuk siswa kelompok reguler modifikasi dan kelompok individual. Guru SEN Unit yang bertugas membuat rancangan program pengajaran individual biasanya akan menyusun jadwal pelajaran dan pembagian tugas mengajar, mengatur pelaksanaan penyusunan program pengajaran persemester dan persiapan pelajaran,
mengatur
pelaksanaan
penyusunan
program
kurikuler
dan
ekstrakurikuler, mengatur pelaksanaan penilaian, membuat laporan kemajuan belajar siswa, mengatur usaha perbaikan dan pengayaan pengajaran. 93 Komponen ketiga adalah manajemen tenaga kependidikan yang bertugas menyelenggarakan kegiatan mengajar, melatih, meneliti, mengembangkan, mengelola, dan/atau memberikan pelayanan teknis dalam bidang pendidikan. Tenaga pendidik di Madania terdiri dari: guru kelas, guru mata pelajaran, guru SEN Unit dan guru pendamping (aide teacher). Komponen keempat adalah manajemen sarana prasarana. Siswa berkebutuhan khusus di Madania, di samping menggunakan sarana-prasarana seperti halnya siswa normal, mereka juga menggunakan sarana-prasarana khusus sesuai dengan jenis kelainan dan kebutuhan anak. Manajemen sarana-prasarana
91
Berdasarkan wawancara dengan Bapak Abdul Hakim Anshory, S.P., koordinator SEN Unit di Madania, 22-7- 2010. 92
Modifikasi dapat dilakukan dengan cara modifikasi alokasi waktu, modifikasi isi/materi, modifikasi proses belajar-mengajar, modifikasi sarana-prasarana, modifikasi lingkungan belajar, dan modifikasi pengelolaan kelas. Lihat Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa, Manajemen Sekolah dalam Pendidikan Inklusif, 4-5. 93
Berdasarkan wawancara dengan Bapak Mardaih, S.Pd., guru SEN Unit di Madania, 22-7- 2010.
88
sekolah
bertugas
merencanakan,
mengorganisasikan,
mengarahkan,
mengkoordinasikan, mengawasi, dan mengevaluasi kebutuhan dan penggunaan sarana-prasarana agar dapat memberikan sumbangan secara optimal pada kegiatan belajar-mengajar. Komponen kelima adalah manajemen keuangan/dana. 94 Komponen keuangan
sekolah
merupakan
komponen
produksi
yang
menentukan
terlaksananya kegiatan belajar-mengajar bersama komponen-komponen lain. Setiap kegiatan yang dilakukan di Madania tentunya memerlukan biaya. Seperti untuk keperluan kegiatan identifikasi input siswa, modifikasi kurikulum, insentif bagi tenaga kependidikan yang terlibat, pengadaan sarana-prasarana, dan pelaksanaan kegiatan belajar-mengajar. Untuk pembiayaan semua kegiatan tersebut diharapkan adanya kerjasama pihak sekolah bersama-sama orang tua siswa dan masyarakat untuk dapat menanggulanginya. Komponen keenam adalah manajemen lingkungan (hubungan sekolah dengan masyarakat). Madania sebagai sebuah lembaga pendidikan merupakan bagian integral dari sistem sosial yang lebih besar, yaitu masyarakat. Maju mundurnya sumber daya manusia (SDM) di Madania, tidak hanya bergantung pada upaya-upaya yang dilakukan pihak Madania, namun sangat bergantung kepada tingkat partisipasi masyarakat (orang tua) terhadap pendidikan. Semakin tinggi tingkat partisipasi masyarakat terhadap pendidikan, akan semakin maju pula sumber daya manusia. Dan untuk menarik simpati masyarakat agar mereka bersedia berpartisipasi memajukan Madania, perlu dilakukan berbagai hal, antara lain dengan cara memberitahu masyarakat mengenai program-program sekolah, baik program yang telah dilaksanakan, yang sedang dilaksanakan,
94
Dalam pelaksanaannya, manajemen keuangan menganut asas pemisahan tugas antara fungsi Otorisator, Ordonator dan Bendaharawan. Otorisator adalah pejabat yang diberi wewenang untuk mengambil tindakan yang mengakibatkan penerimaan dan pengeluaran anggaran. Ordonator adalah pejabat yang berwenang melakukan pengujian dan memerintahkan pembayaran atas segala tindakan yang dilakukan berdasarkan otorisasi yang telah ditetapkan. Bendaharawan adalah pejabat yang berwenang melakukan penerimaan, penyimpanan, dan pengeluaran uang serta diwajibkan membuat perhitungan dan pertanggungjawaban. Lihat Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa, Manajemen Sekolah dalam Pendidikan Inklusif, 6.
89
maupun yang akan dilaksanakan sehingga masyarakat mendapat gambaran yang jelas tentang sekolah yang bersangkutan. Dengan demikian, sekolah reguler yang menerapkan program pendidikan inklusi akan berimplikasi secara manajerial di sekolah tersebut. Sekolah reguler harus
menyediakan
kondisi
kelas
yang
hangat,
ramah,
menerima
keanekaragaman dan menghargai perbedaan. Sekolah inklusi harus siap mengelola kelas
yang
heterogen dengan
menerapkan kurikulum dan
pembelajaran yang bersifat individual. Guru di kelas inklusi harus menerapkan pembelajaran yang interaktif. Guru pada sekolah inklusi dituntut melakukan kolaborasi dengan profesi atau sumberdaya lain dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi. Dan guru pada sekolah inklusi dituntut melibatkan orangtua dan masyarakat secara bermakna dalam proses pendidikan sesuai tuntutan masa depan. C.
Kurikulum yang Mengakomodasi Perbedaan Elemen penting dalam penggelolaan sekolah yang menerapkan
pendidikan inklusi adalah rumusan kurikulum yang dirancang dan disesuaikan dengan tujuan pengelolaan pendidikan. Kurikulum yang jelas dan terarah akan sangat menentukan tingkat keberhasilan pendidikan di suatu sekolah. Kurikulum pendidikan inklusi yang diimplementasikan dalam satu sekolah memiliki karakteristik sendiri dalam perumusannya karena setiap sekolah memiliki kewenangan dan kebebasan dalam menyusun kurikulum yang disesuaikan dengan tingkat kemampuan siswa. Namun kurikulum di sekolah yang menerapkan pendidikan inklusi tidak perlu merubah kurikulum yang diperuntukan bagi siswa normal lainnya. Pemahaman kurikulum yang digunakan sebagai landasan teorinya, tidak jauh berbeda dengan perumusan kurikulum lainnya, bahwa kurikulum merupakan keseluruhan pengalaman yang akan dihayati oleh peserta didik di dalam lingkungan pendidikan. Pada pendidikan formal, kurikulum merupakan keseluruhan pengalaman, ilmu pengetahuan yang akan dihayati oleh peserta didik. Untuk itu kurikulum sangat penting untuk dirancang sejak awal dalam pengelolaan pendidikan inklusi.
90
Kurikulum mempunyai makna yang luas, yaitu sebagai semua rancangan pendidikan siswa dan semua pengalaman belajar yang diperoleh siswa berkat arahan dan bimbingan dari sekolah. Selain sebagai rencana, kurikulum juga diartikan sebagai sistem (curriculum as a system), sistem kurikulum yang merupakan bagian dari sistem pendidikan, bahkan sistem kehidupan sebagai keseluruhan.95 Menurut Hilda Taba, kurikulum biasanya terdiri dari pernyataanpernyataan tentang tujuan umum, tujuan khusus, yang mengindikasikan kelompok bahan-bahan ajar terpilih, yang juga menyatakan tentang modelmodel pelaksanaan proses pembelajaran, dan juga mencakup program evaluasi hasil belajar. Sedangkan Robert Gagne menyatakan bahwa kurikulum adalah sekwensi isi dan bahan pelajaran yang dideskripsikan sedemikian rupa sehingga pembelajaran setiap unitnya itu dapat diselesaikan sebagai sebuah satuan utuh, dan masing-masing unit tersebut juga mendeskripsikan kapabilitas (kompetensi) siswa yang harus dikuasai mereka. Ronald C. Doll menjelaskan bahwa kurikulum sudah bukan bermakna sebagai rangkaian bahan yang akan dipelajari siswa, tetapi bermakna sebagai seluruh pengalaman yang ditawarkan pada siswa di bawah arahan dan bimbingan sekolah. 96 Karena itu, di dalam pendidikan formal (sekolah) tidak mungkin diajarkan berbagai kompetensi yang akan digunakan oleh peserta didik di dalam menghadapi kehidupan. Kehidupan itu sendiri adalah kehidupan yang terbuka, oleh sebab itu kompetensi hari ini mungkin usang untuk hari esok. Yang diajarkan adalah pengenalan dan penguasaan terhadap berbagai dasar keterampilan hidup yang telah terakumulasi di dalam kebudayaan manusia dan yang diperkirakan akan bermanfaat untuk masa depan yang belum menentu. Kurikulum dengan demikian bukanlah untuk mempersiapkan penguasaan keterampilan untuk hidup tetapi dasar-dasar keterampilan untuk menghadapi hidup yang terbuka. Kurikulum berdasarkan kompetensi (KBK) merupakan
95 96
Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI, Ilmu dan Aplikasi Pendidikan, 99. Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokratis (Jakarta: Kencana, 2007), 26-27.
91
suatu keniscayaan. Kurikulum disusun untuk mempersiapkan peserta didik menuju kompetensi kehidupan yang terbuka.97 Demikian pula kurikulum pendidikan formal dipersiapkan untuk menghadapi kehidupan yang ditandai oleh berbagai kemungkinan. Hanya manusia merdeka yang berfikir independen, yang dapat memilih berdasarkan nilai-nilai moral yang diakui bersama, yang menjadi kriteria kurikulum abad ke21.98 Karena itu kurikulum berbasis kompetensi bukan memperkenalkan semua kompetensi pada siswa untuk kemudian ditiru olehnya, akan tetapi justru menggali potensi kompetensi siswa yang
memang dibutuhkan untuk
kehidupannya kelak. Penggalian kompetensi siswa perlu direncanakan dan didisain dengan melibatkan seluruh elemen yang
terlibat dalam proses
pendidikan. Lingkungan sekolah dapat turut menentukan warna kompetensi yang dimiliki siswa. Lingkungan, kultur dan berbagai kebijakan sekolah memiliki pengaruh terhadap perubahan dan perkembangann siswa. Meskipun pengaruh nya tidak nampak secara langsung akan tetapi cukup efektif dalam membentuk perilaku siswa. Oleh sebab itulah, Allan A. Glatthorn menyebutnya sebagai the hidden curriculum (kurikulum terselubung), yakni kurikulum yang tidak menjadi bagian untuk dipelajari, yang secara lebih definitif digambarkan sebagai berbagai aspek dari sekolah di luar kurikulum yang dipelajari, namun mampu memberikan pengaruh dalam perubahan nilai, persepsi dan perilaku siswa.99 Sebagai contoh kebiasaan sekolah menerapkan disiplin terhadap siswanya seperti ketepatan guru memulai pelajaran, kemampuan dan cara-cara guru menguasai kelas, kebiasaan guru memperlakukan mereka yang melakukan kenakalan di dalam kelas, semuanya itu merupakan pengalaman-pengalaman yang dapat mengubah cara berpikir dan perilaku siswa. Demikian pula dengan lingkungan sekolah yang teratur, rapi, tertib dan mampu menjaga lingkungan yang bersih serta asri, merupakan pengalaman yang dapat memengaruhi kultur 97
J. Drost, Dari KBK sampai MBS (Jakarta: Kompas, 2006), 7.
98
H.A.R. Tilaar, Manifesto Pendidikan Nasional, (Jakarta: Kompas, 2005), 117-118.
99
Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokratis, 28.
92
siswa. Dengan demikian, kurikulum yang mengantarkan siswa sesuai harapan idealnya, tidak cukup hanya kurikulum yang dipelajari saja (written curriculum), tetapi juga hidden curriculum yang secara teoritis sangat rasional memengaruhi siswa. 100 Dua kelompok kurikulum ini merupakan bagian-bagian integral yang tidak terpisahkan dalam proses pendidikan, karena kurikulum tertulis yang pada umumnya menjabarkan berbagai kompetensi akademik, skill, dan keterampilan yang diawali dengan pengetahuan dan penguasaan bidang-bidang keilmuan, memberikan arah pada penguasaan ilmu. Akan tetapi ketika tujuan pembelajaran itu untuk pembentukan sikap dan kebiasaan, memerlukan dukungan kultur lingkungan dimana para siswa itu menghabiskan banyak waktunya. 101 Kurikulum yang digunakan di kelas inklusi adalah kurikulum siswa normal (reguler) yang disesuaikan (dimodifikasi sesuai) dengan kemampuan awal dan karakteristik siswa. Modifikasi dapat dilakukan dengan cara modifikasi alokasi waktu, modifikasi isi/materi, modifikasi proses belajar-mengajar, modifikasi sarana-prasarana, modifikasi lingkungan belajar, dan modifikasi pengelolaan kelas. Manajemen kurikulum (program pengajaran) sekolah inklusi antara lain meliputi: modifikasi kurikulum nasional sesuai dengan kemampuan awal dan karakteristik siswa berkebutuhan khusus, menjabarkan kalender pendidikan, menyusun jadwal pelajaran dan pembagian tugas mengajar, mengatur pelaksanaan penyusunan program pengajaran persemester dan persiapan pelajaran,
mengatur
ekstrakurikuler,
pelaksanaan
penyusunan
program
mengatur pelaksanaan penilaian,
kurikuler
dan
mengatur pelaksanaan
kenaikan kelas, membuat laporan kemajuan belajar siswa, mengatur usaha perbaikan dan pengayaan pengajaran.102
100
Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokratis, 28-31.
101
Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokratis, 31-32.
102
Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa, Manajemen Sekolah dalam Pendidikan
Inklusif, 6.
93
Proses perumusan kurikulum pendidikan inklusi lebih dekat dengan sistem kurikulum berbasis kompetensi yang sering dikenal dengan KBK. Pendidikan berbasis kompetensi menekankan pada kemampuan yang harus dimiliki oleh lulusan suatu jenjang pendidikan. Kompetensi yang sering disebut dengan standar kompetensi adalah kemampuan yang secara umum harus dikuasai lulusan. Kompetensi adalah pernyataan yang menggambarkan penampilan suatu kemampuan tertentu secara bulat yang merupakan perpaduan antara pengetahuan dan kemampuan yang dapat diamati dan diukur.103 Menurut Koordinator SEN Unit Bapak
Abdul Hakim Anshory, S.P,
Kurikulum pendidikan inklusi di Madania menggunakan kurikulum sekolah reguler (kurikulum nasional) yang dimodifikasi (diimprovisasi) sesuai dengan tahap perkembangan siswa berkebutuhan khusus, dengan mempertimbangkan karakteristik (ciri-ciri) dan tingkat kecerdasannya. Modifikasi kurikulum dilakukan terhadap:
alokasi waktu,
isi/materi kurikulum,
proses belajar-
mengajar, sarana prasarana, lingkungan belajar, dan pengelolaan kelas. 104 Modifikasi/pengembangan kurikulum pendidikan inklusi di Madania dilakukan oleh guru-guru yang mengajar di kelas inklusi bekerja sama dengan berbagai pihak yang terkait terutama guru-guru SEN Unit yang sudah berpengalaman menangani siswa berkebutuhan khusus di bawah koordinasi Koordinator SEN Unit. Modifikasi alokasi waktu dilakukan dengan mengacu pada kecepatan belajar siswa. Misalnya materi pelajaran (pokok bahasan) tertentu dalam kurikulum reguler diperkirakan alokasi waktunya selama 6 jam, untuk siswa berkebutuhan khusus kelompok reguler, dapat dimodifikasi menjadi sekitar 8 jam , dan untuk siswa berkebutuhan khusus kelompok reguler modifikasi dan kelompok individual dapat dimodifikasi menjadi 10 jam.105 103
Thomas Lickona, Educating for Character How Our School Can Teach Respect
and Responsibility (New York: Bantam Books, 1992), 45. 104
Berdasarkan wawancara dengan Bapak Abdul Hakim Anshory, S.P., koordinator SEN Unit di Madania, 30-4- 2010. 105
Berdasarkan wawancara dengan Bapak Abdul Hakim Anshory, S.P., koordinator SEN Unit di Madania, 30-4- 2010.
94
Modifikasi isi/materi dilakukan terhadap materi kurikulum . Misalnya untuk siswa berkebutuhan khusus kelompok reguler materi dalam kurikulum sekolah reguler dapat tetap dipertahankan, atau tingkat kesulitannya diturunkan sedikit. Untuk siswa berkebutuhan khusus kelompok reguler modifikasi dan kelompok individual, materi dalam kurikulum sekolah reguler dapat dikurangi atau diturunkan tingkat kesulitan seperlunya, atau bahkan dihilangkan bagian tertentu.106 Modifikasi proses belajar-mengajar dilakukan oleh guru di kelas dengan berbagai cara, misalnya dengan menggunakan pendekatan student centerred yang menekankan perbedaan individual setiap anak, lebih terbuka (divergent), disesuaikan dengan berbagai tipe belajar siswa, dan menerapkan pendekatan pembelajaran kompetitif seimbang dengan pendekatan pembelajaran kooperatif. Untuk siswa berkebutuhan khusus kelompok reguler modifikasi dan kelompok individual, modifikasi
dilakukan dengan cara memberikan kesempatan
mobilitas tinggi, yang memungkinkan
siswa yang saling bergerak kesana-
kemari, dari satu kelompok ke kelompok lain. Modifikasi proses belajar mengajar juga dilakukan dengan one to one teaching, dimana siswa berkebutuhan khusus kelompok individual belajar di ruang SEN Unit oleh guru mata pelajaran atau guru SEN Unit.107 Modifikasi sarana-prasarana dilakukan dengan menyediakan sarana prasarana tambahan yang disesuaikan dengan karakteristik siswa berkebutuhan khusus. Sarana prasarana tambahan di Madania diantaranya: beberapa ruang belajar untuk one to one teaching yang ada di ruang SEN Unit, calm room,108 106
Pengurangan materi kurikulum dilakukan terhadap siswa berkebutuhan khusus kelompok individual dengan cara menghilangkan mata pelajaran yang dianggap sulit untuk dipelajari oleh mereka. Sebagai contoh untuk kasus Ilen siswa kelas 9, mata pelajaran yang dipelajari hanya matematika, agama, bahasa inggris, IPA, dan bahasa indonesia. Berdasarkan wawancara dengan Bapak Mardaih, S.Pd., guru SEN Unit di Madania, 22-7- 2010. 107
Pada kasus tertentu, ketika akan memulai proses belajar mengajar, guru memberikan kesempatan pada siswa berkebutuhan khusus berlari dulu di lapangan untuk memfasilitasi keinginannya yang selalu ingin bergerak. Kasus ini biasanya terjadi pada siswa autis dan siswa yang hiperaktif. Berdasarkan wawancara dengan Bapak Abdul Hakim Anshory, S.P., koordinator SEN Unit di Madania, 30-4- 2010. 108
Ruangan khusus yang kedap suara. Ruangan ini disediakan untuk siswa berkebutuhan khusus pada kondisi khusus seperti tantrum (mengamuk), berteriak, dsb. Berdasarkan wawancara dengan Bapak Abdul Hakim Anshory, S.P., koordinator SEN Unit di Madania, 22-72010.
95
dan media-media pembelajaran yang dibutuhkan siswa sesuai kekhususannya. Dan untuk siswa berkebutuhan khusus kelompok individual, karena mereka kesulitan untuk berfikir abstrak maka di beri tambahan sarana-prasarana khusus yang lebih banyak, terutama untuk memvisualisasikan hal-hal yang abstrak agar menjadi lebih konkrit. Modifikasi
lingkungan
belajar
di
Madania
dilakukan
dengan
mengupayakan lingkungan yang kondusif untuk belajar. Lingkungan yang kondusif diciptakan supaya siswa berkebutuhan khusus merasa nyaman berada di lingkungan sekolah. Apabila mereka merasa nyaman, maka mereka akan lebih mudah untuk diajak bekerjasama khususnya dalam proses belajar mengajar. Modifikasi lingkungan misalnya dengan menyediakan ruangan kelas yang kedap suara untuk meningkatkan ketenangan dan mengurangi stimulasi gangguan (visual dan auditori).109 Modifikasi lingkungan juga dilakukan terhadap media pembelajaran yaitu dengan menempelkan gambar-gambar dan tulisan-tulisan hasil kreasi mereka di dinding kelas sehingga ruangan menjadi indah dan membuat mereka semangat belajar disamping bangga dengan hasil karyanya. Modifikasi pengelolaan kelas dlakukan dengan cara mengelola kelas secara fleksibel sehingga memungkinkan mudah dilaksanakannya pembelajaran kompetitif (individual), pembelajaran kooperatif (kelompok/berpasangan), dan pembelajaran klasikal. Dalam mengelola kelas, guru di Madania
banyak
melakukan pendekatan pembelajaran kooperatif dengan cara mengembangkan jiwa kerjasama dan kebersamaan diantara siswa. Siswa diberi tugas dalam kelompok, kemudian secara bersama-sama mereka
mengerjakan tugas dan
mendiskusikannya. Penekanannya adalah kerjasama dalam kelompok, dan kerjasama dalam kelompok ini yang dinilai oleh guru. Dengan cara ini sosialisasi siswa
dan jiwa kerjasama serta saling tolong menolong akan
berkembang dengan baik. 109
Tingkat konsentrasi siswa berkebutuhan khusus sangat rendah sekali. Ketika proses belajar mengajar sedang dilaksanakan, mereka akan cepat beralih konsentrasinya apabila mendengar suara-suara dari luar ruangan belajarnya. Berdasarkan wawancara dengan Bapak Abdul Hakim Anshory, S.P., koordinator SEN Unit di Madania, 30-4- 2010.
96
Model kurikulum di Madania dibagi menjadi 3 bagian yaitu model kurikulum regular, model kurikulum reguler modifikasi, dan model kurikulum individual. Pada model kurikulum reguler, siswa berkebutuhan khusus mengikuti kurikulum reguler sama seperti siswa-siswa normal lainnya di dalam kelas yang sama. Program layanan khususnya lebih diarahkan kepada proses pembimbingan belajar, motivasi dan ketekunan belajarnya. Kurikulum reguler diperuntukkan bagi siswa normal dan siswa berkebutuhan khusus kelompok reguler yang tidak mempunyai hambatan secara akademik pada 0-50% mata pelajaran.110 Pada model kurikulum reguler dengan modifikasi, guru melakukan modifikasi pada strategi pembelajaran, jenis penilaian, maupun pada program tambahan lainnya dengan tetap mengacu pada kebutuhan siswa. Pada model ini, terdapat siswa berkebutuhan khusus yang memiliki program pembelajaran berdasarkan kurikulum reguler dan IEP.111 Kurikulum
reguler modifikasi
diperuntukkan bagi siswa berkebutuhan khusus yang mempunyai hambatan secara akademik pada 50-70% mata pelajaran.112 Sedangkan pada model kurikulum Individual atau disebut juga IEP, guru mempersiapkan IEP yang dikembangkan bersama tim pengembang yang melibatkan guru kelas, guru SEN Unit, guru pendamping, orang tua, psikolog dan tenaga ahli lain yang terkait. Model ini diperuntukan bagi siswa yang mempunyai hambatan secara akademik pada 70-90% mata pelajaran dan tidak memungkinkan untuk mengikuti proses belajar berdasarkan kurikulum reguler. Siswa berkebutuhan khusus seperti ini dapat dikembangkan potensi belajarnya dengan menggunakan IEP dalam setting kelas reguler, sehingga mereka bisa mengikuti proses belajar sesuai fase perkembangan dan kebutuhannya. 113 110
Educational Support Department, Handbook 2009-2011, 16.
111
Program Pendidikan Individual (Individualized Education Program) di Indonesia belum banyak dikenal. Untuk pertama kalinya bentuk pelayanan ini diperkenalkan dalam lokakarya yang diselenggarakan oleh Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah bekerjasama dengan UNESCO pada tanggal 21-30 Oktober 1992 di Jakarta. Lokakarya dihadiri oleh semua kepala bidang SD dari semua Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dari 27 Provinsi di Indonesia. Lihat Mulyono Abdurrahman, Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), 55. 112 113
Educational Support Department, Handbook 2009-2011, 16. Educational Support Department, Handbook 2009-2011, 16.
97
Program Pembelajaran Individual merupakan layanan yang lebih berfokus pada kemampuan dan kelemahan kompetensi peserta didik. IEP sangat erat kaitannya dengan tiga komponen utama yaitu : tingkat kemampuan atau prestasi (performance level), sasaran program tahunan (annual goals), dan sasaran jangka pendek (short term objective). 114 Tingkat kemampuan diketahui setelah dilakukan asesmen melalui pengamatan dan tes-tes tertentu. Di Madania asesmen dilakukan oleh guru-guru SEN Unit. Asesmen dilakukan untuk menggali informasi berkaitan dengan kebutuhan pembelajaran yang sesuai untuk peserta didik. Informasi umumnya berkaitan dengan kemampuan-kemampuan akademik, pola perilaku khusus, keterampilan untuk menolong diri sendiri dalam kehidupan sehari-hari, bakat vokasional, dan tingkat kemampuan berkomunikasi. Tingkat prestasi mengacu pada pernyataan yang bersifat data spesifik tentang mata pelajaran yang dapat dipakai sebagai sasaran pembelajaran dan lebih menekankan pada informasi tentang aspek-aspek positif dari setiap peserta didik. Artinya, memandang peserta didik berkebutuhan khusus dengan apa yang dapat ia lakukan, bukan dengan memandang kelainan apa yang ia sandang dan menjadi hambatan pembelajarannya. Sasaran program tahunan merupakan kunci komponen pembelajaran karena dapat memperkirakan program jangka panjang selama kegiatan sekolah dan dapat dipecah-pecah menjadi beberapa sasaran antara (terminal goal) yang dituangkan ke dalam program semester. Sedangkan sasaran jangka pendek ini bersifat sasaran antara yang diterapkan setiap semester dalam tahun yang berjalan. Di Madania, sasaran ini biasanya sudah dikonsepkan oleh guru SEN Unit sebelum penerapan program IEP, sehingga dipakai sebagai acuan dalam proses
pembelajaran
dan
dikembangkan
guna
mencapai
kemampuan-
kemampuan yang lebih spesifik (dapat diamati dan dapat diukur). Kemampuan spesifik berorientasi pada kebutuhan peserta didik (student oriented) dan pada hal-hal yang positif. Kemampuan spesifik itu hendaknya dapat memenuhi 114
Bandi Delphie, Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus dalam Setting Pendidikan Inklusi (Klaten:PT Insan Sejati Klaten, 2009), 58-59.
