PENDAHULUAN Latar Belakang Salah satu butir yang tercantum dalam pembangunan milenium (Millenium Development Goals) adalah menurunkan proporsi penduduk miskin dan kelaparan menjadi setengahnya antara tahun 1990-2015. Dalam rangka pencapaian tujuan tersebut, pada Konferensi Dewan Ketahanan Pangan tahun 2006 para Gubernur telah bersepakat untuk menurunkan jumlah penduduk yang miskin dan kelaparan di wilayahnya masing-masing minimal satu persen setiap tahunnya (BKP 2006a). Sampai dengan Maret 2006 jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan cukup tinggi, yaitu 17.75 persen (BPS 2006a). Menurut para ahli, kemiskinan sangat dekat dengan kelaparan. Meskipun upaya penurunan penderita kelaparan telah dilaksanakan namun sampai kini masih terdengar adanya kasus gizi kurang maupun gizi buruk. Kelaparan sebagai akibat tidak cukup pangan baik jumlah maupun kualitasnya. Pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok yang pemenuhannya merupakan bagian dari hak azazi manusia (HAM), sebagaimana diamanatkan dalam UU Pangan No 7 tahun 1996. Dalam rangka menindaklanjuti pelaksanaan UU Pangan tersebut, maka pembangunan di bidang pangan harus diwujudkan secara merata di seluruh wilayah sepanjang waktu, dengan memanfaatkan sumberdaya, kelembagaan dan budaya lokal. Pemenuhan hak masyarakat Indonesia akan pangan adalah salah satu bentuk dari tujuan pembangunan ketahanan pangan yang antara lain dapat diwujudkan melalui program diversifikasi pangan. Pada Konferensi Dewan Ketahanan Pangan yang dihadiri para Gubernur dan Bupati/Walikota, diversifikasi pangan diangkat sebagai salah satu isu utama dan dituangkan dalam salah satu butir kesepakatan untuk dilaksanakan sesuai dengan kondisi dan situasi daerah, dengan mengutamakan sumber pangan lokal untuk mencegah ketergantungan beras sesuai dengan Pola Pangan Harapan (PPH). Cikal bakal program diversifikasi pangan telah ada sejak lebih dari empat puluh tahun yang lalu, namun demikian tingkat keberhasilan program tersebut sampai kini belum sesuai dengan yang diharapkan. Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi
2 Nasional (Susenas) tahun 2005 yang diolah oleh Badan Ketahanan Pangan untuk Indonesia/nasional diketahui rata-rata konsumsi energi sebesar 1.997 kkal per kapita per hari, sedangkan protein sebesar 55.7 gram/kapita/hari (BKP 2007). Konsumsi energi tersebut masih berada di bawah Angka Kecukupan Energi sesuai Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) 2004, yaitu sebesar 2.000 kkal/kapita/hari. Kecukupan konsumsi protein yang dianjurkan adalah sebesar 52 gram/kapita/hari. Kontribusi energi konsumsi pangan penduduk Indonesia terbesar adalah dari kelompok padi-padian terutama beras. Hal tersebut menyebabkan pola pangan penduduk belum sesuai pola pangan ideal, dimana skor Pola Pangan Harapan tersebut baru mencapai 79.1 (Bappenas 2007). Rendahnya skor terkait dengan ketidakseimbangan pola konsumsi pangan yang antara lain dicirikan oleh masih sangat tingginya kontribusi energi padi-padian dalam pola konsumsi sebesar 1.241 kkal (62.1% dari total energi), rendahnya konsumsi sayuran dan buah-buahan yang hanya menyumbang energi sebesar 93 kkal (4.7% dari total energi), pangan hewani
(139
kkal)
dan
kacang-kacangan
(67
kkal)
(BKP
2006b).
Ketidakseimbangan pola konsumsi tersebut tidak menguntungkan, karena peningkatan produksi pangan banyak mengalami rintangan. Konversi lahan pertanian tanaman pangan yang semakin marak sepanjang tahun, akan menghambat pencapaian pemenuhan produksi pangan. Pengalihan fungsi lahan pertanian banyak terjadi di Pulau Jawa terutama untuk perumahan, industri, maupun
pembangunan
prasarana
transportasi.
