PENDAHULUAN Latar Belakang
Salah satu pelayanan publik yang memiliki tingkat urgensi yang tinggi pada kesejahteraan rakyat adalah pelayanan kesehatan. Menurut McKevitt (1998:1) pelayanan kesehatan adalah salah satu dari inti pelayanan publik atau core of public services yang mencakup 4 (empat) bidang yang diberinya akronim ‘HEWS’ yakni bidang kesehatan (Health), pendidikan (Education), kesejahteraan sosial (Welfare), dan pertahanankeamanan (Security). Tingkat kesejahteraan penduduk antara lain ditentukan oleh tingkat kesehatannya. Sedangkan tingkat kesehatan penduduk ditentukan oleh beberapa indikator, antara lain adalah : Pertama, kualitas fisik penduduk yang meliputi derajat kesehatan, serta status kesehatan. Kedua, ketersediaan sarana kesehatan serta jenis pengobatan yang dilakukan. Derajat kesehatan penduduk dapat diamati melalui indikator angka kematian bayi dan angka harapan hidup. Data yang tercatat di BPS (Badan Pusat Statistik, 2002: 9), memberikan gambaran bahwa angka kematian bayi mengalami penurunan dari 71 % pada tahun 1990, menjadi 47 % pada tahun 2000, sementara angka harapan hidup mengalami peningkatan yakni dari 59.8 tahun pada tahun 1990 menjadi 65.4 tahun pada tahun 2000. Adapun status kesehatan penduduk merupakan gambaran tentang kondisi kesehatan penduduk yang dapat dilihat melalui indikator angka kesakitan (persentase penduduk yang mengalami gangguan kesehatan) dan angka lama sakit yang mengganggu aktivitas sehari- hari. Dari data BPS (2002:10), dapat digambarkan bahwa persentase penduduk yang mengalami keluhan kesehatan dan merasa terganggu aktivitasnya pada tahun 2002 mengalami kenaikan dibanding tahun 2001. Hal tersebut ditunjukkan dengan meningkatnya angka kesakitan di perkotaan dari 14.0 % pada tahun 2001 menjadi
14.7
% pada tahun 2002, sedangkan angka kesakitan di pedesaan meningkat dari 15.1 % pada tahun 2001 menjadi 15.8 % pada tahun 2002.
1
Sedangkan pada indikator angka lama sakit juga menunjukkan adanya peningkatan baik di perkotaan maupun di pedesaa n. Di perkotaan, tercatat angka lama sakit pada tahun 2001 adalah 5.4 hari, sedangkan pada tahun 2002 meningkat menjadi 5.6 hari. Sementara di pedesaan pada tahun 2001 angka lama sakit adalah 5.8 hari, dan pada tahun 2002 meningkat menjadi 6.0 hari. Indikator berikutnya yang mempenga ruhi kesehatan penduduk adalah ketersediaan berbagai sarana kesehatan. Data yang tercatat di BPS (2002:12) menggambarkan bahwa jumlah dokter pada tahun 2000 hingga 2002 tidak mengalami kenaikan yakni masih tetap 26.917 orang, begitu pula jumlah dokter per 100.000 penduduk tidak mengalami peningkatan, yakni tahun 2001 adalah 13.8 %, dan pada tahun 2002 masih tetap 13.8 %. Sementara itu jumlah rumah sakit juga tidak mengalami kenaikan yakni tetap 1.145 pada 2001 dan pada tahun 2002. Sedangkan jumlah tempat tidur rumah sakit mengalami penurunan dari 126.017 tempat tidur pada tahun 2001 menjadi 124.834 tempat tidur pada tahun 2002. Sarana kesehatan berupa Puskesmas mengalami penurunan jumlah, pada tahun 2001 tercatat 7.237 Puskesmas tingkat Kecamatan, dan pada tahun 2002 jumlahnya menurun menjadi 7.217. Namun jumlah Puskesmas pembantu mengalami peningkatan dari 21.267 pada tahun 2001, meningkat menjadi 21.587 pada tahun 2002, sebaliknya jumlah Puskesmas keliling mengalami penurunan, dari 6.392 pada tahun 2001 menjadi 5.800 pada tahun 2002. Dari data tentang indikator kesehatan penduduk tersebut dapat disimpulkan bahwa di satu sisi derajat kesehatan penduduk meningkat, namun di sisi lain status kesehatan penduduk masih rendah baik di perkotaan maupun di pedesaan, bahkan bila diperhatikan, angka kesakitan dan angka lama sakit baik di perkotaan maupun di pedesaan tidak memiliki perbedaan yang jauh, artinya walaupun secara geografi dan demografi kota dan desa berbeda, namun keduanya memiliki kesamaan masalah yakni status kesehatan yang masih rendah. Sementara itu ketersediaan berbagai sarana kesehatan seperti jumlah dokter tidak mengalami peningkatan, sedangkan jumlah tempat tidur di rumah sakit mengalami penurunan, begitu pula dengan jumlah Puskesmas. Permasalahan kesehatan tingkat nasional tersebut, pada dasarnya merupakan agregat dari permasalahan kesehatan baik pada tingkat perkotaan maupun pedesaan.
2
Sementara itu permasalahan kesehatan di kota-kota besar nampak semakin berat karena berhadapan dengan masalah jumlah penduduk dan kepadatan penduduk yang semakin meningkat, serta krisis ekonomi yang tidak segera membaik. Propinsi DKI Jakarta sebagai ibukota negara memiliki permasalahan kesehatan yang terkait dengan jumlah dan kepadatan penduduk. Pada tahun 2003 Jakarta dihuni oleh 1.892.093 Kepala Keluarga (KK) atau 7.456.931 jiwa, yang tersebar di 267 kelurahan, 2.663 RW, dan 29.551 RT. Dengan rata-rata kepadatan penduduk sebesar 11.272 /Km2, maka menjadikan propinsi ini sebagai wilayah terpadat penduduknya di Indonesia. Jumlah dan kepadatan penduduk yang besar menuntut penyediaan sarana dan prasarana
berbagai
fasilitas
umum
antara
lain
adalah
pelayanan
kesehatan
(Sumber:Jakarta dalam Angka, 2003). Salah satu fasilitas kesehatan tingkat pertama dan menjadi ujung tombak pelayanan kesehatan masyarakat di DKI-Jakarta dan juga wilayah-wilayah lainnya di Indonesia, adalah Pusat Kesehatan Masyarakat (selanjutnya ditulis Puskesmas). Di Propinsi DKIJakarta, jumlah Puskesmas tidak mengalami peningkatan sejak tahun 1999 hingga 2005 yakni Puskesmas Kecamatan 44, sedangkan Puskesmas Kelurahan berjumlah 313. Adapun Puskesmas keliling mengalami penurunan dari 60 menjadi 54 (Sumber: Jakarta Dalam Angka, 2004 ) Dari total penduduk DKI-Jakarta, 3.90 % merupakan penduduk miskin, di mana kebutuhan akan pelayanan kesehatan mereka masih tergantung pada pelayanan Puskesmas. Tabel 1 menggambarkan bahwa peran Puskesmas sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan dasar masih sangat diperlukan. Persentase jumlah pendud uk miskin yang berkisar antara 1.87 % hingga 12.3 % dari rata-rata jumlah penduduk di kotamadya kotamadya di DKI-Jakarta (Jakarta Dalam Angka,2004) diperkirakan menjadi pelanggan Puskesmas. Akses dan tarif Puskesmas yang terjangkau, menjadi pilihan utama bagi penduduk miskin di DKI-Jakarta. Ilustrasi berikut ini adalah gambaran tentang jumlah Puskesmas Kecamatan, Kelurahan, serta persentase penduduk miskin di DKI-Jakarta pada tahun 2005.
