PENDAHULUAN Latar Belakang Pada hakekatnya pembangunan adalah upaya perubahan dari kondisi kurang baik menjadi lebih baik. Untuk itu pemanfaatan sumber daya alam dalam proses pembangunan perlu selalu dikaitkan dengan daya dukung lingkungannya agar lingkungan sebagai ruang hidup manusia tidak terdegradasi (Amron, 2007). Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dikatakan bahwa Pembangunan ekonomi nasional sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diselenggarakan berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Dengan demikian keseimbangan lingkungan perkotaan secara ekologi sama pentingnya dengan perkembangan nilai ekonomi kawasan perkotaan. Kegiatan pembangunan diharapkan akan berdampak positif bagi kesejahteraan masyarakat diantaranya tersedianya lapangan kerja, aktivitas ekonomi yang semakin meningkat, bertambahnya pendapatan daerah dan lain sebagainya. Selain membawa manfaat, pembangunan juga mengandung resiko menimbulkan kerusakan lingkungan, ini merupakan konsekuensi dari adanya perubahan pemanfaatan ruang yang tidak mungkin dihindari dalam proses pembangunan. Untuk itu diperlukan penataan ruang yang memprioritaskan aspek kelestarian lingkungan mulai dari perencanaan, pemanfaaatan sampai pengendalian ruang guna mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan sehingga kerusakan terhadap lingkungan dapat dikurangi atau bahkan dihilangkan. Penataan ruang pada kawasan perkotaan memiliki tantangan yang cukup berat, selain menjadi titik pusat pertumbuhan ekonomi, kota juga merupakan pusat aktivitas sosial dan budaya. Kondisi seperti ini akan menarik minat penduduk untuk datang, beraktivitas dan mengembangkan kehidupannya di wilayah perkotaan yang secara otomatis akan meningkatkan jumlah penduduk. Peningkatan jumlah penduduk akan berdampak pada meningkatnya kebutuhan akan permukiman dan berbagai sarana dan prasarana kota lainnya. Pemanfaatan ruang yang awalnya merupakan kawasan RTH akan berkurang akibat berubah fungsi menjadi kawasan terbangun. Hal ini mengkhawatirkan akan terus berlangsung karena upaya untuk mempertahankan keberadaan RTH seringkali masih dikalahkan oleh banyaknya kepentingan yang
2 dianggap lebih menguntungkan dan cenderung berorientasi pada pembangunan fisik untuk kepentingan ekonomi. Keberadaan RTH
di Indonesia diatur dalam Undang-Undang
Nomor 26
Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang menjadi acuan bagi Pemerintah Daerah untuk merencanakan dan menata RTH, yang mengamanatkan penyediaan RTH minimal sebesar 30 % dari luas wilayah. Dalam Undang-Undang Penataan Ruang RTH
didefinisikan sebagai area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang
penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. Secara ekologis RTH sangat dibutuhkan guna menunjang pembangunan yang berkelanjutan. Salah satu upaya mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan adalah dengan memasukkan unsur lingkungan sebagai salah satu dasar pertimbangan dalam setiap
kegiatan pembangunan yang
dilakukan. Kota Bandar Lampung merupakan kota yang strategis karena menjadi pusat pertumbuhan utama bagi Provinsi Lampung, sekaligus menjadi kota transit dan pintu masuk utama ke Pulau Sumatra dari Pulau Jawa. Kegiatan pembangunan Kota Bandar Lampung yang sejalan dengan perkembangan aktivitas masyarakatnya telah memperbesar kawasan terbangun dan meluas hingga pinggiran kota, sementara ketersediaan ruang terbuka termaksud didalamnya RTH cenderung semakin menyempit akibat perubahan fungsi tersebut. Perkembangan pembangunan Kota Bandar Lampung secara langsung akan berakibat pada naiknya jumlah penduduk yang ada. Menurut data Biro Pusat Statistik (BPS) Kota dalam Kecamatan Dalam Angka (KDA) tahun 2007, jumlah penduduk Kota Bandar Lampung sebesar 844.417 jiwa, dengan tingkat kepadatan penduduk sebesar 43,94 jiwa/ha dan tingkat pertumbuhan penduduk tahun 2000-2006 sebesar 2,16 %. Peningkatan jumlah penduduk ini tentu akan diikuti pula dengan meningkatnya kebutuhan terhadap ruang, karena ruang tidak dapat bertambah dan bersifat tetap maka yang terjadi adalah perubahan pemanfaatan ruang. Perubahan pemanfaatan ruang tersebut akan cenderung mengkonversi RTH sehingga jumlahnya akan semakin terus mengalami penurunan. RTH yang berada dekat dengan pusat pertumbuhan yakni kawasan yang mempunyai aktivitas ekonomi yang tinggi akan lebih cepat terkonversi. Berbeda halnya pada RTH yang berada jauh dari pusat pertumbuhan, keberadaanya lebih terjaga dimana aktivitas pembangunan yang dilakukan tidak sebanyak pada kawasan
3 yang perkembangannya cepat dan luasannya juga relatif
lebih banyak.
