1
PENDAHULUAN Latar Belakang Pernikahan adalah salah satu proses penting dalam kehidupan sosial manusia. Pernikahan merupakan kunci bagi individu untuk memasuki dunia keluarga, yang di dalamnya terdapat peran dan tugas yang harus dijalani baik sebagai suami-istri dan orang tua ketika mereka memiliki anak. Pernikahan juga sering dipandang sebagai masa transisi menuju kedewasaan. Orang yang sudah menikah cenderung dianggap lebih dewasa dibanding orang yang belum menikah, contohnya pada masyarakat suku Minang, dimana lelaki yang sudah menikah biasanya memperoleh gelar sebagai bentuk kedewasaan dan panggilan pengganti nama kecil. Gelar ini biasanya dimulai dengan kata Sutan, Bagindo, atau Sidi. Perubahan status dari tidak menikah menjadi menikah akan sejalan dengan perubahan tanggung jawab baik di lingkungan keluarga maupun lingkungan masyarakat. Orang yang sudah menikah harus bertanggung jawab memenuhi kebutuhan keluarganya, mengasuh anak-anaknya, serta membangun hubungan baik dengan keluarga pasangan, karena pernikahan bukan hanya penyatuan dua individu yang berbeda saja tetapi juga penyatuan dua keluarga yang berbeda. Orang yang sudah menikah juga harus mengikuti kegiatan-kegiatan di lingkungan pertetanggaan secara aktif, seperti pengajian, arisan, atau perkumpulan lainnya guna memperoleh hubungan sosial yang positif. Dua bahkan lebih peran yang harus dijalankan dalam waktu yang bersamaan, tentu dapat menimbulkan kesulitan dan masalah. Banyak pasangan suami-istri, terutama pasangan baru menikah yang tidak menyadari ragam masalah dalam hidup berumah tangga karena mustahil terbayangkan secara jelas oleh mereka sebelum benar-benar mengalami masalah-masalah tersebut, akibatnya pernikahan idaman yang awalnya diharapkan memberi kebahagiaan justru menjadi penyebab konflik dalam hidup. Salah satu penyebab konflik rumah tangga adalah ketidakmampuan pasangan menyesuaikan diri dengan peran dan tugasnya. Hal tersebut dapat dikarenakan kurangnya pengetahuan mengenai dunia pernikahan, serta kurangnya kesiapan untuk menikah.
2
Kesiapan menikah diartikan sebagai keadaan siap atau bersedia dalam berhubungan dengan pasangan, siap menerima tanggung jawab sebagai suami atau istri, siap terlibat dalam hubungan seksual, siap mengatur keluarga, dan siap mengasuh anak (Duvall & Miller 1985). Selama ini banyak pasangan yang hendak menikah memandang kesiapan menikah sebagai persiapan untuk melaksanakan pesta pernikahan, padahal kesiapan menikah sejatinya adalah kesiapan lahir batin menghadapi bahtera rumah tangga. Kesiapan menikah pada diri seseorang juga sering dipandang hanya dari usia yang matang. Masyarakat umumnya menilai seseorang dianggap siap menikah ketika orang tersebut berusia di atas 18 atau 21 tahun. Setelah menikah maka ia dianggap sudah dewasa dan seketika ia dianggap mampu menjalankan fungsinya sebagai suami atau istri, atau orang tua ketika memiliki anak (L’Abate 1990). Akibat pemikiran tersebut banyak pasangan menikah hanya karena usia biologisnya dianggap sudah cukup untuk menikah. Namun di sisi lain, ada orang yang secara usia biologis sudah cukup namun masih merasa belum siap menikah, ada pula orang yang usianya masih begitu muda merasa sudah siap menikah dan berhasil menjalankan pernikahannya, ada pula yang usianya sudah tua dan siap menikah namun tak mampu menjalani pernikahannya. Pernikahan memang bukan hal yang mudah untuk dijalani, namun hampir semua orang tetap ingin menikah. Pernikahan tetap dianggap sebagai sarana memperoleh cinta dan kasih sayang, membangun hubungan dengan pasangan secara legal, dan memperoleh kebahagiaan. Bahkan ada agama yang mewajibkan umatnya menikah, sehingga pernikahan mampu memberikan kepuasan spiritual. Penelitian juga menyebutkan bahwa orang yang menikah akan lebih sehat dibandingkan orang yang tidak menikah (Olson & De Frain 2006 ). Semua orang yang menikah tentu menginginkan pernikahan yang bahagia, salah satu kunci sukses pernikahan adalah adaanya kesiapan pada diri pasangan untuk menjalankan peran dan tugasnya (Stinnet 1960). Oleh karena itu, agar pernikahan yang diidamkan dapat terwujud, calon suami dan istri hendaknya memiliki kesiapan menikah sebelum mengikrarkan diri sehidup semati dengan pasangan.