3
Tabel 1 Jumlah Puskesmas Kecamatan dan Kelurahan, serta Jumlah Penduduk dan Penduduk Miskin Per-wilayah, Di DKI-Jakarta (2005) No
1 2 3 4 5 6
Wilayah
Pusk Kec
Pusk Kel
Jumlah Penduduk
Jumlah Penduduk Miskin dan % dari Jumlah Penduduk
Jakarta Pusat
8
33
897.941
35.872 (3.99 %)
Jakarta Timur
10
85
2.094.586
59.356 (2.83 %)
Jakarta Barat
8
66
1.567.571
59.794 (3.81 %)
Jakarta Selatan
10
75
1.701.555
31.887 (1.87 %)
Jakarta Utara
6
50
1.176.355
102.118 (8.68 %)
Kabupaten Kepulauan Seribu
2
4
18.923
2.297 (12.13 %)
44
313
7.456.931
Total
291.324 (3.90 %)
Sumber : Diolah berdasarkan data dari Suku Dinas Kesehatan dan BPS -Prop.DKI-Jakarta, 2005
Dari data jumlah penduduk miskin tersebut, pada saat ini rata-rata setiap Puskesmas Kecamatan melayani 1.148 orang hingga 17.019 orang penduduk miskin (BPS Provinsi DKI-Jakarta, 2005). Era otonomi daerah saat ini, semakin menempatkan posisi Puskesmas pada peran yang lebih berat sejalan dengan pemberdayaan daerah menuju pada kekuatan internal daerah. Jika sebelumnya pemerintah pusat sepenuhnya masih mengendalikan masalah kesehatan di daerah, maka dengan otonomi daerah, pemerintah daerah harus mengandalkan kekuatan sendiri dalam menangani kesehatan penduduknya di daerah, Puskesmas dalam hal ini menjadi ujung tombak pelaksana teknis di daerah yang bertanggung jawab terhadap kesehatan penduduk di wilayahnya. Secara garis besar fungsi Puskesmas sebagai pusat pembangunan kesehatan masyarakat dapat dipahami melalui batasan atau pengertian Puskesmas sebagaimana diketengahkan oleh Azwar berikut ini :
“Puskesmas adalah suatu unit pelaksana fungsional yang berfungsi sebagai pusat pembangunan kesehatan, pusat pembinaan peran serta masyarakat dalam bidang kesehatan, serta pusat pelayanan kesehatan tingkat pertama yang menyelenggarakan kegiatannya secara menyelu ruh, terpadu dan berkesinambungan pada suatu masyarakat yang bertempat tinggal dalam suatu wilayah tertentu” (Azwar, 1996 : 119)
4
Secara lebih jauh Azwar mengungkapkan bahwa Puskesmas berkewajiban untuk menyediakan pelayanan kesehatan tingkat pertama (basic health services) yakni suatu pelayanan kesehatan yang bersifat pokok dan sangat dibutuhkan oleh masyarakat serta memiliki nilai strategis dalam meningkatkan derajad kesehatan masyarakat. Pada umumnya pelayanan kesehatan tingkat pertama bersifat rawat jalan (out patient services), sementara itu pelayanan kesehatan tingkat kedua bersifat layanan rawat inap (in patient services), sedangkan pelayanan kesehatan tingkat ketiga bersifat lebih kompleks dan dilengkapi dengan tenaga-tenaga sub-spesialis. (Azwar,1996:41-42). Tidak jauh berbeda dengan konsep Puskesmas yang diketengahkan oleh Azwar tersebut, di Provinsi DKI-Jakarta, pengertian Puskesmas yang tercantum dalam ‘Standarisasi Pelayanan Kesehatan Puskesmas’ di DKI-Jakarta (1999:2) adalah :
“Puskesmas adalah suatu kesatuan organisasi kesehatan fungsional yang merupakan pusat pengembangan kesehatan masyarakat yang juga membina peran serta masyarakat disamping memberikan pelayanan secara menyeluruh dan terpadu kepada masyarakat di wilayah kerjanya dalam bentuk kegiatan pokok. Dengan kata lain Puskesmas mempunyai wewenang dan tanggung jawab atas pemeliharaan kesehatan masyarakat dalam wilayah kerjanya” Dalam kedua batasan Puskesmas yang diketengahkan tersebut, wewenang dan tanggung jawab Puskesmas terhadap pemeliharaan kesehatan masyarakat yang ada di dalam wilayah kerjanya menempatkan peran Puskesmas secara proaktif dari pada reaktif. Artinya Puskesmas bukan hanya menunggu pasien seperti halnya yang dilakukan oleh rumah sakit-rumah sakit biasa, melainkan dituntut untuk dapat bekerja dengan cara ‘menjemput bola’ yakni melakukan tindakan preventif atau pencegahan, melakukan penyuluhan dan promosi tentang kesehatan dan berbagai aspek yang berkaitan, serta melakukan tindakan pengobatan terhadap masyarakat yang menderita sakit melalui tindakan kuratif dan tindakan rehabilitatif. Mengacu pada peran tersebut, saat ini Puskesmas melaksanakan dua bentuk layanan, pertama adalah layanan kesehatan masyarakat (KesMas) yakni layanan di luar gedung, di mana secara proaktif Puskesmas mendatangi masyarakat secara periodik untuk memberikan penyuluhan (promotif dan preventif), kunjungan, dan pembinaan kesehatan lingkungan masyarakat. Kedua, berupa pelayanan kesehatan di dalam gedung
5
(YanKes), yakni merupakan bentuk pelayanan pengobatan dalam berbagai macam poliklinik , yang disediakan untuk masyarakat dengan tarif retribusi yang terjangkau dan diatur melalui Peraturan Daerah. Karena kedua bentuk layanan tersebut memiliki aspek kajian yang berbeda dan bersifat luas dan kompleks, maka dalam disertasi ini dibatasi dan difokuskan pada kajian pelayanan kesehatan (YanKes) yang terdapat di dalam gedung atau pelayanan pengobatan. Terkait dengan wewenang dan tanggung jawab Puskesmas, pada dasarnya tugas pokok Puskesmas mencakup 3 (tiga) aspek utama yakni: Pertama, memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu, terjangkau, dan memiliki cakupan yang luas sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Kedua, membina peran serta masyarakat dalam berbaga i upaya kesehatan. Ketiga, mengembangkan usaha-usaha inovatif agar terjamin pemerataan pelayanan kesehatan dan tergalinya potensi masyarakat. (Direktorat Jenderal Pembinaan Kesehatan Masyarakat, 1996:3). Ketiga tugas pokok Puskesmas tersebut mengandung makna bahwa di satu sisi Puskesmas harus memberdayakan kesehatan masyarakat dan lingkungannya, di sisi lain Puskesmas juga harus memberdayakan dirinya sendiri untuk menjadi layanan kesehatan yang bermutu, terjangkau sesuai dengan harapan masyarakat, serta inovatif. Dalam makna tersebut tersirat suatu pandangan bahwa sebagai institusi pelayanan masyarakat, Puskesmas diarahkan untuk memiliki kepekaan terhadap berbagai perubahan lingkungan yang dihadapinya saat ini, termasuk perubahan pada aspek kesehatan masyarakat. Tuntutan agar Puskesmas mampu mengembangkan diri, kenyataannya juga di desak oleh berbagai masalah yang muncul akhir-akhir ini khususnya terkait dengan masalah kesehatan penduduk perkotaan, antara lain, kepadatan penduduk di DKI-Jakarta yang semakin meningkat karena faktor ekonomi di pedesaan yang semakin sulit dan berdampak pada arus urban semakin meningkat, urban yang meningkat
mempengaruhi
tingkat kesempatan kerja, sehingga tingkat penga ngguran menjadi tinggi, dan menimbulkan kemiskinan-kemiskinan baru. Walaupun perkembangan rumah tangga miskin yang menurun dari 101.674 rumah tangga miskin pada tahun 2000, menjadi 88.049 rumah tangga miskin pada tahun 2002 (BPS-DKI-Jakarta, 2003), tidak berarti bahwa Jakarta bebas dari kemiskinan. Masalah kemiskinan erat kaitannya dengan masalah kesehatan penduduk marginal, dan dampaknya sangat luas terhadap kesehatan
6
lingkungan. Puskesmas sebagai salah satu layanan kesehatan diharapkan mampu menangkap fenomena ini secara sigap tanggap, dan bertanggung jawab. Terkait dengan hal tersebut, maka peran Puskesmas saat ini sangat diperlukan, artinya sejauh mana Puskesmas mampu merespon perubahan-perubahan yang terjadi di lingkungannya. Puskesmas dapat merespon perubaha n-perubahan yang terjadi bila kinerja Puskesmas dalam memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan yang diharapkan oleh masyarakat. Pemberdayaan Puskesmas dengan demikian memiliki makna yang terkait dengan sejauh mana kinerja Puskesmas saat ini, dan apa yang diperlukan untuk meningkatkan kinerja Puskesmas agar mampu memberdayakan dirinya dan masyarakat di wilayah kerjanya. Secara konseptual pemberdayaan berhubungan dengan perubahan-perubahan lingkungan yang secara cepat bergerak. Organisasi yang responsif tentunya harus segera merespon dengan baik setiap jengkal perubahan dengan pemberdayaan yang sesuai, baik secara kelembagaan maupun individual. Pemberdayaan sesungguhnya merupakan suatu proses yang berjalan secara terus menerus, karena perubahan lingkungan juga berjalan secara terus menerus (Obaldeston, dalam Clutterbuck dan Kernaghan, 2003:15) Dalam ‘World Development Report’ (2001:99) dinyatakan bahwa sebaiknya pemberdayaan institusi pelayanan publik di negara-negara berkembang diarahkan pada kepedulian dan reponsiveness lembaga- lembaga tersebut pada masyarakat tidak mampu. (making State Institution more responsive to poor people), sebab kemiskinan bukan hanya hasil dari proses ekonomi, sosial, dan politik semata, melainkan juga hasil dari tanggung jawab dan responsib ilitas dari lembaga- lembaga pelayanan publik itu sendiri. Untuk mengubah agar pelayanan publik menjadi responsif, langkah pertama adalah membangun dan meningkatkan kapasitas mereka secara lebih baik (building the capacity of public services) Sejalan dengan hal tersebut, maka pemberdayaan dapat dilakukan dengan efektif bila terlebih dahulu diketahui tingkat kinerja dari organisasi yang akan diberdayakan. Artinya bahwa hasil pengukuran kinerja dapat dijadikan sebagai pedoman untuk menentukan model pemberdayaan yang tepat. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Clutterbuck dan Kernaghan (2003:16), dan Berman et al (2001:334)
7
Secara ideal penilaian kinerja yang obyektif seharusnya dilakukan melalui sisi internal dan eksternal. Dari sisi internal, perlu diketahui kinerja pemberi layanan dalam hal ini adalah Puskesmas, sedangkan dari sisi eksternal perlu diketahui penilaian atau kepuasan penerima layanan, dalam hal ini adalah masyarakat pelanggan Puskesmas. Dalam praktik, penilaian kinerja Puskesmas banyak dilakukan dari sisi internal yakni oleh atasan langsung Puskesmas yakni Pemerintah Daerah Provinsi DKI-Jakarta melalui Dinas Kesehatan Kota DKI-Jakarta. Mekanisme dan peraturan penilaian kinerja yang digunakan adalah berpedoman pada Instruksi Presiden nomor 7 tahun 1999, tentang ‘Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah’. Sementara itu penilaian kinerja dari sisi eksternal Puskesmas yakni penilaian pelanggan belum atau jarang dilakukan oleh Puskesmas sendiri. Pada umumnya penilaian kinerja dari sisi eksternal diprakarsai oleh lembaga-lembaga di luar Puskesmas, seperti Perguruan Tinggi, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan berbagai mitra kerja pemerintah. Beberapa penelitian yang menyoroti kinerja Puskesmas dari sisi eksternal atau dari sisi persepsi pelanggan, rata-rata menggambarkan hasilnya bahwa kinerja Puskesmas serta beberapa pelayanan publik yang lain masih belum menunjukkan mutu pelayanan yang diharapkan pelanggan, sehingga masih harus dilakukan peningkatan maupun perbaikan kinerja mutu layanan. Sebagai contoh penelitian yang telah dilakukan oleh Tim Peneliti Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia (FISIP-UI) pada tahun 2001, yang menyoroti tentang Kinerja Pelayanan IMB, Puskesmas, dan PD.Pasar di tiga kota besar di Indonesia (Jakarta, Surabaya, dan Bandung) menemukan Indeks Kepuasan Pelanggan yang masih rendah pada ketiga pelayanan publik tersebut. Sementara hal yang sama juga ditemukan pada penelitian yang dilakukan oleh mitra kerja Menteri Pendayagunaan Aparatur Pemerintah (MENPAN-RI) yakni Deutsche Gesellschaft Technische Zusammenarbeit (GTZ) pada tahun 2003 yang menyoroti tentang Kinerja Puskesmas di beberapa kota di Indonesia. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota FISIP-UI, pada tahun 2004, banyak mengetengahkan berbagai reformasi praktek dan kinerja pelayanan publik termasuk Puskesmas, di Kabupaten Jembrana.
