PENDAHULUAN Latar Belakang Pada kota-kota metropolitan, perkembangan sangat dipengaruhi oleh pertumbuhan penduduk yang diikuti dengan meluasnya kegiatan ekonomi perkotaan. Tingginya pertumbuhan penduduk dan meluasnya kegiatan ekonomi di perkotaan, telah meningkatkan kepadatan baik di daerah perkotaan itu sendiri maupun di kawasan pinggiran kota. Pertambahan jumlah penduduk kota tidak hanya diikuti oleh pertambahan akan ruang tempat tinggal, tetapi juga ruang untuk mengakomodasi peningkatan jumlah kegiatan baru. Oleh karena ruang terbuka yang ada di dalam kota terbatas, maka perkembangan membuat perkotaan menjadi lebih padat, dan ekspansi kota ke daerah perdesaan yang berada di pinggiran kota menjadi berkembang, hingga akhirnya daerah pinggiran kota mengalami suburbanisasi (Rustiadi dan Panuju 1999). Ini adalah kondisi yang melatarbelakangi terjadinya pola perkembangan kota yang dalam beberapa literatur disebut sebagai urban sprawl. Pertumbuhan kota ke arah pinggiran, menunjukkan keterkaitan kuat antara daerah perkotaan dengan perdesaan. Keterkaitan yang kuat ditemukan pada daerah yang mengelilingi pusat kota atau di sepanjang jalur utama yang menghubungkan pusat kota ke arah pinggiran kota (Tacoli 2003). Keterkaitan tersebut adalah terjadinya hubungan saling membutuhkan antara penduduk perdesaan dengan perkotaan. Penduduk perdesaan sangat membutuhkan beberapa layanan kota diantaranya fasilitas pendidikan, perbankan, sarana pertanian, fasilitas kesehatan dan
layanan
administrasi
pemerintahan,
sementara
penduduk
perkotaan
membutuhkan ketersediaan bahan baku pangan. Disamping itu, keterkaitan terlihat dari adanya konflik kepentingan perkotaan dengan kepentingan daerah perdesaaan. Daerah perdesaaan yang secara tradisional merupakan daerah pertanian, menjadi terdesak oleh kepentingan-kepentingan ekonomi, rekreasi dan perumahan (Busck 2006). Konflik kepentingan yang muncul akibat konversi lahan pertanian di perdesaan menjadi kawasan perumahan dan industri, menurut Tacoli (2003) menyebabkan perubahan pola mata pencaharian keluarga petani skala
2
kecil, yang pada akhirnya meningkatkan jumlah penduduk desa pada aktifitas non pertanian, yang umumnya terletak di pusat kota. Pertambahan jumlah penduduk selalu diikuti dengan pertambahan kebutuhan rumah/tempat tinggal dan sejumlah kegiatan baru untuk mendukung perikehidupan dan penghidupan, akan selalu diikuti pula dengan kebutuhan tanah/ruang. Di sisi lain, perkotaan memiliki keterbatasan untuk memenuhi kebutuhan tanah perumahan dan seluruh sarana prasarana pendukungnya. Akibat yang dapat terjadi adalah pemadatan ruang di dalam kota (Rindarjono 2010) dan perluasan kota hingga ke daerah pinggiran kota (Yunus 2008). Pemadatan ruang di dalam kota adalah bentuk pemanfaatan ruang kota secara tidak terencana (Siregar 2011). Menurut Yunus (2008), proses pemadatan di dalam kota merupakan upaya pengisian ruang-ruang kosong antar permukiman yang telah ada sebelumnya. Upaya pengisian ruang kosong/ruang-ruang sisa/marjinal dengan cara ini adalah bentuk pemanfaatan ruang kota secara tidak terencana. Pemadatan ruang kota yang banyak terjadi di kawasan permukiman