1
PENDAHULUAN Latar Belakang Hasil survei Human Development Index (HDI) atau indeks pembangunan manusia menunjukkan bahwa Indonesia hanya menduduki urutan 109 dari 179 negara di dunia. Survei tersebut dilakukan tahun 2006 dan dikeluarkan pada 18 Desember 2008 (Kuncoro 2008). Bukti ini menunjukkan bahwa posisi Indonesia masih dapat dibilang terpuruk dilihat dari sisi kualitas SDM. Krisis multidimensi di tengah persaingan global pun menjadi masalah berat bagi bangsa Indonesia sekarang ini. Banyak
sekali
yang
harus
dibenahi
untuk
mencapai
tingkat
perkembangan kualitas SDM Indonesia yang baik. Salah satu caranya adalah dengan meningkatkan mutu pendidikan. Sebagai ujung tombak kebangkitan bangsa, pendidikan memegang peranan penting untuk menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas tinggi melalui pendidikan yang berkualitas. Oleh karena itu, pemerintah berupaya menyelenggarakan pendidikan yang berkualitas dan diantaranya adalah dengan menciptakan program akselerasi dan kelas internasional. Di Indonesia sendiri, terdapat 311 sekolah dari 126.000 sekolah umum yang ada dan 12 sekolah madrasah di seluruh Indonesia yang mewadahi kelas akselerasi (Anonim 2010). Selain itu juga terdapat 1.329 SD, SMP, dan SMA/SMK berstatus rintisan sekolah bertaraf internasional yang izinnya diberikan pada 2006-2010 (Amang 2011). Menurut Peraturan Pemerintah no. 17/2010 Pasal 134 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, tujuan diadakannya program akselerasi adalah mewadahi peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengembangkan potensi keunggulan peserta didik menjadi prestasi nyata sesuai dengan karakteristik keistimewaannya. Kelebihan program akselerasi menurut Southern dan Jones (1991) diacu dalam Silvana (2010) adalah efisiensi waktu belajar karena adanya pemangkasan waktu, efektifitas proses belajar mengajar karena siswa akselerasi memiliki kualifikasi tertentu sehingga proses transfer materi pelajaran lebih mudah diserap, akomodasi bagi siswa yang membutuhkan fasilitas untuk menunjang kemampuannya yang istimewa, mempercepat waktu untuk berkarir, siswa dimungkinkan untuk bergabung dengan siswa lain yang memiliki kemampuan intelektual dan akademis yang sama. Akselerasi sebagai model layanan pembelajaran dengan cara lompat kelas, misalnya bagi siswa berbakat yang
2
memiliki kemampuan unggul diberi kesempatan untuk mengikuti pelajaran pada kelas yang lebih tinggi. Selain itu akselerasi dapat diartikan sebagai peringkasan program, sehingga dapat dijalankan dalam waktu lebih cepat. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menganalisis materi pelajaran dengan mencari materi yang esensial dan kurang esensial. Kesimpulannya kelas akselerasi adalah kelas percepatan yang
memberikan layanan pendidikan dengan menyelesaikan
belajar dalam waktu lebih cepat dibandingkan dengan kelas reguler. Untuk kelas SBI sendiri,
Permendiknas nomor 78 tahun 2009
menetapkan tujuan program tersebut adalah untuk menghasilkan lulusan yang dapat bertahan dan berkompetisi di tengah persaingan lokal maupun global, baik itu nasional maupun internasional. Program SBI sendiri mempunyai beberapa keunggulan diantaranya adalah lulusan SBI dapat melanjutkan pendidikan pada satuan pendidikan yang bertaraf internasional, baik di dalam maupun di luar negeri, lulusan SBI dapat bekerja pada lembaga-lembaga internasional dan/atau negara-negara lain, dan lulusan SBI meraih medali tingkat internasional pada berbagai kompetisi sains, matematika, teknologi, seni, dan olah raga (Astika 2011). Untuk mencapai tujuan SBI beberapa mata pelajaran seperti Matematika, Fisika, Kimia, Biologi, dan Ekonomi harus diselenggarakan dalam bahasa Inggris dalam
sistem
pembelajaran kelas
bilingual.