8
Dalam konsep sektor publik, fenomena pengukuran kinerja pelayanan publik dipandang masih belum optimal dilaksanakan. Sebagian besar organisasi pelayanan publik tidak cukup memiliki kreativitas untuk menciptakan standar kinerja yang memungkinkan bisa diukur secara jelas dan lengkap. Faktor-faktor yang mempenga ruhi hal tersebut antara lain adalah cakupan bidang layanan yang terlalu luas, baik cakupan wilayah layanan maupun masyarakat yang dilayani sangat heterogen sehingga sulit dilakukan standarisasi pengukuran secara tepat. Kedua, cakupan yang luas tersebut menyebabkan tujuan menjadi kurang dapat didefinisikan secara jelas. Ketiga, adalah terkait dengan hasil pengukuran kinerja yang sering tidak berdampak apapun bagi para pegawai, sehingga para pegawai memandang bahwa pengukuran kinerja hanya melelahkan dan membuang waktu, serta tidak memberikan motivasi. (Hughes 1994, McKevitt, 1998, Farnham dan Horton, 1993). Salah satu alat ukur kinerja organisasi yang selama bertahun-tahun sukses diterapkan di berbagai organisasi, menawarkan suatu konsep pengukuran secara berimbang baik dilihat dari sisi internal-eksternal, maupun dari sisi pengukuran kinerja keuangan-bukan keuangan. Alat ukur tersebut diperkenalkan oleh Kaplan dan Norton (1996:10) sebagai Balanced Scorecard (selanjutnya ditulis BSC), yang secara berimbang mengukur kinerja dari sisi internal seperti keuangan, proses internal, dan pembelajaranpertumbuhan, serta dari sisi eksternal yakni kepuasan pelanggan. Parameter-parameter generik yang disediakan dalam BSC, dipandang dapat mengakomodasikan kebutuhan pengukuran kinerja Puskesmas. Pada perspektif keuangan misalnya, indikator- indikator keberhasilan keuangan tidak selalu dihubungkan dengan keuntungan. Dalam organisasi pelayanan publik seperti halnya Puskesmas, kinerja keuangan dapat dilihat pada efektifitas penggunaan dana baik subsidi maupun swadana untuk kepentingan pelayanan kesehatan. Pada perspektif pelanggan,
indikator
keberhasilan adalah terletak pada kemampuan Puskesmas dalam memberikan kepuasan pelanggan. Sementara itu pada perspektif proses internal, indikator keberhasilan adalah pada kemampuan Puskesmas dalam menyediakan mutu layanan yang terkait dengan aspek inovasi, operasi, dan layanan purna jual. Sedangkan pada perspektif pembelajaranpertumbuhan, indikator keberhasilan terletak pada kemampuan Puskesmas dalam
9
mengembangkan sumber daya manusia atau para pegawainya, dalam hal ini mencakup kapabilitas, kepuasan, dan penyediaan informasi yang mendukung para pegawai dalam bekerja. Syarat utama dalam praktik BSC adalah penekanan pada analisis hubungan secara kausalitas pada variabel-variabel kinerja, sehingga tidak bersifat parsial atau berdiri send iri-sendiri. Artinya, bila variabel yang satu menjadi indikator hasil (lag indicator), maka variabel lainnya akan menjadi indikator pengungkit (lead indicator), sekecil apapun indikator pengungkit diyakini dapat mendongkrak atau meningkatkan kinerja. Sebagai contoh indikator peningkatan kepuasan pelanggan disebabkan karena meningkatnya kinerja proses internal, sedangkan kinerja proses internal sendiri sangat dipengaruhi oleh peningkatan kemampuan pegawai dari hasil pembelajaran dan pertumbuhan pegawai yang ditingkatkan, sementara itu pembelajaran dan pertumbuhan pegawai meningkat karena dana dan kapabilitas organisasi mencukupi, dana dan kapabilitas mencukupi karena ada pemasukan dari pelanggan yang setia dan puas. Demikian seterusnya, variabel- variabel kinerja BSC akan membentuk suatu hubungan sistemik yang dinamis sesuai dengan dunia nyata. Salah satu metode untuk menggali hubungan sistemik pada keempat kinerja BSC tersebut adalah metode System Dynamic (SD) yang didasari oleh cara berpikir sistem (System Thinking) yang diketengahkan oleh Senge (1999). Fasilitas perangkat lunak untuk mengetahui pola kecenderungan kinerja dan model hubungan kausalitas variabelvariabel kinerja BSC Puskesmas terdapat dalam SD. Penggunaan SD membantu memahami kompleksitas hubungan dan struktur kinerja (gambaran hubungan kinerja secara kuantitatif), serta memungkinkan untuk mengetahui varaibel-variabel kinerja yang dapat menjadi pengungkit dalam pemberdayaan Puskesmas. Selebihnya, empat perspektif BSC tersebut bertumpu pada visi, misi dan strategi organisasi, sehingga setiap aspek yang diukur harus selalu berangkat dari visi, misi dan strategi organisasi. Hubungan empat perspektif BSC dapat dilihat pada gambar 1.1. pada halaman berikut ini.
10
KEUANGAN Bagaimana organisasi dapat menggunakan sumber dana secara efektif dan efisien ?
PELANGGAN Bagaimana caranya memuaskan pelanggan?
VISI, MISI DAN STRATEGI
PROSES INTERNAL Bagaimana menciptakan Mutu layanan yang baik ?
PEMBELAJARAN DAN PERTUMBUHAN Bagaimana meningkatkan kapabilitas dan kepuasan pegawai, serta kapabilitas inform ?
Gambar 1 Pengukuran Kinerja dalam Perspektif Balanced Scorecard (Sumber: Di adopsi dari “ The Balanced Scorecard Provides framework to a Strategy into Operational Terms” , oleh Kaplan dan Norton, 1996: hal. 9).