Jumlah
penduduk yang padat dan kompleksnya kegiatan pembangunan akan semakin banyak membutuhkan ruang. Pemenuhan ruang didapat dengan cara mengkonversi RTH yang ada, padahal keberadaan RTH pada wilayah yang padat sangat diperlukan guna menghindari dampak negatif yang dapat timbul seperti terjadinya banjir, pencemaran udara, hilangnya kawasan resapan air, longsor dan sebagainya.
Keberadaan RTH
sebagai ruang yang memberikan manfaat besar bagi lingkungan mutlak ada karena fungsi ekologisnya yang dapat menjamin keberlanjutan wilayah secara fisik. Pembangunan memang penting untuk memicu pertumbuhan ekonomi, namun pembangunan yang tidak terkendali justru akan merusak lingkungan. Untuk mendapatkan manfaat yang optimal dari RTH yang ada maka informasi mengenai ketersediaan maupun sebaran RTH perlu untuk diketahui.
Adanya
pemusatan aktivitas pembangunan menyebabkan keberadaan RTH pada wilayah ini akan lebih sedikit karena ruang yang ada lebih banyak merupakan kawasan terbangun. Luas maupun sebaran RTH yang tidak sesuai akan mengurangi fungsinya
dalam
menjaga keseimbangan lingkungan. Sebaran yang tidak merata tentu saja membawa dampak negatif bukan hanya bagi lingkungan tetapi juga bagi manusia sebagai elemen dari ekosistem.
Salah satu cara yang bisa dilakukan untuk menjaga lingkungan
perkotaan ini adalah dengan pengadaan RTH yang tepat, baik luas maupun sebarannya sesuai dengan standar kebutuhan RTH yang ada. Melihat kondisi yang demikian maka diperlukan suatu informasi yang dapat dijadikan sebagai bahan arahan perencanaan untuk mengatur strategi dalam mempertahankan dan mengembangkan RTH yang diharapkan akan memberikan sumbangan yang positif terhadap keberadaan RTH di Kota Bandar Lampung. Tidak tepatnya rencana dan tidak tertibnya pemanfaatan ruang yang ada akan menyebabkan berkurangnya keberadaan RTH yang pada akhirnya akan menyebabkan penurunan kualitas lingkungan. Salah satu cara untuk mengetahui secara cepat ketersediaan maupun perubahan RTH adalah dengan mengunakan teknologi penginderaan jauh. Penggunaan teknologi penginderaan jauh secara temporal dapat digunakan untuk mengetahui dinamika perubahan penutupan/ penggunaan lahan (land use land cover change/LUCC) melalui pemantauan dan karakterisasi pola spasial LUCC. Teknik analisisnya secara efisien dapat menggunakan data penginderaan jauh dan Sistem Informasi Geografis (SIG) (Petit C et al. 2001).
4 Perumusan Masalah Perkembangan Kota Bandar Lampung membawa implikasi terhadap perubahan penggunaan lahan yang ada. Perubahan penggunaan lahan khususnya RTH selama kurun waktu 2000 – 2007 di Kota Bandar Lampung merupakan hal yang sulit untuk dihindari sebagai efek dari kegiatan pembangunan yang dilakukan. Perubahan fungsi lahan dan eksploitasi sumber daya alam
menyebabkan degradasi lingkungan dan
berkurangnya RTH sebagai penyeimbang ekosistem kota. Adanya peningkatan jumlah penduduk Kota Bandar Lampung dimana pada tahun 2000 berjumlah 743.109 jiwa meningkat menjadi 844.417 jiwa pada tahun 2006, tentu saja membutuhkan ruang dalam melakukan aktivitasnya.