Kejadian
tersebut
sangat
disayangkan, karena pulau ini dengan luas daratan 6.5% dari daratan Indonesia memasok kebutuhan pangan nasional sebesar 53% (Kompas 2008). Martianto (1995) dalam laporan penelitiannya menerangkan bahwa dengan membaiknya pendapatan penduduk ternyata diikuti pula oleh semakin bergesernya pola konsumsi pangan pokok ke arah pola konsumsi tunggal, yaitu pola beras. Komposisi pangan yang ideal sesuai dengan kaidah PPH, khususnya dari kelompok pangan padi-padian adalah 50% (setara 1.000 kkal), sedangkan untuk kelompok pangan sayur dan buah sebesar 6% dari total kecukupan energi. Peningkatan kualitas dan kuantitas konsumsi pangan yang ideal memerlukan upaya-upaya penyediaan pangan, peningkatan pendapatan dan daya beli yang
3 diiringi dengan perbaikan pengetahuan gizi. Hal ini disebabkan konsumsi pangan yang defisit pada umumnya dari kelompok pangan sumber protein, serta sayuran dan buah-buahan yang relatif mahal harganya. Melalui upaya peningkatan pengetahuan gizi, memungkinkan pengelolaan sumberdaya akan lebih baik, sehingga masyarakat dapat memilih jenis bahan pangan yang bermutu gizi tinggi dengan harga terjangkau. Oleh karenanya upaya diversifikasi konsumsi pangan masih selalu menjadi tujuan dalam berbagai kebijakan dan program pembangunan ketahanan pangan hingga kini. Dalam upaya perbaikan gizi, Menteri Pertanian pada Sidang Regional Dewan Ketahanan Pangan tahun 2007 mencanangkan kembali pengembangan diversifikasi konsumsi pangan berbasis pangan lokal. Meskipun sebenarnya kegiatan ini sudah dilaksanakan beberapa waktu yang lalu. Target dari kegiatan tersebut adalah melaksanakan percepatan diversifikasi konsumsi pangan sehingga pada tahun 2015 PPH masyarakat Indonesia mendekati skor 100, artinya masyarakat telah menerapkan pola makan yang beragam, bergizi, seimbang, dan aman. Salah satu upaya pencapaian target tersebut adalah penyediaan pangan yang cukup, dengan berorientasi pada kecukupan pangan dan gizi penduduk. Dalam perencanaan
penyediaan
pangan
harus
memperhatikan
beberapa
faktor
diantaranya adalah perilaku konsumsi pangan dan prinsip gizi seimbang. Berdasarkan permasalahan tersebut, maka dilakukan pengkajian (analisa) yang mendalam tentang keragaan konsumsi pangan yang tercermin dari hasil skor mutu gizi konsumsi pangan, serta respon permintaan pangan akibat perubahan harga pangan itu sendiri, harga pangan lain serta perubahan pendapatan. Kajian seperti ini diharapkan dapat memberikan informasi yang lebih rinci tentang perilaku konsumsi pangan. Informasi yang dihasilkan diharapkan dapat bermanfaat bagi perencanaan kebijakan dan program perbaikan pangan dan gizi khususnya dalam rangka pencapaian gerakan percepatan diversifikasi konsumsi pangan. Tujuan Umum Secara umum tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis konsumsi pangan pada beberapa provinsi (Sumatera Barat, Jawa Tengah, Sulawesi
4 Tenggara) dan keterkaitannya dengan faktor pendapatan, harga sendiri, dan harga pangan lain, serta kebutuhan untuk konsumsi pangan di ketiga wilayah tersebut. Tujuan Khusus 1.
Menilai tingkat kecukupan konsumsi dan keragaman konsumsi pangan rumahtangga per kapita berdasarkan pendekatan PPH
2.
Menganalisis respon permintaan pangan terkait perubahan harga pangan sendiri, harga pangan lain, dan perubahan pendapatan
3.
Melakukan estimasi kebutuhan pangan wilayah pada tahun 2008-2015 berbasis data Susenas tahun 2005 Manfaat
1.
Memberikan informasi kuantitas dan kualitas konsumsi pangan dalam kaitannya dengan perubahan harga pangan dan perubahan pendapatan
2.
Memberikan informasi kebutuhan pangan untuk konsumsi sampai dengan tahun 2015. Informasi tersebut diharapkan dapat bermanfaat bagi para pemangku kebijakan sebagai bahan pertimbangan dalam penyusunan perencanaan kebijakan pangan dalam rangka mencukupi konsumsi pangan dan gizi di wilayah
30. Estimasi konsumsi aktual berbagai jenis pangan per kapita per hari di Provinsi Jawa Tengah tahun 2008-2015 ................................................
142
31. Estimasi konsumsi aktual berbagai jenis pangan per kapita per tahun di Provinsi Jawa Tengah tahun 2008-2015 ................................................ 143 32. Estimasi konsumsi aktual berbagai jenis pangan per kapita per hari di Provinsi Sulawesi Tenggara tahun 2008-2015 ......................................
144
33. Estimasi konsumsi aktual berbagai jenis pangan per kapita per tahun di Provinsi Sulawesi Tenggara tahun 2008-2015 ...................................... 145 34. Persamaan regresi hubungan antara konsumsi dengan pengeluaran di Provinsi Sumatera Barat ........................................................................
146
35. Persamaan regresi hubungan antara konsumsi dengan pengeluaran di Provinsi Jawa Tengah ............................................................................
146
36. Persamaan regresi hubungan antara konsumsi dengan pengeluaran di Provinsi Sulawesi Tenggara ...................................................................
147
xvi