Awalnya BSC memang ditujukan dan dipraktikkan dalam organisasi bisnis, namun dalam perkembangannya, BSC juga dipraktikkan dalam organisasi publik dan organisasi non-profit. Negara-negara yang telah mempraktikkan BSC di organisasi pemerintah antara lain adalah Australia, Belanda, Kanada, dan Amerika Serikat (Kaplan dan Norton, 1996, Akkermans dan Oorschot, 2003, Hepworth,1998, Malmi, 2001, Wisniewski dan Dickson,2001, Niven, 2003). Di Indonesia, indikator- indikator BSC direkomendasikan untuk dijadikan sebagai acuan dalam menilai keberhasilan organisasi pelayanan publik sesuai dengan kondisi yang sedang dan akan dialami oleh pemerintah. Indikator- indikator tersebut adalah, (a) kemampuan aparatur pemerintah dalam berinovasi dan melakukan perubahan, (b) kinerja proses internal pemerintah, (c) kinerja pelayanan pada masyarakat, dan (d) kemampuan pemerintah dalam meningkatkan efisiensi dan efektifitas anggaran (Maarif, 2002:70). Dari hasil pengamatan awal yang dilakukan terhadap sebagian besar Puskesmas di DKI-Jakarta, diduga lingkungan dan demografi sosial ekonomi penduduk turut mempengaruhi kinerja Puskesmas. Rasio jumlah penduduk dengan jumlah penduduk miskin diduga turut mempengaruhi potensi penduduk untuk menjadi pelanggan 11
Puskesmas, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi pendapatan swadana dan mutu layanan Puskesmas. Sebagaimana diketahui bahwa sejak Maret 2001 seluruh Puskesmas Kecamatan di DKI-Jakarta telah menjadi Puskesmas Swadana (SK Gubernur DKIJakarta, Nomor 15 Tahun 2001). Kewenangan sebagai Puskesmas Swadana pada dasarnya adalah Puskesmas berhak untuk mengelola secara otonom sumber pendapatan yang berasal dari retribusi. Selanjutnya dari sumber dana retribusi, Puskesmas memiliki peluang yang cukup besar untuk mengembangkan diri, antara lain keleluasaan untuk menentukan sebagian kebutuhan operasional pelayanan kesehatan seperti penambahan obat-obatan, kontrak dokter, dan layanan inovasi lainnya. Berdasarkan pada pengamatan tersebut, tidak berlebihan kiranya bila dalam penelitian ini Puskesmas Kecamatan dikelompokan ke dalam tipologi Puskesmas yang terletak di wilayah elite, moderate dan slum atau kumuh (selanj utnya disingkat dengan E, M, dan S). Tujuan pengelompokan dalam tipologi adalah selain untuk memetakan Puskesmas pada kondisi yang lebih homogen, juga untuk keperluan analisis dalam melihat kausalitas variabel-variabel kinerja. Tipologi Puskesmas dalam bentuk aslinya adalah mencakup Puskesmas Kecamatan (pembina), Kelurahan (pembantu), dan Puskesmas Keliling. Selanjutnya dalam penelitian ini yang dimaksud denga n Puskesmas adalah Puskesmas Kecamatan (Pembina) yang dibedakan dalam tipologi E, M, dan S Catatan awal dari penelitian ini juga mengungkapkan bahwa masih terdapat beberapa masalah utama yang rata-rata dihadapi oleh Puskesmas Kecamatan di DKIJakarta saat ini dan menjadi kendala dalam meningkatkan atau memperbaiki kinerja Puskesmas, yakni : Pertama , sumber daya manusia yang masih terbatas baik secara kualitas maupun kuantitas sesuai dengan standarisasi yang ditetapkan. Dalam peraturan ‘Standarisasi Pelayanan Kesehatan Pada Puskesmas di Daerah Khusus Ibukota Jakarta’ diketahui bahwa jumlah ideal SDM Puskesmas Kecamatan seharusnya adalah 96 orang, sedangkan Puskesmas Kelurahan 27 orang, namun pada saat ini jumlah SDM baru separuhnya. Kedua , sebagaimana diakui oleh Puskesmas, bahwa saat ini Puskesmas belum mampu memenuhi tuntutan masyarakat terhadap pelayanan yang lebih bermutu sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Ketiga, Fasilitas kesehatan antara lain seperti gedung Puskesmas Kecamatan dan Kelurahan yang belum sesuai standar dan lokasi yang kurang strategis, serta peralatan medik dan non medik yang belum mencukupi. Keempat,
12
manajemen Puskesmas yang belum terlaksana secara optimal. Kelima, sosialisasi dan promosi kesehatan yang belum optimal. Keenam, motivasi pegawai yang rendah. Ketujuh, tenaga spesialis yang dipandang masih kurang. Kedelapan, standar, juklak, dan protap yang tidak lengkap. Kesembilan, kesadaran masyarakat terhadap pola hidup sehat masih rendah, dibuktikan dengan kecenderungan meningkatnya penyakit yang disebabkan oleh gaya hidup seperti, darah tinggi, pemakaian obat-obat terlarang, HIVAID, TBC, kusta, dan lain- lainnya (Hasil kajian dari laporan tahunan Puskesmas Cempaka Putih, Kalideres, Kebayoran Baru, Kemayoran, dan Kebun jeruk, tahun 2004).
13
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan tersebut, maka dapat ditarik benang merah yakni, pertama, eksistensi Puskesmas Kecamatan di DKI-Jakarta pada dasarnya memiliki peran penting sebagai pelayanan publik inti di bidang kesehatan dan menjadi barometer kesehatan penduduk di tingkat ujung tombak. Terlebih bila mengingat DKI-Jakarta sebagai wilayah yang memiliki kepadatan penduduk tertinggi di Indonesia, maka kebutuhan akan sarana kesehatan yang mudah di akses serta murah seperti halnya Puskesmas masih sangat diperlukan. Kedua, dari berbagai tugas yang diemban Puskesmas, dapat disimpulkan bahwa tugas pokok Puskesmas pada dasarnya bersifat memberdayakan masyarakat di wilayah kerjanya agar memiliki kesadaran terhadap kesehatan diri dan lingkungannya. Karena itu sebelum memberdayakan masyarakat, sangat penting jika Puskesmas sendiri menjadi berdaya, yakni mampu melaksanakan tugas-tugasnya tersebut dengan baik. Ketiga, lingkungan Puskesmas yang bergerak de ngan cepat, seperti perubahan gaya hidup, kesadaran masyarakat terhadap kesehatan yang menurun, krisis ekonomi yang menimbulkan kemiskinan baru, serta pertambahan penduduk yang sulit dikendalikan, mengharuskan Puskesmas untuk meningkatkan kemampuan dan kapasitasnya secara terus menerus, agar dapat mengantisipasi semua perubahan lingkungan dengan baik. Keempat, berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa dari sisi eksternal atau dari sisi penilaian pelanggan, Puskesmas belum dapat memenuhi harapan pelanggan. Kepuasan pelanggan memang tidak mempengaruhi kinerja Puskesmas secara langsung, namun pengaruhnya terasa untuk jangka panjang. Ke depan masyarakat semakin menyadari bagaimana mutu suatu pelayanan publik yang baik, dan hal ini merupakan suatu kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Kelima, secara internal masih terdapat kendala -kendala yang berupa keterbatasanketerbatasan baik keuangan maupun bukan keuangan, seperti kuantitas dan kualitas sumber daya manusia, sarana dan prasarana, motivasi pegawai yang rendah, manajemen Puskesmas yang belum optimal, standar dan aturan-aturan yang belum lengkap, serta sosialisasi dan promosi program-program baru yang kurang gencar. Bila diperhatikan secara lebih jauh, masalah-masalah yang dihadapi Puskesmas terkait satu sama lain dan
14
bersifat kompleks, sebagai contoh, keterbatasan dana akan menghambat upaya Puskesmas untuk memberdayakan pegawai dan menyediakan mutu layanan yang diharapkan. Bila tidak tersaji kapabilitas pegawai dan mutu layanan yang baik maka akan mengurangi minat dan kepercayaan masyarakat untuk berobat ke Puskesmas, potensi jumlah pasien yang datang akan semakin berkurang, dan pada akhirnya akan menurunkan jumlah pemasukan retribusi. Inti sari dari latar belakang permasalahan Puskesmas di DKI-Jakarta tersebut menggambarkan perlunya pemberdayaan Puskesmas secara lebih terarah dengan terlebih dahulu melihat kinerja Puskesmas, dalam hal ini adalah kinerja dari aspek Pelayanan Kesehatan (YanKes). Untuk melihat kinerja Puskesmas, alat ukur yang dipandang komprehensif dan mampu mengkaji secara sistemik hubungan variabel- variabel kinerja Puskesmas adalah Balanced Scorecard (BSC) yang mencakup pengukuran kinerja dari perspektif keuangan, pelanggan, proses internal, dan pembelajaran-pertumbuhan. Hubungan kausalitas variabel- variabel kinerja BSC akan lebih sempurna bila analisis dibantu dengan metode System Dynamic (SD). Penggunaan alat ukur kinerja BSC dan metode SD melalui beberapa pertimbangan, yakni: Pertama, BSC mengkomunikasikan antara kinerja dengan visi, misi, dan tujuan strategis organisasi. Kinerja yang diukur bertitik tolak dari hal tersebut. Kedua, BSC menjembatani pengukuran dari aspek keuangan dan yang bukan keuangan. Dari aspek kinerja masa lalu (keuangan), kinerja masa kini (proses internal), dan kinerja masa depan (pelanggan dan pembelajaran-pertumbuhan) dalam suatu hubungan yang bersifat non linier atau secara sistemik. Pola hubungan sistemik ini sesuai dengan apa yang terdapat di dunia nyata, di mana variabel- variabel dalam organisasi pada kenyataannya saling mempengaruhi dan membentuk suatu komponen yang disebut sistem. Pemahaman berpikir sistemik selanjutnya akan digunakan dalam menganalisis hubungan kausalitas antara variabel- variabel kinerja BSC Puskesmas. Ketiga,
untuk
mengkaji
komplek sitas
hubungan
variabel- variabel kinerja
Puskesmas secara sistemik, digunakan metode SD yang dilengkapi dengan perangkat lunak powersim. Perangkat lunak powersim memberikan serangkaian manfaat, antara lain, mampu menggambarkan pola kecenderungan dan struktur kinerja BSC Puskesmas, memiliki fasilitas untuk melakukan simulasi model yang berguna untuk menguji
15
sensitivitas variabel- variabel kinerja. Hasil uji sensitivitas dapat dimanfaatkan sebagai pertimbangan dalam pemberdayaan Puskesmas lebih lanjut. Memberikan peluang untuk melakukan eksperimen-eksperimen simulasi sedemikian rupa secara efisien dan murah karena tidak perlu dilakukan di dunia nyata, melainkan cukup di komputer. Keempat, indikator- indikator generik yang dianjurkan pada umumnya sesuai dengan kondisi organisasi yang diukur, serta berjumlah tidak terlalu banyak yakni antara 3 hingga 5 indikator untuk mengantisipasi keterbatasan-keterbatasan pemahaman dalam praktiknya.(Kaplan dan Norton, 1996). Kelima, pengukuran kinerja BSC juga memberikan ‘the whole of story’ organisasi yang selama ini jarang diungkapkan. Maksudnya karena pengukuran yang digunakan mencakup dan memperhatikan berbagai perspektif, yang dapat mengungkapkan kinerja organisasi secara komprehensif (Niven, 2003) Berdasarkan pada uraian tersebut, maka rumusan permasalahan dalam disertasi ini adalah : “Bagaimana model pemberdayaan Puskesmas dari aspek pelayanan kesehatan, berdasarkan pada hubungan sistemik kinerja BSC Puskesmas ?” Secara lebih terinci, rumusan permasalahan tersebut dituangkan dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut : 1. Bagaimana tingkat kinerja dan pola kecenderungan atau arah hubungan kinerja BSC Puskesmas (E, M, dan S), pada perspektif pelanggan, proses internal, keuangan, dan pembelajaran-pertumbuhan ? 2. Bagaimana struktur atau bentuk hubungan kinerja BSC Puskesmas secara sistemik ? 3. Bagaimana model pemberdayaan Puskesmas berdasarkan pada skenario yang telah dibuat ?
