1
PENDAHULUAN Latar Belakang
Remaja merupakan kelompok individu yang mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang pesat, baik dalam hal fisik, mental, intelektual maupun sosial emosional (Hurlock 1991, yang diacu dalam Ali & Asrori 2009).
Ditinjau
dari segi fisiknya, remaja sudah tidak termasuk kelompok anak-anak, namun belum dapat diperlakukan sebagai orang dewasa. Sikap yang sering ditunjukkan oleh remaja seperti memiliki banyak idealisme dan angan-angan, besarnya keinginan untuk berpetualang, rasa ingin tahu yang tinggi serta besarnya keinginan untuk mencoba segala sesuatu, membuat para remaja seringkali terjerumus ke dalam kegiatan atau perilaku negatif (Ali & Asrori 2009).. Data Badan Pusat Statistik (BPS), Bappenas dan UNFPA tahun 2010 menyatakan bahwa separuh dari 63 juta jiwa remaja berusia 10 sampai 24 tahun di Indonesia rentan berperilaku tidak sehat. Masalah yang paling menonjol di kalangan remaja saat ini, adalah masalah seksualitas (hamil di luar nikah, aborsi, terinfeksi penyakit menular seksual ) serta penyalahgunaan narkoba. Disinyalir sebanyak 34.7 persen remaja putri dan 30.9 persen remaja putra yang berusia 14 – 19 tahun pernah melakukan hubungan seksual. Bahkan berdasarkan penelitian Lembaga Studi Cinta dan Kemanusiaan serta Pusat Pelatihan Bisnis dan Humaniora selama 3 tahun (1999-2002) pada tempat kos mahasiswa di Yogyakarta menunjukkan 97,05 persen dari 1660 mahasiswa yang diteliti pernah berhubungan seksual (Antara News, 2010). Kasus aborsi di kalangan remaja juga tinggi, yaitu sebanyak 27 persen dari 2,5 juta wanita yang melakukan aborsi adalah dari kalangan remaja. Pada kasus narkoba diketahui bahwa 1,5 persen dari jumlah penduduk Indonesia atau 3,2 juta jiwa adalah pengguna narkoba dan dari jumlah tersebut, sebanyak 78 persen berasal dari kalangan remaja. Untuk di DKI Jakarta, dari sekitar 300 ribu pengguna narkoba sekitar 45 persen di antaranya adalah pelajar sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas. Hasil survei Badan Narkotika Nasional (BNN) menunjukkan, prevalensi penyalahgunaan narkoba di lingkungan pelajar mencapai 4,7 persen dari jumlah pelajar dan mahasiswa atau sekitar 921.695 orang (Antara News, 2010). Remaja termasuk kelompok yang harus dilindungi hak-haknya karena menurut Undang-undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,
2 yang termasuk dalam kategori anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun. Berdasarkan batasan tersebut, remaja termasuk dalam kategori anak yang perlu dilindungi oleh Negara. Perlindungan anak itu sendiri menurut undang-undang adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Bukan saja karena secara yuridis, remaja termasuk kelompok yang harus dilindungi hak-haknya, namun lebih dari itu karena masa depan negeri ini berada di atas pundak mereka sebagai generasi penerus pembangunan. Remaja saat ini adalah pemimpin masa depan, yang bertanggungjawab atas maju mundurnya peradaban negeri ini, apalagi mengingat jumlahnya yang mencapai 26.8 persen dari 233 juta jiwa penduduk Indonesia atau sekitar 63 juta jiwa (Antara News 2010). Berdasarkan salah satu indikator keberhasilan pembangunan yaitu Human Development Index (HDI), Indonesia berada pada urutan ke-111 dari 182 negara, bahkan tertinggal jauh dengan negara tetangga terdekat yaitu Malaysia (urutan ke-66) dan Singapura (urutan ke-23) pada tahun 2009 (Akhwan 2010). Berkaitan dengan hal tersebut, perlu dilakukan langkah dan strategi yang tepat untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia karena jika tidak dibarengi dengan kualitas yang baik dan penanganan yang serius, maka jumlah remaja yang cukup besar ini tidaklah memberikan makna yang berarti bagi pembangunan. Salah satu aspek penting yang menentukan kualitas sumber daya manusia adalah kemampuan untuk menghadapi tantangan, perubahan maupun situasi
sulit
yang
tidak
mungkin
dihindari
dalam
kehidupan
manusia.