Model
ini
mengasumsikan
pengetahuan dan keterampilan guru dan siswa dalam berbahasa Inggris sudah mencapai tingkat lanjut seiring berjalannya proses pembelajaran. Dipungkiri atau tidak, berbagai model pembelajaran dan sekolah yang berkembang saat ini masih mengedepankan aspek perkembangan kognitif saja meski gaung tentang konsep pembelajaran yang menyeimbangkan otak kiri dan otak kanan sudah mulai terdengar. Disinyalir, kelas akselerasi dan SBI pun masih berdiri di pusaran model pembelajaran dengan paradigma seperti ini. Untuk kelas akselerasi Sekolah Menengah Atas (SMA), proses pendidikan yang selazimnya ditempuh selama tiga tahun, dapat diringkas menjadi hanya dua tahun saja. Hal ini tentu menciptakan tekanan sendiri bagi murid mengingat jadwal akademik yang relatif lebih padat dan syarat-syarat yang harus dipenuhi terbilang cukup berat (Southern dan Jones 1991 diacu dalam Fuad
2008).
Begitu
pula
dengan
sekolah
yang
menerapkan
standar
internasional, tentu mengharuskan pesertanya fasih berbahasa internasional. Masalahnya adalah dengan bermacam prasyarat bagi pelaksanaan konsep kelas internasional ini, kesiapan berbagai stakeholder terutama guru dan siswa belum memiliki kesiapan yang matang dalam menerapkan Bahasa Inggris dalam
3
kehidupan sehari-hari. Tentulah hal ini akan menjadi penghambat dalam proses penyampaian materi pelajaran. Lagi-lagi, tuntutan seperti ini dikhawatirkan akan “memaksa” siswa untuk mengejar target akademik secara amoral, yakni dengan menghalalkan berbagai cara. Menurut Southern dan Jones (1991) diacu dalam Fuad (2008) menyatakan bahwa program akselerasi memiliki potensi negatif karena bahan ajarannya yang terlalu tinggi dan proses belajarnya yang terlalu ketat, sehingga siswa kemungkinan tidak berkembang secara sosial, fisik, dan emosional. Tentu
sistem
pendidikan
yang
terlalu
beorientasi
kognitif
dan
memaksakan sistem tersebut pada seseorang yang memiliki potensi selain di ranah kognitif akan mengganggu proses belajarnya. Ketidaksesuaian yang dirasakan
akan
mempengaruhi
motivasinya
dalam
melakukan
proses
pembelajaran. Tekanan yang dirasakan akan mempengaruhi suasana hati dan keinginannya untuk bertahan dalam persaingan yang ketat dan jadwal akademik yang padat. Bergantung dari bagaimana siswa ingin meraih tujuan pribadinya, apakah ia akan belajar sunguh-sungguh demi meningkatkan kualitas dirinya sebagai pelajar atau hanya sekedar untuk beradaptasi di tengah lingkungannya. Proses siswa menjalani itu semua akan sangat ditentukan oleh motivasinya, apakah muncul dari dalam pribadinya atau timbul karena keterpaksaan dan dorongan dari luar dirinya. Seharusnya pendidikan dapat mengakomodasi setiap individu dalam mengoptimalkan potensinya, sesuai bakat dan minatnya, agar bermanfaat tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga sebagai kontribusinya kepada bangsa. Sesuai dengan teori Gardner (1983), sesungguhnya terdapat berbagai kecerdasan yang berbeda-beda porsinya dalam diri setiap individu. Gardner (1983) mengemukakan bahwa kecerdasan seseorang meliputi unsur-unsur kecerdasan matematika logika, kecerdasan bahasa, kecerdasan musikal, kecerdasan visual spasial, kecerdasan kinestetik, kecerdasan interpersonal, kecerdasan intrapersonal, dan kecerdasan naturalis. Dengan memahami kelebihan dan kekurangan dirinya, siswa akan lebih mudah beradaptasi karena siswa bisa memanfaatkan kelebihan dan kekurangan yang dimiliki untuk memotivasinya menjalankan sesuatu. Semakin mudah beradaptasi maka akan semakin mudah pula siswa berinteraksi dan membangun hubungan sosial dengan lingkungannya. Oleh sebab itu, sangat diperlukan kemampuan intrapersonal dan interpersonal siswa sebagai modal untuk bertahan di tengah
4
takanan akademik dan persaingan yang ketat dalam menjalankan proses pembelajarannya. Merujuk pada kemampuan yang secara unik dimiliki berbeda-beda oleh setiap manusia, peneliti tertarik untuk mengetahui lebih dalam bagaimana kecerdasan intrapersonal dan interpersonal yang terdapat pada masing-masing individu. Penting sekali untuk menelusuri lebih jauh
