1
PENDAHULUAN Latar Belakang Sumatera merupakan pulau yang memiliki sejumlah suku besar berciri khas tradisional. Suku yang terkenal adalah Minangkabau, Aceh, Batak, Melayu, dan ada juga sejumlah suku-suku minoritas di Sumatera sebelah timur di kawasan hutan luas diantara sungai-sungai besar, rawa-rawa pantai dan pulau-pulau lepas pantai (Weintré 2003). Di antara suku-suku tersebut, yang paling unik sistem kekerabatannya adalah suku Minangkabau yang berada di Sumatera Barat. Masyarakat Minangkabau menganut sistem matrilineal yang merupakan sistem kekerabatan berdasarkan garis ibu. Sistem kekerabatan ini memberikan peran yang penting bagi perempuan tidak hanya sebagai sumber keturunan, tapi juga sebagai simbol kearifan, kebijakan, finansial, kekuatan, keindahan, kemegahan, dan masa depan. Penguasaan perempuan terhadap basis ekonomi, fisik, dan budaya dengan berlandaskan sistem “matrilineal-nya”, membuat perempuan Minangkabau relatif memiliki akses penguasaan dan kemampuan pemanfaatan ekonomis yang tinggi dan mandiri (Khaidir 2005). Filosofi adat Minangkabau yang tertuang dalam sistem matrilineal tersebut memberikan kedudukan ekonomis yang sangat kokoh pada perempuan. Hal ini direalisasikan dalam sistem pewarisan (harato pusako) berupa sawah, tanah, dan rumah yang diturunkan kepada anak perempuan. Sementara anak laki-laki mendapatkan tuah atau kehormatan dalam bentuk gelar adat (sako) dan kewenangan untuk mengatur anak kemenakan. Fatmariza et al. (2003) menyimpulkan bahwa perempuan yang sudah menikah akan tetap tinggal di rumah ibunya (rumah gadang) dan menganut sistem keluarga luas (extended family). Perempuan mendapat kepercayaan penuh untuk mengatur rumah tangga. Meskipun sistem kekerabatan Minangkabau adalah matrilineal, hal itu tidak serta merta menentukan posisi perempuan dalam penentuan kebijakan publik masyarakat. Menurut Syarizal dalam Surur (2009), posisi perempuan dalam masyarakat matrilineal Minangkabau terbilang unik karena terdapat perbedaan tajam antara struktur sosial dan ekonomi. Dalam kehidupan ekonomi, perempuan Minangkabau sangat terkenal sebagai perempuan pekerja keras sehingga tidak tergantung pada laki-laki. Namun, dalam struktur sosial, perempuan lebih banyak
2
berada pada ranah domestik, yaitu manajemen sumberdaya keluarga dan urusan rumah tangga, sementara pembuatan keputusan secara publik banyak didominasi oleh laki-laki yang disebut sebagai ninik mamak maupun datuk pemimpin kaum. Abidin (2009) secara sarkastis menyatakan bahwa dalam masyarakat Minangkabau tradisional, pada hakekatnya peranan perempuan yang seimbang dengan laki-laki sudah melebihi apa yang diperlukan perempuan itu sendiri, sebagaimana yang mereka perlukan dalam kehidupan masyarakat modern. Dulu, tidak dipakai kata emansipasi, persamaan hak, atau gender sebagaimana yang sering disuarakan oleh kaum wanita barat masa kini. Namun, setelah dikaji, ternyata makna matrilineal dan feminisme sama-sama merujuk pada kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan. Hal itu memberikan arti bahwa masyarakat Minangkabau, terutama pada keberadaan dan posisi perempuannya, sudah menjadi modern sebelum kata modern itu ada. Sistem matrilineal bahkan sudah ada sebelum kata feminisme lahir. Abidin (2009) melanjutkan, dari aspek sistem nilai, karakteristik perempuan Minangkabau telah terpola dalam suatu pembagian kerja yang seimbang antara laki-laki dan perempuan. Di dalam adat Minangkabau, perempuan adalah owner (pemilik), sedangkan laki-laki adalah manager (pengurus) terhadap semua aset keluarga matrilinealnya. Oleh karena itu, sistem matrilineal telah menempatkan perempuan pada suatu posisi yang mengharuskannya berpikir lebih luas, bijaksana, dan tegas terhadap putusan-putusan yang akan diambil terkait dirinya, keluarga, dan masyarakat. Penempatan perempuan sebagai pemilik aset keluarga matrilineal membuat perempuan Minangkabau memegang peran yang tinggi terhadap sumberdaya keluarganya. Hal ini mencerminkan kehidupan matrilineal di Minangkabau memiliki perspektif gender yang unik dibandingkan dengan sistem kekerabatan lainnya di Indonesia bahkan di dunia. Moser (2001) mendefinisikan bahwa gender berbeda dengan jenis kelamin yang maknanya mengacu pada perbedaan fisik yang terdapat pada laki-laki dan perempuan. Gender mengacu pada peran yang berbeda antara laki-laki dan perempuan yang berlaku di masyarakat, serta mencakup hak dan kewajiban yang menyertai peran itu (Riley 1997).