98
kriteria-kriteria keberhasilan tertentu untuk suatu tugas yang disampaikan kepada peserta didik dalam upaya mencapai sasaran tahunan saat disampaikan dalam proses pembelajaran.115 Program-program yang tercantum dalam IEP biasanya diarahkan pada perkembangan kedewasaan siswa sesuai dengan sasaran akhir jangka pendek yang konsisten
dengan sasaran jangka tahunan. Sasaran-sasaran tersebut
dipilah-pilah menjadi bagian demi bagian sehingga tugas-tugas mudah dilakukan oleh siswa (bersifat task analysis). Menurut Bandi Delphie, IEP merupakan bentuk pembelajaran yang mengacu pada perkembangan keterampilan khusus dan perilaku adaptif yang sesuai dengan penggunaan model ABC pada operant conditioning.116 Landasan filosofis dan Teoritis bagi pengembangan kurikulum sekolah adalah: kurikulum harus dimulai dari lingkungan yang terdekat, kurikulum harus mampu melayani pencapaian tujuan pendidikan nasional dan tujuan satuan pendidikan, model kurikulum harus sesuai dengan ide kurikulum, dan proses pengembangan kurikulum harus bersifat fleksibel dan komprehensif. 117 Sesuai dengan ketetapan pada Permen nomor 22 tahun 2006 tentang standar Isi, kurikulum sekolah dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip yaitu: berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya. Prinsip lainnya yaitu beragam dan terpadu, yaitu kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan keragaman karakteristik peserta didik, kondisi daerah dan jenjang serta jenis pendidikan, tanpa membedakan agama, suku, budaya dan adat istiadat, status sosial ekonomi dan gender. Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni adalah prinsip lainnya dalam pengembangan kurikulum sekolah, selain relevan dengan kebutuhan kehidupan, menyeluruh dan berkesinambungan, belajar sepanjang hayat, dan seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah.118 115
EA. Polloway & Patton JR., Strategies for Teaching Learners with Special Needs (New York: Macmillan, 1993), 41-45. 116
Bandi Delphie, Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus, 59.
117
Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP – UPI, Ilmu & Aplikasi Pendidikan, 139.
118
Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP – UPI, Ilmu & Aplikasi Pendidikan, 139.
99
Kesimpulan dari bukti-bukti yang ditunjukkan pada bab ini yaitu bahwa kurikulum yang sesuai dengan siswa berkebutuhan khusus adalah kurikulum yang dapat mengakomodasi kekhususan karakteristik siswa yang berbeda-beda. Disamping itu, kurikulum juga harus mengacu pada apa yang dapat dilakukan siswa, dan bukan memandang pada kelainan yang disandangnya. D. Kompetensi Pendidik yang Dibutuhkan Kompetensi pendidik merupakan hal penting untuk diperhatikan dalam pengelolaan pendidikan inklusi. Pendidik merupakan aktor kunci dalam proses pendidikan inklusi sehingga sangat menentukan tingkat keberhasilannya. Untuk itu, kompetensi pendidik
harus tetap dijamin kesesuaiannya dan terus
ditingkatkan profesionalitas kompetensinya. Istilah kompetensi
mengandung pengertian pemilikan pengetahuan,
keterampilan, dan kemampuan yang dituntut oleh jabatan tertentu.119 Kompetensi dimaknai pula sebagai pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berfikir, dan bertindak. Kompetensi dapat pula dimaksudkan sebagai kemampuan melaksanakan tugas yang diperoleh melalui pendidikan dan/atau latihan. 120 Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa kompetensi merupakan seperangkat pengetahuan dan keterampilan yang harus dimiliki oleh seseorang dalam melaksanakan tugasnya. Pengetahuan dan keterampilan tersebut dapat diperoleh dari pendidikan prajabatan dan/atau latihan.121 Dalam bidang keguruan, kompetensi mengajar dapat dikatakan merupakan kemampuan dasar yang mengimplikasikan apa yang seharusnya dilaksanakan guru dalam melaksanakan tugasnya. Kompetensi yang dimiliki oleh setiap guru akan menunjukkan kualitas guru yang sebenarnya. Seorang guru, di samping senantiasa dituntut untuk mengembangkan pribadi dan 119
Supriyoko, Mengembangkan Kompetensi Kepribadian Guru Indonesia. http://journal. amikom.ac.id /index.php/Koma/article/viewArticle/2509 (diakses 23-7-2010). 120
Supriyoko, Mengembangkan Kompetensi Kepribadian Guru Indonesia. http://journal. amikom.ac.id. 121
Direktorat Pendidikan Luar Biasa, Pengadaan dan Pembinaan Tenaga Kependidikan dalam Pendidikan Inklusif ( Jakarta, 2006), 5-6.
100
profesinya secara terus menerus, juga dituntut mampu dan siap berperan secara professional dalam lingkungan sekolah dan masyarakat. Oleh karena itu, seorang guru harus mampu mengembangkan tiga aspek kompetensi bagi dirinya, yaitu: kompetensi pribadi, kompetensi profesi, dan kompetensi kemasyarakatan. 122 Kompetensi pribadi seorang guru ditandai dengan memiliki sikap kepribadian yang mantap atau matang sehingga mampu berfungsi sebagai tokoh identitas bagi siswa, serta dapat menjadi panutan bagi siswa dan masyarakatnya. Ciri kompetensi profesi guru adalah memiliki pengetahuan yang luas dalam mata pelajaran yang diajarkan, serta menguasai metodologi pengajaran, baik teoritis maupun praktis. Sedangkan kompetensi kemasyarakatan/sosial guru ditandai dengan kemampuannya membangun komunikasi yang efektif dengan lingkungan sekitarnya, termasuk dengan para siswa, teman sejawat, atasan, dengan pegawai sekolah, dan dengan masyarakat luas.123 Kompetensi profesi guru di Indonesia yang dikenal dengan istilah 10 Kompetensi Guru adalah menguasai bahan, mengelola program belajar mengajar, mengelola kelas, menggunakan media/sumber, menguasai landasanlandasan kependidikan, mengelola interaksi belajar mengajar, menilai prestasi siswa, mengenal fungsi dan program pelayanan bimbingan dan penyuluhan, mengenal dan menyelenggarakan administrasi sekolah, dan memahami prinsipprinsip dan menafsirkan hasil-hasil penelitian pendidikan.124 Standar pendidik dan tenaga kependidikan berdasarkan Standar Nasional Pendidikan bab VI pasal 28 adalah harus memiliki kualifikasi akademik yaitu 122
Direktorat Pendidikan Luar Biasa, Pengadaan dan Pembinaan Tenaga Kependidikan dalam Pendidikan Inklusif, 6. 123
Direktorat Pendidikan Luar Biasa, Pengadaan dan Pembinaan Tenaga Kependidikan dalam Pendidikan Inklusif, 6. 124
Direktorat Pendidikan Luar Biasa, Pengadaan dan Pembinaan Tenaga Kependidikan dalam Pendidikan Inklusif, 6. Lihat juga Abd al-Rahma>n al-Nah}la>wi, Us}u>l al-Tarbiyah alIsla>mi>yah wa-Asa>li>biha> fi> al-Bayti wa-al-Madrasati wa-al-Mujtama’ (Bairut Libanon : Da>ru al- Fikri al-Ma’a>s}ir, 1999), 171-176. Kitab ini menjelaskan sifat dan syarat seorang pendidik yang Islami yaitu: pendidik harus memiliki tujuan dan cara berfikir yang Rabbani, pendidik harus ikhlas, sabar, jujur, selalu menambah wawasannya, kreatif, menguasai jiwa siswa dan bersikap tegas, memahami psikologi anak, peka terhadap fenomena kehidupan, serta harus memiliki sikap adil terhadap seluruh anak didiknya.
101
tingkat pendidikan minimal yang harus dipenuhi oleh seorang pendidik yang dibuktikan dengan ijazah dan atau sertifikat keahlian yang relevan sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Apabila ijazah dan atau sertifikat keahlian tidak ada tetapi memiliki keahlian khusus yang diakui dan diperlukan dapat diangkat menjadi pendidik setelah melewati uji kelayakan dan kesetaraan. Disamping Kualifikasi akademik, pendidik juga harus sehat jasmani dan rohani, memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional, serta memiliki kompetensi sebagai agen pembelajaran yang meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial.125 Kompetensi Pedagogik adalah kemampuan pengelolaan peserta didik yang meliputi pemahaman wawasan atau landasan kependidikan, pemahaman terhadap
peserta
didik,
pengembangan
kurikulum/silabus,
perancangan
pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. Kompetensi Kepribadian adalah kepribadian guru sebagai pendidik yang memiliki kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif dan bijaksana, berwibawa, berakhlak mulia, menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat, mengevaluasi kinerja sendiri dan mengembangkan diri secara berkelanjutan.126 Kompetensi Profesional adalah memahami tugas-tugas serta hal-hal yang berkaitan dengan tugas-tugas tersebut secara lebih mendalam. Dan Kompetensi Sosial adalah
kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk
mampu berkomunikasi secara lisan dan tulisan, menggunakan teknologi informasi dan komunikasi secara fungsional, bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua atau wali peserta didik, dan bergaul secara santun dengan masyarakat sekitar.127 125
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. 126
Saliman, Standar Kompetensi Guru. http://www.slideshare.net/guestc6f390/standarkompetensi-guru (diakses 21-8-2010). 127
Saliman, Standar Kompetensi Guru. http://www.slideshare.net.
102
Satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan inklusi, dalam pasal 41 Standar Nasional Pendidikan dinyatakan harus memiliki tenaga kependidikan yang mempunyai kompetensi menyelenggarakan pembelajaran bagi peserta didik dengan kebutuhan khusus.128 Salah satu satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan inklusi adalah Madania. Apabila mengacu pada standar pendidik dan tenaga kependidikan berdasarkan Standar Nasional Pendidikan
bab VI pasal 28, maka pendidik dan tenaga kependidikan di
Madania sudah memenuhi standar yang diharuskan. Dari segi tingkat pendidikan, pendidik di Madania adalah lulusan S1 dan S2 dengan latar belakang pendidikan. Kalaupun ada yang latar belakang pendidikannya di luar bidang pendidikan, tetapi mereka diakui memiliki keahlian khusus di bidang pendidikan. Madania selalu mengadakan pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan kemampuan para pendidiknya baik di bidang perkembangan siswa dan permasalahannya, serta strategi pembelajaran yang efektif untuk kelas inklusi. Guru-guru SEN Unit yang mempunyai latar belakang pendidikan yang tidak sesuai dengan bidang pendidikan luar biasa misalkan, mereka senantiasa berdiskusi untuk berbagi pengetahuan dengan guru SEN Unit lainnya yang berlatar belakang pendidikan luar biasa, tentang layanan pendidikan untuk siswa berkebutuhan khusus yang ditangani oleh SEN Unit. Selain itu guru-guru juga sering
kali dikirim ke setiap pelatihan tentang
pendidikan inklusi yang diselenggarakan oleh lembaga lain. 129 Dengan begitu semua pendidik di Madania memahami betul bahwa permasalahan yang dihadapi di kelas inklusi tidak hanya siswa normal akan tetapi juga siswa dengan kebutuhan khusus. Karena itu kesabaran dan keuletan adalah dua sifat yang harus dimiliki oleh pendidik di sekolah inklusi. Pada saat menangani siswa berkebutuhan khusus, guru kelas dapat dibantu juga oleh guru pendamping bagi siswa berkebutuhan khusus yang 128
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. 129
Berdasarkan wawancara dengan Bapak Abdul Hakim Anshory, S.P., koordinator SEN Unit di Madania, 30-4- 2010.
103
memerlukan pendampingan. Siswa berkebutuhan khusus yang memerlukan pendampingan adalah siswa yang mengalami hambatan dalam komunikasi, bahasa (reseptif-ekspresif), sosialisasi, perilaku dan akademik.130 Tugas guru pendamping di Madania adalah membimbing dan mengarahkan siswa berkebutuhan khusus agar dapat beradaptasi di sekolah, di bidang akademik dan atau bidang non akademik. Selain itu, melakukan one to one teaching
131
untuk membantu siswa berkebutuhan khusus dalam memahami
materi yang diajarkan, menjembatani komunikasi siswa berkebutuhan khusus dengan guru, teman, dan pegawai sekolah. Tugas lainnya adalah berkoordinasi dengan orang tua dan sekolah dalam memantau perkembangan anak, serta memantau siswa berkebutuhan khusus yang menjadi tanggungjawabnya selama di sekolah. 132 Selain dibantu oleh guru pendamping, guru di Madania juga dibantu oleh siswa-siswa normal lainnya yang ada di kelas yang berperan sebagai peer tutoring yaitu siswa sebagai tutor. Mereka dijadikan model dan membagikan ilmu dan pengalamannya kepada temannya siswa berkebutuhan khusus.133 Dengan cara seperti ini, siswa berkebutuhan khusus merasa dihargai keberadaannya, sehingga bisa meningkatkan harga dirinya. Sebaliknya bagi siswa normal lainnya, keadaan temannya yang berkebutuhan khusus diharapkan dapat dijadikan pelajaran untuk banyak mensyukuri keberadaannya yang normal. Disamping itu, mereka diharapkan dapat belajar tentang perbedaan individu dan bagaimana menyikapinya dengan cara menunjukkan sikap toleransi. 130
Educational Support Department, Handbook 2009-2011, 8.
131
Untuk menunjang dan menjaga agar one to one teaching yang dilakukan guru SEN Unit sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik siswa, maka dilakukan observasi pengajaran secara terjadwal dan on the spot. Hasil observasi dijadikan dasar penilaian untuk periode mendatang dan untuk perbaikan dan peningkatan cara pengajaran guru SEN Unit sesuai yang diharapkan. Lihat Educational Support Department, Handbook 2009-2011, 9. 132 133
Educational Support Department, Handbook 2009-2011, 44-45.
Mereka biasanya membantu dalam proses sosialisasi siswa berkebutuhan khusus di kelas. Pada kasus tertentu, karena siswa berkebutuhan khusus biasanya mengalami hambatan untuk beradaptasi dengan temannya yang baru, maka ketika kenaikan kelas dan pembagian kelas yang baru, siswa berkebutuhan khusus biasanya ditempatkan kembali dengan beberapa temannya yang sudah dia kenali, dengan memperhatikan aspek agama dan gender. Berdasarkan wawancara dengan Bapak Abdul Hakim Anshory, S.P., koordinator SEN Unit di Madania, 30-42010.
104
Selain dibantu oleh guru pendamping, guru juga dibantu oleh tenaga ahli di bidang penanganan siswa berkebutuhan khusus yang bernaung di bawah SEN Unit. Guru-guru di SEN Unit yang sebagiannya berlatar belakang pendidikan luar biasa bertugas bekerjasama dengan guru dan atau guru pendamping dalam menangani siswa berkebutuhan khusus agar mereka dapat lebih beradaptasi di lingkungan sekolah. Mereka juga membuat rancangan IEP yang merupakan program siswa berkebutuhan khusus di bidang akademis dan non-akademis, dan melakukan evaluasi secara berkala. Selain itu, mereka membuat IEP final dengan cara berkoordinasi dengan guru, guru pendamping, dan pihak-pihak yang terkait antara lain psikolog, terapis, dan orang tua dalam membuat dan menjalankan IEP. Tugas lainnya adalah membuat laporan tertulis mengenai program yang dijalankan serta membuat dan mempresentasikan profil siswa berkebutuhan khusus mengenai program dan hasil pencapaian mereka selama 1 tahun pelajaran pada pihak yang terkait.134 Untuk mendukung supaya program inklusi bisa sukses yaitu dengan membuat pelatihan yang dirancang untuk melengkapi gaya mengajar guru. Pelatihan ditujukan pada pengajaran yang koperatif, kurikulum berbasis penilaian, teknik-teknik manajemen perilaku, kecerdasan ganda, membangun kepercayaan dan mencari jalan keluar dari konflik. Kesuksesan program inklusi juga akan tercapai bila guru melakukan studi banding terhadap satuan pendidikan lain yang program inklusinya sukses. Kesuksesan program inklusi juga tercapai apabila didukung
oleh sebuah tim professional, dukungan
administratif, organisasi dan aturan yang fleksibel, serta seluruh stakeholder sekolah konsensus pada nilai-nilai yang mendukung inklusi.135 Perbedaan karakteristik setiap siswa berkebutuhan khusus, memerlukan kemampuan guru berkaitan dengan cara mengkombinasikan kemampuan dan bakat setiap siswa dalam kemampuan berpikir, melihat, mendengar, berbicara dan bersosialisasi yang ditujukan pada tujuan akhir pembelajaran. Kemampuan 134 135
Educational Support Department, Handbook 2009-2011, 8.
David Auxter, Jean Pyfer, Carol Huettig, Principles and Methods of Adapted Physical Education and Recreation (New York: Mc Graw-Hill, 2005), 164.
105
guru semacam ini mempunyai tujuan pembelajaran yang diarahkan kepada hasil akhir berupa kemandirian setiap siswa untuk dapat hidup dan menghidupi diri pribadinya tanpa bantuan khusus dari orang-orang sekitarnya dalam kehidupan nyata setelah siswa bersangkutan selesai menyelesaikan program-program pembelajaran di sekolah. Hasil akhir dari program pembelajaran semacam ini secara konseptual adalah mengarahkan para siswa berkebutuhan khusus untuk mampu berperilaku sesuai dengan lingkungannya atau berprilaku adaptif. Perilaku adaptif diartikan sebagai suatu kemampuan peserta didik untuk dapat mengatasi secara efektif terhadap keadaan-keadaan yang tengah terjadi dalam masyarakat
lingkungannya. Perilaku
adaptif secara khusus merupakan
kemampuan berperilaku merespon tuntutan lingkungan.136 Dengan demikian, kemampuan guru dalam memahami karakteristik siswa berkebutuhan khusus, dan membuat serta melaksanakan program layanan pendidikan yang disesuaikan dengan kekhususannya, akan sangat menentukan keberhasilan program pendidikannya. Oleh karena itu, kompetensi pendidik di sekolah inklusi harus terus ditingkatkan melalui berbagai pendidikan dan pelatihan untuk menambah wawasannya sehingga dapat memberikan layanan yang terbaik untuk siswa berkebutuhan khusus. E. Fundrising Sekolah Inklusi Untuk menjamin keberlangsungan proses pendidikan inklusi pada sebuah sekolah, diperlukan dukungan dana (financial). Dukungan dana sebagai instrument input menjadi penting untuk mendukung kelancaran proses pendidikan. Untuk itu upaya dukungan dana yang sering disebut dengan fundrising harus menjadi elemen penting yang harus dirancang sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam proses pendidikan. Fundrising adalah upaya pencarian dana yang harus dilakukan sekolah untuk membiayai seluruh proses pembelajaran, yang tidak saja untuk mendanai biaya aktivitas rutin tetapi juga pengembangan sarana dan alat-alat yang dibutuhkan siswa dalam proses pembelajaran.137 136
Polloway, EA. & Patton JR., Strategies for Teaching Learners with Special Needs (New York: Macmillan, 1993), 70-71. 137
Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokratis, 286.
106
Upaya pencarian dana yang dilakukan sekolah semata-mata untuk mendukung terselenggaranya proses belajar mengajar yang efektif dan berkualitas, baik untuk keperluan sarana (penyediaan areal dan lokal belajar, laboratorium dan pustaka), peralatan sekolah (buku-buku pelajaran, alat-alat peraga dan keperluan olah raga), kesejahteraan guru, karyawan dan penyelenggaraan sekolah (gaji, biaya kesehatan, tunjangan pendidikan keluarganya, perumahan dan tunjangan hari tua). Biaya
sekolah merupakan salah satu
faktor pendukung
untuk
terselenggaranya proses belajar mengajar dalam rangka mengoptimalkan seluruh potensi fitrah siswa didik secara efektif, berkualitas dan berdaya saing tinggi. Untuk membangun manusia yang bersumber daya, maka dibutuhkan sarana,prasarana dan beberapa penunjang untuk terselenggaranya proses belajar mengajar yang belum dapat dikelola oleh masing-masing keluarga secara individu. Maka dibutuhkan suatu investasi untuk menyediakan segala kebutuhan sarana dan prasarana untuk menunjang terselenggranya proses belajar mengajar yang efektif dan berkualitas. Biaya sekolah harus tersedia sebelum dan selama proses belajar mengajar berlangsung secara berkesinambungan. Untuk itu, pihak penyelenggara sekolah harus menginformasikan kepada seluruh pihak yang terkait sebelum dimulainya penerimaan murid baru serta minta komitmennya dari seluruh pihak agar biaya yang dibutuhkan dapat diupayakan secara bersama, proporsional, jujur dan adil. Dengan adanya kesamaan pola pandang tentang terselenggaranya proses pendidikan yang efektif dan berkualitas, semua pihak akan mendukung segala upaya pencarian sumber dana yang halal selama dikelola secara amanah dan bertanggung jawab. Secara teoritis, konsep biaya di bidang lain mempunyai kesamaan dengan bidang pendidikan, dimana lembaga pendidikan dipandang sebagai produsen jasa pendidikan yang menghasilkan keahlian, keterampilan, ilmu pengetahuan, karakter dan nilai-nilai yang dimiliki seorang lulusan. Kegiatan pendidikan
107
sebenarnya dapat dipandang sebagai pelayanan (services) terhadap siswa atau peserta didik selama belajar.138 Demikian juga komponen biaya sekolah pada lembaga pendidikan inklusi tidak jauh berbeda dengan sekolah lainnya. Biaya dalam pendidikan inklusi meliputi biaya langsung (direct cost) dan biaya tidak langsung (indirect cost). Biaya langsung terdiri dari biaya-biaya yang dikeluarkan untuk keperluan pelaksanaan pengajaran dan kegiatan belajar siswa berupa pembelian alat-alat pelajaran, sarana belajar, biaya transportasi, gaji guru, baik yang dikeluarkan oleh pemerintah, orang tua maupun siswa sendiri. Sedangkan biaya tidak langsung berupa keuntungan yang hilang (earning forgone) dalam bentuk biaya kesempatan yang hilang (opportunity cost) yang digunakan oleh siswa selama belajar.139 Dalam pengertian luas,
pembiayaan dikenal dengan istilah biaya
budgetair dan nonbudgetair. Pengertian pembiayaan pendidikan yang bersifat budgetair, yaitu biaya pendidikan yang diperoleh dan dibelanjakan oleh sekolah sebagai suatu lembaga. Sementara biaya-biaya pendidikan yang dibelanjakan oleh murid, atau orang tua/keluarga secara langsung atau tidak, termasuk dalam pengertian biaya pendidikan yang sifatnya nonbudgetair.140 Anggaran biaya pendidikan terdiri dari dua sisi yang berkaitan satu sama lain, yaitu sisi anggaran penerimaan dan anggaran pengeluaran untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan. Anggaran penerimaan adalah pendapatan yang diperoleh setiap tahun oleh sekolah dari berbagai sumber resmi dan diterima secara teratur. Sedangkan anggaran dasar pengeluaran adalah jumlah uang yang dibelanjakan setiap tahun untuk kepentingan pelaksanaan pendidikan di sekolah. Belanja sekolah sangat ditentukan oleh komponen-komponen yang jumlah dan proporsinya bervariasi diantara sekolah yang satu dan daerah yang lainnya serta dari waktu ke waktu. Berdasarkan pendekatan unsur biaya (ingredient 138
Nanang Fattah, Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan Rosdakarya, 2004), 4.
(Bandung: Remaja
139
Thomas Jones, School Finance : Technique and Social Policy (London: Collier MacMillan Publishers, 1985), 25. 140
Thomas Jones, School Finance : Technique and Social Policy, 25.