lama dalam kota membuat kondisi kawasan menjadi tidak teratur, baik segi arsitekturalnya, ukurannya maupun tata letaknya. Perluasan kota hingga ke daerah pinggiran kota, merupakan pola perkembangan urban sprawl di luar batas kota. Perkembangan seperti ini adalah pola perkembangan yang tidak efisien. Menurut Djunaedi (2002), perluasan kawasan permukiman hingga ke daerah pinggiran kota dengan pola yang acak dan ‘lompat katak’, menyebar keluar dari batas wilayah kota, membuat pemerintah daerah tidak siap menghadapi sprawl. Infrastruktur yang dibangun tidak dapat mengimbangi pesat dan kompleksnya pembangunan yang berlangsung, karena penyediaan tambahan kapasitas prasarana dan fasilitas lingkungan perkotaan serta sejumlah infrastruktur tidak dapat dilakukan. Pola perkembangan kawasan terbangun kota yang acak dan menyebar seperti ini adalah pola perkembangan kawasan terbangun secara tidak terencana (Heripoerwanto 2009). Dampak dari perkembangan yang tak terencana ini diantaranya muncul berbagai isu fisik, sosial-budaya dan ekonomi. Friedberg (2001); Simon et al. (2003); Briggs 1991 dalam Marshall (2009), menunjukkan isu fisik yang muncul antara lain: pemadatan kawasan permukiman yang telah ada sebelumnya,
3
tumbuhnya kantong-kantong permukiman dan bangunan lainnya di daerah pinggiran kota, dan munculnya permukiman kumuh baik di dalam kota maupun di daerah pinggiran kota. Isu lain yang muncul adalah permasalahan infrastruktur, seperti meningkatnya intensitas genangan pada musim hujan, suplai air bersih yang menurun pada musim kemarau, dan terjadinya kemacetan lalu lintas. Pertumbuhan yang sprawl juga menimbulkan permasalahan sosial ekonomi, seperti berkembangnya sektor informal dan daerah kumuh dan meningkatnya jurang kesenjangan antara orang kaya dan miskin antar warga yang berdekatan (Leisch 2002 dalam Winarso 2007), serta munculnya segregasi sosial (Galvin 2002). Perumusan Masalah Intensitas pemanfaatan ruang perkotaan dan ekspansi pemanfaatan ruang di daerah perdesaan secara acak (urban sprawl) adalah suatu proses yang tak terencana (Heripoerwanto 2009). Desakan kebutuhan perumahan, yang ditandai dengan tumbuhnya kantong-kantong permukiman di daerah pinggiran Kota Jakarta, menunjukkan ada proses pembangunan kota yang tidak direncanakan. Padahal, pembangunan seharusnya merupakan suatu proses terencana untuk mencapai suatu keadaan kepada kondisi yang lebih baik, dimana proses perencanaan harus memberikan kontribusi penting terhadap perubahan tersebut (Saefulhakim 2008). Tangerang adalah salah satu wilayah di Kawasan Jakarta-Bogor-Depok Tangerang-Bekasi (Jabodetabek) yang mengalami pertumbuhan cepat sejak awal tahun 1980an. Tangerang meliputi tiga wilayah administratif yakni Kabupaten Tangerang,
Kotamadya
Tangerang
dan
Kotamadya
Tangerang
Selatan,
Perembetan pertumbuhan ke arah Tangerang, ditandai dengan tumbuhnya kantong-kantong permukiman di Wilayah Tangerang. Tangerang merupakan daerah pinggiran kota mengalami suburbanisasi (Rustiadi dan Panuju 1999) dan secara alamiah menjadi pilihan alternatif dalam memenuhi kebutuhan ruang untuk tempat tinggal (Yunus 1999 dalam Warsono 2006).
