PENDAHULUAN Latar Belakang
Rodensia merupakan salah satu hewan yang tergolong sangat banyak spesiesnya. Terdapat lebih dari 2700 spesies rodensia di dunia Menurut Aplin et al. (2003), 42% dari semua spesies mamalia di bumi adalah rodensia. Salah satu
jenis rodensia yang ban yak terse bar di Asia adalah tikus. Beberapa jenis tikus dimanfaatkan manusia sebagai sumber protein hewani (dikonsumsi) pada beberapa negara, namun sebagian besar merupakan hama yang bersifat merusak tanaman maupun gudang, salah satu diantaranya adalah tikus sawah (Rattus argentiventer). Tikus tersebut menyerang tanaman pertanian di Indonesia maupun
beberapa negara Asia lainnya. Menurut Prakash (1988), jenis tikus yang merupakan hama utama adalah Rattus argentiventer, tersebar luas di Indonesia tetapi terbatas di daerah padang
rumput dan sawah. Tikus sawah merupakan hama penting pada tanaman padi yang mulai menyerang sejak benih padi masih di gudang, bibit di persemaian, tapaman vegetatif dan juga generatifnya. Laju perkembangan populasi tikus termasuk tinggi karena siklus hidup tikus mencapai umur dewasa sangat cepa!, masa kebuntingannya sang at pendek dan berulang-ulang dengan jumlah anak yang banyak pada setiap kebuntingan (10-13 ekor). Tikus bisa makan jenis makanan lainnya jika tidak ada padi, tikus bisa makan jagung, singkong, ubi, kelapa, dan tebu. Kerusakan serius tanaman padi terjadi pada tahun 1915, 1931 dan 1933 di Cirebon Jawa Barat dimana beberapa ribu hektar tanaman padi rusak. Ledakan populasi tikus pada lahan padi terjadi lagi pada tahun 1961 dan 1963 di Jawa dan Madura dengan perkiraan kerusakan masing-masing mencapai 35% dari 1.000.000 ha dan 28% pada lahan 822.000 ha (Prakash 1988). Serangan hama tikus di Kabupaten Tegal, pada bulan April 2004 telah merusak 214 ha lahan tanaman padi, dimana 42 ha diantaranya mengalami puso (Anonim 2002). Kerusakan padi akibat serangan tikus juga terjadi di Padang dengan luas wilayah 77 ha (Anonim 2003). Pengendalian populasi tikus dilakukan secara fisik, kimialsenyawa beracun, biologi, maupun mikrobiologi. Pengendalian secara fisik dilakukan rlengan cara
2
gropyokan, pengemposan, perangkap dan lain-lain. Pengendalian dengan eara ini memerlukan tenaga dan biaya yang cukup besar, tidak dilakukan secara teratur dan tidak berkelanjutan sehingga tingkat keberhasilannya rendah. Pengendalian secara kimia dilakukan dengan pemberian umpan beracun dari bahan-bahan kimia sintetis maupun baban-baban alami beraeun seperti akar tegari (Dianella sp), asam bongkrek dan lain-lain. Pengendalian tikus dengan racun bahan kimia dapat mengganggu keseimbangan lingkungan (Anonim 2003). Pengendalian biologi dapat dilakukan dengan menggunakan predator tikus seperti ular dan burung hantu yang telah dilakukan di kabupaten Tegal dan beberapa daerah lainnya. Pengendalian secara biologi sangat dipengaruhi oleh kemampuan/kapasitas dan selera predator. Pengendalian tikus secara mikrobiologi dilakukan dengan menggunakan bakteri, virus, dan protozoa yang salah satunya adalah dengan menggunakan Sarcocystis singaporensis. Sarcocystis singaporensis merupakan mikroba parasit yang spesifik hidup pada hewan perantara tertentu yaitu pada tikus (Rattus norvegicus). Mikroba tersebut dapat berkembang biak juga pada ular python (Python reticulatus) (Dubey et al. 1989). Organisme tersebut bereproduksi seksual dalam usus halus ular python dan menyebar lewat feses dalam bentuk sporocyst (sporokista) melalui air ke berbagai spesies tikus. Dalam tubuh tikus, parasit tersebut melipatgandakan jumlahnya di dalam sel pembuluh darah hingga membentuk cyst (kista) dalam oto!, yang berakibat tikus menjadi mati ([PPPG Pertanian] 2004). Sarcocystis singaporensis dapat digunakan sebagai agen bio kontrol dan dapat mengurangi populasi hama tikus sebesar 70-90% dalam jangka waktu 2 minggu. Paras it ini tidak membahayakan baik bagi ular maupun manusia (Jaekel 1999). Penelitian S. singaporensis sebagai agen bio kontrol masih sedikit dilakukan khususnya di Indonesia. Penelitian ini merupakan lanjutan dari berbagai penelitian yang telah dilakukan terhadap efektivitas S. singaporensis sebagai agen bio kontrol. Disamping itu dalam penelitian ini juga dilakukan analisis biaya produksi bio rodentisida dengan dosis yang tepat bagi pengendalian populasi tikus sawah. Dengan demikian hasil dari penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan untuk mengendalikan populasi tikus secara efektif dan efisien.
3
Perumusan Masalab Tikus sawah merupakan hama tanaman padi yang sangat penting di Indonesia, karena mengakibatkan kerusakan yang cukup besar. Tikus dapat merusak pesemaian yang baru disebar atau yang sudah berumur 1-2 minggu. Disamping itu tikus juga merusak tanaman padi yang baru bunting dan tanaman padi yang sudah berumur kira-kira I bulan. Satu ekor tikus dapat merusak 100 batang padi dalam I malam (Rismunandar 1981). Pengendalian tikus sudah banyak dilakukan baik secara preventif maupun kuratif.