3
Peran gender muncul dalam setiap segi kehidupan sosial manusia, seperti dalam institusi sosial, termasuk struktur keluarga, tanggung jawab pekerjaan rumah tangga, pasar tenaga kerja, sekolah, kesehatan, hukum, dan kebijakan publik. Hasil penelitian Oladeji (2008) menyatakan bahwa peran gender dan norma gender bersifat spesifik secara budaya dan juga beragam di seluruh penjuru dunia. Hampir di semua daerah, laki-laki dan perempuan memiliki kekuasaan, status, dan kebebasan yang berbeda dan bervariasi secara substansial. Gender memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam pengambilan keputusan dan perilaku reproduktif dalam keluarga. Hasil penelitian Gusnita (2011) mengenai pengaruh kontribusi ekonomi perempuan dan peran gender terhadap kesejahteraan keluarga di salah satu komunitas matrilineal Minangkabau menunjukkan bahwa kepemilikan aset pada perempuan Minangkabau memberikan pengaruh yang positif terhadap kontribusi ekonomi dirinya dalam keluarga, sehingga peran gender perempuan di Minangkabau, dalam hal ini istri, menjadi semakin signifikan. Jika peran gender istri semakin signifikan, maka peran istri terhadap pengelolaan sumberdaya keluarga juga semakin tinggi. Hal ini berpengaruh positif terhadap kesejahteraan keluarga subyektif yang dirasakan oleh istri. Adapun faktor-faktor yang berpengaruh positif terhadap peran gender perempuan ini adalah kepemilikan aset dan kontribusi ekonomi perempuan. Sementara itu, faktor-faktor yang berpengaruh positif terhadap kesejahteraan keluarga subyektif adalah kepemilikan aset dan pendapatan total yang dimiliki keluarga. Banyaknya penelitian mengenai keragaan sosial masyarakat matrilineal Minangkabau di luar negeri menunjukkan bahwa Minangkabau bukan lagi ranah penelitian yang perawan. Penerbitan tentang Minangkabau, baik yang ditulis oleh para ilmuwan sosial Minangkabau, maupun oleh orang-orang asing, tampak meningkat dalam jumlah dan keberagaman topiknya yang sebagian besar didasarkan pada penelitian di lapangan (Beckmann 2000). Namun, masih sedikit literatur yang menyajikan data yang empiris untuk menjelaskan aspek manajemen sumberdaya keluarga dengan perspektif gender di Minangkabau. Ditambah lagi dengan semakin tergerusnya nilai-nilai budaya tradisional nusantara, tentulah cerita-cerita kaba dan tambo tradisional yang
4
menjadi rujukan untuk pengetahuan tentang matrilinealisme serta kebudayaan yang diturunkan secara fragmentaris dari generasi ke generasi saja menjadi kurang relevan. Oleh sebab itu, penulis tertarik untuk meneliti lebih jauh mengenai peran istri terhadap pengelolaan sumberdaya keluarga dalam keluarga nelayan matrilineal Minangkabau. Perumusan Masalah Minangkabau sebagai representasi komunitas tempat diberlakukannya sistem matrilineal memiliki cakupan wilayah yang luas di Sumatera Barat. Daerah asli Minangkabau yang bertahan hingga kini adalah Luhak nan Tigo, yaitu Luhak Limo Puluah Koto, Luhak Agam, dan Luhak Tanah Data. Tiga daerah tersebut dikenal sebagai daerah darek atau kampung halaman. Sementara itu, daerah pesisir pantai Sumatera Barat secara adat disebut sebagai daerah rantau. Daerah pesisir ini menjadi cikal bakal tujuan perantauan bagi pemuda asli Minangkabau. Rumah, keluarga, kampung, serta konsep anak tertantang secara agresif dan lantas tertransformasi di daerah pesisir perantauan ini. Masyarakat pesisir yang sebagian besar