108
approach), pengeluaran sekolah dapat dikategorikan ke dalam beberapa item pengeluaran, yaitu: pengeluaran untuk pelaksanaan pelajaran, pengeluaran untuk tata usaha sekolah, pemeliharaan sarana dan prasarana sekolah, kesejahteraan pegawai, administrasi, pembinaan teknis pendidik, dan pendataan141 Standar
Pembiayaan
Pendidikan
berdasarkan
Standar
Nasional
Pendidikan terdiri atas biaya investasi, biaya operasi, dan biaya personal. Biaya investasi satuan pendidikan meliputi biaya penyediaan sarana dan prasarana, pengembangan sumberdaya manusia, dan modal kerja tetap. Biaya operasi satuan pendidikan meliputi: gaji pendidik dan tenaga kependidikan serta segala tunjangan yang melekat pada gaji, bahan atau peralatan pendidikan habis pakai, dan biaya operasi pendidikan tak langsung berupa daya, air, jasa telekomunikasi, pemeliharaan sarana dan prasarana, uang lembur, transportasi, konsumsi, pajak, asuransi, dan lain sebagainya. Standar biaya operasi satuan pendidikan ditetapkan dengan Peraturan Menteri berdasarkan usulan BSNP. Biaya personal meliputi biaya pendidikan yang harus dikeluarkan oleh peserta didik untuk bisa mengikuti proses pembelajaran secara teratur dan berkelanjutan. 142 Biaya pendidikan merupakan salah satu komponen masukan instrumental (instrumental input) yang sangat penting dalam penyelenggaraan pendidikan (di sekolah). Dalam setiap upaya pencapaian tujuan pendidikan –baik tujuan-tujuan yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif – biaya pendidikan memiliki peranan yang sangat menentukan. Hampir tidak ada upaya pendidikan yang dapat mengabaikan peranan biaya, sehingga dapat dikatakan bahwa tanpa biaya, proses pendidikan (di sekolah) tidak akan berjalan. Biaya (cost) dalam pengertian ini memiliki cakupan yang luas, yakni semua jenis pengeluaran yang berkenaan dengan penyelenggaraan pendidikan, baik dalam bentuk uang maupun barang dan tenaga (yang dapat dihargakan dengan uang). Dalam pengertian ini, misalnya, iuran siswa adalah jelas merupakan biaya, tetapi sarana fisik, buku sekolah dan guru juga adalah biaya. Bagaimana biaya-biaya itu 141 142
Nanang Fattah, Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan, 23-24.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
109
direncanakan, diperoleh, dialokasikan, dan dikelola merupakan persoalan pembiayaan atau pendanaan pendidikan (educational finance). 143 Pembiayaan pendidikan seharusnya menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, penyelenggara sekolah, orang tua peserta didik, masyarakat dan pengusaha. Hendaknya tanggung jawab pembiayaan secara bersama ini dilaksanakan dengan suatu pola pembiayaan yang adil, merata, seimbang dan proporsional. Peran pemerintah direalisasikan dengan besaran anggaran pendidikan yang cukup dan dijamin undang-undang, sementara pihak keluarga memberi kontribusi dalam besaran sumbangan biaya pendidikan yang terjangkau dan disesuaikan dengan tingkat penghasilan yang diperolehnya, masyarakat dapat berperan melalui pengelolaan sekolah-sekolah swasta yang bekerja semata-mata untuk kepentingan sosial (nirlaba) dengan menjalin kerjasama dengan pengusaha dan dermawan. Masyarakat, diminta untuk berperan serta dalam bentuk memberikan beasiswa kepada siswa yang berprestasi tetapi kurang mampu dalam ekonomi, anak asuh, kepada anak-anak yang tidak mampu walaupun belum berprestasi, serta sebagai donatur tetap penyelenggara sekolah. Pihak Pengusaha juga harus punya kepedulian terhadap pendidikan sebagai bagian dari tanggungjawab sosial. Pemerintah dalam membiayai penyelenggaraan pendidikan nasional haruslah sesuai dengan amanat UUD '45 yang menyebutkan bahwa negara memprioritaskan sekurang-kurangnya 20% dari APBN. Komitmen ini mesti diikuti dengan alokasi distribusi yang efisien dan meminimkan tingkat kebocoran serta mengalokasikan pos-pos yang produktif untuk penyelenggaraan pendidikan
nasional, merata dengan menyebarkan ke seluruh lapisan dan
wilayah masyarakat, proporsional dalam memberikan prosentase subsidi pendidikan dasar dan menengah dibandingkan subsidi ke pendidikan tinggi, serta
adil
dalam
berkemampuan 143
2003), 3-4.
memberikan
ekonomi
lemah.
subsidi
kepada
Penyelenggara
masyarakat sekolah,
golongan
harus
dapat
Dedi Supriadi, Satuan Biaya Pendidikan Dasar dan Menengah, (Bandung: Rosda,
110
merencanakan berapa anggaran yang dibutuhkan untuk terselenggaranya proses belajar mengajar yang efektif dan berkualitas serta dapat merealisasikannya sesuai dengan yang diamanahkan secara jujur dan bertanggung jawab. Pembiayaan pendidikan di suatu negara berpengaruh positif terhadap kinerja pendidikan nasional di negara bersangkutan. Maka sangatlah wajar bila kinerja pendidikan Indonesia masih sangat memprihatinkan, karena dalam sejarahnya, sejak republik ini berdiri hingga kini, pemerintah belum pernah mengalokasikan dana memadai untuk pembiayaan pendidikannya. Jika diukur dari GNP, pembiayaan pendidikan di Indonesia tergolong amat rendah. Indonesia hanya mengalokasikan dana untuk pembiayaan pendidikan sebesar 1,4 persen dari GNP. Bandingkan dengan negara tetangga yaitu Malaysia yang mengalokasikan dana untuk biaya pendidikan sebesar 5,2 persen dari GNP, Singapur 3,0 persen, Thailand 4,1 persen, dan Australia sudah mencapai 5,6 persen. 144 UUD 1945 yang diamandemen juga mengatur alokasi dana untuk pembiayaan pendidikan. Pasal 31 ayat 4 secara eksplisit menyebutkan “negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Di sisi lain pasal 49 ayat 1 UU no 20 tahun 2003 tentang SISDIKNAS menyebutkan bahwa dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20 persen dari APBN pada sektor pendidikan dan minimal 20 persen dari APBD.
145
Konsistensi untuk
menjalankan peraturan yang dibuat sendiri itulah yang kini amat diperlukan untuk mewujudkan komitmen memajukan pendidikan melalui alokasi dana untuk pembiayaan pendidikan yang cukup dan memadai. 144
Apabila besarnya dana yang dialokasikan untuk pembiayaan pendidikan itu dihitung dari Total Government Expenditure (TGE), yang di negara kita disebut Anggaran Pendapatan dan Belanja negara (APBN), hasilnya sama saja. Dari catatan UNDP dalam Human Development Report 2004, dana yang dialokasi untuk pembiayaan pendidikan di Indonesia selama periode 1999-2001 hanya 9,8 persen dari TGE. Sebagai perbandingan Malaysia sudah mengalokasi dana untuk membiayai pendidikan sebesar 20 persen dari TGE. Lihat Tonny D. Widiastono, ed, Pendidikan Manusia Indonesia (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2004), 426. 145
Tonny D. Widiastono, ed, Pendidikan Manusia Indonesia, 433.
111
Berdasarkan laporan UNDP (2004), Human Development Report 2004 ternyata Indonesia dengan indeks HDI sebesar 0,692 menduduki peringkat 111 dari 177
negara.146 Posisi ini menunjukkan sejauhmana keberhasilan
pembangunan manusia suatu negara dari segi pendidikan, ekonomi, dan kesehatan dibanding negara lain. Di satu pihak, peringkat ini mengisyaratkan belum memuaskannya pembangunan manusia di negara kita; di lain pihak menganjurkan kita untuk mau mengakui keunggulan negara-negara tetangga dalam hal membangun manusianya.147 Dalam teori dan praktik pembiayaan pendidikan, baik pada tataran makro maupun mikro, dikenal beberapa kategori biaya pendidikan, yaitu: biaya langsung (direct cost) dan biaya tidak langsung (indirect cost) , biaya pribadi (private cost) dan biaya sosial (social cost), biaya dalam bentuk uang (monetary cost) dan bukan uang (non-monetary cost).
148
Biaya langsung adalah segala
pengeluaran yang secara langsung menunjang penyelenggaraan pendidikan. Biaya tidak langsung adalah pengeluaran yang tidak secara langsung menunjang proses pendidikan tetapi memungkinkan proses pendidikan tersebut terjadi di sekolah, misalnya biaya hidup siswa, biaya transportasi ke sekolah, biaya jajan, biaya kesehatan, dan harga kesempatan (opportunity cost). Biaya pribadi adalah pengeluaran keluarga untuk pendidikan atau dikenal juga pengeluaran rumah tangga (household expenditure). Biaya sosial adalah biaya yang dikeluarkan oleh 146
Indonesia termasuk negara berkembang berdasarkan pencapaian Indek Pembangunan Manusia (Human Development Index) versi UNDP. Dalam konteks ini, negara-negara belum maju ialah negara-negara yang pencapaian HDI –nya kurang dari 0,500. Negara berkembang adalah negara-negara yang pencapaian HDI nya antara 0,500 hingga 0,799. Dan negara-negara maju adalah negara-negara yang pencapaian HDI- nya minimal 0,800. Lihat Tonny D. Widiastono, ed, Pendidikan Manusia Indonesia, 420. 147
Indonesia tertinggal dari tetangga-tetangganya seperti Australia, Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia, Thailand dan Filipina, yang masing-masing sudah berada di urutan 3, 25, 33, 58, 76, dan 83. Tetangga kita yang terdekat seperti Malaysia pada sekitar tahun 1980 an yang lalu, kinerja pendidikannya lebih buruk dari Indonesia sehingga ia banyak belajar dan berguru ke Indonesia. Malaysia minta disuplai konsultan pendidikan dari Indonesia, dan banyak mengirimkan pemuda untuk belajar di Indonesia. Sekarang sudah berbalik, justru kinerja pendidikan Malaysia lebih baik dari Indonesia, sehingga tidak banyak lagi guru dan konsultan Indonesia yang dikirim kesana. Lihat Ridjaluddin, Sejarah Pemikiran Pendidikan Islam (Jakarta: PKI FAI UHAMKA, 2008), 110-111. 148
Dedi Supriadi, Satuan Biaya Pendidikan Dasar dan Menengah, 4. Lihat juga M.I. Anwar dalam “Biaya Pe ndidikan dan Metode Penetapan Biaya Pendidikan”, Mimbar Pendidikan, No. 1 tahun X, 1991, 28-33.
112
masyarakat untuk pendidikan, baik melalui sekolah maupun melalui pajak yang dihimpun oleh pemerintah kemudian digunakan untuk membiayai pendidikan. Biaya yang dikeluarkan pemerintah pada dasarnya termasuk biaya sosial. 149 Pada tingkat sekolah (satuan pendidikan), biaya pendidikan diperoleh dari subsidi pemerintah pusat, pemerintah daerah, iuran siswa, dan sumbangan masyarakat. Sejauh tercatat dalam Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS), sebagian besar biaya pendidikan di tingkat sekolah berasal dari pemerintah pusat, sedangkan pada sekolah swasta berasal dari para siswa atau yayasan. 150 Dengan hanya memperhitungkan dua sumber penerimaan, yaitu pemerintah dan keluarga,
siswa pendidikan dasar dan menengah seringkali
harus berhadapan dengan problem financial yang cukup mengganggu proses pendidikan.151 Sementara sumber pembiayan lain seperti pengusaha dalam konteks pendidikan Indonesia belum maksimal diupayakan. Bagi dunia usaha belum begitu familier untuk melakukan investasi dalam dunia pendidikan. Problem pembiayaan ini jauh lebih dirasakan oleh sekolah yang menerapkan pendidikan inklusi. Pemenuhan biaya operasional pengelolaan pendidikan inklusi di Indonesia masih cukup memprihatinkan. Baik pemerintah maupun masyarakat masih sangat minim memberi kontribusi perhatian terhadap pendidikan inklusi. Apalagi keterlibatan dunia usaha dalam pendidikan ini dapat dikatakan tidak ada kalau tidak dikatakan tidak ada keterkaitan antara dunia usaha dengan pendidikan inklusi. Meskipun dalam batas tertentu
pemerintah telah berusaha memberi
perhatian kepada pendidikan siswa
berkebutuhan khusus akan tetapi
149
Dedi Supriadi, Satuan Biaya Pendidikan Dasar dan Menengah, 4.
150
Pada tahun 1991/1992, sebanyak 92,39 % penerimaan biaya pendidikan di SD berasal dari pemerintah pusat, hanya 0,23% dari pemerintah daerah, 6,98% dari iuran siswa yang ditampung melalui BP3 (Badan Pembantu Penyelenggara Pendidikan) – sebelumnya bernama POMG (Persatuan Orang Tua Murid dan Guru), 0,20% dari masyarakat, dan 0,20% dari sumbersumber lain. Lihat Ditjen PUOD, Penelitian dan Pengkajian Satuan Biaya Sekolah Dasar, (Jakarta: Ditjen PUOD Depdagri, 1993).7. Keadaan ini tidak banyak berubah hingga tahun 1995/1996, sebanyak 93-96% penerimaan SD Negeri, 78-91% penerimaan SLTP Negeri , dan 80% penerimaan SLTA Negeri berasal dari pemerintah. Lihat N.Triaswati. et al., Pendanaan Pendidikan di Indonesia, dalam F.Jalal&D.Supriadi, Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah (Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 2001), 72. 151
Dedi Supriadi, Satuan Biaya Pendidikan Dasar dan Menengah, 7.
113
dibandingkan dengan alokasi lainnya prosentase masih relatif kecil. Karena pemerintah mengalokasikan dananya lebih kecil untuk pendidikan inklusi ini, maka rasio jumlah siswa berkebutuhan khusus dengan lembaga pendidikan inklusi yang disediakan tidak imbang atau tidak merata sehingga tidak bisa menampung semua masyarakat penyandang cacat. Maka dari itu, pendidikan inklusi di Indonesia masih sulit dijangkau oleh masyarakat yang berada di daerah pinggiran yang secara ekonomi sebagian besar masyarakat kelas menengah ke bawah. Dampak dari kurangnya perhatian negara terhadap penyediaan dana untuk pendidikan inklusi adalah pembebanan yang lebih besar kepada masyarkat untuk menanggulangi semua beban biaya operasional pendidikan. Pendidikan Inklusi di sekolah swasta misalkan dapat dikatakan seratus persen biaya operasional pendidikannya mengandalkan pembiayaan dari swadaya masyarakat. Tentu saja hal ini akan sangat memberatkan masyarakat yang memiliki anak berkebutuhan khusus tetapi tidak mampu untuk menyekolahkan ke sekolah inklusi. Di sekolah swasta yang seratus persen dikelola oleh masyarakat, komponen pembiayaan pendidikan inklusi harus ditanggung orang tua siswa cukup banyak. Selain kewajiban pembayaran SPP seperti siswa reguler lain setiap bulannya juga harus ikut turut berkontribusi menutupi biaya untuk penanganan khususnya sesuai karakteristik siswa berkebutuhan khusus. Artinya orang tua siswa masih harus menanggung biaya berlipat karena selain harus membayar biaya sekolah regular juga harus membayar biaya layanan khususnya. Biaya operasional yang memerlukan keterlibatan para ahli di bidang lain selain bidang pendidikan seperti ahli psikologi dan fisioterapi juga cukup banyak menyedot biaya. Contoh dari sekolah inklusi yang pembiayaan pendidikannya ditanggung oleh orang tua siswa adalah Madania. Sumber pembiayaan untuk semua biaya operasional pendidikan inklusi masih mengandalkan kontribusi dari orang tua siswa. Kalaupun ada dari pihak pemerintah itu pun hanya sebatas bantuan insidentil yang temporal dan tidak mengikat. Karena itu pendidikan inklusi bagi masyarakat Indonesia masih terbilang barang mewah karena memerlukan biaya yang mahal. Pendidikan inklusi di
114
Indonesia masih terbatas , hanya siswa yang berasal dari kalangan menengah ke atas saja yang dapat mengaksesnya. Dalam konteks negara sebagai penanggung jawab dalam layanan pendidikan untuk semua warga apalagi warga yang tidak berdaya, maka kondisi ini bertolak belakang dengan maksud diselenggarakannya pendidikan inklusi yaitu untuk memperluas akses pendidikan bagi siswa berkebutuhan khusus. Oleh karena itu, pendidikan inklusi di Madania selama ini
hanya
melayani siswa berkebutuhan khusus dari orang tua yang siap bisa diajak bekerjasama dalam menutupi seluruh kebutuhan biaya operasional pendidikan. Di sana biaya operasional pendidikannya masih mengandalkan kontribusi dari orang tua siswa dan belum bisa mengandalkan bantuan dari pihak luar seperti pemerintah152 atau dunia usaha lainnya. Khusus untuk kepentingan pembiayaan program khusus untuk siswa berkebutuhan khusus, Madania melakukan sharing pembiayaan dengan perbandingan 30% : 70%. Pihak sekolah menyediakan pembiayaan 30% sementara pihak orang tua menyediakan 70%. Sebagai contoh dalam penyusunan
IEP dan program-progam khusus lainnya untuk siswa
berkebutuhan khusus misalkan 70% dari semua biaya operasionalnya ditanggung oleh orang tua siswa, termasuk penyediaan tenaga ahli psikolog dan untuk guru pendamping (aide teacher). Bahkan jika waktu pertemuan dalam rangka pembuatan IEP melebihi jam kerja sekolah, maka biaya transportasi guru-guru yang terlibat masuk dalam pembiayaan ini yang disesuaikan dengan kebutuhan. 153 Berdasarkan bukti-bukti tersebut dapat disimpulkan bahwa pembiayaan pendidikan inklusi di Indonesia masih harus mendapatkan perhatian lebih serius dari pemerintah sehingga bisa memberikan kesempatan yang lebih luas pada semua siswa berkebutuhan khusus untuk mengakses pendidikannya. Sampai saat 152
Sejak dimulainya pendidikan inklusi tahun 1998, Madania baru sekali mendapatkan dana bantuan Block Grand dari pemerintah pada tahun 2009 lalu. Dana bantuan tersebut diperuntukkan untuk biaya operasional dan sarana prasarana penyelenggaraan pendidikan inklusi. Berdasarkan wawancara dengan Bapak Abdul Hakim Anshory, S.P., koordinator SEN Unit di Madania, 22-7- 2010. 153
Educational Support Department, Handbook 2009-2011, 21 dan penjelasan dari Bapak Abdul Hakim Anshory, S.P., koordinator SEN Unit di Madania, pada 22-7-2010.
115
ini, karena pemerintah kurang memberi perhatian penuh pada penyelenggaraan pendidikan inklusi, maka hanya orang tua yang mampu saja yang dapat menyekolahkan anaknya ke sekolah inklusi. Terlebih lagi untuk sekolah inklusi swasta, pemerintah seolah lepas tangan sehingga seluruh pembiayaan pendidikan siswa berkebutuhan khusus ditanggung sepenuhnya oleh orang tua.
BAB IV MODEL PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI SEKOLAH INKLUSI Model pembelajaran pendidikan agama Islam di sekolah inklusi adalah bentuk pembelajaran pendidikan agama Islam yang tergambar dari awal sampai akhir yang disajikan secara khas oleh guru dengan dukungan strategi pembelajaran, suasana lingkungan sekolah dan sistem evaluasi.
Model
pembelajaran secara khusus itu dibutuhkan karena tingkat kemampuan siswa berkebutuhan khusus memiliki daya serap yang berbeda dengan siswa lainnya. Perbedaan ini bukan berarti diskriminasi terhadap mereka akan tetapi selain merupakan upaya memberikan haknya dalam pendidikan agama, juga merupakan bagian dari upaya efektifitas pembelajaran agar tercapai tujuan pendidikannya. Bab ini akan menunjukkan beberapa elemen penting dari model pembelajaran pendidikan agama Islam di lingkungan sekolah yang menerapkan pendidikan inklusi. Elemen-elemen tersebut meliputi: strategi pembelajaran pendidikan agama bagi siswa berkebutuhan khusus, nilai-nilai agama yang harus jadi budaya sekolah, penciptaan lingkungan religius sebagai core pendidikan, pemenuhan fasilitas ibadah dan sarana pembelajaran, serta
evaluasi dan
penilaian pendidikan agama. A. Strategi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam di Sekolah Inklusi Strategi pembelajaran merupakan salah satu bagian penting yang harus diperhatikan sebagai bagian dari model pembelajaran pendidikan agama bagi siswa berkebutuhan khusus. Sebelum dijelaskan lebih detil tentang strategi pembelajaran sebagai bagian dari model, maka perlu dijelaskan terlebih dahulu tentang
pengertian dan 1
pembelajaran
maksud
model dalam penelitian
ini.
Model
pendidikan agama Islam untuk siswa berkebutuhan khusus
1
Bruce Joyce dan Marsha Well mengetengahkan empat kelompok model pembelajaran, yaitu: model interaksi sosial, model pengolahan informasi, model personal humanistik, dan model modifikasi tingkah laku. Lihat Bruce R. Joyce, Marsha Weil, Emily Calhoun, Models of Teaching (University of California: Allyn and Bacon, 2004), 136. Sedangkan menurut Arends,
116
maksudnya adalah sebuah model pembelajaran berbasis kompetensi2 anak dengan mengembangkan lingkungan belajar terpadu dari peserta didik bersangkutan dengan memperhatikan prinsip-prinsip umum dan khusus. Dengan kata lain dalam proses pembelajaran, teknik, metode, dan strategi guru mengajar disesuaikan dengan kemampuan yang dimiliki oleh siswa berkebutuhan khusus. Dengan memperhatikan kemampuan dan potensinya tersebut diharapkan siswa berkebutuhan khusus memiliki pemahaman yang baik terhadap materi yang diajarkan guru di dalam kelas. Model
pembelajaran ini dapat diterapkan dengan efektif melalui
perubahan atau penyesuaian antara kemampuan belajar siswa dengan harapan/target, alokasi waktu, penghargaan/hadiah, tugas-tugas/pekerjaan, dan bantuan yang diberikan pada anak-anak dari masing-masing kelompok yang beragam, meskipun mereka belajar dalam satu kelas, dengan tema dan mata pelajaran yang sama. Misalnya, harapan atau target belajar shalat fardu untuk anak kelas 7 adalah mampu memahami syarat dan rukun shalat serta mempraktekkan shalat dengan baik dan benar. Untuk siswa yang membutuhkan tingkat layanan sedang, target belajar shalat fardhu hanya sampai mampu mempraktekkan saja. Sedangkan untuk siswa yang membutuhkan tingkat layanan berat, lebih banyak memfokuskan pada keunggulan visual thinkingnya (pemahaman konsep melalui pengamatan dengan bantuan gambar, kode, label, simbol atau film dan sebagainya). Jadi proses layanan pembelajaran untuk siswa berkebutuhan khusus bukan didasarkan pada bentuk layanan sama rata, sama rasa dan disampaikan model pembelajaran dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu model tradisional yang berpusat pada guru dan model konstruktivis yang berpusat pada peserta didik. Lihat Richard Arends, Learning to Teach (New York: McGraw-Hill, 2001), 76. 2
Kompetensi adalah kemampuan bersikap, berpikir, dan bertindak secara konsisten sebagai perwujudan dari pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang dimiliki peserta didik. Lihat Permen 23 tahun 2005 tentang Standar Kompetensi Lulusan. Senada dengan definisi tersebut adalah definisi yang diungkapkan dalam Standar Nasional Kurikulum Pendidikan Keagamaan yang mendefinisikan kompetensi dengan pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai yang direfleksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak. Kebiasaan-kebiasaan itu harus mampu dilaksanakan secara konsisten dan terus menerus, serta mampu untuk melakukan penyesuaian dengan berbagai perubahan yang terjadi dalam kehidupan, baik profesi, keahlian, maupun lainnya.. Lihat Mapenda, Standar Nasional Kurikulum Pendidikan Keagamaan (Jakarta: Departemen Agama RI, 2003), 7.
117
secara klasikal, tetapi diarahkan pada pembelajaran yang lebih demokratis dan proporsional sesuai dengan harapan dan target belajar dari masing-masing kelompok siswa tersebut, dan proses belajar siswa tersebut tidak dipisahkan berdasarkan kelompok atau dipisahkan dari komunitasnya, melainkan mereka belajar bersama-sama dengan teman sebayanya di dalam kelas reguler. Apabila program dan proses belajar siswa disesuaikan dengan keberagaman dari setiap kelompok tersebut, maka semua siswa dalam kelas yang sama itu dapat mengikuti proses belajar sesuai dengan porsinya masing-masing. Pemahaman siswa berkebutuhan khusus
juga sangat ditentukan oleh
kondisi lingkungan belajarnya. Lingkungan belajar yang inklusif sebagai ciri dari sekolah inklusi akan lebih memudahkan mereka untuk bersosialisasi dan dapat mengembangkan harga dirinya yang membuat mereka bisa lebih terbuka menerima masukan dari orang lain termasuk pelajaran yang diberikan oleh guru. Kegiatan belajar mengajar yang dilaksanakan di sekolah tentunya dimaksudkan untuk mencapai tujuan pembelajaran. 3 Dan tujuan pembelajaran akan dapat tercapai apabila guru memperhatikan prinsip-prinsip pembelajaran. Prinsip-prinsip pembelajaran di kelas
inklusi pada umumnya sama dengan
prinsip-prinsip pembelajaran di kelas reguler lainnya. Perbedaan hanyalah pada prinsip-prinsip khusus yang berlaku di sekolah inklusi dikarenakan adanya siswa berkebutuhan
khusus
yang
memerlukan
layanan
khusus
berdasarkan
kelainannya. Menurut Bandi Delfi, inti model pembelajaran untuk siswa berkebutuhan khusus berdasarkan pada kurikulum berbasis kompetensi atau KBK adalah pengembangan
lingkungan
belajar
secara
terpadu.
Maksudnya
adalah
lingkungan belajar yang mempunyai prinsip-prinsip umum dan prinsip-prinsip khusus. Prinsip-prinsip umum pembelajaran meliputi motivasi, konteks, 3
Pembelajaran merupakan kegiatan yang menggunakan teknik, metode, dan strategi yang sistematik untuk mengkreasi perpaduan yang ideal antara kurikulum dan peserta didik secara sistematik. Lihat Depdiknas, Model Penyelenggaraan Sekolah Kategori Mandiri /Sekolah Standar Nasional (Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Atas Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, 2008). 6.
118
keterarahan,
hubungan
sosial,
belajar
sambil
bekerja,
individualisasi,
menemukan, dan prinsip pemecahan masalah. Sedangkan prinsip-prinsip khusus disesuaikan dengan karakteristik khusus dari setiap penyandang kelainan. 4 Prinsip motivasi maksudnya guru harus senantiasa memberikan motivasi kepada siswa agar tetap memiliki gairah dan semangat yang tinggi dalam mengikuti kegiatan belajar-mengajar. Prinsip konteks maksudnya guru perlu mengenal siswa secara mendalam, menggunakan contoh, memanfaatkan sumber belajar yang ada di lingkungan sekitar, dan semaksimal mungkin menghindari pengulangan-pengulangan materi pengajaran yang sebenarnya tidak terlalu penting bagi anak. Prinsip keterarahan maksudnya setiap akan melakukan kegiatan pembelajaran, guru harus merumuskan tujuan secara jelas, menyiapkan bahan dan alat yang sesuai serta mengembangkan strategi pembelajaran yang tepat.5 Prinsip
hubungan sosial maksudnya bahwa dalam kegiatan belajar-
mengajar, guru perlu mengembangkan strategi pembelajaran yang mampu mengoptimalkan interaksi antara guru dengan siswa, siswa dengan siswa, guru dengan siswa dan lingkungan, serta interaksi banyak arah. Prinsip belajar sambil bekerja maksudnya bahwa dalam kegiatan pembelajaran, guru harus banyak memberi kesempatan kepada anak untuk melakukan praktek atau percobaan atau menemukan sesuatu melalui pengamatan, penelitian, dan sebagainya.6 Prinsip
individualisasi maksudnya bahwa guru perlu mengenal
kemampuan awal dan karakteristik setiap anak secara mendalam baik dari segi kemampuan maupun ketidakmampuannya dalam menyerap materi pelajaran, kecepatan maupun kelambatannya dalam belajar, dan perilakunya, sehingga 4
Bandi Delphie, Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus dalam Setting Pendidikan Inklusi (Bandung : Refika Aditama, 2006),154. Lihat juga Tim Pengembang Ilmu Pendidikan, Ilmu & Aplikasi Pendidikan Bagian 2 Ilmu Pendidikan Praktis (Bandung: Imperial Bhakti Utama, 2007), 66. Dan lihat juga Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa, Kegiatan Belajar Mengajar di Sekolah Inklusif (Jakarta: Ditpslb, 2006), 3-9. 5
Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa, Kegiatan Belajar Mengajar di Sekolah Inklusif, 3. 6
Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa, Kegiatan Belajar Mengajar di Sekolah Inklusif, 3.