3
Setiap orang tentu memiliki beragam persepsi mengenai kesiapan menikah yang dianggap penting untuk dimiliki oleh dirinya dan calon pasangannya. Persepsi seseorang terkadang mungkin berbeda dengan persepsi orang lain. Perbedaan persepsi tersebut dapat diatasi apabila pasangan memperoleh informasi yang memadai mengenai faktor kesiapan menikah yang memang benar-benar dibutuhkan guna mencapai pernikahan yang bahagia. Informasi mengenai kesiapan menikah untuk membangun keluarga sukses mungkin tidak terlalu banyak dibandingkan informasi mengenai kesiapan membangun bisnis. Hanya sedikit sekali sekolah-sekolah atau akademi yang memberikan informasi kepada calon pasangan mengenai masalah-masalah umum yang akan dihadapi dalam suatu perkawinan dan bagaimana menjadi orang tua yang baik bagi anak-anaknya. Informasi mengenai faktor kesiapan menikah dapat diperoleh dengan melakukan penelitian, akan tetapi penelitian mengenai kesiapan menikah juga masih belum begitu banyak, khususnya di Indonesia. Penelitian mengenai kesiapan menikah yang pernah dilakukan adalah: kesiapan menikah pada wanita dewasa awal yang bekerja (Dewi 2006), dan kesiapan menikah pada wanita dewasa madya yang bekerja (Puteri 2009), Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persepsi dan Kesiapan Menikah pada Mahasiswa (Oktaviani 2010). Penelitian-penelitian terdahulu yang pernah dilakukan hanya membahas faktor yang mempengaruhi kesiapan menikah, bukan faktor-faktor pembentuk kesiapan menikah, sehingga perlu dilakukan suatu penelitian yang menganalisis apa saja faktor-faktor kesiapan menikah. Pengetahuan mengenai faktor-faktor kesiapan menikah bisa menjadi suatu bentuk penghematan bagi pasangan, dimana mereka bisa memprioritaskan faktor yang memang penting dan berguna terhadap keberhasilan pelaksanaan peran dan tugas dalam rumah tangga, dan bisa mengabaikan faktor lain yang tidak bermanfaat. Rumusan Masalah Banyak orang yang menyatakan “saya siap menikah” sebelum terjadinya pernikahan, tapi kenyataannya saat menjalani roda pernikahan banyak yang mengeluh akan masalah atau kesulitan yang muncul. Tidak sedikit pasangan yang akhirnya menyerah pada kondisi kehidupan rumah tangganya yang kurang harmonis dan memilih untuk bercerai.
4
Angka perceraian terus mengalami peningkatan, data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukan angka perceraian di Jawa Barat sejak tahun 2007 sampai 2008 mengalami peningkatan sebesar 22,63 persen dan pada tahun 2007 sampai 2009 meningkat sebesar 44,05 persen (BPS 2011). Perceraian umumnya disebabkan ketidakmampuan pasangan menyesuaikan diri dengan perubahan peran yang terjadi, mungkin hal tersebut tidak dipikirkan atau tidak dipersiapkan sebelumnya oleh calon pasangan sebelum menikah, dan hanya membayangkan yang indah-indah saja ketika akan menikah. Kesiapan diri yang kurang untuk menjalankan peran dan tugas rumah tangga menjadi salah satu penyebab sulitnya penyesuaian diri pada tugas dan peran
tersebut.
Pengetahuan
mengenai
faktor-faktor
kesiapan
menikah
diasumsikan akan membantu calon pasangan mempersiapkan diri dengan baik untuk menjalankan tugas dan perannya, sehingga pernikahan bisa memberi kebahagiaan dan perceraian bisa dihindari. Pengetahun mengenai apa saja faktor-faktor kesiapan menikah harus diketahui oleh pasangan yang hendak menikah, khususnya dewasa muda yang memiliki tugas perkembangan untuk menikah. Freud (1990) mengatakan masa dewasa muda adalah masa untuk bercinta dan bekerja. Pada tahapan ini seseorang dituntut untuk menjalin hubungan intim dengan lawan jenis dan membangun karir. Kesiapan membangun karir dan menikah haruslah seimbang, akan tetapi hingga sekarang ini hanya ada sedikit instansi khusus yang memberi pembekalan untuk membangun rumah tangga, dibandingkan dengan banyaknya instansi yang memberikan pelatihan cara membangun karir. Ketersediaan buku-buku mengenai kesiapan menikah memang banyak beredar di masyarakat namun faktor-faktor kesiapan menikah yang diutarakan di dalam buku tersebut sebagian besar ditulis hanya menurut pandangan si penulis, bukan berdasarkan penelitian ilmah yang dilakukan. Perlu diketahui bagaimana konsep kesiapan menikah di masyarakat saat ini khususnya dewasa muda, sehingga dapat diketahui apa saja faktor kesiapan menikah yang memang penting dan diperlukan pada kondisi saat ini.