16
Tujuan Penelitian
Berdasarkan pertanyaan penelitian tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah : 1. Mengkaji sejauh mana tingkat kinerja dan pola atau arah hubungan yang mencerminkan kecenderungan kinerja Puskesmas (E, M, dan S) di DKI-Jakarta, ditinjau dari perspektif pelanggan, proses internal, keuangan, dan pembelajaranpertumbuhan. 2. Mengkaji struktur atau bentuk hubungan kinerja BSC Puskesmas secara sistemik. 3. Mengkaji model pemberdayaan Puskesmas yang sesuai berdasarkan skenario skenario yang telah ditetapkan.
17
Kontribusi Penelitian
Penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi dari segi teoritis maupun dari segi praktis. 1. Kontribusi dari segi teoritis. Dari segi pengembangan teori penelitian ini penting dilakukan, sebab, pertama, dalam penelitian ini model pemberdayaan organisasi pelayanan publik didasarkan pada hasil evaluasi kinerja yang dilakukan sebelumnya. Kedua, evaluasi kinerja dilakukan dengan mengimplementasikan suatu metode pengukuran BSC, yang dipandang mampu mengungkap dan menggambarkan ‘the whole of story’ kinerja Puskesmas dari keempat perspektif BSC. Berdasarkan hal tersebut, secara tidak berlebihan, alat atau metode pengukuran kinerja BSC ini diharapkan dapat menjadi pembelajaran dan dikembangkan lebih lanjut ke dalam suatu proses studi pemberdayaan pelayanan publik lainnya. Ketiga, analisis kinerja yang didasarkan pada konsep berpikir sistem (System Thinking) mengembangkan suatu proses pembelajaran dalam memandang setiap fenomena perubahan dalam organisasi sebagai suatu sistem sebagaimana dalam dunia nyata. (Senge, et al 1999) Implementasi cara berpikir sistem diwujudkan dalam kombinasi pengukuran BSC dengan pendekatan SD, yang menghasilkan
gambaran pola atau arah
kecenderungan perilaku dan struktur atau bentuk sistem dari kinerja Puskesmas. Keempat, penelitian ini juga memberikan kontribusi pada pengembangan konsepkonsep Penyuluhan Pembangunan, khususnya pengembangan konsep perubahan perilaku baik sistem maupun individu serta konsep-konsep pemberdayaan. Model pemberdayaan yang diawali dengan evaluasi kinerja secara khusus, merupakan pengayaan konsep pemberdayaan yang selama ini telah digunakan dalam studi Penyuluhan Pembangunan Kelima, dengan digunakannya pendekatan non-linier dalam penelitian ini, maka diharapkan akan semakin melengkapi pendekatan – pendekatan linier yang digunakan selama ini. Melalui pendekatan non-linier, fenomena-fenomena dalam penyuluhan pembangunan dapat dikaji secara dinamis dan kausalistis
18
2. Kontribusi dari segi praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi, pertama bagi Puskesmas di DKI-Jakarta, dalam hal ini dengan diketahuinya kinerja BSC Puskesmas, maka konsep pemberdayaan Puskesmas dapat dilakukan dengan lebih terarah, dan mengacu pada skenario-skenario yang didasarkan pada analisis sistem secara jelas untuk dua tahun ke depan. Kedua, penelitian ini juga memberikan kontribusi kepada Puskesmas dan organisasi pelayanan publik pada umumnya, berupa pengembangan alat ukur kinerja yang lebih komprehensif, serta bertumpu pada aspek-aspek kritis yang sesungguhnya telah tertuang dalam visi, misi, dan tujuan strategis organisasi Puskesmas maupun pelayanan publik pada umumnya. Dengan implementasi pengukuran kinerja secara tepat, Puskesmas dapat meningkatkan mutu pelayanannya secara lebih baik, dan dengan mutu pelayanan yang baik, maka kepercayaan masyarakat pada pelayanan kesehatan Puskesmas dapat meningkat. Kepercayaan masyarakat ya ng meningkat terhadap Puskesmas diharapkan akan memberikan umpan balik positif terutama bagi peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Ketiga, bagi Pemerintah Propinsi DKIJakarta, sebagai instansi pembuat kebijakan yang terkait dengan pelayanan kesehatan di DKI-Jakarta, penelitian ini memberikan sumbangan pemikiran dan masukan- masukan yang bermanfaat terhadap kebijakan-kebijakan yang mendasar yang berkaitan dengan pemberdayaan Puskesmas baik secara organisasional maupun individual.
19
Definisi dan Operasionalisasi Variabel
Terdapat 4 (empat) konsep utama sebagai dasar dalam kerangka berpikir dan analisis, yakni konsep pemberdayaan, konsep pelayanan publik, konsep kinerja, dan konsep sistem. Konsep pelayanan publik dan konsep pemberdayaan menjadi dasar dan arah dalam menghubungkan analisis kinerja pelayanan Puskesmas sebagai pelayanan publik dengan model pemberdayaan yang diinginkan. Sedangkan konsep kinerja menjadi dasar dari kerangka operasionalisasi variabel- variabel kinerja yang akan diukur dalam penelitian ini. Sementara itu konsep sistem melalui metode System Dynamic, menjembatani temuan kinerja dan pola atau arah kecenderungan hubungan kinerja Puskesmas dan model pemberdayaan yang diinginkan . Berikut ini adalah pengertian atau definisi- definisi dari ko nsep utama yang menjadi dasar kerangka berpikir. 1. Definisi Pelayanan Publik. Pelayanan Publik secara luas didefinisikan sebagai organisasi-organisasi sektor publik yang pembiayaannya didasarkan pada pajak dari pada melalui penjualan jasa secara perseorangan maupun secara korporasi. Bentuk pelayanan publik antara lain adalah pelayanan bidang kesehatan, pendidikan, kesejahteraan sosial, dan keamanan. (Farnham dan Horton, 1993, serta McKevitt, 1998) 2. Definisi Pemberdayaan Pemberdayaan adalah bagaimana membuat masyarakat mampu membangun dirinya sendiri, mampu, berdaya, tahu, mengerti, paham, termotivasi, berkesempatan melihat peluang, dapat memanfaatkan peluang, berenergi, mampu bekerja sama, tahu berbagai alternatif, mampu mengambil keputusan, berani menghadapi resiko, mampu mencari menangkap informasi, dan mampu bertindak sesuai situasi. (Slamet, 2003) Pemberdayaan berarti mengarah pada perubahan perilaku, baik perilaku individu maupun sistem dalam organisasi (Jenkins, 1996) 3. Definisi Kinerja Kinerja adalah tingkat pencapaian hasil organisasi yang dapat diukur secara kuantitatif (Swanson,1999). Kinerja juga didefinisikan sebagai hasil dari
20
perilaku atau cara-cara berpikir, bertindak orang-orang dalam organisasi (Stolovitch dan Keeps,1992). Kinerja adalah hasil yang dicapai oleh organisasi dan dinilai dengan cara membandingkan antara hasil yang diinginkan dengan kenyataannya.(Gilley dan Maycunich, 2000) Berikutnya adalah definisi dan operasionalisasi konsep, variabel dan indikator yang digunakan dalam penelitian ini, mencakup konsep kinerja BSC yang terdiri dari 4 (empat) perspektif utama yang menjadi parameter kinerja Puskesmas, yakni (1) pelanggan dengan indikator 5 (lima) dimensi Service Quality (Servqual) yang terdiri dari kepuasan pelanggan terhadap aspek pelayanan tangibelity, responsiveness, reliability, assurance, dan empathy, (2) proses internal dengan indikator kemampuan inovasi, dan operasi, (3)
pembelajaran-pertumbuha n dengan indikator kepuasan pegawai,
kapabilitas informasi, dan kapabilitas pegawai, dan (4) keuangan dengan indikator efektifitas pembiayaan per pelanggan, dan kontribusi pelanggan pada swadana. Sementara konsep model pemberdayaan diawali dengan analisis hubungan kausalitas (non linier) kinerja BSC Puskesmas yang digambarkan melalui model Causal Loop Diagram (CLD) dan model Stock Flow Diagram (SFD), uji sensitivitas variabelvariabel
kinerja,
pembuatan
skenario
pemberdayaan
dan
pembuatan
model
pemberdayaan. 1. Perspektif pelanggan Perspektif ini berpandangan bahwa pelanggan adalah masa depan organisasi, oleh karena itu organisasi yang memperhatikan masa depannya pasti akan memperhatikan kepuasan pelanggan. Dalam perspektif pelanggan, kinerja organisasi diukur dengan penilaian kepuasan pelanggan terhadap mutu pelayanan organisasi. (Kaplan dan Norton, 1996) Adapun pelanggan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah masyarakat atau penduduk yang berdiam di suatu wilayah Kecamatan yang mengunjungi dan terdaftar sebagai pasien Puskesmas untuk menikmati layanan pengobatan dalam poliklinik-poliklinik yang ada di dalam gedung Puskesmas. 2. Kepuasan Pelanggan Persepsi pelanggan yang menyatakan perbandingan terhadap produk/jasa yang diterimanya dengan yang diharapkannya (Kotler,1997; Zaithaml, et al, 1990)