bagaimana seseorang
mengetahui potensi apa yang dimilikinya dan bagaimana ia memanfaatkannya untuk kehidupan pribadi dan sosialnya. Oleh karenanya, penelitian ini akan mengekplorasi tingkat perkembangan nilai moral, motivasi belajar, kecerdasan intrapersonal, dan kecerdasan interpersonal yang dimilki oleh siswa SMA akselerasi dan SBI. Perumusan Masalah Sistem pendidikan Indonesia yang kurang menunjang peningkatan kualitas individu yang memiliki beragam potensi telah melahirkan SDM dengan mutu yang rendah. Pendidikan yang dirancang terlalu menekankan ranah kognitif, sehingga potensi individu yang sejatinya unik dan berbeda-beda terpaksa diarahkan hanya pada kemampuan otak kiri manusia. Pendekatan yang dilakukan untuk memberikan pelajaran kepada para siswa di sekolah masih bersifat kaku karena siswa terpaksa mengandalkan kekuatan menghapal. Ditambah lagi paradigma masyarakat mengenai keberhasilan atau kesuksesan seorang anak di sekolah hanya dilihat dari data statistik, perkembangan nilai siswa, semakin tinggi nilainya, semakin dihargai dan dianggap pintar, begitu pula sebaliknya. Implikasinya, para siswa yang memiliki potensi terbesar bukan pada ranah kognitif menjadi termarjinalkan, siswa mencari “jalan lain” untuk mencapai tujuan pendidikan “yang dipaksakan”. Kompetisi yang ditempuh untuk mencapai nilai terbaik melahirkan berbagai cara, mulai dari belajar dengan bersungguh-sungguh sampai “menelikung” dengan taktik mencuri jawaban, membeli soal ujian, menyogok, dan lain-lain. Terdapat sekitar 60 – 70% siswa yang mengakui pernah mencontek paling sedikit dalam satu ujian yang siswa ikuti. Selain itu, terdapat tren bahwa angka ini terus meningkat sepanjang waktu. Hal ini sangat mengkhawatirkan, mengingat perilaku ini dapat saja menetap ketika siswa masuk dalam dunia kerja (Power 2007). Penelitian terdahulu menunjukan bahwa terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi perilaku mencontek, yang meliputi faktor-faktor individual dan faktor-faktor kontekstual. Penelitian Hasan (2007), terlihat bahwa sekitar
5
90,7 % siswa kelas XI SMA usia 16-18 tahun, pernah mencontek minimal satu kali, bahkan sebagian besar (65,1%) mencontek lebih dari 10 kali. Bahkan pihak sekolah pun tidak kalah “perjuangannya” demi meluluskan para siswa, tidak hanya dengan cara yang dibenarkan tetapi juga rela melibatkan diri dalam berbagai kecurangan agar nama baik sekolah tidak tercoreng karena ada siswanya yang tidak lulus. Hal ini diperlihatkan dengan banyaknya kasus contek massal yang marak terjadi ketika ujian. Para siswa yang pintar dan jujur justru dipaksa oleh sekolah untuk menolong teman-temannya lulus dengan cara yang tidak dibenarkan. Tidak mengherankan jika sedari kecil sudah terbiasa dididik dengan cara yang tidak benar, maka hasilnya pun terlihat dari kebiasaan yang terlihat saat seseorang sudah menginjak usia dewasa. Banyak sekali praktik pelanggaran norma-norma agama, sosial, hukum, dan lainnya. Padahal sedari kecil anak-anak sudah ditanamkan berbagai nilai dan norma melalui pelajaran agama dan PPKN (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan), tetapi pendidikan moral yang sudah diberikan pada anakanak melalui kedua mata pelajaran tersebut dirasakan belum dapat memuaskan dalam aplikasinya di dunia nyata. Pemberian ilmu-ilmu tersebut hanya menuntut anak untuk mempunyai kepribadian baik dengan akhlak terpuji diatas selembar kertas, melalui nilai-nilai akademis tinggi, bukan dengan implementasi perilaku sehari-hari. Hal ini sejalan dengan apa yang telah diungkapkan oleh Wynne (1991) dalam Megawangi (2007), bahwa 95 persen kemungkinan seorang manusia mengetahui batas antara yang benar dan salah atau baik dan buruk, masalahnya seseorang belum tentu