PENDAHULUAN Latar Belakang Tanah hutan di Indonesia pada umumnya berjenis ultisol. Menurut Buckman dan Brady (1982), di ultisol kesuburan tanah rendah, pertumbuhan tanaman dibatasi oleh faktor-faktor yang berinteraksi termasuk pH yang sangat rendah, keracunan Al dan Mn dan kadang-kadang keracunan Fe, kahat Ca, Mg, P dan Mo serta laju peruraian bahan organik yang sangat lambat. Jika kondisi hutan tidak terganggu kondisi tanah yang demikian tidak menjadi masalah bagi tanaman yang tumbuh di atasnya, karena hutan tropis mempunyai siklus hara tertutup sehingga kesuburan tanah tetap terjaga. Namun jika terjadi penggundulan hutan siklus hara akan terganggu, di mana terjadi pencucian yang terus-menerus akibat tingginya curah hujan setiap tahun, sedangkan penambahan hara tidak memadai. Itulah sebabnya mengapa tanah-tanah yang telah terbuka sangat sulit untuk di tanami kembali, karena selain tidak subur tanah juga telah mengalami erosi yang kuat sehingga kondisi fisik, kimia dan biologi tanah berubah. Keadaan
demikian
menyebabkan
banyak
terjadi
kegagalan
dalam
melakukan penanaman bibit di lahan terdegradasi. Hal ini disebabkan antara lain oleh kualitas bibit yang ditanam kurang baik sehingga kurang mampu beradaptasi dengan kondisi lapang yang tidak subur. Sehubungan dengan itu, aga r bibit yang ditanam di lapang mampu beradaptasi bertahan terhadap kondisi yang kurang mendukung seperti kekeringan dan serangan patogen, maka bibit yang akan ditanam di lapangan haruslah merupakan bibit yang berkualitas. Untuk itu perlu dilakukan persiapan yang baik sejak di persemaian. Tanaman tingkat semai adalah masa di mana tanaman tersebut masuk ke dalam tahapan yang paling kritis untuk tumbuh. Pada masa itu dibutuhkan nutrisi yang siap pakai, tidak mengandung hama dan bibit penyakit serta mampu menciptakan kondisi lingkungan mikro untuk perkembangan akar tanaman (Perum Perhutani 1997). Dua faktor penting yang berpengaruh pada penyediaan bibit yang bermutu adalah sumber bibit yang unggul dan teknik propagasi yang mapan. Kekurangan unsur hara dan mineral pada tanaman akan menghambat pertumbuhan bibit. Untuk memacu pertumbuhan pohon di persemaian dan di
2
lapang, diperlukan pengetahuan mengenai kondisi biologi, lingkungan di sekitar perakaran beserta interaksi bio-geokimia dalam proses penyerapan unsur hara oleh tanaman. Untuk itu perlu diterapkan teknologi yang tepat agar dapat diperoleh tanaman yang berkualitas, efisien biaya dan tidak merusak lingkungan karena penggunaan pupuk kimia yang berlebihan. Penggunaan media tanah ultisol sebagai media semai, kurang mendukung pertumbuhan bibit yang baik, karena ultisol dikategorikan sebagai tanah masam dengan ciri bereaksi masam, unsur hara rendah, kadar bahan organik rendah, kejenuhan basa rendah dan kadar besi, almunium dan mangannya tinggi (Hardjowigeno 2003). Umumnya tanah masam memiliki kemampuan fiksasi fosfor yang tinggi, sehingga ketersediaan unsur tersebut menjadi rendah. Rendahnya ketersediaan P tersebut menjadi pembatas pertumbuhan tanaman di tanah masam (Widiastuti 2004). Diharapkan jenis tanaman yang digunakan sebagai bibit adalah merupakan jenis tanaman yang tahan terhadap kondisi tanah dan lingkungan yang tidak subur serta mempunyai nilai ekonomi yang tinggi. Acacia crassicarpa A. Cunn. ex Benth merupakan salah satu jenis dari golongan akasia yang dapat tumbuh di tanah yang kritis dan bahkan mampu tumbuh pada tanah yang berdrainase buruk dan sangat asam. Selain itu sifat jenis A. crassicarpa yang lain adalah pertumbuhan diameter awal yang cepat sebesar 5 cm per tahun (Pinyopusarerk 1989) dan berbunga cepat, kualitas kayu tinggi, serta sumber benih yang teridentifikasi tersedia dari provenan alaminya. A. crassicarpa yang berasal dari Papua New Guine mampu tumbuh baik pada tanah berpasir (Michelsen dan Rosendahl 1990) dan tanah berawa (Turnbull 1986). Peran cendawan mikoriza arbuskula (CMA) dalam penyerapan nutrisi mineral telah banyak diulas, diketahui CMA dapat meningkatkan serapan P dan unsur hara mikro seperti Cu dan Zn (Smith dan Read 1997), nitrogen dan sulfur ke tanaman inang (Paul dan Clark 1989), terutama pada tanah kahat P seperti ultisol. Hasil penelitian Jasper et al. (1989) menunjukkan A. concurrens yang diinokulasi dengan Glomus sp menghasilkan kolonisasi terbaik pada tanah yang kahat P.