119
setiap kegiatan pembelajaran masing-masing anak mendapat perhatian dan perlakuan
yang
sesuai.
Prinsip
menemukan
maksudnya
guru
perlu
mengembangkan strategi pembelajaran yang mampu memancing anak untuk terlihat secara aktif baik fisik, mental, sosial, dan/atau emosional. Sedangkan prinsip pemecahan masalah maksudnya adalah guru hendaknya sering mengajukan berbagai persoalan/problem yang ada di lingkungan sekitar, dan anak
dilatih
untuk
merumuskan,
mencari
data,
menganalisis,
dan
memecahkannya sesuai dengan kemampuan.7 Adapun yang dimaksud dengan prinsip khusus adalah prinsip pembelajaran yang disesuaikan dengan karakteristik khusus dari setiap penyandang kelainan. Contohnya untuk anak tunanetra
diperlukan prinsip
kekongkritan, prinsip pengalaman yang menyatu, dan prinsip belajar sambil melakukan. Untuk peserta didik tunarungu diperlukan prinsip keterarahan wajah. Peserta didik yang tunalaras diperlukan prinsip-prinsip kebutuhan dan keaktifan, kebebasan yang mengarah, pemanpaatan waktu luang dan kompensasi, kekeluargaan dan kepatuhan kepada orang tua, setia kawan dan idola serta perlindungan, minat dan kemampuan, disiplin, serta kasih sayang.8 Tujuan pembelajaran yang ingin dicapai dalam proses belajar mengajar adalah tujuan pembelajaran berdasarkan kurikulum berbasis kompetensi yaitu: Pertama, agar dapat menghasilkan individu yang mampu melakukan kegiatan sehari-hari tanpa bantuan orang lain melalui kemampuan dirinya dalam menggunakan persepsi, pendengaran, penglihatan, taktil, kinestetik, fine motor dan gross motor. Kedua, agar dapat menghasilkan individu yang mempunyai kematangan
sosial.
Ketiga,
menghasilkan
individu
yang
mampu
bertanggungjawab secara pribadi dan sosial. Keempat, agar dapat menghasilkan individu yang mempunyai kematangan untuk melakukan penyesuaian diri dan penyesuaian terhadap lingkungan sosial. 9 7
Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa, Kegiatan Belajar Mengajar di Sekolah Inklusif, 3-4. 8 9
Tim Pengembang Ilmu Pendidikan, Ilmu & Aplikasi Pendidikan, 66. Bandi Delphie, Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus, 156.
120
Berdasarkan tujuan pembelajaran tersebut, sekalipun siswa berkebutuhan khusus kondisinya berbeda dengan siswa lain pada umumnya, ternyata kurikulum berbasis kompetensi mengakomodasi segala potensi positif yang dimiliki mereka untuk kemudian diarahkan ke arah pencapaian kompetensi tertentu. Oleh karena itu menjadi tugas pendidiklah di sekolah untuk bisa membimbingnya
menuju
penguasaan
kompetensi
sesuai
potensi
yang
dimilikinya. Pendidik yang dalam hal ini adalah guru harus mampu menentukan materi, metode, alat, evaluasi serta strategi pengajaran
yang sesuai dengan
kondisi mereka. Strategi pengajaran yang dimaksud adalah kegiatan yang dipilih oleh guru dalam proses belajar mengajar, yang dapat memberikan kemudahan atau fasilitas kepada siswa menuju kepada tercapainya tujuan pembelajaran tertentu yang telah ditetapkan.10 Menurut Dick dan Corey, strategi pembelajaran terdiri atas semua komponen materi pengajaran dan prosedur yang akan digunakan untuk membantu siswa dalam mencapai tujuan pembelajaran tertentu. Sedangkan menurut Ormrod, strategi pembelajaran meliputi semua aktifitas yang merupakan aspek-aspek penting dalam pengajaran yang efektif dan berdampak pada pembelajaran dan prestasi optimal siswa di kelas.11 Penentuan strategi pembelajaran setidaknya harus memperhatikan tiga hal, yaitu: tujuan pembelajaran dari pelajaran, bentuk dan isi dari materi pelajaran dan karakteristik, serta kemampuan dari para siswanya. 12 CartwrightCartwright
mengemukakan
langkah-langkah
dalam
pemilihan
strategi
pengajaran yaitu: Identifikasi atribut-atribut (identify attributes), menentukan tujuan-tujuan pengajaran (specify objectives), pemilihan strategi (select strategy), pemilihan materi/bahan (select materials), uji strategi dan materi (tes strategy and materials), dan evaluasi performansi (performance evaluation).13 10
Depdikbud , Materi Dasar Pendidikan Program Akta Mengajar B, buku III C, Teknologi Intruksional (Jakarta: Dirjen Dikti, 1983), 7. 11
J.E. Ormrod, Educational Psychology: Developing Learners. Sixth Edition (New Jersey: Pearson Education, Inc, 2008), 487. 12
J.E. Ormrod, Educational Psychology, 493.
13
G.P. Cartwright-Cartwright, C.A. Cartwright & M.E.Ward. Educating Special Learners (California: Wads Worth Publishing Company, 1984), 123.
121
Sedangkan prinsip-prinsip dalam pemilihan strategi pengajaran siswa berkebutuhan khusus harus memperhatikan tipe kecacatan dan tingkat keparahan anak. Pada umumnya keadaan kecacatan antara anak yang satu dengan anak yang lain tidak sama. Maka strategi pembelajaran untuk mengajar siswa berkebutuhan yang satu berbeda dengan yang digunakan untuk mengajar siswa berkebutuhan khusus yang lain. Contohnya, untuk anak yang cacat fisik, kita tidak bisa mengharapkan anak tersebut berpartisipasi secara rutin dalam semua aspek dari program pendidikan olah raga standar.14 Prinsip-prinsip dalam pemilihan strategi pengajaran siswa berkebutuhan khusus lainnya yaitu harus memperhatikan juga tingkatan usia anak agar strategi pengajaran benar-benar sesuai dengan kondisi anak. Contohnya, bagi anak-anak yang tingkatan usianya muda dengan kecacatan yang berbeda-beda, maka metode ceramah tidaklah tepat, tetapi akan lebih tepat jika digunakan metode demonstrasi dan pendekatan individual.15 Disamping itu, prinsip penting dalam penanganan anak berkelainan adalah bantuan atau intervensi dini. Penanganan bersama dari berbagai ahli sejak dini akan sangat efektif, dapat memperkaya perkembangan dan kemampuan belajar anak. Seharusnya keluarga lah yang memutuskan tujuan-tujuan dan prioritas yang akan dicapai dengan bantuan staf program intervensi dini. Seharusnya dengan adanya program intervensi dini, siswa berkebutuhan khusus secara umum akan berkurang. Tetapi pada kenyataannya, di negara maju sendiri, jumlahnya semakin meningkat.16 Di lingkungan Madania yang kondisinya sangat heterogen, guru pendidikan agama Islam dituntut untuk mampu memilih strategi yang baik untuk 14
Frieda Mangunsong, Psikologi dan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus, 31-32.
15
Frieda Mangunsong, Psikologi dan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus, 32.
16
Penyebab semakin meningkatnya jumlah anak berkebutuhan khusus di negara maju cukup rumit dan berkaitan dengan perubahan-perubahan di bidang ekonomi dan sosial, antara lain: banyaknya anak dan ibu yang hidup dalam kemiskinan, kekurangan gizi, berada dalam kondisi lingkungan yang menjurus terjangkit penyakit dan kelainan lain; banyaknya bayi yang lahir dari ibu yang berusia muda remaja); yang masa pra natalnya kurang perawatan; kelahiran bayi prematur dengan berat yang kurang; disamping pencemaran lingkungan yang secara sosial maupun kimiawi semakin meningkat dan anak-anak yang terlantar serta diperlakukan kasar oleh lingkungan. Lihat Frieda Mangunsong, Psikologi dan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus, 33.
122
mencapai tujuan pembelajaran. Tidak ada satu strategi pembelajaran umum yang paling baik untuk mencapai semua kegiatan pembelajaran, karena strategi pembelajaran yang paling baik dan berhasil digunakan untuk mencapai suatu tujuan pembelajaran tertentu bagi seseorang atau sekelompok siswa, belum tentu tepat atau baik digunakan untuk mencapai tujuan pembelajaran pada seseorang atau sekelompok siswa dalam situasi dan kondisi yang berbeda. Begitu juga pada siswa berkebutuhan khusus yang berbeda tingkat dan tipe kecacatannya. Siswa berkebutuhan khusus biasanya memperoleh pendidikan di berbagai setting, karena lingkungan pendidikan bagi semua siswa berkebutuhan khusus lebih bervariasi jika dibandingkan dengan pendidikan pada siswa normal. Tidak ada satupun setting tunggal yang dapat digunakan untuk semua siswa berkebutuhan khusus yang sama. Sehubungan dengan hal tersebut, maka pemilihan strategi dalam pengajaran harus mempertimbangkan kondisi anak didik.17 Berdasarkan hasil tes kematangan sekolah, siswa berkebutuhan khusus di Madania dibagi menjadi 3 kelompok yaitu: reguler, reguler modifikasi dan individual. Siswa berkebutuhan khusus yang termasuk dalam kelompok reguler adalah siswa yang tidak mempunyai hambatan secara akademik 0-50% mata pelajaran. Siswa kelompok reguler ini dapat mengikuti semua kurikulum reguler kelas tanpa modifikasi tapi diperkenankan untuk diterjemahkan. Mereka mampu menerima pelajaran secara klasikal. Tingkat kebutuhan pelayanan kelompok ini termasuk ringan. Akan tetapi apabila pihak Madania dan atau orang tua melihat adanya kebutuhan pendampingan, maka siswa dapat didampingi oleh guru pendamping (aide teacher) pada saat proses belajar mengajar di dalam kelas. Ketentuan belajar untuk kelompok ini adalah siswa belajar 90-100% di kelas dan belajar individual 0-10% dengan guru SEN Unit.18 Siswa berkebutuhan khusus yang termasuk dalam kelompok reguler modifikasi adalah siswa yang mempunyai hambatan secara akademik 50-70% 17
Frieda Mangunsong, Psikologi dan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus, 31.
18
Educational Support Department, Handbook 2009-2011 ( Bogor: Madania, 2009),
16-17.
123
mata pelajaran. Siswa kelompok reguler modifikasi ini dapat mengikuti semua kurikulum reguler kelas dan modifikasi kurikulum. Dengan demikian, ada mata pelajaran tertentu yang dapat diikuti dengan penuh tanpa modifikasi, dan ada pula mata pelajaran yang dimodifikasi. Mereka mampu menerima 50-70% pelajaran secara klasikal. Tingkat kebutuhan pelayanan kelompok ini termasuk sedang. Akan tetapi apabila pihak Madania dan atau orang tua melihat adanya kebutuhan pendampingan, maka siswa dapat didampingi oleh guru pendamping (aide teacher) pada saat proses belajar mengajar di dalam kelas. Ketentuan belajar untuk kelompok ini adalah siswa belajar 80-90% di kelas dan belajar individual 10-20% dengan guru SEN Unit atau guru remedial. 19 Siswa berkebutuhan khusus yang termasuk dalam kelompok individual adalah siswa yang
mempunyai hambatan secara akademik 70-90% mata
pelajaran. Siswa kelompok individual ini tidak menggunakan kurikulum reguler maupun reguler modifikasi, tetapi menggunakan kurikulum yang disesuaikan dengan kemampuannya. Dengan demikian, mereka mengikuti pelajaran dengan program individual. Tingkat kebutuhan pelayanan kelompok ini termasuk berat, oleh karenanya mereka memerlukan pendampingan dari guru pendamping (aide teacher) pada saat proses belajar mengajar di dalam kelas. Ketentuan belajar untuk kelompok ini adalah siswa belajar 70-80% di kelas dan belajar individual 20-30% dengan guru SEN Unit atau guru remedial.20 Kegiatan belajar mengajar pendidikan agama Islam untuk siswa berkebutuhan khusus di Madani dilakukan dengan beberapa cara yaitu: integrated in the regular classroom, one to one teaching, small group, program khusus, dan therapy. 21 Kegiatan belajar mengajar yang integrated in the regular classroom adalah kegiatan belajar mengajar dimana siswa berkebutuhan khusus belajar bersama siswa-siswa lainnya yang normal dalam satu kelas. Pada saat belajar, siswa berkebutuhan khusus bisa melakukannya dengan mandiri ataupun
19
Educational Support Department, Handbook 2009-2011, 16-17.
20 21
Educational Support Department, Handbook 2009-2011, 16-17. Educational Support Department, Handbook 2009-2011, 22-23.
124
dengan
pendampingan
(didampingi
aide
teacher)
tergantung
tingkat
keparahannya. Metode pembelajaran yang dipakai oleh guru di kelas inklusi sangat bervariasi supaya materi pelajaran lebih mudah diterima oleh siswa yang heterogen. Misalnya untuk materi sejarah, guru memberikan tugas kelompok untuk mencari materi sejarah Bani Umayah dan Bani Abbasiyah melalui internet, maka siswa berkebutuhan khusus dilibatkan secara aktif untuk ikut mencari materi tersebut dengan memanfaatkan media komputer. Sekalipun mereka punya keterbatasan, ternyata di bawah bimbingan guru mereka mampu menemukan materi sejarah tersebut. Walaupun untuk menyusun materi tersebut dalam bentuk makalah mereka kurang mampu melakukannya, tapi ketika presentasi di depan kelas, siswa berkebutuhan khusus dilibatkan kembali untuk tampil walaupun hanya sekedar untuk membaca saja. 22 Mengenai penilaian untuk tugas kelompok tersebut, menurut Ibu Sabit, penilaian terhadap kemajuan hasil belajar siswa merupakan penilaian kemampuan individu setiap peserta didik meskipun kegiatan belajar-mengajar dilakukan secara kelompok. Sedangkan penilaian kelompok dilakukan apabila penilaian tersebut dirancang untuk mengetahui kemampuan dan kemajuan belajar/ hasil kerja kelompok.23 Kegiatan belajar mengajar yang one to one teaching adalah kegiatan belajar mengajar dimana siswa berkebutuhan khusus belajar secara individual di ruang SEN Unit atau ruangan lain. Materi yang diajarkan adalah materi akademik, materi non akademik ataupun pendalaman materi yang biasanya disampaikan oleh guru SEN, guru kelas, guru mata pelajaran, ataupun guru pendamping. Kegiatan belajar secara individual dilakukan sebanyak 10% dari keseluruhan jumlah pertemuan untuk kelompok reguler, 20% dari keseluruhan jumlah pertemuan untuk kelompok reguler modifikasi, dan 30% dari
22
Pembelajaran PAI di kelas 8 di bawah bimbingan Ibu Sabit Qolbi Khoiriyah, S.Ag, guru PAI di Madania pada 26-5-2010. 23
Berdasarkan wawancara dengan Ibu Sabit Qolbi Khoiriyah, S.Ag, guru PAI di Madania pada 26-5-2010.
125
keseluruhan jumlah pertemuan untuk kelompok individual. Sebagaimana dicontohkan oleh Bapak Hakim bahwa apabila jumlah jam pelajaran dalam satu minggu ada 40 jam, maka siswa berkebutuhan khusus kelompok reguler akan belajar 4 jam dalam seminggu di ruang SEN Unit.24 Kegiatan one to one teaching pada materi akademik biasanya dilakukan dalam
rangka
menyederhanakan
dan
memperkuat
pemahaman
siswa
berkebutuhan khusus terhadap materi pelajaran yang sudah didapat di dalam kelas. Misalnya untuk siswa kelas 8 yang masuk kelompok individual, mengingat
kemampuannya
yang terbatas maka materi tentang shalat
disederhanakan dalam bentuk gambar. Siswa diberi tugas untuk menuliskan tentang gerakan apa yang ada di dalam gambar tanpa harus menuliskan bacaan yang dibaca ketika gerakan tersebut dilakukan. Kegiatan ini harus dilakukan secara berulang sampai siswa betul-betul menguasai materi tersebut.25 Sedangkan untuk materi yang non akademik, dicontohkan oleh Bapak Mardaih salah seorang guru SEN Unit, misalnya siswa diberi pelajaran bagaimana menghadapi perubahan hormonal yang terjadi pada dirinya ketika pubertas. Pengetahuan ini perlu disampaikan dengan alasan sekalipun secara fisik
dan
mental
mereka
psikologisnya berjalan normal.
mengalami
kelainan,
tetapi
perkembangan
26
Kegiatan belajar mengajar
small
group adalah kegiatan belajar
mengajar dimana siswa berkebutuhan khusus belajar dalam kelompok kecil pada saat pendalaman materi oleh guru kelas atau guru mata pelajaran. Pendalaman materi dilakukan untuk memperkuat pemahaman mereka tentang materi yang sudah diajarkan guru di kelas. Adapun kegiatan belajar mengajar program khusus adalah kegiatan belajar mengajar dimana siswa berkebutuhan khusus belajar dalam kelompok 24
Berdasarkan wawancara dengan Bapak Abdul Hakim Anshory, S.P., koordinator SEN Unit di Madania, 30-4-2010. 25
Pengajaran dilakukan oleh Ibu Ninik NR, S.Ag., salah seorang guru PAI di Madania terhadap siswa yang autis yaitu Ilen pada 5-5-2010. 26
Berdasarkan wawancara dengan Bapak Mardaih, S.Pd., guru SEN Unit di Madania,
5-5-2010.
126
kecil dengan satu guru SEN Unit yang bertanggungjawab. Program khusus ini meliputi: computer skill, cookery, fine & gross motor, bertamu, Bank saving, shopping, playing,dan brain gym.27 Misalnya untuk kegiatan bertamu, menurut Bapak Mardaih, materi tentang adab bertamu diberikan pada siswa sambil dipraktekkan. Kelompok kecil siswa berkebutuhan khusus diajak untuk mengunjungi salah satu rumah guru di Madania untuk bersilaturahmi sambil diperkenalkan etika dan sopan santun ketika berkunjung ke rumah orang lain. Demikian juga dengan kegiatan Bank saving, beberapa siswa diajak untuk melakukan kegiatan menabung di Bank sambil diberikan penjelasan tentang tata tertib ketika memasuki Bank dan cara-cara menabung di Bank. 28 Sedangkan untuk kegiatan terapi, siswa diperbolehkan untuk melakukan terapi pada jam sekolah dengan ijin khusus. Pembagian waktu antara sekolah dengan waktu terapi disesuaikan dengan kebutuhan siswa. Penanganan perilaku siswa berkebutuhan khusus di Madania dibagi dua yaitu penanganan prilaku pada kondisi biasa dan penanganan perilaku pada kondisi khusus. Penanganan perilaku siswa berkebutuhan khusus pada kondisi biasa merupakan tindakan preventif yang harus dipersiapkan oleh guru kelas, guru mata pelajaran, guru SEN Unit, dan atau guru pendamping (aide teacher) guna mencegah terjadinya perilaku khusus. Sedangkan penanganan perilaku siswa berkebutuhan khusus pada kondisi khusus, merupakan tindakan yang dapat dilakukan pada saat ada kejadian khusus yang tidak terduga. 29 Tindakan preventif yang harus dipersiapkan oleh guru adalah dengan memberikan informasi yang jelas kepada siswa berkebutuhan khusus tentang aturan belajar dan kegiatan belajar yang akan dilakukannya secara visual. Sebagai contoh adalah ketika akan memulai pelajaran pendidikan agama Islam untuk siswa kelompok individual, guru memberikan catatan di kertas mengenai 27 28
Educational Support Department, Handbook 2009-2011, 30. Berdasarkan wawancara dengan Bapak Mardaih, S.Pd., guru SEN Unit di Madania,
5-5-2010. 29
Educational Support Department, Handbook 2009-2011 , 24-29.
127
langkah-langkah belajar yang akan dilakukan siswa selama proses belajar mengajar berlangsung. Urutan kegiatan belajar adalah pembukaan/do’a, belajar, break, belajar, dan do’a/penutup. Sekalipun mereka punya keterbatasan kemampuan, keterbatasan tingkat konsentrasi, sering minta istirahat keluar dari kelas ketika belajar, ternyata mereka mampu mengikuti pelajaran seperti siswasiswa normal lainnya di dalam kelas.30 Tindakan preventif guru lainnya yaitu dengan menciptakan suasana belajar yang menyenangkan sehingga siswa berkebutuhan khusus merasa nyaman di dalam kelas. Motivasi untuk kemajuan belajar siswa juga penting diberikan oleh guru di setiap kesempatan mengajar, serta memberikan reward yang telah disepakati oleh tim IEP untuk setiap kemajuan belajar yang mereka capai. Pada kondisi-kondisi tertentu ketika guru mata pelajaran tertentu yang akan memberikan pelajaran pada hari tersebut tidak bisa hadir, maka guru kelas atau guru SEN Unit harus memberitahukan kepada siswa tentang ketidakhadiran guru tersebut sejak awal pelajaran dimulai pada hari tersebut. Pemberitahuan bisa dituliskan di papan tulis untuk kemudian disampaikan secara berulang supaya dapat dipahami oleh siswa. Pemberitahuan ini dilakukan untuk menghindari kondisi khusus yang tidak terduga akibat perubahan jadwal yang mendadak, karena biasanya siswa hanya mau mengikuti pelajaran sesuai dengan jadwal yang sudah terprogram sebelumnya.31 Tindakan preventif guru lainnya adalah dengan memberikan penjelasan tentang langkah-langkah penyelesaian tugas dengan rinci dan jelas agar mudah dipahami. Misalnya siswa diminta untuk menuliskan surat al-fatihah, surat alAsri, dan menuliskan nama gerakan shalat yang dipraktekkan dalam gambar. Maka guru meminta siswa untuk menuliskan surat al-fatihah sampai selesai, kemudian baru dilanjutkan dengan menulis surat al-asri sampai selesai. Setelah
30
Contoh metode pembelajaran untuk Ilen, siswa kelompok individual yang belajar di ruang SEN Unit di bawah bimbingan Ibu Ninik NR, S.Ag., guru PAI di Madania, 5-5-2010. 31
Berdasarkan wawancara dengan Bapak Mardaih, S.Pd., guru SEN Unit di Madania,
5-5-2010.
128
diselingi istirahat sebentar, siswa diminta melanjutkan belajarnya dengan menuliskan nama gerakan shalat yang ada pada gambar. Apabila siswa berhasil mengerjakannya, guru memberikan reward, misalnya dengan mengacungkan jempol sambil mengatakan bagus. Pemberian reward tidak boleh berlebihan karena akan menimbulkan kejadian khusus yang tidak terduga.32 Kejadian khusus yang tidak terduga dapat terjadi sewaktu-waktu. Contoh kejadian khusus adalah perilaku tidak patuh, dimana siswa tidak mau mengikuti pengarahan atau permintaan orang tua atau guru. Kejadian khusus lainnya adalah perilaku mengganggu atau menyerang yang biasanya dalam bentuk tantrum (mengamuk), berteriak, menendang, memukul, menggigit, dsb. 33 Cara menangani perilaku khusus yang dilakukan siswa adalah dengan mencari akar permasalahannya. Guru biasanya akan bertanya pada siswa lainnya tentang apa sebenarnya yang telah terjadi. Ketika akar permasalahannya sudah diketahui, selanjutnya guru menentukan tindakan yang disesuaikan dengan perilaku dan karakteristik siswa. Tindakan yang diambil dapat berupa: pemberian hukuman, pemberian konsekuensi negatif, pengabaian, differential reinforcement, time out, response cost, dan environment modification.34 Contoh kejadian khusus yang terjadi pada siswa berkebutuhan khusus adalah tantrum yang terjadi pada siswa ketika berada di kamar mandi. Setelah mencari akar permasalahannya dengan bertanya pada siswa-siswa yang lain yang melihat langsung kejadiannya, ternyata penyebabnya adalah karena dia kaget ketika tahu bahwa temannya ada yang melihat dan mentertawakan dirinya sewaktu dia membuka bagian tubuhnya yang seharusnya tidak terlihat oleh orang lain.35
32
Contoh langkah penyelesaian tugas untuk Ilen, siswa kelompok individual yang belajar di ruang SEN Unit di bawah bimbingan Ibu Ninik NR, S.Ag., guru PAI di Madania, 5-52010. 33
Educational Support Department, Handbook 2009-2011, 24-25.
34
Educational Support Department, Handbook 2009-2011, 24-25.
35
Berdasarkan wawancara dengan Bapak Mardaih, S.Pd., guru SEN Unit di Madania,
5-5-2010.
129
Penanganan perilaku siswa berkebutuhan khusus pada kondisi biasa di Madania juga dilakukan oleh guru SEN Unit dan guru pendamping (aide teacher). Guru SEN Unit dan guru pendamping (aide teacher) selain berusaha membuka jalur komunikasi bagi siswa berkebutuhan khusus dengan cara mensosialisasikan karakter mereka dan cara penanganannya kepada semua komunitas sekolah, juga menyiapkan keperluan belajar siswa sebelum kegiatan belajar dimulai dan membimbingnya pada saat proses belajar, sehingga siswa lebih mudah dalam memahami materi yang disampaikan oleh guru kelas. Sedangkan pada saat siswa mengerjakan tugas, tugas guru pendampinglah (aide teacher) yang membimbingnya.36 Selain strategi pembelajaran yang diterapkan khusus di Madania, ada juga strategi-strategi pembelajaran lainnya sebagaimana diungkapkan oleh Frieda
Mangunsong
yaitu:
pendidikan
tambahan/kompensasi (remedial education
remedial
dan
pendidikan
& compensatory education),
pengajaran langsung (direct instruction), analisis tugas (task analysis), pengajaran bertahap (sequencing instruction), latihan persepsi motorik (perceptual motor-training), dan strategi-strategi lainnya.37 Pendidikan remedial dan pendidikan tambahan/kompensasi (remedial education & compensatory education) secara teknik mengacu pada proses peningkatan atau perbaikan mengenai bidang tertentu.