21
Konsep kepuasan pelanggan selanjutnya diukur dalam 5 (lima) dimensi Servqual (Zaithaml, et al, 1990) di mana definisinya adalah sebagai berikut : a. Tangibelity Bukti fisik kemampuan pelayanan jasa yang dapat ditunjukkan pada pelanggan. Parameternya antara lain, lokasi yang mudah dijangkau, keteraturan loket pendaftaran, kecukupan bangku di ruang tunggu, dan kebersihan toilet. b. Reliability Keandalan suatu layanan sesuai dengan yang dijanjikan. Parameternya antara lain adalah keberadaan dokter hingga jam kerja usai, kecepatan layanan secara wajar, kerumitan prosedur layanan, dan keterandalan petugas dalam melayani. c. Responsiveness Ketanggapan petugas untuk membantu pelanggan secara responsif, cepat, tepat dan dengan penyampaian informasi secara jelas. Parameternya antara lain adalah, kemampuan medis dokter dalam melayani pasien, ketersediaan obat-obatan, dan tanggap terhadap keluhan pasien. d. Assurance Jaminan suatu layanan yang telah dijanjikan pada pelanggan dan menumbuhkan rasa percaya pelanggan. Parameternya antara lain adalah, jaminan bahwa setiap keluhan pelanggan akan diperhatikan, jaminan bahwa setiap permintaan keringanan biaya tindakan medis bagi pelanggan tidak mampu akan diperhatikan, dan jaminan tidak ada perbedaan perlakuan terhadap pelanggan. e. Empathy Perhatian individual secara tulus terhadap pelanggan, sebagai upaya memahami keinginan pelanggan. Parameternya antara lain adalah, perhatian dan ketulusan dokter dalam melaya ni, perhatian dan ketulusan petugas para medis dalam melayani, serta perhatian dan ketulusan petugas pendaftaran dalam melayani pelanggan.
3. Perspektif Proses Internal Proses internal adalah proses ‘produksi’ penting yang harus dikuasai oleh organisasi dan yang memungkinkan terciptanya proposisi nilai yang dapat
22
memenuhi harapan pelanggan. Terdapat 3 variabel generic yang ditawarkan BSC dalam pengukuran kinerja proses internal yakni, kemampuan inovasi, operasi, dan layanan purna jual (Kaplan dan Norton, 1996). Selanjutnya dalam penelitian ini variabel purna jual tidak akan diukur karena Puskesmas saat ini belum melakukan layanan purna jual. Adapun definisi kedua variabel proses internal adalah sebagai berikut : a. Kemampuan Inovasi Kemampuan inovasi organisasi untuk menciptakan nilai-nilai baru yang sebelumnya tidak ada, dan memiliki rangkaian manfaat bagi peningkatan kebutuhan pelanggan. Pelayanan baru yang sedang direncanakan oleh Puskesmas pada saat penelitian ini dilakukan adalah perubahan tata cara pelayanan kesehatan yang mengarah pada efisiensi, praktek dokter sore hari, kontrak dokter spesialis, paket layanan persalinan, sistem informasi kesehatan (SIK) dan International Standart Organization (ISO) b. Kemampuan Operasi Pengertian operasi di sini adalah proses produksi yang menitik beratkan pada cara-cara penyampaian jasa pada pelanggan yang mencakup efisiensi, promosi, konsistensi, dan tepat waktu. Parameter dalam penelitian ini adalah aspek waktu layanan, ketersediaan obat, dan kemampuan penyuluhan.
4. Perspektif Pembelajaran-Pertumbuhan Kemampuan organisasi untuk berubah, meningkatkan diri dalam merespon perubahan-perubahan lingkungan yang terjadi dengan cara terus menerus memperbaiki sumber daya manusia/ pegawai, sistem dan prosedur, serta sarana dan prasarana termasuk informasi (Kaplan dan Norton, 1996) Parameternya adalah kapabilitas pegawai, kepuasan pegawai dan kapabilitas informasi. a. Kapabilitas Pegawai Kemampuan pegawai yang mencakup pengetahuan umum tentang organisasinya, sikap dan komitmen terhadap segala sesuatu yang terkait dengan tugas-tugas dalam organisasi (Bramley, 1996)
23
b. Kepuasan Pegawai Kepuasan pegawai yang mencakup kepuasan pada aspek penghargaan finansial dan bukan finansial, lingkungan dan suasana kerja, kepercayaan pimpinan, serta aspek keikut sertaan dalam pengambilan keputusan organisasi (Herzberg, et al, dalam Tyson dan Jackson, 2000) c. Kapabilitas Informasi Penilaian pegawai terhadap kemampuan organisasi dalam menyediakan informasi yang mendukung tugas-tugas pegawai secara cepat, akurat dan tersedia kapanpun informasi diperlukan (Kaplan dan Norton, 1996)
5. Perspektif Keuangan : Aspek pendapatan dan pengeluaran yang memberikan kontribusi terhadap kelangsungan program dan peningkatan pendapatan organisasi (Kaplan dan Norton, 1996) Dalam kasus Puskesmas, terdapat dua sumber pembiayaan pelayanan kesehatan, yakni dari subsidi dan dari retribusi (swadana). Dari subsidi, sulit untuk mengukur kinerja pendapatan dan pengeluaran subsidi, sebab sistem perencanaan anggaran dalam orga nisasi pemerintah lebih menekankan pada kemampuan organisasi untuk menyerap habis anggaran yang telah direncanakan. Karena itu pengukuran kinerja subsidi lebih ditekankan pada berapa besar rasio anggaran yang diperuntukkan bagi satu orang pasien. Dari swadana, parameter yang digunakan adalah rata-rata kontribusi per pelanggan pada pemasukan swadana.
Selanjutnya, diketengahkan operasionalisasi konsep-konsep kinerja BSC yang telah dijelaskan batasan – batasannya tersebut, mencakup variabel, sub-sub variabel, indikator- indikator, responden, serta metode pengukurannya, sebagaimana tertera dalam tabel berikut ini.
24
Tabel 2 Operasionalisasi Konsep Kinerja BSC Puskesmas DKI-Jakarta No 1.
Variabel dan Indikator Perspektif Pelanggan 1.Tangibelity a. Lokasi yang mudah dijangkau b. Keteraturan Loket pendaftaran c. Kecukupan bangku di ruang tunggu d. Kebersihan toilet 2. Reliability a. Keberadaan dokter hingga jam kerja usai b. Kecepatan layanan c. Kerumitan prosedur layanan d. Kehandalan Petugas dalam melayani 3. Responsiveness a. Kemampuan dokter b. Ketersediaan obat-obatan c. Ketanggapan petugas terhadap keluhan 4. Assurance a. Jaminan bahwa setiap keluhan pelanggan diperhatikan b. Jaminan bahwa permintaan keringan biaya tindakan akan dipenuhi c. Jaminan bahwa tidak ada perbedaan perlakuan terhadap pelanggan
Jenis Data, Responden dan Pengukuran Jenis Data : Primer Sumber : Responden Pelanggan (Pasien) Pengukuran : 1. Indeks Kepuasan Pelanggan (IKP) pada skala Likert 1-5 2. Mutu Kinerja Dihitung melalui nilai Konversi normatif dan empiris Keterangan: Konversi Normatif adalah Konversi Nilai Mutu Kinerja menurut pedoman IKM (Indeks Kepuasan Masyarakat) dalam SK MenPan No.25/2003 yang berlaku di Organisasi Pelayanan Publik saat ini. Sedangkan konversi empiris adalah konversi Nilai Mutu Kinerja berdasarkan Perhitungan nilai interval pada data empiris Kedua Nilai Mutu Kinerja (normatif dan empiris) digunakan sebagai perbandingan
5. Empathy a. Perhatian dan ketulusan dokter dalam melayani b. Perhatian dan ketulusan petugas para medis dalam melayani c. Perhatian dan ketulusan petugas pendaftaran dalam melayani 2
Perspektif Proses Internal 1. Proses Inovasi a. Perubahan tata cara pelayanan kesehatan yang mengarah pada efisiensi b. Praktek dokter sore hari c. Kontrak dokter spesialis d. Paket Layanan Persalinan e. Sistem Informasi Kesehatan (SIK) f. International Standart Organization (ISO)
Jenis Data : Sekunder Sumber : Puskesmas Pengukuran : Penilaian kinerja Inovasi berdasarkan pada perbandingan antara standar nilai proses inovasi yang ditetapkan dan kenyataannya Standar : Tahap Rencana = 0.25 Tahap Pembahasan =0.50 Tahap Realisasi = 1.0 Melalui interval score, nilai aktual yang telah dihitung akan dibandingkan menurut rating untuk menentukan Mutu Kinerja Inovasi.