5
Pernikahan juga merupakan suatu instansi, yang didalamnya
terdapat
pembagian tugas dan peran yang umumnya dibedakan menurut jenis kelamin, sehingga berpotensi menimbulkan perbedaan faktor-faktor kesiapan menikah menurut jenis kelamin, karena terdapat hubungan antara peran yang harus dijalani dengan kesiapan yang harus dimiliki (Stinnet 1969). Hal lain yang menjadi pertimbangan sebelum menikah biasanya adalah usia menikah. Republik Indonesia melalui Undang-Undang No.1 tahun 1974, dalam pasal 7 dijelaskan bahwa batas minimal usia menikah laki-laki adalah 19 tahun dan perempuan adalah 16 tahun. Kondisi usia menikah saat ini mengalami perubahan. Tahun 2002, rata-rata umur perkawinan pertama masyarakat Jawa Barat adalah 21,66 tahun dan menjadi 22,22 tahun pada tahun 2003 (BPS 2004), hal tersebut menunjukkan peningkatan pendewasaan usia kawin pertama, sehingga ada kecenderungan untuk menunda usia perkawinan pertamanya. Pandangan mengenai berapa usia menikah tentu beragam, karena perbedaan latar belakang individu dan latar belakang keluarga. Keluarga adalah lingkungan paling kecil dan merupakan sekolah pertama bagi individu mempelajari berbagai hal, termasuk mengenai usia menikah yang tepat. Usia pernikahan disebut sebagai salah satu indikator kesuksesan pernikahan (Olson & De Frain 2006), hal ini sebagian disebabkan karena semakin tua usia seseorang maka umumnya kondisi finansial akan lebih mapan dan tahu apa yang mereka harapkan dari suatu pernikahan. Banyak pasangan yang siap menikah dengan usia yang masih begitu muda, namun ada pula yang usianya sudah dewasa namun belum siap menikah dan sebaliknya. Pemaparan sebelumnya menimbulkan beberapa permasalahan yang akan diangkat pada penelitian ini, yaitu : 1.
Apa saja faktor-faktor kesiapan menikah pada dewasa muda?
2.
Adakah perbedaan faktor-faktor kesiapan menikah menurut jenis kelamin?
3.
Berapakah usia menikah menurut dewasa muda?
4.
Adakah pengaruh karakteristik dewasa muda dan keluarga terhadap usia menikah?
5.
Adakah pengaruh faktor-faktor kesiapan menikah terhadap usia menikah dewasa muda?
6
Tujuan Penelitian Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor kesiapan menikah pada dewasa muda dan pengaruhnya terhadap usia menikah. Tujuan khusus penelitian ini adalah: 1.
Menganalisis faktor-faktor kesiapan menikah pada dewasa muda
2.
Menganalisis perbedaan faktor-faktor kesiapan menurut jenis kelamin
3.
Menganalisis usia menikah dewasa muda
4.
Menganalisis pengaruh karakteristik dewasa muda dan keluarga terhadap usia menikah
5.
Menganalisis pengaruh faktor-faktor kesiapan menikah terhadap usia menikah Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat menyediakan informasi yang
bermanfaat sebagai bahan masukan bagi masyarakat mengenai faktor-faktor kesiapan menikah, usia menikah, dan faktor yang mempengaruhi usia menikah. Pengetahuan mengenai faktor-faktor kesiapan menikah akan membuat masyarakat mampu mengabaikan faktor yang tidak penting bagi potensi hidup mandiri secara berkesinambungan pasca menikah. Hal ini dapat dipandang sebagai bentuk penghematan keluarga, yang pada gilirannya mampu menambah kesejahteraan keluarga. Selanjutnya, menjadi bahan sumbangan ilmu pengetahuan khususnya bidang ilmu keluarga mengenai faktor-faktor kesiapan menikah, dan menjadi bahan pembanding dan pengembangan lebih lanjut bagi para peneliti lainnya yang ingin melakukan penelitian sejenis.