Kemampuan ini akan membuat seseorang mampu bertahan dan bahkan dapat tetap bergerak maju dalam kondisi sulit sekalipun.
Kemampuan inilah yang
disebut dengan resiliensi (Ungar 2008). Perlu penanganan yang komprehensif untuk dapat mempersiapkan mereka menjadi seorang manusia yang dapat mandiri, berdiri sendiri dan mampu bertahan dengan baik dalam berbagai situasi dan kondisi, termasuk apabila remaja itu mengalami berbagai permasalahan dan kesulitan hidup, yang tentu akan memiliki dampak pada lingkungan di sekitarnya (Ali & Asrori 2009).
3 Resiliensi pada remaja menjadi suatu hal yang penting karena dengan resiliensi yang baik maka seseorang akan memiliki kemampuan untuk beradaptasi terhadap situasi-situasi berat dalam hidupnya.
Ada orang yang
menyikapi kesulitan hidup, dengan memilih jalan yang negatif seperti halnya menjadi pesimis, frustasi, putus asa hingga melakukan bunuh diri. Di sisi lain, orang yang resilien akan berusaha dengan sekuat tenaganya untuk bangkit dan menghadapi kesulitan hidupnya ini dengan sikap positif, ia bahkan mampu mengatasi kesulitannya dan mengubahnya menjadi sesuatu yang positif (Sanni 2009). Pada umumnya, resiliensi ditandai dengan adanya hasil yang baik meskipun dalam kondisi kesulitan, mampu untuk tetap memiliki kompetensi walaupun berada di bawah tekanan ataupun adanya proses pemulihan dari trauma (Masten dan Coatsworth 1998 diacu dalam Kalil, 2003). Resiliensi tidak bersifat statis, tetapi dinamis dengan adanya sebuah proses yang dapat berubah seiring dengan waktu dan keadaan (Cicchetti & Toth 1998 diacu dalam Kalil 2003). Dalam memahami resiliensi, ada 2 faktor penting yang perlu diperhatikan, yaitu faktor resiko (risk factor) dan faktor protektif (protective factor).
Faktor
protektif merupakan karakteristik individu, keluarga dan lingkungan yang dapat membantu melindungi seseorang dari efek negatif faktor resiko. memang tidak terbentuk secara otomatis pada diri seseorang.
Resiliensi
Kemampuan
tersebut mulai terbentuk sejak usia dini dan terus berkembang seiring dengan pengalaman hidup yang dialami seseorang.