25
2. Proses Operasi (Produksi) a. Waktu Layanan (lead time) b. Ketersediaan Obat c. Kinerja Penyuluhan - Frekuensi Penyuluhan - Kehadiran sasaran penyuluhan - Indeks Penilaian Pelanggan tentang Penyuluhan Puskesmas
Waktu Layanan: Perbandingan waktu layanan ideal (normatif 15-30 menit) dengan waktu layanan aktual. Ketersediaan Obat Perbandingan antara ketersediaan obat normatif dan aktual Frekuensi Penyuluhan Perbandingan antara frekuensi normatif (60 x) penyuluhan per triwulan dengan kenyataannya Kehadiran sasaran penyuluhan Perbandingan antara kehadiran sasaran penyuluhan normatif (90 %) dengan kenyataannya. Indeks Penilaian pelanggan tentang penyuluhan Puskesmas Jenis data : Primer Sumber : Pelanggan (Pasien) Pengukuran : Skala 1-5
3.
Perspektif Keuangan 1. Efektifitas Biaya Subsidi Pelayanan Kesehatan per satu orang pelanggan 2. Kontribusi swadana per pelanggan
Jenis Data : Sekunder Sumber : Puskesmas Pengukuran: Efektifitas Pembiayaan Rasio Jumlah Subsid i &Jumlah Pelanggan . Kontribusi Swadana per pelanggan Rasio Jumlah pelanggan dan Total Pemasukan Swadana Mutu Kinerja Perbandingan Efektifitas Pembiayaan dan Swadana pada ketiga Puskesmas.
4
Perspektif Pembelajaran-Pertumbuhan 1. Kepuasan Pegawai a. Keterlibatan dalam pengambilan keputusan b. Penghargaan terhadap prestasi c. Lingkungan/suasana kerja d. Dukungan sarana kerja e. Insentif Pegawai 2. Kapabilitas Informasi a. Ketersediaan Informasi yang mendukung pekerjaan pegawai b. Kecepatan arus informasi yang mendukung pekerjaan pegawai c. Keakuratan informasi yang mendukung pekerjaan pegawai
Jenis data : Primer Sumber : Responden Pegawai Puskesmas Pengukuran : Indeks Kepuasan Pegawai pada skala 1 -5
Jenis data : Primer Sumber : Responden Pegawai Puskesmas Pengukuran : Indeks Kapabilitas Informasi pada skala 1-5
26
3. Kapabilitas Pegawai Dari Aspek General knowledge : a. Pengetahuan ttg manajemen Puskesmas b. Pengetahuan thd kesesuaian 20 Upaya Pokok Puskesmas saat ini c. Pengetahuan tentang Puskesmas Swadana Dari Aspek Attitude d. Sikap thd perlunya pelatihan kualitas layanan e. Ketertarikan thd pelatihan kualitas layanan f. Sikap thd manfaat ISO Dari Aspek Skill g. Kesesuian pengetahuan yang dimiliki dengan tugas yang dijalankan h. Komitmen untuk komunikatif dengan Plg. i. Komitmen thd upaya mengetahui kep.plg k. Ketertarikan thd tugas yg berhub. dengan keluhan pelanggan l. Ketersediaan menangani tugas yang berhubungan dengan keluhan pelanggan m. Memilih tugas ‘di belakang meja’ atau melayani pelanggan secara langsung
Jenis data : Primer Sumber : Responden Pegawai Puskesmas Pengukuran : Indeks Kapabilitas Pegawai pada skala 1-5 Mutu Kinerja : Dihitung melalui nilai Konversi normatif dan empiris
Sumber : Hasil Kajian Penulis, 2006
Selanjutnya, model pemberdayaan yang akan dibangun dalam disertasi ini didasarkan pada konsep dan metode SD. Berikut ini adalah batasan dan definisi dari konsep-konsep tersebut. 1. Konsep Model Dalam SD, fungsi model adalah untuk menjelaskan berbagai area yang diukur seperti keuangan, sumber daya manusia, pelanggan, dan sebagainya. Model adalah representasi dari dunia nyata. Model dapat dibedakan dalam berbagai bentuk, antara lain fisik, analog, digital (komputer), dan matematikal.(Maani dan Cavana, 2000). Menurut Sterman (2000), setiap model adalah representasi dari suatu sistem, yakni kelompok dari elemen-elemen yang saling berhubungan secara fungsional dan membentuk suatu keseluruhan yang kompleks. 2. System Dynamic (SD) SD merupakan metode yang menjembatani konsep berpikir sistemik (System Thinking / ST) yang digunakan sebagai cara berpikir dalam menganalisis kinerja BSC Puskesmas. ST menurut Senge et al (1999) terdiri dari tahapan berpikir events (apa fenomena itu), patterns (pola-pola apa yang terdapat dalam
27
fenomena), structures (bagaimana pola-pola tersebut saling berhubungan dan saling mempengaruhi), dan mental models (mengapa pola-pola fenomena tersebut saling berhub ungan dan saling mempengaruhi). Selanjutnya, sebagai metode SD dilengkapi dengan ‘bahasa, notasi, dan simbolsimbol’ yang secara keseluruhan terdapat di dalam perangkat lunak komputer yang disebut powersim. Berikut ini konsep-konsep penting dalam SD : a. Model Causal Loop Diagram (CLD) CLD adalah suatu alat berupa model yang memperlihatkan pola hubungan kausal diantara satu set variabel-variabel yang dioperasikan dalam sistem. Elemen dasar dalam CLD adalah ‘variabel- variabel’ dan ‘panah-panah’ yang menggambarkan hubungan variabel-variabel, baik hubungan searah (tanda ‘s’ atau ‘+’) maupun berlawanan arah (tanda ‘o’ atau ‘- ‘). Suatu variabel adalah suatu kondisi, situasi, tindakan, atau keputusan-keputusan yang dapat mempengaruhi dan dipengaruhi oleh variabel lainnya. Model CLD diciptakan dengan melalui proses yang panjang yang memadukan kerangka berpikir secara teoritik dan aspek-aspek empirik Hubungan kausalitas dalam CLD menghasilkan dua macam umpan balik, yakni positif dan negatif b. Umpan Balik Positif (Reinforcing / R) Umpan balik positif menggambarkan pola kecenderungan hubungan yang saling menguatkan (seluruhnya + ) atau meluruhkan (seluruhnya - ). Makna positif atau negatif bukan berarti baik atau buruk, melainkan hanya menggambarkan pola perubahan searah atau berlawanan arah. Contoh: Bila mutu layanan meningkat, maka kepuasan pelanggan juga meningkat, da n bila kepuasan pelanggan meningkat, jumlah pasien akan bertambah, bertambahnya jumlah pasien akan meningkatkan penerimaan retribusi, bertambahnya penerimaan akan meningkatkan mutu layanan. (variabel mutu layanan akan mengawali dan menutup sebuah loop atau pola umpan balik) c. Umpan Balik Negatif ( Balancing/ B) Menggambarkan pola hubungan yang bersifat melemahkan, karena salah satu variabel negatif. Untuk menyeimbangkan sistem, maka variabel yang negatif biasanya diperhatikan dan dilakukan tindakan koreksi. Berdasarkan pengertian
28
tersebut, maka umpan balik B juga dikenal sebagai suatu sistem yang mencari stabilitas dan kontrol terhadap keseimbangan yang diinginkan. Contoh: Penerimaan retribusi akan meningkatkan pelatihan pegawai (+), sementara peningkatan pelatihan akan mengurangi (-) penerimaan. Pesan yang dibawa dalam hubungan ini adalah, bahwa penerimaan harus dijaga sedemikian rupa agar kebutuhan pelatihan terpenuhi dengan wajar. Berikut ini notasi dan simbol-simbol yang digunakan dalam CLD.
Tabel 3 Notasi dan Interpretasi Simbol-simbol CLD SIMBOL + atau S
INTERPRETASI
CONTOH
Simbol kesamaan arah
+
(S = Same Direction) X
+
Y
Menunjukkan kesamaan arah pada hubungan sebab akibat antara variable X dan Y
- atau O
Simbol perbedaan arah
(O = Opposite Direction)
Menunjukkan Perbedaan arah pada hubungan sebab akibat antara variable X dan Y
X
¯
Y
B ( Balancing )
Umpan balik negative ( negative feedback loop )
Mutu
Penjualan
Jika mutu meningkat, maka penjualan juga akan meningkat (sebaliknya )
Populas i
Kematian
Jika kematian meningkat, maka populasi akan menurun.