3
Kompos merupakan hasil fermentasi atau dekomposisi bahan-bahan organik seperti daun-daunan, rumput-rumput, kotoran hewan dan bahan-bahan lain yang mudah busuk. Kompos memiliki peranan penting bagi tanah karena dapat meningkatkan dan mempertahankan kesuburan tanah melalui perbaikan sifat kimia, fisik dan biologinya (Djuarnani et al. 2005). Kompos mengandung unsur makro seperti nitrogen (N), fosfor (P), dan kalium (K), juga mengandung unsur mikro seperti Ca, Mg, Zn, Mn, Cu, Fe dan Mo (Yuwono 2005). Kandungan kompos yang berpengaruh terhadap sifat kimiawi tanah adalah humus. Humus yang menjadi asam humat atau jenis asam lainnya dapat melarutkan Fe dan Al sehingga fosfat yang terikat besi dan alumunium akan lepas dan dapat diserap oleh tanaman. Selain itu, humus merupakan penyangga kation yang dapat mempertahankan unsur hara sebagai bahan makanan untuk tanaman. Bio-organik merupakan kompos hasil fermentasi urin dan kotoran sapi segar yang mengandung unsur hara lengkap yang dibutuhkan tanaman. Pemberian bio-organik diharapkan dapat memperbaiki ketersediaan unsur hara di tanah dan dapat meningkatkan serapan hara oleh mikoriza. Merril and McKeon (1998) menyatakan hasil dekomposisi kotoran ternak mengandung hara tersedia serta sebagai
sumber gula, asam amino, agen pengkelat organik (asam humat dan
fulvik) yang sekaligus mengandung hara mikro ( Fe, Zn, Mn, dan Cu). Pupuk hayati mikoriza dan bio-organik
diharapkan dapat mengurangi
pemakaian pupuk kimia pada kegiatan penyiapan bibit dipersemaian. Efektivitas CMA sangat tergantung pada kesesuaian antara faktor- faktor jenis CMA, tanaman dan tanah, serta interaksi ketiga faktor tersebut. Telah banyak dilakukan penelitian tentang pemanfaatan CMA dalam meningkatkan pertumbuhan tana man, namun masih belum banyak penelitian apakah pengaruh pemberian bahan organik berupa bio-organik dan CMA dalam meningkatkan kualitas bibit A. crassicarpa dipersemaian. Oleh karena itu penelitian mengenai mikoriza dan bio-organik perlu dilakukan, selain untuk melihat pengaruh bio-organik terhadap hara tersedia juga perannya terhadap mikoriza dalam memperbaiki kualitas tanaman.
4
Kerangka Pemikiran Banyak metode yang telah dicoba untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman, salah satunya dengan memodifikasi tempat tumbuhnya sehingga dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman semakin baik. Penggunaan pupuk dalam kegiatan budidaya tanaman dimaksudkan untuk meningkatkan ketersediaan hara di dalam tanah bagi tanaman, namun permasalahan yang sering dihadapi dalam penggunaan pupuk adalah efektivitas pupuk dalam melepaskan hara tersedia bagi tanaman dan sedikit sekali pupuk yang juga berfungsi memperbaiki sifat-sifat tanah sebagaimana yang dapat dilakukan oleh pupuk hayati. Kesesuaian tanah sebagai media tumbuh tanaman tidak hanya tergantung pada ketersediaan unsur hara dalam jumlah cukup dan tidak hanya senyawa beracun, melainkan juga tergantung pada ketersediaan serta mobilitas udara, air, dan sifat – sifat tanah. Lebih lanjut tanah harus gembur, cukup lunak dan sarang agar perkembangan akar tidak ada hambatan. Bahan organik berpengaruh spesifik pada pertumbuhan tanaman dengan kemampuan melarutkan unsur hara mikro (Fe, Zn, Mg) dan beberapa hara makro (K, P, Ca), meningkatkan populasi mikroba dan pengaruh terhadap agregasi mineral tanah (Andalasari 1997). Cendawan mikoriza mempunyai kemampuan untuk berasosiasi dengan hampir 90% jenis tanaman, serta telah banyak dibuktikan mampu memperbaiki nutrisi dan meningkatkan pertumbuhan tanaman (Setiadi 2000), selain itu mikoriza dapat memperbaiki struktur tanah dengan memperbaiki agregat tanah (Miller dan Jastrow 2000). Telah banyak dilakukan penelitian tentang peranan mikoriza dan bahan organik yang merupakan pupuk hayati untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman dan memperbaiki tempat tumbuh. Terutama peranannya dalam penyediaan hara yang mampu diserap oleh tanaman. Bio-organik merupakan suatu produk organik alami yang yang berasal dari kotoran dan urin sapi yang difermentasikan, telah terurai secara baik dan mengandung unsur- unsur hara tersedia bagi tanaman. Sehingga diharapkan dapat dikontribusikan secara langsung ke tanah dan bekerja secara bersama-sama dengan mikoriza untuk lebih meningkatkan kualitas tanaman di persemaian.
