PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan Indonesia seluas 120,35 juta hektar merupakan aset nasional, bahkan aset dunia yang harus dipertahankan keberadaannya secara optimal. Menurut Undang-Undang No.41 Tahun 1999 Pasal 3 penyelenggaraan kehutanan bertujuan
sebesar-besarnya
kemakmuran
rakyat
yang
berkeadilan
dan
berkelanjutan dengan menjamin keberadaan hutan, mengoptimalkan aneka fungsi hutan, meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai; meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan keberdayaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan dan berwawasan lingkungan, serta menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan (Kemenhut, 2010). Penjabaran Undang-Undang dimaksud dalam pelaksanaannya masih kurang optimal. Masih banyak ditemukan pemanfaatan hutan yang berlebihan dengan mengabaikan keberadaan dan fungsi hutan secara ekologis dan sosial, yang mengakibatkan peningkatkan laju deforestasi dan kemiskinan masyarakat di dalam dan sekitar hutan. Berdasarkan data Kemenhut (2010) laju deforestasi antara tahun 2000 – 2005 mencapai 1,08 juta hektar/tahun. Hutan dan lahan kritis di Indonesia mencapai 77,8 juta hektar, terdiri dari lahan sangat kritis: 6,9 juta hektar, 23,3 kritis dan 47,6 agak kritis. Kerusakan hutan dan lahan semakin memperburuk kondisi masyarakat miskin di dalam dan sekitar hutan, yang saat ini diperkirakan sebanyak 30-35% dari jumlah masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan (48,8 juta penduduk). Di sisi lain kebutuhan kayu untuk memenuhi stok industri kehutanan dalam maupun luar negeri masih sangat kurang. Kebutuhan kayu nasional diprediksi dalam 20 tahun ini 50-60 juta m3 per tahun dengan kemampuan hutan alam dan hutan tanaman untuk menyediakannya sebesar 25-30 juta m3 per tahun. Dengan kondisi tersebut, defisit kebutuhan kayu sebesar 25-30 juta m3 per tahun (CIFOR, 2005). Kebutuhan kayu tersebut tidak dapat dipenuhi dengan mengandalkan hutan alam, yang kondisinya semakin kritis dan hutan tanaman industri semata. Hutan Tanaman Rakyat dan Hutan Rakyat saat ini menjadi salah satu alternatif untuk menjawab permasalahan tersebut. Hutan Rakyat, yang
2
dikembangkan di lahan-lahan milik masyarakat, bertujuan selain untuk merehabilitasi hutan dan lahan kritis, memenuhi permintaan pasar terhadap kebutuhan kayu, juga meningkatkan pendapatan masyarakat sebagai pengelola. Kayu rakyat mampu memberikan kontribusi bagi penurunan defisit kebutuhan kayu yang sedang dihadapi oleh dunia kehutanan saat ini. Penggunaan bahan baku dari hutan rakyat meningkat dari tahun ke tahun. Penggunaan bahan baku dari hutan rakyat pada tahun 2011 diperkirakan dapat mencapai 50%, meningkat dari tahun-tahun sebelumnya yang berkisar 40% (BRIK, 2010). Hutan rakyat dan industri pengolahan hasilnya merupakan pilihan teknologi budidaya dan industri yang tepat guna bagi wilayah-wilayah yang berlahan marjinal dengan kondisi sosio budaya tradisional (Darusman, 2002). Peluang pengembangan hutan rakyat dan industri pengolahannya di Indonesia masih terbuka luas. Sejak tahun 2002 hingga sekarang Hutan Rakyat berkembang pesat, Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL, yang sering disebut GERHAN), yang dicanangkan oleh Pemerintah, sejak 2002 telah meningkatkan luas Hutan Rakyat di daerah-daerah kritis seluas 1.102.912 hektar, termasuk di Gunung Kidul dan Wonogiri (Kemenhut, 2010). Pengembangan
hutan
rakyat
secara
umum
menghadapi
permasalahan-
permasalahan yang dikelompokan ke dalam empat sub sistem, yaitu: produksi, pengolahan hasil, pemasaran, kelembagaan dan kebijakan serta peraturan perundangan
(Mindawati
et.al.,
2006).