penduduknya bekerja sebagai nelayan, diasumsikan sebagai komunitas masyarakat di wilayah Minangkabau yang paling banyak menerima paparan budaya luar. Dalam kehidupan masyarakat nelayan yang banyak bercampur dengan kebudayaan lain sebagai pendatang, orang Minangkabau asli dipaksa mempertanyakan definisi-definisi budaya yang sangat elementer dan sudah menjadi nilai-nilai dasar. Kondisi perubahan fundamental dan tak terhindarkan inilah yang membuat daerah pesisir Minangkabau unik dan menarik (Hadler 2009). Salah satu komunitas bangsa Indonesia yang teridentifikasi sebagai golongan miskin saat ini adalah nelayan. Sedikitnya sekitar 14,58 juta jiwa atau sekitar 90 persen dari 16,2 juta jiwa jumlah nelayan di Indonesia masih berada di bawah garis kemiskinan (BPS 2009). Di sisi lain, nelayan mempunyai peran yang sangat substansial dalam modernisasi peran kehidupan manusia. Nelayan termasuk agent of development yang paling reaktif terhadap lingkungan (Hadler 2009). Sifatnya yang lebih terbuka jika dibandingkan dengan masyarakat yang hidup di pedalaman, menjadi stimulator untuk menerima perkembangan zaman yang lebih modern. Sifat masyarakat nelayan yang terpapar dengan berbagai
5
budaya luar ini tentu mendorong terjadinya akulturasi dengan lebih pesat, begitupun di Sumatera Barat, khususnya Minangkabau. Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa penelitian ini berpusat pada masalah berikut: 1. Bagaimana penerapan sistem matrilineal yang terjadi pada keluarga nelayan? 2. Bagaimana tingkat kontribusi ekonomi istri nelayan pemilik dan buruh? 3. Bagaimana peran istri dalam pengelolaan sumberdaya keluarga? 4. Bagaimana hubungan antara karakteristik keluarga dengan tingkat kontribusi ekonomi istri dan peran istri dalam pengelolaan sumberdaya keluarga serta kesejahteraan subyektif istri? 5. Bagaimana tingkat kesejahteraan subyektif istri nelayan pemilik dan buruh serta faktor-faktor yang mempengaruhinya? Tujuan Penelitian Tujuan Umum Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat peran istri dalam pengelolaan sumberdaya materi keluarga dan kesejahteraan subyektif istri dalam keluarga nelayan yang menganut sistem matrilineal di Sumatera Barat. Tujuan Khusus 1. Mengidentifikasi penerapan sistem matrilineal yang terjadi pada keluarga nelayan. 2. Menghitung tingkat kontribusi ekonomi istri nelayan pemilik dan buruh. 3. Menjelaskan peran istri dalam pengelolaan sumberdaya keluarga. 4. Mengidentifikasi hubungan antara karakteristik keluarga dengan tingkat kontribusi ekonomi istri dan peran istri dalam pengelolaan sumberdaya keluarga, serta kesejahteraan subyektif istri. 5. Mengukur tingkat kesejahteraan subyektif istri nelayan pemilik dan buruh serta faktor-faktor yang mempengaruhinya.
6
Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk memperkaya dimensi literatur yang menjelaskan mengenai keragaan masyarakat nelayan dan masyarakat matrilineal Minangkabau. Melalui penelitian ini, diharapkan kajian mengenai manajemen sumberdaya keluarga dan peran gender dalam masyarakat yang unik dan berbeda dari mayoritas kebudayaan masyarakat Indonesia semakin memperkaya khazanah ilmu pengetahuan. Lebih jauh lagi, penelitian ini dapat digunakan sebagai tambahan informasi bagi pemerintah, dinas-dinas terkait, serta akademisi baik di bidang kebudayaan, keluarga, maupun daerah pesisir dan laut, dalam mengambil kebijakan.