Kematian
B
Populasi
+ + R ( Reinforcing )
Umpan balik positif (positive feedback loop ) dapat berupa peningkatan ( + ) atau penurunan (- )
Kelahiran
R
Pp opulasi
+
Sumber : Sterman, 2000 : 139 d. Model Stock Flow Diagram (SFD) Penggambaran hubungan kausalitas melalui model CLD dipandang belum mencukupi karena model tersebut tidak mampu memberikan gambaran struktur (bentuk ) sistem secara quantifiable atau berisi nilai- nilai variabel yang dapat dihitung. Karena itu digunakan SFD yang dapat menutup i keterbatasan CLD tersebut. SFD digambarkan dalam notasi Stock-Flow yang merupakan konsep sentral dalam SD. Notasi ‘Stock’ menggambarkan sebuah
29
akumulasi atau inventory (gudang) suatu sistem berupa apa saja, seperti misalnya informasi, keputusan-keputusan, SDM, pelanggan, dan sebagainya. Stock merupakan sumber terjadinya ketidakseimbangan dalam sistem, karena jumlah dan akumulasinya selalu berubah dan perubahannya dipengaruhi oleh apa yang disebut sebagai ‘Flow’ atau aliran atau laju. Sebagai contoh, Stock pegawai selalu berubah karena dipengaruhi oleh ‘laju’ atau ‘Flow’ jumlah pegawai yang masuk dan yang keluar yang terus bergerak naik-turun karena pensiun, keluar, dan rekruitmen (Sterman, 2000). Berikut ini diketengahkan notasi dan simbol-simbol SFD Simbol Stock Simbol Flow Simbol Stock dan Flow
? ?
Stock
Flow
Gambar Struktur Umum SFD Inflow = penambahan stock Outflow= pengurangan stock
? ?
Stock
? Outflow
Inflow
? ?
?
? Pegawai Laju_Pgw_masuk Laju_Pgw_Keluar
Perekrutan_Pgw
? Pensiun
Contoh : SFD Pega wai - Stock = Pegawai - Inflow = Laju Pgw Masuk - Outflow = Laju Pgw Keluar - Auxalery = Perekrutan Pgw - Auxalery = Pensiun
Gambar 2 Notasi Diagram Stock Flow (SFD) (Sumber : Stearman, 2000:193) Dalam gambar Stock-Flow, pada ujung-ujungnya digambarkan simbol ‘awan’ (cloud) yang melambangkan ‘ketidakterbatasan’ (infinite) dari suatu sistem. Kenyataannya dalam dunia nyata, sumber-sumber dalam sistem adalah terbatas dan harus dibatasi, agar sistem mudah dikelola. Di dalam model hal ini juga diimplementasikan, seperti pernyataan Sterman, bahwa : “to keep your models manageable, you must truncate these chains using sources and sinks, represented in stock-flow maps by ‘cloud’ “ . Karena itu dalam
30
implementasi SFD, tidak semua variabel digambarkan dalam SFD, melainkan hanya variabel- variabel yang diduga memiliki efek paling kuatlah yang dinotasikan dalam SFD. e. Grafik Perilaku (Behaviour Over Time) Dalam faktanya, suatu sistem dibedakan melalui perilaku pada waktu yang berbeda (Behaviour Ov er Time/ BOT). Perbedaan perilaku sistem dalam SD digambarkan melalui grafik perilaku sistem menurut waktu (Grafik BOT) yang berbeda-beda. Fungsi Grafik BOT adalah untuk membantu mengamati kecenderungan perilaku sistem dan membantu memilih perilaku yang terbaik (melalui simulasi dalam perangkat lunak powersim) untuk menetapkan skenario -skenario dalam pengambilan keputusan organisasi.
Menurut
Sterman (2000:108), t erdapat 6 (enam) bentuk dasar dari Grafik BOT, yakni : (1) exponential growth, (2) goal seeking, (3) S-shaped growth, (4) oscillation, (5) growth with overshoot, dan (6) overshoot and collapse. Dalam penelitian ini hanya diketengahkan 2 di antaranya yang lazim terjadi yakni perilaku exponential growth dan goal seeking. Berikut ini adalah gambar dan penjelasannya. (1) Exponential Growth
(2) Goal Seeking Goal
Time
Time
Gambar 3 Grafik Perilaku dan Struktur System (Sumber: Sterman, 2000 : 108)
Penjelasan grafik perilaku sistem adalah sebagai berikut : 1). Grafik Exponential Growth Perilaku Exponential growth terjadi karena adanya umpan balik positif (positive feedback atau Reinforcing /R). Sebagai contoh, kelahiran akan meningkatkan populasi (+), populasi akan meningkatkan kelahiran (+) jadi (+)
31
x (+) = (+), atau kematian mengurangi populasi (-), populasi mengurangi kematian (-), jadi (-) x (-) = (+). 2) Grafik Goal Seeking. Perilaku goal seeking disebabkan terjadinya umpan balik negatif (negative feedback atau Balancing/B). Karena terjadinya umpan balik negatif yakni kesenjangan antara kondisi yang aktual dengan yang dikehendaki, maka sistem bereaksi dengan melakukan tindakan koreksi hingga kondisi yang dikehendaki tercapai. Dalam kasus ini peningkatan kinerja tidak bersifat linier namun dibatasi oleh tujuan (goal) yang dikehendaki atau telah ditetapkan. Contoh, pada kepuasan pelanggan, gap yang terdapat antara kepuasan pelanggan yang diinginkan (yakni pada skala 5) dengan kepuasan pelanggan aktual, (skala 3,2), memerlukan suatu tindakan koreksi yang dapat mendongkrak kepuasan pelanggan yang diinginkan (skala 5). Jika tujuan tersebut telah tercapai maka grafik perilaku tidak akan meningkat lagi melainkan mendatar.
f.
Uji Sensitivitas Model Uji sensitivitas adalah untuk mengetahui respon model terhadap suatu stimulus. Respon ditunjukkan dengan perubahan perilaku dan/atau kinerja model, sedangk an stimulus dilakukan dengan memberikan/mengubah perlakuan tertentu pada variabel model. Uji sensitivitas bertujuan untuk menjelaskan sensitivitas parameter, variabel, dan hubungan antar variabel dalam model, sedangkan hasil uji sensitivitas adalah dalam bentuk perubahan perilaku model yang dapat digunakan untuk menganalisis efek intervensi terhadap model. Uji sensitivitas dilakukan melalui perangkat lunak powersim dalam komputer (Muhammadi, dkk, 2001:361). Dalam penelitian ini, uji sensitivitas menghasilkan variabel-variabel kinerja yang berperan sebagai pengungkit (leverage) model kinerja Puskesmas.
g. Skenario Pemberdayaan Fahey dan Randall (1998:4) mengartikan skenario sebagai sebuah deskripsi naratif tentang proyeksi berbagai pilihan yang masuk akal dari bagian-bagian
32
spesifik suatu sistem, di masa yang akan datang. Skenario dilakukan setelah variabel- variabel sensitif ditemukan. Untuk memberikan gambaran skenario yang sesuai dengan kondisi organisasi publik, maka selanjutnya dalam disertasi ini skenario akan disusun berdasarkan pada model kuadran Star (Star, dalam Ringland, 2002:33). Kuadran Star terdiri dari 4 (empat) kuadran yang didasarkan pada kombinasi faktor- faktor kondisional seperti kondisi kepastian dan ketidakpastian (certainty-uncertainty), serta kondisi di mana kontrol dan hirarkhi begitu ketat dengan kondisi di mana jaringan pemberdayaan lebih memungkinkan untuk dilakukan (common-control hierarkhy- empowered networks). Variabel-variabel sensitif yang ditemukan selanjutnya diletakkan di kuadran yang sesuai berdasarkan latar belakang kondisi organisasi. Kuadran C adalah kuadran prioritas karena terdiri dari kombinasi kondisi organisasi yang dipandang lebih fleksibel bagi upaya pemberdayaan. Prioritas kedua adalah kuadran B, dan ketiga adalah D, sedangkan kuadran A dipandang sebagai kuadran yang memiliki kombinasi kondisi organisasi paling berat dalam upaya pemberdayaan. Berikut ini adalah gambar dari kuadran Star.
UNCERTAINTY
COMMON CONTROL HIERARKHY
A
B
D
C
EMPOWERED NETWORKS
RELATIVE CERTAINTY PREDICTABILITY
Gambar 4
Diagram Skenario Model Star (Sumber: Diadopsi dari Skenario Model Star, 2002)
33
h. Simulasi Model Setelah variabel-variabel sensitif ditempatkan pada skenario model Star, maka selanjutnya simulasi variabel- variabel dapat dilakukan secara efektif dengan memprioritaskan variabel- variabel pada kuadran tertentu. Simulasi model merupakan penambahan atau pengurangan 10 hingga 20 % dari nilai- nilai variabel sensitif untuk melihat pola perubahan sistem. Tidak ada batasan berapa kali simulasi harus dilakukan, yang terpenting adalah pada simulasi mana ditemukan perubahan yang paling signifikan yang dapat mempengaruhi bekerjanya sistem. Hasil simulasi berguna untuk menentukan pengaruh variabel tertentu terhadap arah pemberdayaan Puskesmas. Simulasi model dapat dia mati melalui perubahan tabel nilai variabel serta grafik perilaku variabel menurut waktu. i.
Variabel ‘Base Case’ Yakni variabel yang dipilih atau ditetapkan sebagai variabel yang akan diuji melalui simulasi oleh varaiabel- variabel lain dalam sistem. Penetapan variabel ‘base case’ didasarkan pada pertimbangan: (1) bahwa variabel tersebut memiliki kompleksitas dinamika yang tinggi (mempengaruhi dan dipengaruhi oleh sebagian besar variabel- variabel dalam sistem). (2) variabel tersebut menunjukkan kinerja yang cenderung lemah berdasarkan analisis kinerja yang telah dilakukan sebelumnya.
j.
Variabel Sensitif Yakni variabel-variabel yang dalam uji sensitivitas melalui komputer, diketahui memiliki nilai sensitivitas yang kuat terhadap variabel base case.
34