Hal ini merupakan salah satu faktor pendorong
terjadinya perubahan penggunaan lahan yang cenderung mengkonversi RTH sebagai alternatif yang dianggap lebih mudah. Walaupun secara jelas tergambar fungsi dan peranan RTH di perkotaan sangat masyarakatnya
tetapi
tetap
saja
penting bagi keberlangsungan kehidupan terjadi
upaya-upaya
kontradiktif
terhadap
keberadaannya. Hal ini dapat terlihat dari adanya kegiatan eksploitasi gunung atau bukit yang saat ini marak terjadi di Kota Bandar Lampung seperti terlihat pada Gunung Kunyit dan Gunung Camang yang terletak di pusat kota. Kedua bukit hijau tersebut saat ini kondisinya semakin gundul akibat aktivitas penambangan batu kapur di Gunung Kunyit oleh swasta dan masyarakat lokal serta pengerukan tanah di Gunung Camang yang dilakukan oleh swasta. Tanah hasil pengerukan di Gunung Camang selanjutnya digunakan untuk reklamasi pantai di sepanjang tepi jalan Yos Sudarso Telukbetung yang masih berlangsung sampai saat ini, sementara gunung yang telah dieksploitasi tersebut dikonversi untuk pembangunan perumahan (Wahyuni, 2006). Kondisi ini menyebabkan pusat kota yang semula masih cukup asri dengan adanya beberapa kawasan hijau, dalam perkembangannya akan menjadi kawasan gersang akibat padatnya kawasan terbangun. Tingginya angka tekanan penduduk terhadap lahan dan mendesaknya kebutuhan perumahan menjadi penyebab yang khas bergesernya peruntukan lahan yang sudah terencana dengan baik menjadi sesuatu yang seringkali bertentangan dengan rencana yang telah dibuat. Menghadapi keadaan yang seperti ini yang sering dikorbankan adalah peruntukan-peruntukan lahan RTH. Terkonversinya RTH yang ada sangat berpengaruh terhadap keseimbangan lingkungan kota maupun wilayah sekitarnya, sehingga perlu diupayakan agar keberadaanya tetap terjaga guna tercapainya pembangunan yang berkelanjutan.
5 Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah diuraikan maka dapat dirumuskan masalah dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimana dinamika perubahan RTH di Kota Bandar Lampung Tahun 20002007 ? 2. Apakah luas dan sebaran RTH di Kota Bandar Lampung telah sesuai dengan kebutuhan luas kawasan hijau berdasarkan UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan standar jumlah penduduk ? 3. Dimana pusat-pusat perubahan RTH menjadi kawasan terbangun dan kaitan perubahan tersebut dengan perkembangan wilayah serta faktor-faktor apa yang menyebabkan perubahan RTH menjadi kawasan terbangun ? 4. Apakah terdapat penyimpangan perubahan RTH terhadap Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) ? 5. Bagaimana strategi dalam mempertahankan dan mengembangkan RTH yang ada di Kota Bandar Lampung ?
Tujuan Penelitian
1. Mengidentifikasi dinamika perubahan RTH di Kota Bandar Lampung Tahun 2000-2007. 2. Mengidentifikasi kebutuhan luas RTH berdasarkan UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan standar jumlah penduduk. 3. Mengindentifikasi pusat-pusat perubahan RTH menjadi kawasan terbangun dan kaitannya dengan perkembangan
wilayah
serta
faktor-faktor
penyebab
perubahan RTH. 4. Mengidentifikasi penyimpangan perubahan RTH terhadap RTRW. 5. Menyusun strategi dalam mempertahankan dan mengembangkan RTH.
Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian adalah ini : 1.
Memberikan informasi kepada Pemerintah Daerah Kota Bandar Lampung mengenai kebutuhan RTH Kota Bandar Lampung.
6 2.
Sebagai bahan pertimbangan bagi Pemerintah Daerah Kota Bandar Lampung untuk menentukan lokasi dan luas RTH.
3.
Memberikan informasi penting tentang kondisi dan permasalahan RTH bagi para pengambil keputusan khususnya dinas dan instansi terkait untuk menjadi bahan bagi pengelolaannya.