Permasalahan
pada
sub
sistem
kelembagaan, kebijakan dan peraturan perundangan adalah : (a) sumber daya manusia masih rendah, intervensi pemerintah dalam pembentukan kelompok sifatnya top down dan pembinaan tidak berkelanjutan atau bersifat keproyekan; (b) kebijakan pembangunan kehutanan masih mengacu pada penanaman dan belum dirancang secara terpadu dengan komoditi yang lain agar pemanfaatan lahan lebih optimal; dan (c) kurang komunikasi baik antar multipihak. Selain itu pengembangan hutan rakyat menghadapi tantangan yaitu adanya tuntutan dunia internasional yang memberlakukan sertifikat “Ekolabel” bagi kayukayu yang diperoleh dari hutan yang dikelola secara lestari, dan isu global warming
yang
menghendaki
adanya
pengelolaan
hutan
secara
berkelanjutan/lestari. Sertifikasi Ekolabel selain menjadi tantangan bagi
3
pengembangan hutan rakyat di masa mendatang, juga mempunyai nilai strategis. Dengan adanya sertifikat Ekolabel bagi pengelolaan hutan oleh masyarakat, yang oleh Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) dinamakan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Lestari (PHBML), diharapkan harga jual kayu meningkat dan dapat menembus pasar internasional sehingga berdampak positif terhadap kehidupan masyarakatnya. Pengelolaan Hutan Rakyat oleh masyarakat di Kabupaten Gunung Kidul dan Kabupaten Wonogiri, telah berhasil membuktikan bahwa Hutan Rakyat dapat diandalkan sebagai pemasok kayu bagi pasaran nasional dan internasional sekaligus menjadi contoh pengelolaan hutan secara lestari dan dapat mempercepat rehabilitasi hutan dan lahan. Sertifikat ekolabel juga diharapkan dapat berdampak pada kesejahteraan masyarakat, karena diharapkan kayu bersertifikat ekolabel memiliki nilai jual yang lebih tinggi. Pengelolaan hutan rakyat di Kabupaten Gunung Kidul dan Wonogiri merupakan teladan keberhasilan suatu proses pembelajaran petani dengan kearifan tradisionalnya dalam pengelolaan hutan secara lestari, serta pengelolaan hutan yang kolaboratif karena melibatkan proses kerja sama berbagai pihak, yaitu Perguruan Tinggi, Pemerintah Daerah, Lembaga Swadaya Masyarakat serta organisasi pemerhati pengembangan hutan rakyat. Kegiatan pendampingan yang dilakukan oleh berbagai pihak telah meningkatkan kapasitas kelembagaan petani, yang saat ini merupakan salah satu kelemahan dalam pengembangan hutan rakyat, khususnya di Indonesia. Keberhasilan-keberhasilan
pengelolaan
hutan
berbasis
masyarakat,
termasuk di Kabupaten Gunung Kidul dan Wonogiri dapat dijadikan teladan bahwa masyarakat sebenarnya memiliki kemampuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan kehutanan, lebih khusus lagi dalam pengelolaan hutan rakyat secara lestari. Tetapi kemampuan masyarakat tersebut perlu terus didukung oleh suatu proses belajar berkelanjutan sehingga masyarakat dapat menyadari permasalahan dan potensi yang dimilikinya, termotivasi untuk melatih dan meningkatkan kapasitas dirinya sehingga mampu mengatasi permasalahannya, menghadapi tantangan dan mengembangkan potensinya.