berkomitmen untuk mewujudkannya dalam tindakan nyata. Dilihat dari proses belajar akselerasi yang sangat mengedepankan kemajuan akademik dengan menetapkan standar yang cukup berat, hal ini akan memunculkan ketimpangan di sisi tertentu seperti kurangnya pendidikan moral dan pengabaian potensi anak yang lain. Penelitian Prihatina (2011) menunjukkan bahwa tingkat stress yang dimiliki siswa kelas akselerasi lebih tinggi tetapi mempunyai kecerdasan emosional yang lebih rendah dibandingkan kelas reguler atau kelas biasa. Pada penelitian Fuad (2008) ditemukan bahwa tekanan akademik yang tinggi menciptakan suasana kompetensi individual yang berhubungan negatif dengan kemampuan sosial dan moral para siswanya. Hal ini disebabkan konsentrasi siswa yang hanya berpusat pada peningkatan sisi akademik. Penelitian ini didukung oleh pendapat Southern dan Jones (1991) diacu dalam Fuad (2008) bahwa program akselerasi juga dapat berpotensi
6
negatif terhadap para siswanya, meskipun memenuhi persyaratan dalam bidang akademis, siswa akseleran kemungkinan tidak berkembang secara sosial, fisik, dan emosional dalam tingkatan kelas tertentu, karena bahan ajaran yang terlalu tinggi bagi siswa akseleran adakalanya akan membuat siswa menjadi tertinggal dibelakang kelompok teman barunya. Selain kelas akselerasi, kelas SBI juga dinilai belum keluar dari fokus kognitif dalam proses pembelajarannya karena terlihat memaksakan siswa dan guru belajar dalam bahasa Inggris padahal sebagian besar guru tidak memiliki kapasitas untuk mengajar dengan bahasa Inggris. Berdasarkan hasil test TOEIC pada 600 guru dan kepala sekolah RSBI terungkap bahwa 60% dari siswa berada pada level paling rendah kemampuan bahasanya. Hal ini tentu akan berimplikasi pada efektifitas proses belajar mengajar di kelas (Dharma 2007). Seharusnya, para pengajar tidak hanya berlaku sebagai pengajar, tetapi juga sebagai pendidik. Oleh karena itu, siswa membutuhkan pendorong dari para pendidiknya agar motivasi siswa untuk terus belajar selalu terbarukan. Sayangnya kondisi seperti ini terbilang sulit untuk dicapai karena pada kenyataannya, sekolah harus mengejar target yang ditetapkan oleh sistem pendidikan di Indonesia. Implikasinya, siswa merasa dipaksa untuk mencapai target. Keterpaksaan ini tentu saja berdampak pada motivasi belajar siswa. Untuk itu perlu ditelusuri lebih dalam bagaimana seorang siswa menjalani proses pendidikannya. Menurut hasil penelitian Suherni (2010), walaupun tidak terdapat perbedaan yang nyata antara kecerdasan intrapersonal dan kecerdasan interpersonal antara remaja yang berlatar pendidikan SBB (Semai Benih Bangsa), TK (Taman Kanak-Kanak) dan non TK, tetapi dilihat dari jumlah skor, remaja yang merupakan lulusan SBB memiliki skor yang paling tinggi. Hal ini disebabkan SBB menerapkan sistem pendidikan berbasis karakter melalui pendekatan DAP (Developmentally Appropriate Practices). Pendekatan ini memberikan perhatian dan perlakuan untuk anak secara utuh, sehingga semua aspek manusia secara bersamaan dapat dikembangkan, seperti meningkatkan kemampuan intelektual, sosial, dan karakter anak secara simultan (Megawangi 2007). Tentu akan sangat berbeda hasilnya jika sistem pendidikan yang diberlakukan masih condong kepada salah satu atau sebagian potensi anak saja. Sistem pendidikan yang berorientasi kognitif saja cederung mengabaikan potensi anak yang lain tentu akan mengganggu perkembangan anak secara optimal. Diantara sekian banyak model pembelajaran, terdapat indikasi bahwa kelas
7