Dalam hal ini, keluarga sebagai
lingkungan sosial utama, paling berperan dalam membentuk resiliensi remaja (Davis 1999). Berdasarkan penelitian Dahesihsari (1996), remaja yang berasal dari keluarga dengan kondisi yang kondusif ternyata mampu bereaksi secara konstruktif dalam menganggulangi masalahnya. Melalui penelitian ini akan dilakukan kajian resiliensi remaja sebagai sebuah prediksi berdasarkan faktor protektif (internal dan eksternal) serta faktor resiko, sehingga dapat memberikan gambaran lebih mendalam tentang resiliensi remaja. Resiliensi ini bersifat investasi yang diharapkan akan dapat muncul pada saat remaja mengalami kesulitan. Dengan mengetahui resiliensi sebagai sebuah investasi maka dapat dilakukan langkah intervensi dalam upaya peningkatannya seperti penelitian yang telah dilakukan oleh Luvaas (2010). Dalam penelitian Luvaas tersebut terbukti bahwa setelah dilakukan intervensi,
4 terlihat ada peningkatan yang signifikan pada resiliensi siswa. Hal ini menunjukkan bahwa upaya peningkatan resiliensi remaja bukanlah suatu hal yang mustahil untuk dilakukan. Dengan adanya upaya preventif ini diharapkan dapat meminimalisir tindakan-tindakan antisosial yang kini banyak terjadi di masyarakat dan memaksimalkan potensi remaja sebagai generasi penerus bangsa. Perumusan Masalah
Permasalahan yang dihadapi remaja memiliki karakteristik yang agak berbeda dengan kelompok individu pada rentang usia lainnya karena dapat menimbulkan permasalahan sosial berupa perilaku negatif yang bukan hanya merugikan diri sendiri, namun juga orang-orang yang ada di sekitarnya. Perilaku negatif ini antara lain tawuran, pemakaian obat-obatan terlarang, seks bebas, dan perilaku lainnya yang bersifat destruktif. Adanya kesulitan hidup yang dihadapi akan dapat meningkatkan potensi terjadinya perilaku destruktif ini. Kesulitan hidup dapat berupa bencana atau kejadian tidak terduga lainnya, adanya lingkungan yang mendorong terjadinya perilaku negatif ataupun perubahan-perubahan dalam situasi sosial dan ekonomi. Dalam kaitannya dengan resiliensi sebagai kemampuan individu bangkit dari kesulitan maka seseorang yang resilien akan mampu menjawab tantangan dan kesulitan yang dihadapi dengan bersikap positif atau bahkan lebih baik dari sebelumnya. Individu yang resilien adalah individu yang dapat menghindarkan diri dari melakukan perilaku negatif dan memberikan peluang bagi dirinya untuk meneruskan tugas-tugas perkembangan selanjutnya dan meraih masa depan yang lebih baik (Kalil 2003).
Kemampuan untuk menghindari perilaku
bermasalah ini merupakan indikator penting bagi resiliensi remaja, sehingga penting pula untuk meneliti resiliensi ini sebagai bagian dari tugas perkembangan remaja. Pada dasarnya penelitian tentang resiliensi di Indonesia masih relatif baru. Berdasarkan beberapa penelitian terdahulu, resiliensi dapat diukur pada individu yang berada dalam kesulitan, misalnya korban bencana alam (Volia 2007), individu yang mengalami depresi (Erdem 2008), pengguna narkoba (Fergus & Zimmermann 2004), anak yang memiliki keterbatasan fisik atau penyakit berat (Alriksson-Schmidt AI et al.
2007) dan anak yang pernah
mengalami abuse atau neglect di masa kecilnya (Yuliatin 2007). Pada kelompok
5 individu ini, resiliensi dilihat sebagai sebuah hasil dari proses panjang yang dialami individu berdasarkan pengalaman-pengalaman atau kejadian-kejadian yang berlangsung dalam hidupnya. Penelitian resiliensi juga dapat dilakukan pada kelompok individu yang berada dalam kondisi normatif. Dalam hal ini, resiliensi dilihat sebagai sebuah investasi yang dimiliki individu yang diharapkan akan muncul pada saat individu tersebut mengalami kesulitan hidup (Kaya 2007; LaFromboise et al. 2006). Penelitian resiliensi juga dapat dilakukan sebagai upaya intervensi dalam rangka meningkatkan resiliensi melalui kegiatan-kegiatan yang positif (Luvaas 