Remedial adalah
perbaikan, peningkatan kecakapan-kecakapan seseorang menjadi normal atau mendekati normal. Sedangkan kompensasi berarti penyeimbangan, penggantian suatu kecakapan dengan yang lain. Pendidikan khusus dapat menggunakan baik strategi remedial maupun kompensatori untuk membantu siswa berkebutuhan khusus memenuhi kebutuhan masyarakat. Kedua tehnik ini dapat digunakan untuk satu jenis kecacatan. Sebagai contoh untuk siswa yang buta total, program membaca dengan cara konvensional ataupun remedial intensif tidak akan
36
Educational Support Department, Handbook 2009-2011, 23-25.
37
Strategi lainnya adalah modelling, pengajaran terprogram, permainan edukatif, pengajaran dengan bantuan dan pengaturan komputer, program holtikultura, terapi musik, gerak tari dan seni, terapi menunggang kuda, dsb. Lihat Frieda Mangunsong, Psikologi dan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus, 43-46.
130
berhasil,
maka
sebagai
gantinya
menggunakan
mengkompensasikan ketidakmampuannya.
huruf
Braille
untuk
38
Pengajaran langsung (direct instruction) adalah pengukuran langsung performansi siswa atas suatu tugas belajar dan pengetahuan program-program dan prosedur-prosedur pengajaran setiap siswa. Komponen-komponen dalam pengajaran langsung adalah asesmen, sistematik, pengajaran dan evaluasi. Langkah-langkah pengajaran langsung adalah: penilaian penampilan siswa, penentuan tujuan-tujuan, perencanaan sistematik program-program pengajaran atau pengelolaan, memilih dan menyiapkan bahan-bahan pengajaran, memerinci prosedur-prosedur pengajaran, dan evaluasi kemajuan siswa.39 Analisis tugas meliputi memecah-mecah tugas belajar ke dalam bagianbagian komponennya sehingga kecakapan-kecakapan yang tercakup dalam tugas bisa diidentifikasi. Pengajaran bertahap merupakan pengajaran yang diurutkan dari tingkatan yang termudah menuju ke tingkat kecakapan yang lebih tinggi. Penentuan apakah peserta sudah siap mempelajari tugas baru atau
belum
merupakan aspek penting bagi pengurutan pengajaran. Sedangkan latihan persepsi motorik diperuntukkan untuk mengajar siswa berkebutuhan khusus ringan yang dipusatkan pada masalah-masalah perseptual mereka yaitu: kecakapan-kecakapan motorik halus, persepsi bentuk, pengurutan ingatan, perbedaan visual dan auditif. Misalnya untuk mengajar membaca, guru mulamula harus membetulkan dan menyembuhkan masalah-masalah perseptual yang menjadi penyebab.40 Selain itu, terdapat strategi pengajaran lainnya untuk siswa berkebutuhan khusus yang dapat menentukan juga keberhasilan pendidikannya yaitu: strategi modelling.
Strategi modelling ditandai dengan adanya peniruan seseorang
terhadap model. Strategi ini sangat cocok bagi anak yang mempunyai kesulitan 38 39 40
Frieda Mangunsong, Psikologi dan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus, 39. Frieda Mangunsong, Psikologi dan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus, 40-41. Frieda Mangunsong, Psikologi dan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus, 42- 43.
131
memahami intruksi-intruksi verbal atau sulit mengingat serangkaian instruksiinstruksi verbal. Modelling juga efektif untuk ranah afektif dan psikomotorik. Misalnya bagi anak yang sukar mengendalikan emosi kemarahannya, maka diberi model bagaimana cara mengendalikan emosi supaya tidak merugikan orang lain dan diri sendiri.41 Dalam pendidikan agama Islam, strategi modelling yang dalam hal ini sama dengan pendidikan melalui keteladanan merupakan pendidikan yang paling efektif. Apabila para guru telah menjadi teladan yang baik bagi para siswanya dalam berpegang pada akidah yang benar, berakhlak Islam dan menghargai kewajiban menuntut ilmu, maka akan lahir generasi terpelajar yang mempelajari
sekaligus
mengamalkan,
generasi
berakhlak
sekaligus
berpengetahuan, serta generasi yang akidahnya berakar, akhlaknya baik, dan perbuatannya berakhlak sempurna. Akhlak yang baik dan sempurna tidak akan tumbuh tanpa diajarkan dan dibiasakan.42 Oleh karena itu, ajaran agama, selain sebagai ilmu, secara bertahap juga harus diikuti secara terus menerus bentuk pengamalannya, baik di sekolah maupun di luar sekolah dan di lingkungan rumah. Bahan ajar pendidikan agama yang berupa dasar-dasar agama Islam seperti: wudhu, shalat, puasa, zakat, dan haji, diberikan dengan cara mengajak siswa untuk mempraktekkan atau mengamalkan ajaran agama tersebut secara benar dan dibiasakan terus menerus, bukan sekedar untuk dihapal. Sebagai contoh, wudhu dan shalat dapat dilakukan secara role playing bukan diceramahkan, tetapi dipraktekkan secara langsung. Demikian pula yang terjadi di Madania. Guru pendidikan agama Islam lebih banyak menekankan pada aspek pembentukan sikap dan kebiasaan yang 41
Frieda Mangunsong, Psikologi dan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus , 43.
42
Pemberian pelajaran akhlak tidak hanya sekedar menyuruh menghapal nilai-nilai normatif akhlak secara kognitif, yang diberikan dalam bentuk ceramah dan diakhiri dengan ulangan. Akhlak harus diajarkaan sebagai perangkat sistem yang satu sama lain saling berkait dan mendukung yang mencakup guru agama, guru bidang studi lain, pimpinan sekolah, kurikulum, metode, bahan dan sarana, tetapi juga mencakup orang tua, tokoh masyarakat dan pimpinan formal. Lihat Husni Rahim, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001), 40.
132
baik dalam pembelajarannya. Sikap dan pembiasaan yang baik akan dapat menumbuhkan sikap saling menghormati, menghargai, bekerjasama, dan empati satu sama lain. Begitu pentingnya pembentukan sikap dan kebiasaan yang baik sehingga untuk aspek akhlak, Ibu Sabit salah seorang guru pendidikan agama Islam di Madania memberikan nilai 50% dari keseluruhan nilai pendidikan agama. 43 Sikap adalah seperangkat reaksi-reaksi afektif terhadap obyek tertentu berdasarkan hasil penalaran, pemahaman dan penghayatan individu.
44
Dengan
demikian sikap terbentuk dari hasil belajar dan pengalaman seseorang dan bukan sebagai pengaruh bawaan (faktor intern) seseorang, serta tergantung pada obyek tertentu. Sedangkan sikap keagamaan merupakan suatu keadaan yang ada dalam diri seseorang yang mendorongnya untuk bertingkah laku sesuai dengan kadar ketaatannya terhadap agama. Sikap keagamaan merupakan integrasi antara pengetahuan agama, perasaan agama serta tindak keagamaan pada diri seseorang. Sikap keagamaan pada manusia terbentuk oleh dua faktor, yaitu faktor intern dan faktor ekstern. Faktor intern berupa potensi beragama yang ada pada diri manusia, sedangkan faktor ekstern berupa
bimbingan dan
pengembangan dari lingkungan yang mengenalkan seseorang akan nilai-nilai dan norma-norma agama yang harus dipatuhi. Agama menyangkut kehidupan bathin manusia. Oleh karena itu kesadaran agama dan pengalaman agama seseorang lebih menggambarkan sisisisi batin dalam kehidupan yang ada kaitannya dengan sesuatu yang sakral dan dunia gaib. Dari kesadaran agama dan pengalaman agama ini pula kemudian munculnya sikap keagamaan yang ditampilkan seseorang.45 Sedangkan kebiasaan adalah cara bertindak atau berbuat seragam. Dan pembentukan kebiasaan ini menurut Wetherington melalui dua cara yaitu: 43
Berdasarkan wawancara dengan Ibu Sabit Qolbi Madania, 17-5-2010.
Khoiriyah, S.Ag., guru PAI di
44
Mar’at, Sikap Manusia: Perubahan serta Pengukurannya ( Jakarta: Balai Aksara – Yudhistira dan Saadiyah, 1982), 19. 45
Jalaludin, Psikologi Agama (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), 185.
133
Pertama, dengan cara pengulangan. Kedua, dengan disengaja dan direncanakan. Jika melalui pendidikan keluarga pembentukan jiwa keagamaan dapat dilakukan dengan cara menggunakan cara yang pertama, maka melalui sekolah cara yang kedua tampaknya akan lebih efektif. 46 Pendidikan agama di sekolah bagaimanapun akan memberi pengaruh bagi pembentukan jiwa keagamaan pada anak. Fungsi sekolah dalam kaitannya dengan pembentukan jiwa keagamaan pada anak, antara lain sebagai pelanjut pendidikan agama di lingkungan keluarga atau membentuk jiwa keagamaan pada diri anak yang tidak menerima pendidikan agama dalam keluarga. Namun demikian, besar kecilnya pengaruh dimaksud sangat tergantung berbagai faktor yang dapat memotivasi anak untuk memahami nilai-nilai agama. Sebab pendidikan agama pada hakikatnya merupakan pendidikan nilai. Oleh karena itu pendidikan agama lebih dititikberatkan pada bagaimana membentuk sikap dan kebiasaan yang selaras dengan tuntunan agama. Memang sulit untuk mengungkapkan secara tepat mengenai seberapa jauh pengaruh pendidikan agama melalui sekolah terhadap perkembangan jiwa keagamaan para anak. Berdasarkan penelitian Gillesphy dan Young, walaupun latar belakang pendidikan agama di lingkungan keluarga lebih dominan dalam pembentukan jiwa keagamaan pada anak, barangkali pendidikan agama yang diberikan di sekolah ikut berpengaruh dalam pembentukan jiwa keagamaan pada anak. 47 Menurut Mc Guire, proses perubahan sikap dari tidak menerima ke sikap menerima berlangsung melalui tiga tahap perubahan sikap. Proses pertama adalah dengan adanya perhatian. Pendidikan agama yang diberikan harus dapat menarik perhatian peserta didik. Oleh karenanya, guru agama harus mampu merencanakan materi, metode serta alat-alat bantu yang memungkinkan anakanak memberikan perhatiannya. Kedua, adanya pemahaman. Para guru agama harus mampu memberikan pemahaman kepada siswa tentang materi pendidikan 46
Jalaludin, Psikologi Agama, 206-207.
47
Jalaludin, Psikologi Agama, 206.
134
yang diberikannya. Pemahaman ini akan mudah diserap jika pendidikan agama yang diberikan dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari. Dan ketiga adanya penerimaan. Penerimaan siswa terhadap materi pendidikan agama yang diberikan sangat tergantung dari hubungan antara materi dengan kebutuhan dan nilai bagi kehidupan anak didik.48 Keberhasilan pendidikan agama Islam di sekolah tidak hanya menjadi tanggungjawab guru agama sebagai motor penggerak pendidikan agama, tetapi juga menjadi tanggungjawab semua pihak. Oleh karena itu, menjadi tugas semua pihak untuk meningkatkan pelaksanaan pendidikan agama di sekolah, agar moral dan akhlak siswa dapat terbentuk dengan baik. Peran guru bidang studi lain tidak kalah pentingnya dalam mendukung proses pendidikan agama di sekolah. Mereka juga harus menunjukkan keteladanan sebagai seorang yang beragama dengan baik, misalnya dengan rajin melaksanakan ibadah dan berakhlak mulia. Disamping itu, ia dapat juga memberikan penjelasan tentang makna dari agama dalam berbagai hal yang berkaitan dengan bidang studinya. Demikian pula dengan kepala sekolah yang memberikan peran penting keberhasilan pendidikan agama, terutama dalam hal komitmennya akan pentingnya pendidikan agama serta pemberian keteladanan sebagai pemeluk agama yang taat dan baik di hadapan anak didik nya. Keberhasilan pendidikan agama di sekolah juga akan tercapai apabila ada dukungan dari
orang tua di rumah. Orang tua diharapkan menjadi teladan
dalam beribadah dan berakhlak, misalnya dengan mengajak anak sholat berjamaah di rumah. Demikian juga dengan tokoh masyarakat yang punya peran dalam pendidikan agama di masyarakat. Aktifitas keagamaan yang menonjol di masyarakat akan menarik anak untuk ikut ambil bagian dalam kegiatan tersebut. Dari beberapa strategi yang telah dijelaskan, di dalam prakteknya dapat dipilih mana yang sekiranya cocok dengan situasi kelas, materi, tujuan dan guru yang akan menggunakan. Demikian juga dalam penentuan strategi pembelajaran
48
Djamaludin Ancok, Fuat Nashori, Suroso. Psikologi Islam : Solusi Islam atas problem-problem Psikologi (Jakarta : Pustaka Pelajar, 1995), 52.
135
pendidikan agama Islam, guru pendidikan agama Islam bebas menentukan strategi yang paling cocok disesuaikan dengan kondisi kelas inklusi yang heterogen. B. Nilai-nilai Agama sebagai Budaya Sekolah Inklusi Pendidikan Agama Islam di lingkungan sekolah yang menerapkan pendidikan inklusi harus didukung oleh suasana budaya sekolah yang dilandasi nilai-nilai positif agama yang dianutnya. Budaya sekolah dalam arti keseluruhan pola pikir dan pola sikap serta perilaku para pengelola sekolah yang diwujudkan dalam semua urusan pendidikan di lingkungan sekolah. Nilai-nilai agama harus menjadi nilai-nilai yang hidup dan menggerakkan semua aktifitas proses pendidikan di lingkungan sekolah. Dengan kata lain seluruh aktifitas layanan pendidikan merupakan cerminan dari nilai-nilai yang secara sadar dan terencana diterapkan untuk tujuan pendidikan. Untuk itu nilai–nilai spiritualitas agama Islam harus masuk dalam ranah budaya sekolah di semua aspek dalam lingkungan pendidikan sekolah. Nilainilai ajaran agama Islam
yang diperlukan untuk turut mewujudkan budaya
sekolah seperti ini, perlu terus didiskusikan dan diwacanakan oleh semua pihak. Nilai agama dimaksud di sini nilai yang mengandung arti suatu keyakinan atau kepercayaan dan menjadi dasar seseorang atau sekelompok orang untuk memilih tindakannya, atau menilai suatu yang bermakna atau tidak bermakna bagi kehidupannya.49 Secara hierarkis, Muhadjir mengelompokkan nilai menjadi nilai-nilai Ilahiyah dan nilai etika insani. Nilai-nilai Ilahiyah terdiri dari nilai Ubudiyah dan nilai Muamalah. Nilai etika insani terdiri dari nilai rasional, nilai sosial, nilai individual, nilai biofisik, nilai ekonomik, nilai politik dan nilai aestetik.
50
Sejalan dengan pendapat Sidi Gazalba bahwa nilai-nilai pada dasarnya mencakup seluruh nilai Ilahiyah Ubudiyah, Ilahiyah Muamalah, dan nilai etika
49
Madyo Ekosusilo, Hasil Penelitian Kualitatif Sekolah Unggul Berbasis Nilai (Sukoharjo: Univet Bantara Press, 2003), 8. 50
Muhaimin, etal, Kawasan dan Wawasan Studi Islam (Jakarta: Prenada, 2005), 52.
136
51
insani.
Pengelompokkan nilai-nilai tersebut memberikan gambaran bahwa
nilai Ilahi memiliki kedudukan vertikal lebih tinggi dari pada nilai hidup lainnya. Oleh karena itu, kewajiban untuk beribadah haruslah lebih tinggi dibandingkan dengan kewajiban melakukan tugas individual, politik, dan sebagainya. Berdasarkan hierarki nilai-nilai tersebut, nilai-nilai agama yang diajarkan di sekolah hendaklah lebih diorientasikan pada moral action. Pemahaman tentang agama saja tidaklah cukup, karena yang menjadi tujuan utama pendidikan agama adalah keberagamaan peserta didik itu sendiri. 52 Dengan demikian, pendidikan agama yang diajarkan di sekolah bukan hanya untuk mengetahui tentang ajaran dan nilai-nilai agama serta mempraktikannya sesuai pengetahuannya tersebut, akan tetapi yang lebih diutamakan adalah beragama atau menjalani hidup atas dasar ajaran dan nilai-nilai agama. Nilai integritas kejujuran dan amanah misalnya harus menjadi kesadaran melekat dan terinternalisir dalam setiap diri siswa. Aktifitas dalam administrasi dan pengelolaan lingkungan sekolah harus turut memberikan contoh konkrit dalam pelayanannya yang mencerminkan kejujuan dan amanah. Tanggung jawab dan transparansi pengelolaan sekolah yang diperlihatkan oleh kepala sekolah, guru, dan karyawan lainnya merupakan bagian dari penanaman nilai agama. Demikian juga keberanian, semangat hidup, percaya diri dan sebagainya adalah nilai-nilai lain yang harus tercermin dalam aktifitas semua yang terlibat dalam proses pendidikan. Nilai-nilai tersebut benar-benar harus menjadi budaya di sekolah. Budaya sekolah
dalam pengertian budaya yang merupakan perpaduan nilai-nilai,
keyakinan, asumsi, pemahaman, dan harapan-harapan yang diyakini oleh warga sekolah serta dijadikan pedoman bagi perilaku dan pemecahan masalah (internal dan eksternal) yang mereka hadapi. Dengan kata lain budaya sekolah merupakan semangat, sikap dan perilaku pihak-pihak yang terkait dengan sekolah, atau pola
51
Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam Pendidikan (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), 152. 52
Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam, 147.
137
Mengurai Benang Kusut Dunia
perilaku serta kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh warga sekolah secara konsisten dalam menyelesaikan berbagai masalah.53 Deal dan Peterson mendefinisikan budaya sekolah sebagai sekumpulan nilai yang melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktikan oleh kepala sekolah, guru, petugas administrasi, peserta didik dan masyarakat sekitar sekolah. Budaya sekolah merupakan seluruh pengalaman psikologis para peserta didik baik yang bersifat sosial, emosional maupun intelektual yang diserap oleh mereka selama berada dalam lingkungan sekolah.54 Dengan demikian, budaya sekolah terbentuk dari pola perilaku serta kebiasaankebiasaan yang dilakukan oleh seluruh warga sekolah dalam menghadapi dan menyelesaikan berbagai permasalahan. Terlebih lagi bagi siswa berkebutuhan khusus yang tidak selamanya mampu memperoleh pemahaman agama melalui penjelasan verbal, akan tetapi lebih bisa menangkap penggambaran nilai melalui praktek langsung. Mereka akan lebih efektif memahami dan menyadari tentang arti hidup dan nilai positif melalui pengalaman-pengalaman konkrit di lingkungan sekolah dari pada penjelasan di kelas. Untuk itu dalam upaya internalisasi nilai dalam setiap siswa diperlukan strategi pembudayaan nilai di lingkungan sekolah. Demikian juga internalisasi nilai bagi siswa berkebutuhan khusus perlu strategi tersendiri dengan kolaborasi verbal dan praktek . Dari sudut teori strategi untuk membudayakan nilai-nilai agama di sekolah dapat dilakukan dengan beberapa cara diantaranya : power strategy, persuasive strategy dan normative re-educative. Power strategy yaitu strategi pembudayaan agama di sekolah dengan cara menggunakan kekuasaan, dalam hal ini kepala sekolah memiliki peranan penting dalam melakukan perubahan. Strategi ini dikembangkan melalui reward dan punishment. Persuasive strategy yaitu strategi yang dijalankan lewat pembentukan opini dan pandangan warga sekolah. Strategi ini dikembangkan melalui pembiasaan, keteladanan, dan pendekatan persuasif atau mengajak warga sekolah dengan cara yang halus, 53
Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam, 132.
54
Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam, 132.
138
dengan memberikan alasan dan prospek baik yang bisa meyakinkan mereka. Sedangkan normative re-educative adalah strategi yang dijalankan untuk menanamkan dan mengganti paradigma berpikir masyarakat sekolah yang lama dengan yang baru. Strategi ini pun dikembangkan melalui pembiasaan dan keteladanan sesuai dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat. 55 Strategi untuk membudayakan nilai-nilai agama Islam di sekolah tidak bisa dilepaskan dari peran para penggerak kehidupan keagamaan di sekolah. Menurut teori Philip Kotler, terdapat lima unsur dalam melakukan gerakan perubahan di masyarakat, termasuk masyarakat sekolah yaitu: causes, change agency, change target, channel, change strategy.56 Causes adalah sebab-sebab yang bisa menimbulkan perubahan berupa ideas (gagasan atau cita-cita) dan nilai-nilai yang biasanya dirumuskan dalam visi, misi, motif atau tujuan yang dipandang mampu memberikan jawaban terhadap problem yang dihadapi.57 Change agency adalah pelaku perubahan atau tokoh-tokoh yang berada di balik aksi perubahan. Mereka terdiri dari leaders (para pemimpin atau tokoh)
58
dan supporters yang terdiri dari workers (aktivis
dari sebuah aksi perubahan), donors (para penyumbang untuk aktivitas pengembangan) dan sympathizers (simpatisan untuk melegitimasi aktivitas pengembangan). Change target atau sasaran perubahan seperti individu, kelompok atau lembaga yang ditunjuk sebagai sasaran upaya perubahan. Channel adalah media untuk menyampaikan pengaruh dan respon dari setiap 55
Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam, 160.
56
Philip Kotler, “The Elements of Social Action” dalam Gerald Zaltham, Ed., Processes and Phenomena of Social Change (New York: Robert E. Krieger, 1978), 66. 57
Piotr Sztompka, The Sociology of Social Change (Blackwell, USA: Cambrige, 1994),
43. 58
Menurut Sztompka disebut Great Individuals yaitu tokoh-tokoh besar yang biasa dijuluki pahlawan. Mereka adalah Director, Advocates, Backers, Administrators, Technicians atau Consultants. Director adalah orang yang menggerakkan, mempengaruhi, menimbulkan motivasi masyarakat untuk bergerak, dan yang memimpin gerakan secara langsung. Advocates adalah orang yang mendukung directors dengan pembicaraan atau tulisan dan konsep-konsep perubahan. Backers adalah orang-orang yang mem-backing pemimpin dan membantu mereka dengan sumber daya seperti dana dan fasilitas. Administrators adalah orang yang sehari-hari mengatur aksi perubahan secara administratif, seperti merekrut tenaga, mengatur keuangan, dsb. Technicians atau Consultants adalah orang yang selalu dimintai pandangan dan pendapatpendapatnya. Lihat Piotr Sztompka, The Sociology of Social Change, 45.
139
pelaku perubahan ke sasaran perubahan. Sedangkan Change strategy adalah tehnik utama mempengaruhi yang diterapkan oleh pelaku perubahan untuk menimbulkan dampak pada sasaran-sasaran yang dituju.59 Budaya sekolah mempunyai dampak yang kuat terhadap prestasi kerja. Budaya sekolah merupakan faktor yang lebih penting dalam menentukan sukses atau gagalnya sekolah. Jika prestasi kerja yang diakibatkan oleh terciptanya budaya sekolah yang disemangati oleh nilai-nilai agama Islam, maka hasilnya akan bernilai ganda, yaitu di satu sisi sekolah itu sendiri akan memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif dengan tetap menjaga nilai-nilai agama sebagai akar budaya bangsa, di sisi yang lain seluruh warga sekolah dan orang tua siswa berarti telah mengamalkan nilai-nilai Ilahiyah, Ubudiyah dan Muamalah sehingga memperoleh pahala yang berlipat ganda dan memiliki efek terhadap kehidupannya di akhirat kelak. Nilai-nilai agama sebagai budaya yang diterapkan di Madania tercermin dari penggunaan istilah Madania itu sendiri yang berasal dari kata Madinah. Kata Madinah memiliki arti sebuah civil society yang menjunjung tinggi peradaban yang diikat dengan aturan hukum, disiplin, egalitarian, demokrasi, dan nilai-nilai luhur yang bersifat transenden.60 Nilai keadaban seperti egalitarian, taat hukum, kerahmatan dan cinta yang dibudayakan oleh Madania banyak dilhami oleh nilai-nilai ajaran agama Islam. Semua siswa diperkenalkan apa arti kesamaan manusia yang tidak membedakan agama, fisik, bahasa dan suku sehingga siswa bisa saling memahami dan mengerti arti perbedaan dan mengetahui posisi sikap yang harus diambil di tengah-tengah perbedaan tersebut. Dengan demikian, lembaga pendidikan Madania senantiasa memiliki komitmen untuk mengenalkan dan menumbuhkembangkan pada siswa didik, nilai-nilai moral untuk mendukung terwujudnya masyarakat yang beradab. 59
Philip Kotler, “The Elements of Social Action” dalam Gerald Zaltham, Ed., Processes and Phenomena of Social Change, 67. 60
Komaruddin Hidayat, Selamat www.madania. com (diakses 28-10-2008).
Datang
140
ke
Dunia
Pendidikan
Madania.
Pendidikan inklusi sendiri bertujuan untuk menanamkan nilai persamaan dan persaudaraan antara siswa dengan siswa penyandang kelainan. Mereka dilatih rasa peduli dan empati kepada sesama teman. Mereka merasa terpanggil untuk menolong di saat siswa berkebutuhan khusus membutuhkan pertolongan di kelas misalnya saat tantrum dan sebagainya. Di Madania telah terbentuk satu pola hubungan yang penuh persaudaraan dan saling empati diantara sesama siswa. Sikap itu tercermin dari perilaku mereka saat menyikapi kejanggalan perilaku siswa berkebutuhan khusus yang tidak umum. Mereka menyikapinya dengan penuh persaudaraan dan tidak melihatnya
dengan penilaian atau
pandangan yang negatif atau mentertawakan. 61 Komitmen sekolah untuk menumbuhkan dan mengembangkan nilai-nilai moral kepada siswa didiknya, diikuti oleh seluruh guru dan karyawan dalam menjalankan tugasnya di Madania. Guru senantiasa menanamkan nilai-nilai agama dalam berbagai kesempatan, baik saat mengajar maupun di luar jam pelajaran. Apalagi di Madania yang siswanya haterogen, penanaman nilai-nilai keadilan, saling menghormati dan menghargai antar sesama warga sekolah memegang peranan penting demi terciptanya suasana sekolah yang nyaman dan harmonis. Strategi yang dijalankan oleh Madania dalam membudayakan nilai agama lebih banyak menggunakan
persuasive strategy yaitu satu strategi
melalui tahapan penyamaan persepsi dan opini terhadap pandangan nilai sekolah yang harus dipegang teguh oleh semua warga sekolah. Semua orang yang terlibat dalam proses pendidikan dituntut untuk melakukan pembiasaan, keteladanan, dan pendekatan persuasif dalam menjalankan tugasnya. Selain itu semua warga sekolah di Madania dengan cara yang halus memberikan alasan setiap kali menegur dan memberi nasehat kepada siswa agar lebih bisa diterima alasannya.