akselerasi, internasional, maupun konvensional (reguler) masih mengedepankan perkembangan otak kiri semata. Jika dilihat dari hasil penelitian Susanti (2010), rata-rata kematangan emosi siswa SMP RSBI lebih rendah dibandingkan dengan kelas reguler. Selain itu, Suryaningsih (2011) menemukan bahwa perbedaan fasilitas yang diperoleh antara siswa kelas RSBI dengan siswa kelas reguler menciptakan hambatan sosial diantara keduanya. Siswa kelas RSBI yang menikmati sarana lebih baik merasa kesulitan dalam berinteraksi dengan siswa lain yang tidak “eksklusif” sehingga hal ini mempengaruhi kemampuan siswa untuk berbaur dengan orang di luar komunitasnya. Sangat penting menanamkan nilai-nilai luhur mengenai kebajikan dan pentingnya mencari ilmu, bukan hanya untuk memperoleh nilai-nilai terbaik di atas selembar ijazah, tetapi juga untuk meningkatkan kualitas seseorang yang memperkaya dirinya dengan ilmu pengetahuan dan pengalaman berharga. Karena seorang pembelajar sejati tentu harus mampu mengenali kekuatan dan kelemahan yang dimilikinya, karena dengan begitu, ia mampu memotivasi dirinya sendiri untuk terus meningkatkan kualitas pribadinya. Salah satu kemampuan ini dapat dilihat dari kecerdasan intrapersonal dengan kesadaran dan pengetahuan tentang diri sendiri serta sangat menghargai nilai (aturan-aturan), etika (sopan santun), dan moral. Seorang individu yang menghargai nilai-nilai yang berlaku di masyarakat, mengedepankan etika dan moral dalam menjalani kehidupannya akan menciptakan kondisi menguntungkan bagi lingkungan sosialnya. Kemampuan seperti inilah yang terdapat pada seseorang yang memiliki kecerdasan interpersonal yang baik. Sayangnya, anak tidak diajarkan dan dilatih untuk mengenal dirinya sendiri, apa tujuan hidupnya, untuk apa ia menjalani kehidupan, dan bagaimana ia menjalaninya, sehingga tidak ada penghormatan bagi anak untuk kehidupan (Coles 1997). Jika seseorang tidak mengenali, memahami, bahkan menghargai dirinya sendiri, maka akan sangat sulit untuk mengenali, memahami, dan menghargai kehidupan di luar dirinya. Menilik permasalahan di atas, maka timbul beberapa pertanyaan yang akan dijawab melalui penelitian ini: 1. Bagaimana perbedaan karakteristik siswa, karakteristik keluarga, tingkat perkembangan nilai moral, motivasi belajar, kecerdasan intrapersonal, dan kecerdasan interpersonal siswa SMA pada kelas akselerasi, SBI, dan reguler?
8
2. Bagaimana hubungan karakteristik siswa dan karakteristik keluarga dengan tingkat perkembangan nilai moral, motivasi belajar, kecerdasan intrapersonal, dan kecerdasan interpersonal siswa SMA ? 3. Bagaimana hubungan antara tingkat perkembangan nilai moral, motivasi belajar, kecerdasan intrapersonal, dan kecerdasan interpersonal siswa SMA? Tujuan Penelitian Tujuan Umum: Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tingkat perkembangan nilai moral, motivasi belajar, kecerdasan intrapersonal, dan kecerdasan interpersonal siswa SMA pada kelas akselerasi, SBI, dan reguler. Tujuan Khusus: 1. Menganalisis perbedaan karakteristik siswa, karakteristik keluarga, tingkat perkembangan nilai moral, motivasi belajar, kecerdasan intrapersonal, dan kecerdasan interpersonal siswa pada kelas akselerasi, SBI, dan reguler. 2. Menganalisis hubungan karakteristik siswa dan karakteristik keluarga dengan tingkat perkembangan nilai moral, motivasi belajar, kecerdasan intrapersonal, dan kecerdasan interpersonal siswa. 3. Menganalisis hubungan antara tingkat perkembangan nilai moral, motivasi belajar, kecerdasan intrapersonal, dan kecerdasan interpersonal siswa. Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan menjadi sumbangsih keilmuan yang dapat dimanfaatkan
untuk
pihak
sekolah
dan
orang
tua
mengenai
tingkat
perkembangan nilai moral, motivasi belajar, kecerdasan intrapersonal, dan kecerdasan interpersonal siswa pada kelas akselerasi, SBI, dan reguler sehingga dapat dijadikan referensi bagi keluarga atau orang tua yang ingin memasukkan anaknya ke sekolah dengan berbagai alternatif model pembelajaran. Selain itu, penelitian ini dapat digunakan oleh pemerintah sebagai salah satu bahan pertimbangan dalam menetapkan kebijakan terkait pendidikan untuk remaja dan diharapkan dapat berkontribusi dalam perkembangan IPTEK khususnya di bidang ilmu keluarga dan perkembangan anak.