2010). Jika dikaitkan dengan beberapa model atau pendekatan penelitian terdahulu, maka penelitian ini dilakukan berdasarkan pendekatan yang memandang bahwa resiliensi merupakan sebuah investasi dan dapat diprediksi berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Adapun faktor- faktor yang mempengaruhi resiliensi adalah faktor protektif dan faktor resiko. Faktor protektif yang berasal dari individu disebut dengan faktor internal, sedangkan faktor protektif yang berasal dari lingkungan di luar individu disebut dengan faktor eksternal. Faktor protektif eksternal terdiri atas faktor keluarga, faktor sekolah, faktor teman sebaya dan faktor masyarakat. Faktor resiko juga dapat berasal dari individu, keluarga dan lingkungan (Benard 2004; Gizir 2004). Dengan penelitian ini diharapkan akan diperoleh informasi yang lebih komprehensif terutama yang berkaitan dengan kondisi remaja saat ini dan juga faktor-faktor yang mempengaruhi resiliensi. Lebih lanjut lagi, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai acuan untuk meminimalisir permasalahan remaja yang kerap terjadi. Perbedaan jenis kelamin sebagai sebuah faktor bawaan (nature) dimungkinkan dapat menimbulkan perbedaan pada resiliensi (Kaya 2007). Perbedaan wilayah dengan perbedaan faktor sosial budaya dimungkinkan akan menghasilkan resiliensi yang berbeda pula (Ungar 2008). Perbedaan resiliensi remaja juga kemungkinan akan dapat dilihat berdasarkan jenis sekolah. Oleh karena itu, dengan pertimbangan akan dapat terlihat data dan fakta yang beragam, maka penelitian ini menggunakan faktor jenis kelamin, jenis sekolah (SMA dan SMK) dan tipologi wilayah (pedesaan dan perkotaan) sebagai variabel yang diteliti.
6 Secara garis besar, ada beberapa permasalahan yang akan dijawab dalam penelitian ini, yaitu: 1.
Bagaimanakah
faktor
protektif,
faktor
resiko
dan
resiliensi
remaja
berdasarkan jenis kelamin, jenis sekolah dan tipologi wilayah? 2.
Apakah terdapat perbedaan faktor protektif, faktor resiko dan resiliensi remaja berdasarkan jenis kelamin, jenis sekolah dan tipologi wilayah?
3.
Apakah terdapat pengaruh faktor protektif dan faktor resiko terhadap resiliensi remaja?
Tujuan Penelitian Tujuan Umum Penelitian ini bertujuan untuk memprediksi resiliensi remaja berdasarkan faktor protektif dan faktor resiko berdasarkan jenis kelamin, jenis sekolah dan tipologi wilayah.
Tujuan Khusus 1.
Mengidentifikasi faktor protektif, faktor resiko dan resiliensi remaja berdasarkan jenis kelamin, jenis sekolah dan tipologi wilayah.
2.
Menganalisis perbedaan faktor protektif, faktor resiko dan resiliensi remaja, berdasarkan jenis kelamin, jenis sekolah dan tipologi wilayah
3.
Mengetahui pengaruh karakterististik individu, karakteristik sosial ekonomi, faktor protektif dan faktor resiko terhadap resiliensi remaja.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat menyediakan informasi kepada para orang tua mengenai kualitas lingkungan keluarga yang baik bagi perkembangan anak khususnya remaja.
Langkah selanjutnya, orang tua diharapkan dapat
memberikan lingkungan yang kondusif bagi terbentuknya resiliensi remaja. Penelitian ini diharapkan juga dapat memberikan masukan kepada pihak sekolah untuk lebih meningkatkan resiliensi remaja melalui kegiatan-kegiatan intra dan ekstrakurikuler. Berbagai langkah preventif khususnya yang berkaitan dengan program ketahanan keluarga dan ketahanan remaja diharapkan juga dapat dilakukan oleh pemerintah dan lembaga terkait informasi dari penelitian ini.
dengan mendapatkan
7 Penelitian ini diharapkan juga dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan khususnya ilmu keluarga dan perkembangan anak. Lebih jauh lagi, penelitian ini diharapkan dapat menjadi landasan untuk pelaksanaan penelitianpenelitian lanjutan, baik tentang kualitas lingkungan keluarga maupun tentang resiliensi remaja di masa yang akan datang.