61
Nilai positif yang ditanamkan di Madania ini berbeda dengan cara pandang sebagian masyarakat di luar yang masih banyak menempatkan perilaku anak berkebutuhan khusus sebagai perilaku aneh dan bahkan harus dipasung bila perlu lantaran perilakunya mengganggu orang lain.
141
Untuk siswa berkebutuhan khusus
kelompok individual, strategi ini
diterapkan juga dengan mengenalkan nilai positif yang dibantu dengan cara mengulang-ulang kalimat “ini perbuatan baik” atau” ini perbuatan buruk” sambil menatap matanya saat melakukan satu perbuatan. Strategi ini dilakukan untuk memperkuat ingatan tentang perbuatan yang bersangkutan itu baik atau buruk. Demikian juga pengenalan tentang etika bergaul baik dengan sesama teman, orang tua, guru dan orang lain. Secara sederhana siswa berkebutuhan khusus diajak berkenalan langsung dengan etika bergaul dalam berbagai moment. 62 Jadi dapat disimpulkan bahwa nilai positif yang berasal dari nilai agama mutlak harus dibangun untuk mendukung tercapainya pendidikan agama bagi siswa berkebutuhan khusus. Nilai-nilai keagamaan menjadi ruh semua aktifitas proses pendidikan mulai dari urusan administrasi, proses belajar mengajar sampai pada interaksi antar siswa dan pengelola. Dengan demikian, nilai agama telah tumbuh menjadi budaya di sekolah. Tanpa disadari, internalisasi nilai seperti ini sangat efektif untuk diperkenalkan kepada siswa khususnya bagi siswa berkebutuhan khusus. C. Penciptaan Lingkungan Religius Sebagai Core Pendidikan di Sekolah Inklusi Menciptakan suasana religius63 di lingkungan sekolah yang menerapkan pendidikan inklusi menjadi penting untuk mendukung tercapainya tujuan pendidikan agama bagi siswa berkebutuhan khusus. Seorang siswa mendapat pendidikan agama tidak hanya di dalam kelas akan tetapi juga mendapat pembelajaran agama di luar kelas. Di kelas dia mendapat pendidikan agama dari sisi kognitifnya sementara di lingkungan luar kelas dia memperoleh pendidikan agama melalui implementasi langsung dan sekaligus turut membentuk sisi afektif dan psikomotoriknya. Perubahan watak dan pribadi seseorang lebih 62
Di Madania terdapat beberapa kegiatan khusus untuk siswa berkebutuhan khusus. Sebagai contoh siswa dibawa ke luar lingkungan sekolah untuk berkunjung ke rumah teman guna mengenal etika bertamu, selain itu siswa diajak mengunjungi Bank, kantor POS, dan restauran untuk mengenal etika di kantor dan di tempat umum lainnya. Berdasarkan wawancara dengan dengan Bapak Mardaih, S.Pd., guru SEN Unit di Madania, 22-7-2010. 63
Religius berarti bersifat religi atau keagamaan, atau yang bersangkut paut dengan religi (keagamaan). Penciptaan suasana religius berarti menciptakan suasana atau iklim kehidupan keagamaan.
142
banyak dipengaruhi oleh lingkungan pergaulannya. Untuk itu, dalam upaya membentuk watak religius seseorang harus diciptakan lingkungan religius yang bisa mempengaruhinya. Dalam konteks pendidikan di sekolah, penciptaan iklim religius berarti penciptaan suasana atau iklim kehidupan keagamaan yang dampaknya ialah berkembangnya suatu pandangan hidup yang bernafaskan atau dijiwai oleh ajaran dan nilai-nilai agama yang diwujudkan dalam sikap hidup serta keterampilan hidup oleh para warga sekolah dalam kehidupan mereka seharihari. 64 Penciptaan suasana religius ada yang bersifat vertikal dan ada juga yang bersifat horizontal. Yang bersifat vertikal yaitu hubungan manusia atau warga sekolah dengan Allah
(h}abl min Alla>h) dapat diwujudkan dalam bentuk
kegiatan-kegiatan ritual, seperti shalat berjamaah, puasa senin dan kamis, do’a bersama, dan menegakkan komitmen dan loyalitas terhadap moral force di sekolah. Sedangkan yang bersifat horizontal yaitu hubungan antar warga sekolah (h}abl min an-na>s), dan hubungan mereka dengan lingkungan alam sekitarnya. Kegiatan ritual yang merupakan manifestasi dari h}abl min Alla>h akan selalu memiliki konsekwensi horizontal dan sosial (h}abl min an-na>s). Contohnya ibadah haji yang dimulai dengan kesediaan meninggalkan tanah air untuk menuju Baitullah, selanjutnya pulang ke kampung halaman untuk memelihara kemabruran haji dengan cara mewujudkan makna-makna di balik hukum-hukum dan simbol-simbol haji. Seseorang yang hanya mementingkan hubungan vertikal dengan Tuhannya tapi mengabaikan hubungan horizontal atau sosial, menurut Ibnu Qoyyim termasuk ahli ibadah yang hanya memberikan manpaat kepada dirinya sendiri dan bukan termasuk ahli manpaat yang memberikan manpaat kepada orang lain.65 Terciptanya suasana religius di Madania tidak terlepas dari peran seluruh warga sekolah baik pimpinan, pendidik dan tenaga kependidikan, serta khususnya guru agama yang senantiasa mengajarkan nilai-nilai agama pada anak 64
Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam, 106-107.
65
Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam. 107-108.
143
didiknya. Bentuk pengajaran yang disampaikan guru agama tidak terbatas hanya pada pengetahuan agama saja, melainkan mempraktekkan langsung pengetahuan tersebut hingga membentuk sikap dan kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari di sekolah. Untuk meningkatkan komitmen siswa sebagai bagian dari umat Islam yang harus taat beribadah kepada Allah, jumlah jam pelajaran agama di Madania diperbanyak dengan menambah dua jam pelajaran menjadi empat jam untuk pelajaran agama Islam.
Di tingkat SD dua jam dialokasikan untuk materi
pelajaran agama dan dua jam pelajaran khusus untuk membaca al-Qur’an. Sementara di tingkat SMP dan SMA dua jam pelajaran unruk pemenuhan pengajaran materi dan dua jam lainnya untuk tambahan akidah dan akhlak. Di Madania, selain diberikan pelajaran agama melalui kurikuler, diberikan juga pelajaran agama melalui ekstra kurikuler, misalnya pembelajaran intensif metode Iqra bagi siswa yang belum lancar membaca al-Qur’an. Untuk memperdalam pemahaman materi pelajaran agama yang memerlukan praktek seperti ibadah haji dan penangan urusan mayat, siswa langsung diajak untuk mempraktekkannya di luar kelas yang sudah dipersiapkan sarana dan prasarananya. Demikian juga tentang praktek
ibadah lainnya dengan
memanfaatkan moment puasa bulan ramadan. Di bulan ramadan, sekolah Madania memanfaatkan bulan ini untuk lebih intens mengenalkan pendidikan agama Islam melalui kegiatan sanlat (pesantren kilat). Moment iedul adha pun digunakan untuk mengenalkan ibadah qurban kepada para siswanya. 66 Selain pembelajaran agama di dalam kelas, seluruh siswa mulai dari SD, SMP dan SMA diwajibkan berjamaah salat dzuhur tepat waktu. Sebelum iqamat salat dikumandangkan, siswa disuruh untuk berdzikir sambil menunggu imam salat. Demikian juga saat salat jum’at, semua siswa muslim diharuskan mengikuti salat jum’at berjamaah. Penciptaan suasana religius di Madania memang tidak banyak menggunakan simbol-simbol lahiriyah akan tetapi lebih banyak menggunakan pendekatan muatan Islam subtantif yang masuk dalam 66
Berdasarkan wawancara dengan Bapak Abdullah, S.Ag. kordinator mata pelajaran pendidikan agama Islam di Madania, 26-7- 2010.
144
ranah nilai dan tata pergaulan. Pemakaian jilbab sebagai penutup aurat bagi siswi muslim misalnya, tidak diwajibkan melalui peraturan sekolah akan tetapi pemakaian jilbab lebih banyak ditanamkan melalui peningkatan kesadaran penggunaannya. 67 Lingkungan religius yang diciptakan dalam lingkungan sekolah yang menerapkan pendidikan inklusi sangat efektif untuk siswa berkebutuhan khusus. Secara tidak sadar mereka digiring untuk mengenal kebiasan keberagamaan mereka. Menumbuhkan rasa keberagamaan bagi mereka lebih sederhana, mereka diminta untuk ikut kumpul melaksanakan praktek-praktek ibadah seperti shalat fardu,shalat jum’at dan sebagainya. Lingkungan religius di Madania tercipta dari adanya hubungan yang baik diantara seluruh warga sekolah. Loyalitas para guru dan tenaga kependidikan lainnya terhadap pimpinan, saling membantu antara sesama guru, rasa hormat siswa terhadap guru dan pimpinan, kepatuhan seluruh warga sekolah terhadap setiap kebijakan-kebijakan yang telah menjadi keputusan bersama, serta menentang setiap bentuk pelanggaran terhadap kebijakan-kebijakan tersebut, merupakan cerminan pemahamannya yang mendalam akan nilai-nilai agama yang ada pada dirinya. Pemahaman terhadap nilai-nilai agama juga tercermin dalam komitmennya dalam menjaga dan memelihara berbagai fasilitas sekolah, serta menjaga dan memelihara kelestarian, kebersihan dan keindahan lingkungan hidup di sekolah. Mendidik karakter dan nilai-nilai baik pada seseorang, menurut Lickona memerlukan proses pembinaan terpadu secara terus menerus antara tiga dimensi yaitu: moral knowing, moral feeling dan moral action. Moral knowing meliputi: pengetahuan tentang moral atau baik dan buruk, pengetahuan tentang nilai-nilai moral, menggunakan pandangan moral, pertimbangan moral, membuat keputusan berdasarkan moral, pengetahuan atau pemahaman tentang dirinya. Moral feeling meliputi kesadaran akan moral atau baik dan buruk, rasa harga diri, rasa empati, cinta kebaikan, kontrol atau pengendalian diri, dan rendah hati. 67
Berdasarkan wawancara dengan Bapak Abdullah, S.Ag. kordinator mata pelajaran pendidikan agama Islam di Madania, 26-7- 2010.
145
Sedangkan moral action meliputi kompeten dalam menjalankan moral, kemauan berbuat baik dan menjauhi yang jahat, dan kebiasaan berbuat baik dan menjauhi perbuatan jelek.68 Madania sebagai miniatur masyarakat merupakan dunia sosio kultural yang di dalamnya tercipta interaksi antara satu pihak dengan pihak lainnya dengan membawa berbagai latar belakang sosial, budaya, agama dan tradisi yang berbeda-beda. Namun demikian, mereka semua diatur dan terikat dengan peraturan tata tertib Madania yang mereka buat bersama. Karena agama dijadikan sebagai core pengembangan pendidikan di Madania, maka peraturan tersebut harus diwarnai oleh nilai-nilai agama. Semua warga Madania yang terikat dengan peraturan tersebut harus menyesuaikan diri dengan dunia sosiokultural di Madania yang terwarnai oleh nilai-nilai agama. Tata nilai religius yang dilembagakan di Madania, diharapkan mampu membentuk sikap dan perilaku warganya yang religius. Oleh karenanya, diperlukan rekayasa dan intervensi dari para pimpinan, pendidik dan tenaga kependidikan
untuk penataan situasi dan kondisi lingkungan internal dan
eksternal yang mencerminkan keterpaduannya dalam belajar memiliki, menginternalisasi, mempribadikan dan mengembangkan tata nilai religius sebagai dasar perilaku warga Madania. Pendidikan moral religius yang diajarkan dalam pelajaran pendidikan agama Islam tidak harus terpisah dengan mata pelajaran-mata pelajaran lain karena masing-masing mengandung nilai-nilai tertentu yang langsung atau tidak langsung terkait dengan agama.69 Karena itu, guru harus mengembangkan nilainilai hidup sesuai dengan mata pelajaran yang dibinanya. Dengan demikian, upaya pembinaan nilai-nilai religius tersebut bukan hanya menjadi tanggung jawab dari guru pendidikan agama, tetapi para guru dan tenaga kependidikan
68
Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam, 111.
69
Sebagai contoh adalah Ibnu Miskawaih yang menekankan pentingnya menuntut ilmuilmu matematika dengan maksud selain untuk membina kecerdasan , tetapi juga agar terbiasa dengan kejujuran, mampu menanggung beban pikiran, menyukai kebenaran, menghindari perbuatan batil, dan membenci kebohongan. Lihat Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam, 104.
146
lainnya juga ikut bertanggungjawab melalui upaya pembinaan nilai-nilai hidup sesuai dengan bidangnya masing-masing. 70 Dengan demikian, mewujudkan suasana religius di sekolah dapat dilakukan melalui pendekatan pembiasaan, keteladanan dan pendekatan persuasif atau mengajak kepada seluruh warganya dengan cara yang halus, dengan memberikan alasan dan prospek yang baik yang bisa meyakinkan mereka. Apabila sikap hidup seluruh warga sekolah sudah dijiwai oleh nilai-nilai agama, maka suasana religius di sekolah akan terwujud. D. Pemenuhan Fasilitas Ibadah dan Sarana Pembelajaran Fasilitas ibadah merupakan unsur penting dalam upaya peningkatan kualitas proses pendidikan agama Islam. Sarana merupakan prasyarat penting dari upaya menciptakan suasana religius di lingkungan sekolah. Dengan fasilitas pembelajaran agama yang lengkap, siswa dibuat lebih dekat dengan simbolsimbol keagamaan agar lebih
sensitif
rasa keberagamaannya. Keterikatan
agama diantara siswa akan terbangun melalui sarana ibadah yang lebih dekat. Dari sudut teori, sarana yang dimaksud disini adalah semua peralatan dan perlengkapan yang langsung digunakan dalam proses pendidikan dan pembelajaran di sekolah meliputi: alat pelajaran (bahan-bahan perangkat pembelajaran, kamus-kamus, Kitab Suci Al-Qur’an, alat-alat peraga, alat-alat praktik, dan alat-alat tulis), dan media pendidikan (media cetak, audio, audio visual, dan media terpadu atau multimedia)71. Definisi lain menyebutkan bahwa sarana adalah semua perangkat, baik perangkat keras (hardware) maupun perangkat lunak (software) yang secara langsung dapat digunakan untuk memotivasi belajar, memperjelas dan mempermudah konsep abstrak, dan mempertinggi daya serap dan daya nalar serta retensi belajar peserta didik. Sedangkan sarana pembelajaran pendidikan agama dapat didefinisikan sebagai segala hal (hardware dan software) yang secara langsung dapat digunakan untuk 70
Nilai-nilai hidup yang dimaksud adalah hidup sederhana, punya rasa malu, sabar, ulet, teliti, dermawan, qanaah, optimis, berani, berjiwa besar, tegar, tenang, tabah, menguasai diri, mementingkan orang lain, berbakti, dan sebagainya. 71
Mudjahid AK, etal, Manajemen Sarana dan Prasarana Madrasah Mandiri (Jakarta: Puslitbang Penda dan Keagamaan, 2001).
147
memotivasi
belajar
agama,
memperjelas
dan
mempermudah
proses
pembelajaran pendidikan agama serta pengamalan beragama peserta didik sesuai dengan tujuan pendidikan agama. 72 Sarana pembelajaran pendidikan agama tidak terbatas pada hal-hal yang berkaitan dengan barang atau peralatan tetapi juga ide, gagasan, prosedur, tehnik, dan strategi. Dengan demikian mengenai sarana pembelajaran pendidikan agama bisa menyangkut berbagai persoalaan material dan nonmaterial yang dapat mempermudah pembelajaran pendidikan agama.73 Menurut perspektif lain, sarana pembelajaran biasa juga disebut dengan media pembelajaran. Kata media secara etimologis berasal dari bahasa Latin dan merupakan bentuk jamak dari kata medium yang berarti perantara atau pengantar. Media ini merupakan wahana penyalur pesan atau informasi belajar, yakni segala sesuatu yang dapat digunakan untuk merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan kemauan peserta didik sehingga dapat mendorong terjadinya proses belajar pada diri peserta didik.74 Menurut Gerlach, setiap media merupakan alat untuk mencapai tujuan. Secara luas media dapat diartikan dengan manusia, benda, ataupun peristiwa yang membuat kondisi peserta didik untuk memungkinkan memperoleh pengetahuan, keterampilan atau sikap. Dalam pengertian ini, guru, buku teks, dan lingkungan sekolah merupakaan media. 75 Menurut Gerlach, media dapat diklasifikasikan menjadi delapan kategori, yaitu: real things, verbal representations, graphic refresentations, still picture, motion picture, audio recording, programming, dan simulations. Real things adalah manusia, benda yang sesungguhnya, dan peristiwa yang sebenarnya terjadi. Guru adalah media yang paling utama dalam proses pembelajaran. Guru adalah fasilitator belajar bagi siswa. Adapun kertas dan ruangan adalah benda 72 73 74
Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam, 132. Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam, 132. Yusuf Hadi Miarso, etal, Teknologi Komunikasi Belajar (Jakarta:Rajawali, 1984), 48.
75
Gerlach, Ely, Melnick, Teaching and Media: A Systematic Approach (New Jersey: Prentice Hall, Inc., Englewood Cliffs, 1980), 89.
148
(media) yang dipergunakan oleh peserta didik untuk mencatat atau menulis apa yang didemonstrasikan oleh guru atau menuliskan peristiwa yang sedang dipelajarinya. 76 Verbal representations adalah media tulis atau cetak, contohnya adalah buku teks. Graphic refresentations adalah alat-alat yang mungkin dipakai dalam buku teks atau bahan bacaan lainnya berupa chart, diagram, gambar atau lukisan. Still picture
berupa foto, slide, film strip, dan overhead projector
transparancy. Motion picture adalah film, televisi, video tape, dengan atau tanpa suara yang diambil dari kejadian yang sebenarnya ataupun dibuat dari gambar, animasi, dll. Audio recording yang meliputi tidak hanya yang berupa rekaman seperti pita kaset, piringan hitam, dan lain-lain, tetapi juga audio yang life seperti telepon, radio, dan sebagainya. Programming adalah kumpulan informasi yang berurutan, yang berbentuk verbal, visual, maupun audio. Sedangkan simulations adalah suatu permainan yang menirukan kejadian yang sebenarnya, misalnya dengan menggunakan media komputer, tape recorder dan benda-benda lainnya yang dapat dipergunakan untuk simulasi. 77 Pengelompokkan media juga dilakukan oleh R. Raharjo
yang
mengelompokkan media ke dalam tujuh kelompok yaitu: media audio visual gerak, media audio visual diam, media audio semi gerak, media visual gerak, media visual diam, media audio, dan media cetak.78 Sedangkan menurut AECT, dalam kawasan teknologi pendidikan, media dapat dikelompokkan dalam empat jenis yaitu: media cetak, media audio, media berbasis komputer dan media terpadu (multi media). 79 Beberapa pengelompokkan media tersebut, dapat dipahami bahwa hingga kini belum terdapat kesepakatan tentang taksonomi media yang mencakup segala aspek dan berlaku umum, khususnya untuk suatu sistem pembelajaran.
76 77 78
Gerlach, Ely, Melnick, Teaching and Media: A Systematic Approach, 90. Gerlach, Ely, Melnick, Teaching and Media: A Systematic Approach, 90. Yusuf Hadi Miarso, etal, Teknologi Komunikasi Belajar (Jakarta:Rajawali, 1984), 123.
79
AECT, The Definition of Educational Technology (Washington DC: Association for Educational Communications and Technology, 1994), 44.
149
Karena itu pengelompokkan yang ada juga dilakukan atas dasar pertimbangan dan kepentingan yang berbeda. Pemilihan suatu sarana pembelajaran perlu juga memperhatikan tingkat efektifitas, efisiensi dan daya tarik metode dan strategi dalam penyediaan pengalaman belajar siswa. Oleh karenanya, dalam pemilihan suatu media/sarana pembelajaran pendidikan agama, ada lima cara yang dapat dijadikan dasar pertimbangan yaitu: tingkat kecermatan refresentasi suatu media, tingkat interaktif yang mampu ditimbulkan oleh suatu media, tingkat kemampuan khusus yang dimiliki oleh suatu media, tingkat motivasi yang mampu ditimbulkannya suatu media terkait dengan karakteristik pebelajar, dan tingkat biaya yang diperlukan.80 Media atau sarana pendidikan agama berarti sekumpulan alat dalam bentuk barang atau perangkat lain yang dapat menunjang seluruh aktifitas proses pendidikan agama sehingga lebih efektif dan tepat sasaran. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa jenis sarana pembelajaran pendidikan agama dapat berupa hardware dan software yaitu: pertama, alat pembelajaran, berupa bahan/buku, alat-alat peraga, alat-alat praktik, alat-alat tulis, dan sebagainya. Kedua, media pembelajaran berupa media cetak, media audio, media audio visual, dan media terpadu (multi media).81 Karenanya sarana pembelajaran merupakan salah satu komponen sistem pengembangan pembelajaran pendidikan agama Islam di sekolah, disamping komponen-komponen lainnya seperti: peserta didik, program atau kurikulum, ketenagaan,
pembiayaan,
manajemen,
proses
belajar
mengajar,
hasil,
konteks/lingkungan, dan dampak pembelajaran. Oleh karena itu, pengembangan sarana pembelajaran pendidikan agama Islam memerlukan pertimbangan dari komponen-komponen lain yang bersifat terpadu untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. Pendidikan Islam di Madania memiliki berbagai sarana material yang diwujudkan dalam bentuk media pendidikan, misalnya: sarana ibadah, 80 81
Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam, 135. Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam, 135-136.
150
perlengkapan belajar mengajar, dan guru-guru yang kompeten dalam bidangnya masing-masing. Selain itu juga memiliki sarana-sarana penunjang yang lebih berhubungan dengan metode-metode yang bersifat psikologis, seperti pelajaran lewat cerita, dialog, argumentasi, ilustrasi, pencontohan atau melalui pemahaman atas benda-benda konkret. Berbagai sarana pendidikan agama di Madania sangat menunjang sekali kelancaran proses belajar mengajar di dalam kelas. Sebagai contoh adalah komputer-komputer yang bisa dimanpaatkan siswa untuk mencari materi-materi yang menunjang tema yang sedang dibahas oleh guru agama. Materi-materi yang sudah didapatkan dari media komputer kemudian dipresentasikan di depan kelas dengan memanfaatkan fasilitas slide projector yang ada di ruangan kelas di Madania. Demikian juga dengan alat-alat peraga yang ada di ruang belajar agama merupakan
sarana
pembelajaran
yang
sangat
menunjang
keberhasilan
pembelajaran agama, karena biasanya siswa akan lebih dapat memahami pelajaran apabila ditunjang dengan media yang menarik. Apalagi untuk siswa berkebutuhan khusus yang kurang bisa memahami apabila diajak berpikir halhal yang sifatnya abstrak, maka penjelasan guru yang disertai dengan gambargambar yang menarik akan membantu mereka untuk bisa memahami materi yang diajarkan. Selain itu, hasil kreasi siswa yang ditempel di dinding kelas, juga akan dapat membantu siswa lebih memahami materi disamping dapat menumbuhkan rasa bangga pada diri siswa. Demikian juga dengan sarana pendidikan agama Islam seperti mesjid merupakan salah satu fasilitas ibadah yang sangat penting untuk menanamkan nilai-nilai agama pada jiwa siswa serta menumbuhkan semangat untuk beribadah sesuai kewajiban yang diembannya. Menurut Husni Rahim,
Mushalla atau
Mesjid merupakan sarana pendidikan agama yang paling utama. Mushalla dan Mesjid dapat dijadikan sebagai pusat pendidikan agama terutama dalam aspek pembiasaan
dan
pengamalan
agama.
Sekolah
yang
baik
seharusnya
membiasakan semua anak didiknya untuk shalat dzuhur berjamaah, karena
151
dalam kesempatan berjama’ah banyak hal yang dapat diperoleh oleh anak didik secara tidak langsung.82 Pemanpaatan sarana ibadah di Madania tidak hanya dipakai untuk praktek ibadah pelajaran pendidikan agama Islam
saja, tetapi secara rutin
dipakai untuk shalat dzuhur berjamaah setiap hari yang merupakan program wajib bagi siswa muslim di Madania. Jumlah sarana ibadah di Madania tidak hanya satu, tetapi ada beberapa sarana ibadah lainnya berupa ruang khusus untuk pembelajaran pendidikan agama yang sudah didesain khusus supaya bisa dimanpaatkan oleh seluruh siswa baik yang normal maupun yang berkebutuhan khusus untuk praktek ibadah langsung. 83 Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pemenuhan fasilitas ibadah dan sarana pembelajaran merupakan hal penting yang harus dilakukan dalam rangka meningkatkan kualitas proses pendidikan dan pembelajaran di sekolah. Fasilitas ibadah dapat dimanpaatkan untuk menanamkan nilai-nilai agama pada jiwa siswa serta menumbuhkan semangat beribadah, sedangkan sarana pembelajaran dapat bermanfaat memperlancar proses belajar mengajar di dalam kelas. E. Evaluasi dan Penilaian Pendidikan Agama Unsur penting lainnya dalam proses pendidikan Agama Islam sebagai bagian dari model pembelajaran bagi siswa berkebutuhan khusus adalah evaluasi dan penilaian. Evaluasi pendidikan yang dimaksud di sini adalah suatu kegiatan untuk menentukan taraf kemajuan suatu aktivitas di dalam pendidikan Islam.