4
Perembetan perkembangan kota hingga ke Tangerang memiliki berbagai permasalahan, seperti tumbuhnya permukiman kumuh, kurangnya ketersediaan palayanan
infrastruktur
atau
kurangnya
ketersediaan
sarana
prasarana
permukimanan. Keberadaan permukiman kumuh ditemukan di beberapa kecamatan di Kotamadya Tangerang, seperti Kecamatan Neglasari, Benda dan Periuk (BPS 2008), akan membentuk kawasan tidak teratur. Kurangnya ketersediaan pelayanan infrastruktur drainase yang ditunjukkan dengan terjadinya banjir, ditemukan di sejumlah kecamatan di Tangerang Selatan seperti di Kecamatan Pondok Aren dan Ciputat Timur, dapat memperburuk kualitas lingkungan perumahan. Kurangnya ketersediaan sarana prasarana permukiman di wilayah Tangerang ditunjukkan oleh keberadaan fasilitas pendidikan, sosial dan ekonomi yang tidak tersebar merata di tiap desa atau kecamatan (BPS 2003, 2008 dan pengamatan lapangan 2011). Menurut Wiryomartono (2002), kondisi ini disebabkan
karena
pertumbuhan
permukiman
tidak
diimbangi
dengan
pembentukan simpul-simpul sistem yaitu infrastruktur dan kegiatan perkotaan. Akibatnya, perkembangan menimbulkan sejumlah permasalahan baru, seperti kemacetan di titik yang berbatasan dengan Kota Jakarta, kurangnya ketersediaan sarana prasarana permukiman dan perkembangan perumahan yang menyebar tak beraturan. Pola perkembangan yang terbentuk di Wilayah Tangerang berbeda di setiap tempat. Perembetan perkembangan Jakarta ke arah Utara Tangerang, menunjukkan perkembangan didominasi oleh pergudangan dan perumahan. Perkembangan ke arah Selatan menuju Pondok Aren, Ciputat, Serpong, Legok sampai Cikupa didominasi oleh perkembangan perumahan menengah-atas, ke arah Barat Kotamadya Tangerang menuju Jatiuwung, Pasar Kemis, Cikupa sampai Balaraja perkembangan didominasi oleh kegiatan industri. Pola perkembangan daerah pinggiran kota yang berbeda-beda tidak ditemukan di Indonesia saja, tetapi terjadi pula di beberapa negara diantaranya di Asia Timur (Hudalah et al. 2007) seperti di Cina (Leaf 2002), di Asia Tenggara seperti Vietnam (Leaf 2002; Thapa & Murayama 2008) dan Thailand (Winarso et al. 2007), dan di Australia (Buxton & Choy 2007). Kenyataan ini diperkuat dengan pernyataan Tacoli (2003), bahwa pola perkembangan permukiman di perdesaan,
5
terutama di pinggiran kota, tidak selalu seragam. Ada kawasan yang didominasi oleh perkembangan kawasan perumahan dan perumahan murah (termasuk rumahrumah liar) dan ada yang didominasi oleh perkembangan kawasan industri. Peristiwa perembetan perkembangan yang ditunjukkan dengan perembetan kenampakan fisik kota, memiliki karakteristik dengan arah pemekaran yang beraneka ragam, ada yang kuat dan ada pula yang lemah. Antrop (2000) dalam Busck (2006), mengidentifikasi sejumlah zona urbanisasi mulai dari pusat kota hingga ke perdesaan dimana setiap zonanya memiliki proses dan bentuk yang berbeda-beda. Karakteristik perkembangan daerah pinggiran seperti proses peralihan hak atas lahan pertanian (Bah et al. dalam Tacoli 2003), konflik kepentingan pemanfaatan lahan di daerah peri-peri yang merupakan proses konversi lahan pertanian menjadi kawasan dengan pemanfaatan lahan campuran yang intensif (Sajor 2007), kecepatan pertumbuhan daerah terbangun hampir 30% yang lebih cepat dibanding pertumbuhan populasi penduduk akibat peningkatan kebutuhan konsumtif penduduk kota, seperti kebutuhan akan rumah kedua sebagai investasi, lapangan golf dan fasilitas khusus lainnya sebagai pelengkap kenyamanan (Bourne et al. 2003), menunjukkan karakteristik yang khas dari pemekaran kota. Tangerang mengalami perkembangan sprawl dari Jakarta yang secara alamiah (Spencer 1979 dalam Warsono 2006) perkembangannya akan sangat dipengaruhi oleh karakteristik pemekaran Kota Jakarta, baik yang kuat pengaruhnya maupun yang lemah pengaruhnya (Bintarto 1983). Akibatnya, perkembangan ini sangat mempengaruhi perbedaan-perbedaan yang terjadi secara keruangan (Koestoer 1997). Di sisi lain, perkembangan sprawl dari Jakarta yang dialami Tangerang memberikan indikasi lemahnya pengendalian tata ruang (Wiryomartono 2002), yang mengakibatkan inefesiensi pengelolaan lahan atau kurangnya ketersediaan pelayanan infrastruktur wilayah (Djunaedi 2002; Webster & Theeratham 2004). Bila perkembangan ini dibiarkan maka sejumlah kawasan termasuk kawasan permukiman yang telah ada, akan mengalami penurunan kenyamanan dan kualitas kehidupan penduduknya (Heripoerwanto 2009). Kedekatan wilayah Tangerang dengan Jakarta dan tingginya interaksi wilayah Tangerang dengan Jakarta dapat menimbulkan persoalan yang krusial bila
6
tak tertangani dengan baik. Berdasarkan hasil observasi lapangan serta pengamatan pada citra wilayah Tangerang ditemukan beberapa kawasan perdesaaan yang mengalami perkembangan acak (sprawl) oleh fungsi perkotaan seperti pada desa-desa yang berada di wilayah Kecamatan Kosambi Kabupaten Tangerang (Gambar 1).