5
KERANGKA PEMIKIRAN : KUALITAS BIBIT Acacia crassicarpa A. Cunn. ex Benth HASIL SINERGI BIO-ORGANIK DENGAN CENDAWAN MIKORIZA ARBUSKULA DI ULTISOL
Daya hidup tanaman di lapang tinggi
Degradasi lahan
Bibit yang berkualitas
MASUKAN TEKNOLOGI HAYATI
CMA
bio-organik
ULTISOL
A. crassicarpa
Mendominasi lahan hutan Indonesia
Tumbuh alami di Papua, Australia selatan
Tidak subur/kurang unsur hara
Cepat tumbuh dan tahan terhadap kekeringan
pH rendah Tanah asam : Al dan Fe tinggi hara
Tingkat ketergantungan terhadap CMA tinggi
KTK rendah hara
Daya adaptasi dan toleransi tinggi terhadap kondisi lingkungan yang buruk
Ketersediaan P terlarut yang rendah Bahan organik rendah
Gambar 1. Skema kerangka pemikiran
6
Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui: 1
Pengaruh pemberian bio-organik terhadap kolonisasi berbagai jenis CMA.
2
Pengaruh pemberian bio-organik terhadap kualitas bibit A. crassicarpa.
3
Pengaruh kualitas bibit A. crassicarpa setelah diinokulasi dengan CMA jenis G. clarum, G. etunicatum, G. manihotis dan indigenous.
4
Kombinasi dosis bio-organik dan inokulasi berbagai jenis CMA yang memperbaiki sifat tanah dan memberikan efek pertumbuhan terbaik pada bibit A. crassicarpa.
Hipotesis Penelitian Hipotesis penelitian ini adalah : 1
Kolonisasi CMA meningkat setelah diberikan bio-organik.
2
Pemberian bio-organik dapat meningkatkan kualitas bibit A. crassicarpa.
3
Inokulasi CMA dapat meningkatkan kualitas bibit A. crassicarpa.
4
Pemberian bio-organik dan inokulasi CMA dapat meningkatkan kualitas bibit A. crassicarpa sekaligus memperbaiki sifat-sifat tanah.
Manfaat Penelitian
Upaya untuk penyediaan bibit yang berkualitas dengan keterbatasan faktor pendukung
seperti tanah ultisol yang kurang subur, bersifat masam dan
keracunan Al dan Fe perlu dilakukan.
Hal ini dikarenakan tingginya biaya
persiapan bibit di persemaian dan resiko tanaman yang mati setelah ditanam di lapangan juga besar. Penggunaan teknologi inovatif mikoriza merupakan salah satu jalan keluarnya. Bibit yang diinokulasi mikoriza lebih tahan terhadap stres air, kekurangan unsur hara dan penyakit. Daya tumbuh bibit yang dipindahkan ke lapangan juga lebih tinggi daya hidupnya dibandingkan tanpa mikoriza. Teknologi inokulasi mikoriza dengan teknologi bio-organik diharapkan dapat bersinergi untuk menghasilkan kualitas bibit yang lebih baik, sehingga
7
dapat meningkatkan daya hidup setelah ditanam di lapangan. Terutama pada skala besar akan dapat menekan biaya pengadaan bibit yang cukup berarti karena menggunakan jumlah pupuk kimia yang lebih sedikit. Dan di sisi lain, dapat mengurangi potensi kontaminasi dan kerusakan struktur tanah yang disebabkan oleh penggunaan pupuk kimia yang berlebihan.