4
Proses belajar masyarakat tersebut pada dasarnya merupakan kegiatan penyuluhan, sebagaimana dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan. Dalam Undang-Undang
tersebut
dinyatakan
bahwa
penyuluhan
adalah
proses
pembelajaran bagi pelaku utama serta pelaku usaha agar mereka mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar, teknologi,
permodalan
dan
sumberdaya
lainnya,
sebagai
upaya
untuk
meningkatkan produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan, dan kesejahteraannya, serta meningkatkan kesadaran dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup (Dephut, 2006). Perumusan Masalah Penelitian Proses belajar masyarakat di dalam dan sekitar hutan pada dasarnya merupakan kegiatan penyuluhan. Perubahan perilaku masyarakat dalam pengelolaan hutan merupakan salah satu tujuan penyuluhan kehutanan. Penyuluhan kehutanan terus berupaya mengembangkan paradigma penyuluhan ke arah pemberdayaan masyarakat. Namun, sampai dengan saat ini belum memiliki acuan yang jelas bagaimana pendekatan pembelajaran masyarakat yang baik, khususnya pada petani hutan, yang mengarah pada pemberdayaan masyarakat. Program-program penyuluhan kehutanan sampai dengan saat ini masih lebih banyak bersifat sekedar kegiatan pemberian bantuan (filantropi), yang tidak memberdayakan masyarakat. Faktor-faktor yang mempengaruhi intensitas belajar petani merupakan permasalahan yang ingin diperoleh jawabannya dalam penelitian ini. Diharapkan penelitian ini dapat menyumbangkan suatu konsep awal acuan model penyuluhan kehutanan yang dapat memberdayakan petani sehingga petani dapat mandiri dalam mengelola hutan secara lestari. Oleh karena itu, penelitian ini mencoba menganalisis dan menjawab permasalahan-permasalahan sebagai berikut : 1. Faktor-faktor manakah yang menjadi penentu intensitas belajar petani dalam pengelolaan hutan rakyat secara lestari? 2. Seberapa jauh aspek kelembagaan berperan penting dalam pembelajaran
petani dalam pengelola hutan rakyat lestari?
5
3. Bagaimanakah model dan strategi penyuluhan kehutanan yang dapat mengembangkan pembelajaran petani dalam pengelolaan hutan rakyat lestari?
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Menganalisis faktor penentu intensitas belajar petani dalam pengelolaan hutan rakyat lestari; 2. Menganalisis seberapa jauh aspek kelembagaan berperan penting dalam pembelajaran petani dalam pengelolaan hutan rakyat lestari; 3. Merumuskan konsep model dan strategi penyuluhan kehutanan dalam pengelolaan hutan rakyat lestari.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat keilmuan dan manfaat
praktis.
menyumbangkan
Manfaat
keilmuan
dalam
hal
ini
adalah
penelitian
perkembangan dalam kajian ilmu penyuluhan khususnya
pendidikan non formal berkaitan dengan pembelajaran orang dewasa dalam pembangunan kehutanan berkelanjutan. Sedangkan manfaat praktis ialah penelitian ini memberikan masukan bagi instansi terkait di Pusat, daerah, dan pihak lainnya yang berkepentingan dalam pengembangan pembangunan kehutanan
berkelanjutan
yang
berbasis
masyarakat,
khususnya
dalam
pengembangan pengelolaan hutan rakyat lestari. Diharapkan konsep model penyuluhan kehutanan yang didapatkan dari penelitian ini dapat menjadi masukan dalam penyusunan kebijakan pembangunan kehutanan yang berkelanjutan. Nilai kebaruan atau novelty penelitian ini dapat dilihat dari dua sisi, yaitu model penyuluhan kehutanan dan pengelolaan hutan rakyat lestari. Selama ini penelitian dalam bidang penyuluhan kehutanan belum ada kajian yang mendalam terhadap model pembelajaran petani, khususnya pada aspek kelembagaan. Dalam bidang kehutanan, penelitian mengenai pengelolaan hutan rakyat secara lestari (sertifikasi) belum banyak dilakukan, khususnya penelitian yang difokuskan pada proses pembelajaran petani.