Pengendalian
secara preventif biasanya dilakukan
dengan cara
pengaturan pola tanam, namun hasilnya masih kurang memuaskan karena tidak semua petani serentak melakukan hal yang sarna. Pengendalian secara kuratif dilakukan dengan berbagai cara baik secara mekanis misalnya "gropyokan", secara kimia misalnya dengan menggunakan rodentisida kimia maupun non kimia, maupun dengan pengendali biologi/mikrobiologi. Pengendalian secara kuratif inipun dirasakan masih diperlukan teknologi yang efektif, efisien. serta relatif aman terhadap lingkungan. Salah satu teknologi pengendalian tikus yang saat ini mulai dikembangkan di PPPG Pertanian adalah dengan menggunakan S. singaporensis. Pengendalian tikus
dengan
teknologi
ini
termasuk ramah
lingkungan
serta metode
pelaksanaannya relatif mudah. Disamping itu S. singaporensis mempunyai peluang yang sangat tinggi untuk dibudidayakan di
Indonesia dengan
menggunakan ular python sebagai hewan inang yang banyak tersebar di Indonesia, sehingga ketersediaannya terjamin. Namun demikian pengetahuan tentang penggunaan S. singaporensis sebagai agen bio kontrol populasi tikus relatif masih sedikit. Terlebih lagi pengaruh dosis pemberian S. singaporensis terhadap kematian pada berbagai kelas umur dan jenis kelamin
tikus
permasalahan
sawah, tersebut
masih
belum
merupakan
hal
banyak diketahui. yang
perlu
Padahal diduga
dikaji
untuk
dapat
mengendalikan populasi tikus dengan hasil yang baik. Disamping efektivitas ditinjau dari aspek persentase kematian maupun lama kematian. perlu juga diketahui biaya produksinya. Hal tersebut perlu agar bio rodentisida tersebut
4
dapat diketahui efisiensi penggunaannya, sehingga bio rodentisida ini dapat diaplikasikan bagi para petani khususnya.
Kerangka Pemikiran Efektivitas
pengendaIian
populasi
tikus
dengan
menggunakan
S.
singaporensis diduga sangat dipengaruhi oleh kelas umur dan jenis kelamin tikus.
Oleh karena itu, untuk mengetahui tingkat efektivitas dosis S. singaporensis tersebut maka tikus dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin dan kelas umur. Jenis kelamin tikus terdiri dari jantan dan betina, sedangkan kelas umur pada penelitian ini dibagi menjadi 2 yaitu anak dan dewasa. 8ayi tikus tidak dikaji dalam penelitian karena hidupnya sangat tergantung pada induknya. Penentuan kelas umur didasarkan dengan pendekatan karakteristik reproduksi baik pada jantan maupun betina. Pengendalian
populasi
tikus
pada
dasarnya
dilakukan
dengan
mempengaruhilmengganggu struktur/piramida populasi tikus. Gangguan dapat dilakuka!1 dengan beberapa cara antara lain: •
Mengurangi sebanyak mungkin bayi yang lahir, yaitu dengan mengurangi betina reproduktif.
•
Mengganggu proses reproduksi yaitu dengan mengganggu perbandingan antar jenis kelamin (sex rasio) dengan mempengaruhi/mengurangi jumlah tikus betina atau jantan.
•
Mengurangi jumlah populasi secara langsung dengan mengurangi jumlah populasi pada berbagai kelas umur maupun jenis kelamin.
Penelitian ini diharapkan dapat lTlengetahui dosis tepatlefektif yang dapat digunakan untuk pengendalian populasi tikus pada kelas umur tertentu. Dengan mengetahui dosis yang tepat maka pengendalian populasi tikus dapat dilakukan dengan lebih baik. Kerangka pemikiran tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.
5
r.f r.f Jantan
I
Betina
f-+
l.t
Dewasa
~
·r
Anak
f-+
~
Dewasa
f-+
f
Tikus Sawall
I.[
Anak
Pemberian S. singaporensis dengan dosis • 0 • 100.000 • 200.000 • 300.000
I--.
Dosis efektif S. singaporensis untuk membunuh tikus
t
Populasi tikus sawah terkendali
Gangguan
I+-
struktur
populasi tikus
Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian
Hipotesis Hipotesis dari penelitian ini adalah: 1. Tingkat efektivitas S. singaporensis diduga berbanding lurus dengan dosis
2. Semakin tinggi kelas umur, diduga semakin tinggi dosis S. singaporensis yang dibutuhkan untuk membunuh tikus. ~ 3. Setiap je·nis kelamin diduga membutuhkan dosis S. singaporensis yang
berbeda. 4. Biaya produksi pelet bio rodentisida diduga tidak lebih dari Rp 300,- per butir. Tujuan Peuelitiau Penelitian ini bertujuan untuk: I. Menentukan dosis S. singaporensis yang tepat untuk mengendalikan populasi tikus sawah bagi kelas umur terlentu. 2. Menghitung biaya produksi pelet bio rodentisida pada. tingkat dosis pengendalian yang paling efektif dan efisien.
Maufaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam menyusun: 1. Metode/prosedur/pedoman teknis pengendalian tikus sawah.
6
2. Panduan penggunaan dosis S. singaporensis dalam pengendalian populasi tikus sawah.