Desa Kosambi Barat Desa Kosambi Timur
Desa Dadap
Perkembangan permukiman yang sprawl berpola ‘memita’ mulai menyebar hingga ke Desa Kosambi Barat. Perkembangan kawasan pergudangan di Desa Dadap dan Kosambi Timur, yang berbatasan langsung dengan Jakarta menyebabkan terjadinya perembetan fisik terbangun hingga ke Kosambi Barat. Perkembangan kawasan pergudangan di Desa Dadap dan Kosambi Timur, telah memicu tumbuhnya permukiman yang sprawl di Desa Kosambi Barat. Perkembangan ini mengisi ruang-ruang kosong antara bangunan pergudangan.
Gambar 1 Kenampakan citra Desa Kosambi Barat Kecamatan Kosambi yang menunjukkan perkembangan sprawl. Gambar di atas menunjukkan gejala sprawl di Desa Kosambi Barat akibat perubahan guna lahan di Desa Kosambi Timur dan Desa Dadap yang berbatasan langsung dengan Jakarta. Perubahan pemanfaatan lahan di kedua desa disebabkan oleh pengaruh faktor eksternal dari wilayah Jakarta. Pertumbuhan ekonomi Kota Jakarta telah mendorong pertumbuhan pergudangan di Desa Dadap dan Kosambi Timur. Letaknya yang berbatasan langsung dengan Jakarta menjadikan kedua desa memiliki posisi strategis dari simpul-simpul perekonomian Jakarta karena kedekatannya itu membuat kedua desa ini memiliki akses tinggi ke Pelabuhan Tanjung Priok dan Sunda Kelapa. Pertumbuhan kawasan pergudangan mendorong pada percepatan pertumbuhan penduduk serta perumahan di wilayah ini, dengan karakter perkembangan lingkungan perumahan yang tidak teratur.
7
Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana bentuk/pola perkembangan yang terjadi di Wilayah Tangerang lainnya? Apakah pola perkembangannya berbeda di setiap tempat? Dan apakah di setiap tempat memiliki karakteristik khas dari proses dan pola yang terjadi? Menyikapi perkembangan sprawl hingga ke daerah perdesaan, maka perlu dilakukan penelitian yang dapat menggambarkan pola perkembangan kawasan permukiman perkotaan dan perdesaan di Wilayah Tangerang. Pemahaman pola perkembangan tersebut dapat digunakan untuk menemukan faktor-faktor berpengaruh pada tiap tipologi/kelompok kawasan permukiman. Dengan demikian maka dapat dikenali faktor penciri yang menjadi karakteristik khas perkembangan pada tiap tipologi. Kajian ini juga menjelaskan tentang faktor-faktor yang diduga dapat menjadi penyebab munculnya permasalahan pada tiap tipologi kawasan, agar dampak dari perkembangan sprawl di Wilayah Tangerang dapat dikendalikan. Pentingnya penelitian ini juga dipertegas oleh pernyataan Soetomo (2008), bahwa ruang sub-urban akan menjadi kumuh atau menjadi kawasan kota di pedesaan yang nyaman, akan sangat tergantung pada bagaimana kita merencanakan tata ruang dengan faktor terkait lainnya. Hasil identifikasi dapat digunakan untuk merencanakan perkembangan dan mengelola perkembangan permukiman di Wilayah Tangerang, serta mengeliminir perkembangan yang tidak diinginkan, secara tepat. Tujuan dan Manfaat Penelitian Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah, maka tujuan dilakukannya penelitian adalah untuk: 1. mengidentifikasi tipologi permukiman di Wilayah Tangerang. 2. menentukan karakteristik penciri dari tiap tipologi permukiman. 3. mencari faktor-faktor penyebab munculnya masalah tiap tipologi permukiman. Adapun manfaat yang ingin diperoleh dari penelitian ini adalah: 1. Sebagai bahan masukan untuk mengantisipasi perkembangan yang tak terencana. 2. Sebagai bahan untuk perumusan prioritas penanganan hal-hal pokok dari perkembangan wilayah yang tidak direncanakan.