84
Evaluasi merupakan penilaian tentang suatu aspek yang dihubungkan dengan situasi aspek lainnya, sehingga diperoleh gambaran menyeluruh yang ditinjau dari beberapa segi.85 82
Husni Rahim, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001), 41. 83
Berdasarkan wawancara dengan Bapak Abdullah, S.Ag. kordinator mata pelajaran pendidikan agama Islam di Madania, 26-7- 2010. 84
Zuhairini, dkk., Metodik Khusus Pendidikan Agama (Surabaya: Usaha Nasional, 1981), 139. 85
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006), 213-214.
152
Program evaluasi dilaksanakan dengan tujuan untuk mengetahui kadar pemahaman peserta didik terhadap materi pelajaran, melatih keberanian dan mengajak peserta didik untuk mengingat kembali materi yang telah diberikan, dan mengetahui tingkat perubahan perilakunya. Tujuan evaluasi lainnya adalah untuk mengetahui siapa diantara peserta didik yang cerdas dan yang lemah, sehingga yang lemah diberi perhatian khusus agar ia dapat mengejar kekurangannya. Disamping itu, evaluasi juga dilakukan untuk mengetahui tingkat keberhasilan seorang pendidik dalam menyampaikan materi pelajaran, menemukan kelemahan-kelemahan yang dilakukan, baik berkaitan dengan materi, metode, fasilitas, dan sebagainya. 86 Dengan demikian, sasaran evaluasi adalah tidak hanya peserta didik saja, tetapi juga bertujuan mengevaluasi pendidik, yaitu sejauhmana ia bersungguhsungguh dalam menjalankan tugasnya untuk mencapai tujuan pendidikan Islam. Tujuan pendidikan Islam menurut Muh}ammad ‘At}iyah al-Abra>shi> adalah pembentukan moral yang tinggi, karena pendidikan moral merupakan jiwa pendidikan Islam, sekalipun tanpa mengabaikan pendidikan jasmani, akal, dan ilmu praktis.87 Secara garis besarnya, sasaran-sasaran pendidikan Islam adalah pada kemampuan peserta didik yang meliputi: sikap dan pengalaman terhadap hubungan pribadinya dengan Tuhannya, sikap dan pengalaman terhadap arti 86
Muh}ammad ‘At}iyah al-Abra>shi, Ru>h} al-Tarbiyah wa-al-Ta’li>m (al-Su’u>di> al-‘Arabiyah: Da>r al-Ahya>, tt), 362. 87
Muh}ammad ‘At}iyah al-Abra>shi, Ru>h} al-Tarbiyah wa-al-Ta’li>m (al-Su’u>di> al-‘Arabiyah: Da>r al-Ahya>, tt), 360. Tujuan pendidikan Islam lainnya menurut Ibn Taymiyah bertumpu pada empat aspek yaitu: tercapainya pendidikan Tauhid dengan cara mempelajari ayatayat Allah SWT dalam wahyu-Nya dan ayat-ayat fisik dan psikis; mengetahui ilmu Allah SWT melalui pemahaman terhadap kebenaran makhluk-Nya; mengetahui kekuatan Allah melalui pemahaman jenis-jenis, kuantitas, dan kreatifitas makhluk-Nya; serta mengetahui apa yang diperbuat Allah SWT tentang realitas dan jenis-jenis perilakunya. Lihat Ma>jid ‘Irsa>n alKayla>ni>, al-Fikr al-Tarbawi> ‘inda Ibn Taymiyah (al-Madi>nah al-Munawwarah: Maktabah Da>r al-Tara>th, 1986), 117-118. Sedangkan menurut ‘Abd al-Rashi>d ibn ‘Abd al-‘Azi>z yaitu adanya kedekatan (taqarrub) kepada Allah SWT melalui pendidikan akhlak, dan menciptakan individu untuk memiliki pola pikir yang ilmiah dan pribadi yang paripurna, yaitu pribadi yang dapat mengintegrasikan antara agama dengan ilmu serta amal saleh, guna memperoleh ketinggian derajat dalam berbagai dimensi kehidupan. Lihat ‘Abd al-Rashi>d ibn ‘Abd al‘Azi>z, al-Tarbiyah al-Isla>miyah wa T}uruqu Tadrisiha> (Kuwait: Da>r al-Buh}u>th al‘Ilmiyah, 1975), 231-232.
153
hubungan dirinya dengan masyarakat, sikap dan pengalaman terhadap arti hubungan kehidupannya dengan alam sekitarnya, seta sikap dan pandangannya terhadap diri sendiri selaku hamba Allah, anggota masyarakat, serta selaku khalifah-Nya di muka bumi. 88 Adapun fungsi evaluasi Untuk itu evaluasi pendidikan agama diarahkan untuk membantu peserta didik agar ia dapat mengubah atau mengembangkan tingkah lakunya secara sadar, serta memberi bantuan padanya cara meraih suatu kepuasan bila berbuat sebagaimana mestinya. Selain itu, fungsi evaluasi juga dapat membantu seorang pendidik dalam mempertimbangkan adequate (cukup memadai) metode pengajaran serta membantu dan mempertimbangkan administrasinya.89 Dengan mempertimbangkan tujuan pendidikan dan arah evaluasi pendidikan agama di atas, maka prinsip evaluasi pendidikan Islam itu harus diarahkan
prinsip
kesinambungan
(kontinuitas),
prinsip
menyeluruh
(komprehensif), dan prinsip objektivitas.90 Maksud prinsip kesinambungan (kontinuitas) adalah bahwa evaluasi dilakukan secara terus menerus mulai dari proses belajar mengajar sambil memerhatikan keadaan peserta didiknya, hingga peserta didik tersebut tamat dari lembaga sekolah. 91 Prinsip menyeluruh (komprehensif) adalah prinsip yang melihat semua aspek, meliputi kepribadian, ketajaman hapalan, pemahaman, ketulusan, kerajinan, sikap kerjasama, tanggungjawab, dan sebagainya. Sedangkan prinsip objektivitas bahwa dalam
88
Arifin HM, Ilmu Pendidikan Islam; Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), 239-240. 89
Oemar Hamalik, Pengajaran Unit (Bandung: Alumni, 1982), 106.
90
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006), 214. 91
Ajaran Islam sangat memperhatikan prinsip kontinuitas, karena dengan berpegang dengan prinsip ini, keputusan yang diambil oleh seseorang menjadi valid dan stabil. Lihat Qur’an surat Fus}s}ilat ayat 30. Lihat juga surat al-Ah}qa>f ayat 13-14 yang menjelaskan bahwa dengan prinsip ini maka keputusan yang diambil dapat menghasilkan tindakan yang menguntungkan.
154
mengevaluasi berdasarkan kenyataan yang sebenarnya, tidak boleh dipengaruhi oleh hal-hal yang bersifat emosional dan irasional.92 Begitu juga dengan cara pelaksanaannya, evaluasi pendidikan Islam dapat dilakukan dengan cara evaluasi terhadap diri sendiri (self evaluation) dan terhadap kegiatan orang lain (peserta didik).93 Evaluasi terhadap diri sendiri akan mampu menggambarkan keadaan yang sesungguhnya baik mengenai kelebihan yang harus dipertahankan maupun kekurangan dan kelemahan yang perlu dibenahi. Evaluasi diri ini dapat dilakukan dengan cara muhasabah dengan menghitung baik buruknya, menulis autobiografi dan inventarisasi diri.94 Evaluasi terhadap orang lain dimaksudkan untuk memperbaiki tindakan orang lain, bukan untuk mencari aib dan kelemahan seseorang. Evaluasi ini harus disertai dengan amr ma’ruf dan nah}yu ‘an al-munkar supaya manusia dapat kembali ke fitrah aslinya yang cenderung baik. Sedangkan jenis-jenis evaluasi pendidikan Islam terdiri empat macam yaitu: evaluasi formatif, evaluasi sumatif, evaluasi penempatan, dan evaluasi diagnosis.95 Evaluasi formatif adalah evaluasi yang digunakan untuk mengetahui hasil belajar yang dicapai peserta didik setelah ia menyelesaikan program dalam satuan bahan pelajaran pada suatu bidang studi tertentu. Evaluasi sumatif adalah evaluasi yang dilakukan terhadap hasil belajar peserta didik setelah mengikuti pelajaran dalam satu catur wulan, satu semester, atau akhir tahun untuk menentukan jenjang berikutnya. Evaluasi penempatan adalah evaluasi yang dilakukan sebelum anak mengikuti proses belajar mengajar untuk kepentingan penempatan pada jurusan yang diinginkan. Sedangkan evaluasi diagnosis adalah Surat al-Ma>idah ayat 8 menjelaskan bahwa Allah memerintahkan agar seseorang berlaku adil dalam mengevaluasi sesuatu, jangan karena kebencian menjadikan ketidakobjektifan evaluasi yang dilakukan. 93 Syahminan Zaini dan Muhaimin, Belajar sebagai Sarana Pengembangan Fitrah Manusia (Jakarta: Kalam Mulia, 1991), 59-64. 92
94
Surat al-Baqarah ayat 115 menggambarkan bahwa semua tindakan manusia tidak terlepas dari evaluasi Allah, karenanya manusia dituntut untuk waspada dalam melakukan suatu tindakan. Dan surat Qaf ayat 18 menjelaskan tentang adanya dua malaikat sebagai supervisor manusia yaitu Raqib dan Atid. 95
Ramayulis, Metodologi Pengajaran Agama Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 1990), 268-
270.
155
evaluasi terhadap hasil penganalisisan tentang keadaan belajar peserta didik, baik merupakan kesulitan-kesulitan atau hambatan yang ditemui dalam situasi belajar mengajar. Syarat-syarat evaluasi pendidikan Islam adalah validity, reliable, dan efisiensi.96 Maksud validity adalah bahwa tes harus dilakukan berdasarkan halhal yang seharusnya dievaluasi, yang meliputi seluruh bidang tertentu yang diinginkan dan diselidiki sehingga tidak hanya mencakup satu bidang saja. Soalsoal tes harus memberi gambaran keseluruhan (refresentatif) dari kesanggupan anak mengenai bidang itu. Maksud reliable adalah bahwa tes harus dapat dipercaya yang memberikan keterangan tentang kesanggupan peserta didik yang sesungguhnya . Soal yang ditampilkan tidak membawa tafsiran yang macammacam. Dan maksud efisiensi adalah tes yang mudah dalam administrasi, penilaian, dan interpretasinya. Sifat-sifat evaluasi yang dapat diterapkan dalam pendidikan Islam adalah kuantitatif, kualitatif dan perbuatan (performance test). Kuantitatif yaitu hasil evaluasi yang diberikan skor atau nilai dalam bentuk angka, misalnya: 80 atau 90. Kualitatif yaitu hasil evaluasi diberikan dalam bentuk pernyataan verbal, misalnya: memuaskan, baik, cukup, dan kurang. Sedangkan Perbuatan (performance test) yaitu tes yang biasa digunakan untuk mengetahui aspek psikomotorik siswa. 97 Teknik yang dapat digunakan pada evaluasi pendidikan Islam ada dua macam yaitu teknik tes dan teknik non tes. Teknik tes yaitu teknik yang digunakan untuk menilai kemampuan peserta didik yang meliputi pengetahuan dan keterampilan sebagai hasil belajar, serta bakat khusus dan inteligensinya. Teknik ini terdiri atas uraian, objektif tes, dan bentuk tes lain seperti ikhtisar dan laporan. Sedangkan teknik non tes yaitu teknik yang digunakan untuk menilai
96
Nasution, Didaktik Asas-asas Mengajar (Bandung: Jemmars, 1982), 167-170.
97
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006), 218.
156
karakteristik lainnya seperti minat, sikap dan kepribadian siswa. Teknik ini meliputi observasi terkontrol, wawancara, dan lain-lain. 98 Sistem
evaluasi
dan
penilaian
pendidikan
agama
bagi
siswa
berkebutuhan khusus di Madania disesuaikan dengan kemampuan siswa yang telah dikelompokkan ke dalam kelompok reguler, reguler modifikasi dan individual. Yang termasuk kelompok reguler adalah siswa yang tidak mempunyai hambatan secara akademik 0-50% mata pelajaran , yang termasuk kelompok reguler modifikasi adalah siswa yang mempunyai hambatan secara akademik pada 50-70% mata pelajaran, dan yang termasuk kelompok individual adalah siswa yang mempunyai hambatan secara akademik pada 70-90% mata pelajaran.99 Secara umum, evaluasi dan penilaian pendidikan agama Islam yang diikuti siswa berkebutuhan khusus di Madania adalah: tes formatif, UTS, EHB, UAN/UAS, dan tes praktek. Tes formatif dilakukan sebanyak dua kali dalam 1 semester. UTS atau ulangan tengah semester dilakukan satu kali dalam 1 semester dan dilaksanakan pada pertengahan semester. EHB atau evaluasi hasil belajar dilakukan sebanyak satu kali dalam 1 semester pada setiap akhir semester. UAN/UAS atau ujian akhir nasional atau ujian akhir sekolah adalah ujian yang diselenggarakan oleh Kementrian Pendidikan Nasional melalui Kementrian Pendidikan Propinsi Daerah. Tes ini merupakan tes kelulusan bagi siswa kelas 6, 9 dan kelas 12, untuk meneruskan ke jenjang pendidikan berikutnya. Dan tes praktek adalah tes yang dilakukan untuk menilai suatu materi berdasarkan praktek yang dilakukan oleh siswa sebagai peserta tes.100 Tes tertulis pelajaran pendidikan agama Islam untuk siswa berkebutuhan khusus kelompok reguler, disamakan dengan siswa lainnya di kelas, dengan penambahan waktu 20 menit dari batas waktu yang tertera dalam lembar tes. Dalam kondisi khusus, siswa diberi soal dengan font hurup soal tes diperbesar 98
Zuhairini, dkk., Metodik Khusus Pendidikan Agama (Surabaya: Usaha Nasional, 1981), 158-160. 99
Educational Support Department, Handbook 2009-2011, 16.
100
Educational Support Department, Handbook 2009-2011, 36.
157
dan dilaksanaakan di ruangan tersendiri atau meja tersendiri menghadap dinding di dalam kelas untuk mengurangi distraksi. Siswa diingatkan untuk tetap tenang, membaca soal secara berulang dan perlahan-lahan, dan tetap mengerjakan soal apabila terlihat melamun atau hilang konsentrasi. Untuk mempertahankan konsentrasi, siswa diperbolehkan untuk memakai alat bantu yang tidak mengganggu siswa lain dan yang telah direkomendasikan oleh tenaga ahli (contoh: headphone).101 Untuk siswa berkebutuhan khusus kelompok reguler modifikasi, soal tes tertulis yang sudah dibuat oleh guru pendidikan agama Islam diserahkan kepada guru SEN Unit siswa yang bersangkutan untuk dimodifikasi. Setelah selesai dimodifikasi, kemudian diserahkan kepada koordinator mata pelajaran untuk direview dan disetujui.102 Modifikasi harus sudah selesai dilaksanakan 1 hari sebelum pelaksanaan tes. Modifikasi yang dilakukan terhadap soal tes tertulis adalah menebalkan dan atau menggarisbawahi kata kunci, menyederhanakan kalimat soal, mengurangi jumlah soal, mengurangi tingkat kesulitan soal, dan menerjemahkan tulisan menjadi soal gambar.103 Sedangkan untuk siswa berkebutuhan khusus kelompok individual, soal tes pendidikan agama Islam dimodifikasi secara fleksibel sesuai dengan materi yang dipelajarinya yang tercantum di IEP. Bentuk tes dapat lisan atau tertulis dalam bentuk pilihan ganda, isian singkat, atau memasangkan. Soal tes yang sudah dibuat oleh guru agama dan dimodifikasi oleh guru SEN Unit siswa yang
101
Educational Support Department, Handbook 2009-2011, 36-38 dan berdasarkan wawancara di Madania dengan koordinator mata pelajaran PAI Bapak Abdullah, S. Ag. pada 30-4-2010. 102
Koordinator mata pelajaran Pendidikan Agama Islam adalah Bapak Abdullah, S.Ag. yang bertanggungjawab terhadap pelaksanaan pembelajaran agama di Madania pada tingkat SD, SMP dan SMA. 103
Educational Support Department, Handbook 2009-2011, 36-38 dan berdasarkan wawancara di Madania dengan koordinator mata pelajaran PAI Bapak Abdullah, S. Ag. pada 30-4-2010.
158
bersangkutan, kemudian dikoreksi oleh koordinator SEN Unit dan harus sudah selesai paling lambat 2 hari sebelum pelaksanaan tes.104 Seluruh tes pelajaran pendidikan agama Islam yang diikuti oleh siswa berkebutuhan khusus tersebut dikerjakan secara mandiri dan diberikan oleh guru kelas, guru pendidikan agama Islam, dan guru SEN Unit tanpa memberi clue, tanda, atau penjelasan yang mengarah pada jawaban, berupa intonasi suara, peragaan, atau pun tanda yang lain. Adapun untuk kelulusan siswa berkebutuhan khusus, dibagi juga menjadi tiga
yaitu jalur reguler, jalur reguler modifikasi dan jalur individual. Jalur
reguler adalah siswa yang mengikuti tes sama dengan siswa reguler lainnya. Soal yang dikerjakan oleh siswa adalah soal standar Diknas atau standar sekolah, melalui adaptasi cara tanpa adaptasi isi. Jalur reguler modifikasi adalah siswa yang mengikuti tes sama dengan siswa lainnya, dengan melakukan beberapa modifikasi terhadap soal yang diberikan. Sedangkan jalur individual adalah siswa yang mengikuti tes tersendiri dengan program dan materi yang telah ia pelajari.105 Laporan tertulis tentang hasil evaluasi dan penilaian pendidikan agama Islam dituangkan pada rapor yang bagi siswa berkebutuhan khusus dimungkinkan untuk mendapatkan 3 macam rapor yaitu: rapor angka diknas, rapor narasi, dan rapor IEP. Rapor Angka Diknas merupakan rapor standar dari Kementrian Pendidikan Nasional Republik Indonesia, namun dikeluarkan secara independen oleh pihak Madania karena sudah berstatus disamakan dengan sekolah pemerintah. Bagi siswa berkebutuhan khusus dengan program modifikasi dan individual disertakan keterangan yang dijabarkan pada rapor IEP dan rapor narasi. Rapor narasi merupakan rapor yang diadakan oleh Madania. Rapor ini berupa deskripsi untuk menjabarkan angka yang tertulis pada rapor angka
104
Educational Support Department, Handbook 2009-2011, 36-38 dan berdasarkan wawancara di Madania dengan koordinator mata pelajaran PAI Bapak Abdullah, S. Ag. pada 304-2010. 105
Educational Support Department, Handbook 2009-2011, 39
159
diknas. Rapor narasi siswa berkebutuhan khusus dengan program modifikasi dan individual diisi oleh guru kelas, guru mata pelajaran dan guru khusus setelah mendapat masukan dari guru SEN Unit. Sedangkan
narasi untuk program
khusus dilakukan oleh guru SEN Unit. Rapor IEP merupakan hasil evaluasi dari IEP untuk satu semester. Rapor IEP diperuntukkan bagi siswa berkebutuhan khusus yang ditangani oleh SEN Unit dan mempunyai program IEP. Guru yang bertanggungjawab mengisi rapor IEP adalah guru SEN Unit.106 Pemantauan terhadap perkembangan belajar siswa berkebutuhan khusus juga dilakukan melalui pencatatan hasil kerja siswa yang disebut dengan student’s recording. Recording merupakan format/bahan penilaian atas pelaksanaan KBM yang telah dilakukan guru dengan tujuan melakukan monitoring dan evaluasi siswa, juga sebagai panduan dalam pembuatan IEP. Sistematika perumusan format penilaian dibuat sesederhana dan semudah mungkin untuk dapat dimengerti oleh orang tua dan guru. Pencatatan hasil kerja siswa meliputi: worksheet, catatan aktivitas siswa, daily log, visual recording, dan audio recording.107 Worksheet adalah lembar kerja/tugas yang diberikan kepada siswa oleh pihak sekolah (guru kelas, guru mata pelajaran, dan guru SEN Unit). Worksheet dapat berbentuk lembaran ataupun berbentuk buku. Tujuan diberikannya worksheet adalah sebagai alat pengajaran sekaligus alat ukur kemampuan siswa. Pemberian worksheet disesuaikan dengan kebutuhan siswa. Untuk siswa kelompok reguler, worksheet dibuat oleh guru kelas atau guru mata pelajaran. Untuk kelompok reguler modifikasi, worksheet dibuat oleh guru kelas, guru specialist atau guru SEN Unit. Sedangkan untuk kelompok Individual, worksheet dibuat oleh guru SEN Unit dan atau guru mata pelajaran yang mengajar secara one on one teaching. 108
106
Educational Support Department, Handbook 2009-2011, 22
107
Educational Support Department, Handbook 2009-2011, 33-34.
108
Educational Support Department, Handbook 2009-2011, 33.
160
Catatan aktivitas siswa adalah ceklis tertulis tentang aktivitas yang dilakukan siswa secara berkala sesuai IEP yang telah disusun di awal masa pembelajaran. Catatan ini digunakan sebagai bahan evaluasi program tertentu yang membutuhkan pembiasaan/internalisasi pada siswa seperti program bertamu, berbelanja, kemandirian di sekolah, sosialisasi, dll. Daily log adalah catatan dinamika sesi belajar di SEN Unit yang ditulis oleh guru SEN Unit. Tujuannya adalah untuk mencatat setiap peristiwa yang terjadi pada siswa selama di sekolah. Daily log juga berfungsi sebagai buku komunikasi guru SEN Unit dengan orang tua siswa. Daily log merupakan milik sekolah dan akan disimpan sekolah sebagai data. Isi dari daily log adalah: hari/tanggal; konsep yang diajarkan; resources; respon, perilaku, dan pemahaman siswa; target, metode, dan resources untuk sesi seelanjutnya. 109 Visual recording adalah rekaman gambar/visual berupa foto atau video tentang dinamika sesi belajar siswa SEN Unit baik di kelas, ruang SEN Unit, acara tertentu, field trip, dan saat tes/ujian. Tujuannya adalah untuk melengkapi record tertulis dengan merekam secara visual perilaku siswa dalam situasi dan kondisi tersebut di atas. Audio Recording adalah rekaman suara dari siswa SEN Unit baik di kelas, ruang SEN Unit, acara tertentu, field trip. Dapat berupa kegiatan story telling, singing, conversation, dll. Tujuannya adalah melengkapi record tertulis, rekam gambar dengan rekaman suara perilaku siswa dalam situasi dan kondisi tersebut di atas. 110 Evaluasi di Madania, selain dilakukan terhadap siswa, juga dilakukan terhadap guru dan tenaga kependidikan lainnya. Evaluasi biasanya dilakukan dalam sebuah pertemuan yang rutin dilaksanakan oleh seluruh guru pendidikan agama Islam setiap hari rabu dan jum’at, serta pertemuan rutin dengan guru-guru mata pelajaran lainnya setiap hari senin. Evaluasi dilaksanakan untuk mengukur tingkat keberhasilan pembelajaran pendidikan agama pada setiap minggu. 111 109
Educational Support Department, Handbook 2009-2011, 33-34.
110
Educational Support Department, Handbook 2009-2011, 34.
111
Berdasarkan wawancara dengan koordinator mata pelajaran PAI Bapak Abdullah, S. Ag. di Madania pada 26-7-2010.
161
Berdasarkan uraian di atas, evaluasi dan penilaian pendidikan agama dilakukan untuk mengetahui taraf kemajuan suatu aktifitas di dalam pendidikan Islam. Dan yang menjadi sasaran evaluasi tidak hanya siswa saja, tapi juga guru dan tenaga kependidikan lainnya dalam menjalankan tugasnya di sekolah.
162
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Penelitian ini membuktikan bahwa model pembelajaran pendidikan agama Islam untuk siswa berkebutuhan khusus di sekolah inklusi adalah model pembelajaran berbasis kompetensi anak dengan mengembangkan lingkungan belajar secara terpadu antara prinsip-prinsip umum dan khusus dalam pembelajarannya. Berdasarkan hasil penelitian ini, ditemukan fakta bahwa model pembelajaran pendidikan agama Islam ini akan berhasil diterapkan apabila didukung oleh lima unsur penting yaitu: strategi pembelajaran yang tepat, dukungan nilai-nilai agama sebagai basis budaya, lingkungan yang religius, dukungan fasilitas dan sarana pembelajaran yang memadai
dan keakuratan
evaluasinya. Strategi pembelajaran pendidikan agama Islam untuk siswa berkebutuhan khusus adalah integrated in the regular classroom, one to one teaching, small group, dan program khusus. Siswa dikelompokkan ke dalam tiga kelompok yaitu: reguler, reguler modifikasi, dan individual. Siswa kelompok reguler yang tidak mempunyai hambatan secara akademik 0-50% mata pelajaran, dapat mengikuti semua kurikulum reguler kelas tanpa modifikasi, dengan ketentuan belajar yaitu: 90-100% di kelas dan 0-10% belajar individual. Siswa kelompok reguler modifikasi yang mempunyai hambatan secara akademik 50-70% mata pelajaran, dapat mengikuti semua kurikulum reguler kelas dan modifikasi kurikulum, dengan ketentuan belajar yaitu: 80-90% di kelas dan 10-20% belajar individual. Sedangkan siswa kelompok individual yang mempunyai hambatan secara akademik 70-90% mata pelajaran, menggunakan kurikulum yang disesuaikan dengan kemampuannya, dengan ketentuan belajar yaitu: 70-80% di kelas dan 20-30% belajar individual. Penanaman nilai-nilai agama pun harus kemampuan kompetensinya.
ditanamkan sesuai dengan
Penanaman nilai harus dibantu dengan budaya
sekolah yang baik yang mencerminkan nilai agama. Lingkungan sekolah yang 163
164
religius akan membantu siswa dalam mengekspresikan keberagamaannya sekaligus menggali potensi rasa religiusitasnya. Potensi keberagamaan siswa akan mudah digali jika fasilitas ibadah dan sarana pembelajaran agama cukup memadai. Dan model ini akan berhasil apabila didukung oleh sistem evaluasi dan penilaian pendidikan agama
yang dapat mengukur tingkat kemampuan
siswa sesuai dengan kompetensinya. Bukti penelitian ini mendukung pendapat Stainback dan Stainback, Staub dan Peck, Sapon-Shevin, dan Bandi Delphie, yang mendukung model pembelajaran dengan menempatkan anak berkebutuhan khusus dalam satu tempat bersama-sama anak normal lainnya dalam sebuah proses belajar mengajar. Penelitian ini juga sekaligus membantah pendapat Evelyn Deno dan Kauffman yang mempertahankan penyediaan model pendidikan dengan alternatif penempatan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus secara khusus dan terpisah dari siswa lain yang normal. Untuk memperkuat posisi tesis ini diajukan argumentasi berikut: Pertama, pendidikan Inklusi yang mengakomodasi semua peserta didik tanpa mempertimbangkan kondisi fisik, intelektual, sosial, emosional, linguistik mereka dan kondisi lainnya, merupakan sarana yang sangat efektif untuk memberantas diskriminasi, menciptakan masyarakat yang hangat relasinya, membangun masyarakat inklusif, dan mensukseskan pendidikan untuk semua. Kedua, penempatan anak berkebutuhan khusus di sekolah regular bersama anakanak normal lainnya dapat menumbuhkan rasa percaya dirinya yang pada akhirnya akan memudahkan mereka untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya. Ketiga, pemberian hak pendidikan agama bagi siswa berkebutuhan khusus akan lebih optimal terlayani di sekolah inklusi yang membantu mereka mengembangkan potensi ruhaniah yang memancar dari dimensi al-ruh dan alfitrah yang mereka miliki. B. Saran-Saran Dengan model dan strategi pendidikan agama sebagaimana ditemukan dalam penelitian ini, siswa berkebutuhan khusus di sekolah inklusi akan memperoleh pemenuhan hak dasarnya untuk mendapatkan pendidikan agama
165
yang berkualitas. Implikasinya kemudian adalah perlu ada perhatian khusus dari semua pihak untuk mendukung upaya pemenuhan hak dasarnya ini sebab ternyata masih banyak anak berkebutuhan khusus yang masih terabaikan. Untuk itu ada beberapa implikasi lanjutan dari hasil penelitian yaitu: a. Diperlukan pengalokasian pendanaan yang lebih banyak agar anggota masyarakat yang berkebutuhan khusus di seluruh Indonesia dapat terlayani hak pendidikannya, terutama hak pendidikan agamanya. Oleh karena itu pemerintah harus lebih memperhatikan penyelenggaraan pendidikan inklusi ini dengan sosialisasi dan penyediaan sarana yang memadai agar potensi mereka dalam batas tertentu dapat dikembangkan. b. Anak berkebutuhan khusus dengan berbagai tingkatan kecacatannya memiliki hak kebebasan hidup dan hak memperoleh pendidikan termasuk pendidikan agama. Masyarakat harus memahami dan menyadari bahwa mereka layak hidup di tengah-tengah masyarakat sebagaimana layaknya anggota masyarakat lainnya. c. Pengembangan model pembelajaran pendidikan agama Islam bagi siswa berkebutuhan khusus dalam setting pendidikan inklusi sangat diperlukan oleh para guru agama. Untuk itu sudah saatnya fakultas Tarbiyah yang banyak melahirkan guru agama, mengembangkan bidang ini dan sekaligus membekali mahasiswanya dengan pengetahuan tentang pendidikan inklusi. d. Pengembangan dan pengkajian serta penelitian tentang model pembelajaran pendidikan agama Islam yang efektif dan tepat bagi anak berkebutuhan khusus masih terus harus dikaji oleh para pemerhati dan praktisi pendidikan inklusi. Penelitian ini masih menyimpan banyak celah untuk
dijadikan
sebagai agenda penelitian lanjutan untuk melengkapi upaya penyelesaian masalah pendidikan inklusi.
DAFTAR PUSTAKA
‘Abd al-Rashi>d ibn ‘Abd al-‘Azi>z. al-Tarbiyah al-Isla>miyah wa T}uruqu Tadrisiha>. Kuwait: Da>r al-Buh}u>th al-‘Ilmiyah, 1975. Abdullah, Taufik dan M. Rusli Karim. Metodologi Penelitian Agama. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004. ‘Abdulla>h Na>s}ih ‘Ulwa>n . Tarbiyat al-Awlad fi>-al-Isla>m. Kairo: Da>ru al-Sala>m li al-T}iba><<>><@||<>’ah wa-al-Nashr wa-al-Tawzi>’, 1981. Abdul Majid & Dian andayani. Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi Konsep dan Implementasi Kurikulum 2004. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005. Abdurrahman , Mulyono. Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar. Jakarta: PT Rineka Cipta, 2003. al-Abra>shi, Muh}ammad ‘At}iyah. Ru>h}
al-Tarbiyah wa-al-Ta’li>m. al-
Su’u>di> al-‘Arabiyah: Da>r al-Ahya>, tt. AECT. The Definition of Educational Technology. Washington DC: Association for Educational Communications and Technology, 1994. Agustyawati dan Solicha. Psikologi Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus. Jakarta: Lembaga Penelitian UI Jakarta, 2009. Aincsow , Mel. “Towards Inclusive Schooling”. Article in British Journal of Special Education, no 1, 1997. Ancok, Djamaludin, Fuat Nashori, Suroso. Psikologi Islam : Solusi Islam atas problem-problem Psikologi. Jakarta : Pustaka Pelajar, 1995. Anwar, M.I.
“Biaya Pe ndidikan dan Metode Penetapan Biaya Pendidikan”.
Mimbar Pendidikan. No. 1 tahun X, 1991. Arends, Richard. Learning to Teach. New York: McGraw-Hill, 2001. Arifin,
HM.
Ilmu Pendidikan Islam; Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis.
Jakarta: Bumi Aksara, 1991. Auxter, David, Jean Pyfer, Carol Huettig. Principles and Methods of Adapted Physical Education and Recreation. New York: McGraw-Hill ,2005.
165
Baidhawy, Zakiyuddin. Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural. Jakarta: Erlangga, 2005. Beck , L.G. & J. Murphy, The Four Imperatives of a Successful School. Thousand Oaks, California: Corwin, 1996. Canestrari , Alan S & Bruce A Marlowe. Educational Foundations An Anthology of Critical Readings. California : Sage Publications, 2004. Cartwright-Cartwright, G.P., Cartwright, C.A. & Ward, .M.E. Educating Special Learners. California: Wads Worth Publishing Company, 1984. Connely , Peter. Aneka Pendekatan Studi Agama. Yogyakarta: LKiS, 1999. Dale, Ernest .
Management: Theory and Practice, Tokyo: Mc Graw Hill
Kogakhusa, Ltd, 1973. Daryanto, Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta, 2005. Delphie, Bandi.
Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus dalam Setting
Pendidikan Inklusi. Klaten: PT Insan Sejati Klaten, 2009. --------. Sebab-sebab Keterbelakangan Mental. Bandung: Mitra Grafika, 1996. --------. Terapi Permainan 1. Bandung: Rizqi Press, 2006. --------. Terapi Permainan 2. Bandung: Rizqi Press, 2006. --------. Gerak Irama: Suatu Pengantar Penyusunan Program Pembelajaran Individual Special Needs Student melalui Pola Gerak dan Irama (Body Movement). Bandung: Rizqi Press, 2006. --------. Layanan Perilaku Anak Hiperaktif. Klaten:PT Insan Sejati Klaten, 2009. --------. Panduan Permainan Terapeutik (Anak Berkebutuhan Khusus Dalam Setting Pendidikan Inklusi. Klaten:PT Insan Sejati Klaten, 2009. --------. Bimbingan Perilaku Adaptif (Anak Dengan Hendaya Perkembangan Fungsional). Klaten: PT Insan Sejati Klaten, 2009. --------. Hendaya Perkembangan Fungsional (Penyebab dan Karakteristik Anak). Klaten: PT Insan Sejati Klaten, 2009. --------. Bimbingan Perilaku Adaptif. Malang: PT Elang Mas, 2005. --------. Pembelajaran Anak Tunagrahita: Suatu Pengantar dalam Pendidikan Inklusi. Bandung: PT Refika Aditama, 2006.
166
Deno, Evelyn. Teaching Exceptional Children and Youth in the Regular Classroom. New York: Syracuse University Press, 1986. Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa.
Mengenal Pendidikan Inklusif.
Jakarta, 2006. --------. Naskah dan Informasi Pendidikan Khusus, 2006/2007. --------. Kegiatan Belajar Mengajar di Sekolah Inklusif. Jakarta, 2006. --------. Manajemen Sekolah dalam Pendidikan Inklusif. Jakarta, 2006. Direktorat Pendidikan Luar Biasa. Pengadaan dan Pembinaan Tenaga Kependidikan dalam Pendidikan Inklusif. Jakarta, 2006. Dirjen Dikdasmen Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa. Pedoman umum penyelenggaraan pendidikan inklusif. Jakarta, 2007. Departemen Pendidikan
Nasional.
Prosedur Operasi Standar Pendidikan
Inklusif. Jakarta: Diknas , 2007. --------. Model Penyelenggaraan Sekolah Kategori Mandiri /Sekolah Standar Nasional.
Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah Mengah Atas. Dirjen
Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, 2008. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Materi Dasar Pendidikan Program Akta Mengajar B, buku III C, Teknologi Intruksional. Jakarta: Dirjen Dikti, 1983. Djamarah, Syaiful Bahri. Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif suatu Pendekatan Teoretis Psikologis. Jakarta: Rineka Cipta, 2005. Drost, J. Dari KBK sampai MBS. Jakarta: Kompas, 2006. Educational Support Department. Handbook 2009-2011. Bogor: Madania, 2009. Ekosusilo, Madyo. Hasil Penelitian Kualitatif Sekolah Unggul Berbasis Nilai. Sukoharjo: Univet Bantara Press, 2003. Emzir. Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008. Fadlulah. Orientasi Baru Pendidikan Islam. Jakarta: Diadit Media, 2008. Fattah, Nanang.
Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan. Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2004. Fuchs, D., dan Fuchs, L. “Inclusive Schools Movement and the Radicalization of Special Education Reform”. Exceptional Children, 1994.
167
Gerlach, Ely, Melnick. Teaching and Media: A Systematic Approach. New Jersey: Prentice Hall, Inc., Englewood Cliffs, 1980. Hadeli. Metode Penelitian Pendidikan. Jakarta: PT Ciputat Press, 2006. Hakim, M. Lukman. Deklarasi Islam tentang HAM. Surabaya: Risalah Gusti, 1993. Hallahan D.P. & Kauffman J.M.. Exceptional Children: Introduction to Special Education. New Jersey: Prentice-Hall, Englewood Clipps, 2005. Hamalik, Oemar. Pengajaran Unit. Bandung: Alumni, 1982. Handoko, T. Hani. Manajemen Edisi 2. Yogyakarta : BPFE, 1995. Hersey, Paul and Kenneth H. Blanchard. Manajemen of Organizational Behavior. New Delhi: Prentice-Hall of India Private Limited, 1978. Hidayat,
Komaruddin.
Selamat Datang ke Dunia Pendidikan Madania
www.madania. com (diakses 28-10-2008). Jalal, F. & D. Supriadi. Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 2001. Jalaludin. Psikologi Agama. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997. Johnsen , Berit H. A Historical Perspective on Ideas about a school for All. Oslo: Unipub, 1998. --------. Kurikulum untuk Pluralitas Kebutuhan Belajar Individual. http://www.idp-europe.org/indonesia/buku-inklusi/pdf/15-Kurikulum.pdf, (diakses 9 Februari 2010). Johnsen, Berit H. dan Skjorten, Miriam D. Education-Special Needs Education. Universitas Oslo: Unifub Forlag, 2001. Johnson, Richard A., et al. The Theory and Management of Systems. Tokyo: Mc Graw Hill Kogakhusa Ltd, 1973. Jones, Thomas. School Finance : Technique and Social Policy. London: Collier MacMillan Publishers, 1985. Joyce, Bruce R., Marsha Weil, Emily Calhoun. Models of Teaching. University of California: Allyn and Bacon, 2004.
168
Kauffman, J. M. “The Regular Education Initiative as Reagen – Bush Education Policy: A Trickle – Down Theory of Education of the Hard – to Teach”. Journal of Special Education , 23, 1989. Kotler, Philip. “The Elements of Social Action” dalam Gerald Zaltham, Ed., Processes and Phenomena of Social Change. New York: Robert E. Krieger, 1978. Kunc, Normal. “The Need to Belong: Rediscovering Maslow’s Hierarchy of Needs”. dalam R. Villa, J. Thousand, W. Stainback, dan S. Stainback. Education: An Administrative Guide to Creating Heterogeneous Schools. Baltimore MD: Brooks, 1992. Kristensen, Kurt & Kristensen, Kirsten.” School for All: A Challenge to Special Needs Education in Uganda-A Brief Country Report”. In African Journal of Special Needs Education. No. 1. 1997. Kusmana, Eva Nugraha, Eva Fitriati. Paradigma Baru Pendidikan Islam. Jakarta: IISEP bekerjasama dengan Direktorat Pendidikan Tinggi Islam Dirjen Pendis Depag RI, 2008. Lickona, Thomas. Educating for Character How Our School Can Teach Respect and Responsibility. New York: Bantam Books, 1992. Loican, Martin Omagor.
Towards Inclusive Education. www.eenet.org.uk/...
/docs/Towards_ Inclusive_ Education_Uganda.doc (diakses 16 Mei 2010). Madania Progressive School. Handbook 2009-2011: Educational Support Departmen. Parung, 2009. Ma>jid ‘Irsa>n al-Kayla>ni>. al-Fikr al-Tarbawi> ‘inda Ibn Taymiyah. alMadi>nah al-Munawwarah: Maktabah Da>r al-Tura>th, 1986. --------. Ahda>f al-Tarbiyah al- Isla>mi>yah fi> Tarbiyat al-Fardi wa-Ikhra>ji al- U>mah wa-Tanmiyat al-Ukhuwwah al-Insa>niyah. Firji>niya>: alMa’ahad al-‘A>lami> li al-Fikri al-Isla>mi>, 1997/1417. Maliki, Zainuddin. Sosiologi Pendidikan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2008. Mangunsong, Frieda. Psikologi
dan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus.
Depok: LPSP3 UI, 2009. Mapenda. Standar Nasional Kurikulum Pendidikan Keagamaan. Jakarta: Departemen Agama RI, 2003. 169
Mar’at. Sikap Manusia: Perubahan serta Pengukurannya . Jakarta: Balai Aksara –Yudhistira dan Saadiyah, 1982. Massie, Joseph L. Essentials of Management. New Delhi: Prentice Hall off India Private Limited, 1973. Mastuhu. Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999. Mendiknas. Menuju penuntasan wajib belajar tahun 2008, Naskah sambutan Mendiknas pada upacara bendera peringatan HARKITNAS Mei 2008. http://nurratnajuwita.blog. uns.ac.id/2010/03/15/inclusi-education-for-all/ (diakses 20 april 2010). Miarso, Yusuf Hadi, etal. Teknologi Komunikasi Belajar. Jakarta:Rajawali, 1984. Mitchell, David. Contextualizing Inclusive Education. New York: Routledge, 2005. Mubarok. Pandangan Islam tentang Pendidikan. http://mubarokinstitute.blogspot.com /2009/06/ pandangan-islam-tentang-pendidikan.html. (diakses 1-6-2010). Muhaimin, etal. Kawasan dan Wawasan Studi Islam. Jakarta: Prenada, 2005. Muhaimin. Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam Pemberdayaan, Pengembangan Kurikulum hingga Redefinisi Islamisasi Pengetahuan. Bandung: Nuansa, 2003. --------. Nuansa Baru Pendidikan Islam: Mengurai Benang Kusut Dunia Pendidikan. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006. Muhajir, Noeng. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996. Muhammad, Yasen. Insan yang Suci : Konsep Fitrah dalam Islam. Bandung: Mizan,1997. Mujib , Abdul dan Jusuf Mudzakkir. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006. Mudjahid
AK, etal.
Manajemen Sarana dan Prasarana Madrasah Mandiri.
Jakarta: Puslitbang Penda dan Keagamaan, 2001. Mutahhari, Murtadha. Perspektif Al-Quran tentang Manusia dan Agama. Bandung: Mizan, 1990.
170
Moore, C. Educating Students with Disabilities in General Education Clasrooms: a Summary of Research. Alaska, USA: Department of Education, Teaching and Learning Support,1998. Al-Nah}la>wi>, Abd al-Rahma>n. Us}u>l al-Tarbiyah al-Isla>mi>yah waAs>ali>biha> fi> al-Bayti wa-al-Madrasati wa-al-Mujtama’. Bairut Libanon: Da>ru al- Fikri al-Ma’a>s}ir, 1999. An-Naim, Abdullah Ahmed & M. Arkoun. Dekonstruksi Syari’ah (II) Kritik Konsep, Penjelajahan Lain. Yogyakarta: LkiS, 1996. Nasution. Didaktik Asas-asas Mengajar. Bandung: Jemmars, 1982. Nawawi, Hadari . Organisasi Sekolah dan Pengelolaan Kelas.
Jakarta: Haji
Masagung, 1989. O’Neil, John “Can Inclusion Work? A Conversation with Jim Kauffman and Mara Sapon Shevin”, Educational Leadership 52, No.4. 1989. Ormrod, J.E. Educational Psychology: Developing Learners. Sixth Edition. New Jersey: Pearson Education, Inc, 2008. Pusat Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan Balitbang Diknas. Pengkajian Pendidikan Inklusif bagi anak Berkebutuhan khusus pada jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta, 2008. Peraturan Pemerintah RI No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Permendiknas RI no. 19 tahun 2007 tentang Standar Pengelolaan Sekolah. Pidarta, Made. Manajemen Pendidikan Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta, 2004. Piji, S. J., Meijer, C. J. W. and Hegarty, S. Inclusive Education. London: Routledge, 1997. Polloway, EA. & Patton JR. Strategies for Teaching Learners with Special Needs. New York: Macmillan, 1993. Qut}b, Muhammad. Mana>hij al-Tarbiyah al-Isla>mi>yah. Da>r al-Shuru>q, tt. --------. Sistem Pendidikan Islam. Terj. Salman Harun. Bandung: Al-Ma’arif, 1984.
171
Rahim, Husni. Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001. Ramayulis. Metodologi Pengajaran Agama Islam. Jakarta: Kalam Mulia, 1990. Rakhmat, Jalaluddin. Islam Alternatif. Bandung: Mizan, 1991. Reddin, William J. Managerial Effectiveness. Tokyo: Mc Graw Hill Kogakhusa, Ltd, 1970. Ridjaluddin. Sejarah Pemikiran Pendidikan Islam. Jakarta: PKI FAI UHAMKA, 2008. Rieser, Richard. Implementing Inclusive Education: A Commonwealth Guide to Implementing. London: Commonwealth Secretariat, 2008. Rix, Jonathan, Katy Simmons, Melanie Nind. Policy and Power in Inclusive Education : Values into Practice. London: Routledge, 2005. Rosyada, Dede. Paradigma Pendidikan Demokratis. Jakarta: Kencana, 2007. Saksono, Ign Gatut. Pendidikan yang Memerdekakan Siswa. Yogyakarta: Diandra Primamitra Media, 2008. Saliman, Standar Kompetensi Guru. http://www.slideshare.net/ guestc6f390 /standar-kompetensi-guru (diakses 21-8-2010). Santoso, M.A. Fattah. “Sekolah Syariah dan Pendidikan Inklusi”, Makalah Seminar Nasional dan Peluncuran
Kurikulum Sekolah Syariah dan
Panduan Implementasi Pendidikan Inklusi UNESCO. diselenggarakan oleh Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS) dan Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Tengah dengan dukungan Braillo, IDP-Norwegia dan SD Muhammadiyah Program Khusus Surakarta, di UNS, 11 Juni 2005. Saputro, Teguh Eko. Sistem Pendidikan Anak Luar Biasa. http://teguhekosaputro. wordpress.com /2007/12/03/9/ (diakses 16 Mei 2010). Scheerens, Jaap. Menjadikan Sekolah Efektif. Jakarta: Logos, 2003. Shihab, Quraish. Membumikan Al-Quran. Bandung: Mizan, 1992. Siagian. Filsafat Administrasi. Jakarta: Gunung Agung, 1979. Simmons, Katy & Nind, Melanie. Policy and Power in Inclusive Education : Values into Practice. London: Routledge, 2005.
172
Sirri, Mun’im A. ed.
Fiqh Lintas Agama Membangun Masyarakat Inklusif-
Pluralis. Jakarta: Paramadina, 2005. Smith, J. David. Inclusion, School for All Student. Bandung: Nuansa, 2006. Staub, Debbie and A. Peck, Charles. “What are the Outcomes for Nondisabled Students?”, Educational Leadership, Volume 52, No.4, Desember-Januari 1994-1995. Stubbs, Sue. Inclusive Education Where There Are Few Resources. Oslo: The Atlas Alliance, 2002. Supriadi, Dedi.
Satuan Biaya Pendidikan Dasar dan Menengah. Bandung:
Rosda, 2003. Supriyoko.
Mengembangkan
http://journal.
Kompetensi
Kepribadian
Guru
Indonesia.
amikom.ac.id /index.php/Koma/article/viewArticle/2509
(diakses 23-7-2010). Suran ,B.G. & Rizzo, J.V. Special Children: an Integrative Approach, Scott, Foresman & Company, 1979. Suryadi Ace & Dasim Budimansyah, Paradigma Pembangunan Pendidikan Nasional. Bandung: Widya Aksara Press, 2009. Sutopo, H.B. Metodologi Penelitian Kualitatif Dasar Teori dan Terapannya dalam Penelitian. Surakarta: Sebelas Maret University Press, 2002. Suyanto, Bagong dan Sutinah. Metode Penelitian Sosial. Jakarta: Kencana, 2007. Suyono, Hayono. Mewujudkan Masyarakat Beradab Bersama Aksi Penyandang Cacat. 2005. http://www. dradio1034fm .or.id/detail.php?id=28115 (diakses 15 April 2010). Sztompka, Piotr. The Sociology of Social Change. Blackwell, USA: Cambrige, 1994. Tarsidi, Didi.
Pendidikan Inklusif Sebagai Satu Inovasi Kependidikan Untuk
Mewujudkan Pendidikan untuk Semua. http://d-tarsidi.blogspot.com /2007 /07/inovasiinklusi.html (diakses 9 Februari 2010). Terry, George R. Principles of Management. Madison: R.D. Irwin, 1977.
173
Tilaar, H.A.R. Kekuasaan dan Pendidikan . Magelang: Indonesiatera, 2003. --------. Manifesto Pendidikan Nasional. Jakarta: Kompas, 2005. Tilaar, H.A.R.& Riant Nugroho. Kebijakan Pendidikan Pengantar untuk Memahami Kebijakan Pendidikan dan Kebijakan Pendidikan sebagai Kebijakan Publik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008. Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI. Ilmu & Aplikasi Pendidikan: Bagian 2 Ilmu Pendidikan Praktis. Bandung: PT Imperial Bhakti Utama, 2007. Towaf, Siti Malikhah. “Pembinaan Kampus sebagai Lembaga Pendidikan Ilmiah Edukatif yang Religius”, Makalah disajikan dalam Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia III. Ujung Pandang, 4-7 Maret 1996. UNESCO. “Education for all 1,II, III, Jomtien”. Thailand World Conference on Education for All, 1990. --------. The Salamanca Statement and Frame Work for Action on Special Needs Education. Paris: 1994. http://unesdoc.unesco.org/images /0009/000984/ 098427 Eo.pdf (diakses 28 Januari 2010). United Nations. Standard Rules on the Equalization of Opportunities for Persons with Disability. New York, 1993. --------. Convention on the Rights of the Child. New York, 1989. --------. Universal Declaration of Human Rights. 1948. --------. Multilateral Treaty Framework: An Invitation to Universal Participation: Focus 2007: Towards Universal Participation and Implementation: A Comprehensive Legal Pramework For Peace. United Nation Publication, 2007. Undang-undang Nomor 20 tahun 2003. Sistem Pendidikan Nasional. Waldron, K.A. Introduction to a Special Education: the Inclusive Classroom. USA: Delmar Publisher, 1996.
174
Walida, Konsep Manajemen Sekolah. http://manajemensekolah.teknodik.net/?p=883 (diakses 21-7-2010). Widiastono, Tonny D. ed. Pendidikan Manusia Indonesia. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2004. Xianguang, Peng & Meng Deng. “Pendidikan Inklusif di Cina”, EENET ASIA Newsletters. Edisi 3, 2002. Zaini, Syahminan dan Muhaimin. Belajar sebagai Sarana Pengembangan Fitrah Manusia. Jakarta: Kalam Mulia, 1991. Zuhairini, dkk. Metodik Khusus Pendidikan Agama. Surabaya: Usaha Nasional, 1981.
175
DAFTAR RIWAYAT HIDUP I. Identitas Diri dan Keluarga Nama
: Mamah Siti Rohmah
Tempat/Tanggal Lahir
: Kuningan, 18 Februari 1974
Alamat
: TBD A.10/8B Gunungsindur Bogor
Pekerjaan
: Guru SMPN 1 Gunungsindur Bogor
Suami
: Dr. H. Mamat Slamet Burhanuddin, MA
Anak
: Keisa Ghautsi Arifa dan Nadwa Meilan Iffa
Ayah
: Drs. H. Hafidin Achmad
Ibu
: Hj. Fatonah (Alm)
II. Riwayat Pendidikan 1. SDN 1 Karangtawang Kuningan (1980-1986) 2. MTs Karangtawang Kuningan (1986-1989) 3. MAN Darussalam Ciamis (1989-1992) 4. IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (1992-1997) III. Pengalaman Organisasi MGMP PAI Kabupaten Bogor IV. Karya Tulis 1. Konsep Pendidikan Islam Ibnu Khaldun 2. Buku Pendidikan Agama Islam Tingkat SMP 3. Pendidikan Multikultural dalam Buku Ajar PAI V. Pendidikan dan Pelatihan 1. Workshop Creating Learning Community for Children 2. Workshop Pelaksanaan Kurikulum SMP 3. Lokakarya Implementasi Pendidikan Multikultural 4. Workshop PTK 5. Orientasi Pengembangan Kurikulum Berbasis Multikultural Tingkat SMP 6. Orientasi Pengembangan Model Pembelajaran PAI 7. Workshop Penulisan Buku Teks PAI pada SMP 8. Workshop Program Bantuan Kegiatan Pengembangan Materi Esensial PAI 9. Pengkajian Substansi Materi Standar Isi PAI 10. Workshop Penguatan Kompetensi Guru