PENDAHULUAN Latar Belakang Sektor pertanian hingga kini masih menjadi andalan program pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Selama krisis ekonomi berlangsung prioritas kebijakan lebih besar diarahkan kepada penyelesaian krisis moneter sehingga kebijakan di sektor pertanian relatif berkurang. Namun demikian sektor pertanian masih tetap menunjukkan pertumbuhan positif dibanding sektor yang lain. Oleh karena itu, sektor pertanian merupakan sektor riil yang masih menjanjikan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat, terutama para petani. Memasuki era informasi yang mengakibatkan globalisasi di segala bidang, sektor pertanian dituntut memiliki nilai keunggulan kompetitif dan komparatif yang tinggi, sehingga dalam pengelolaan dapat bersaing dengan produk-produk pertanian yang berasal dari luar negeri (impor). Belajar dari kegagalan pengalaman pembangunan sebelumnya yang bertumpu pada pertumbuhan ekonomi, dalam menghadapi persaingan global tersebut, prioritas pada sektor pertanian harus digarap berbeda. Pembangunan sektor pertanian di era globalisasi harus bertumpu kepada sumber daya manusia (SDM) berdaya yang bergerak di bidang pertanian sehingga dapat, mau dan mampu bersaing (Saragih, 1998). SDM sebagai subyek pembangunan terdiri dari orang-orang yang memiliki nilai-nilai, budaya dalam kapasitas yang berbeda antara satu dengan yang lain. Perbedaan tersebut harus dapat dikelola sedemikian rupa untuk mencapai tujuan pembangunan yaitu kondisi SDM yang lebih baik dari sebelumnya. Menurut Myers (Legan dan Loomis, 1980), untuk mengukur tingkat keberhasilan perkembangan pembangunan pertanian terutama terletak pada pengembangan SDM pertanian. Harapan masa depan kondisi SDM yang lebih baik dari tujuan pembangunan merupakan harapan bagi setiap insan hidup yakni manusia yang bersifat normatif dan universal (Susanto, 2003). Secara rasional dan psikologis alasan untuk hidup lebih baik tersebut adalah:
(1) kehidupan dan hidup ini perlu diperbaiki, (2) masa depan yang lebih baik perlu direncanakan dan ditata secara cermat mulai sekarang, (3) kemampuan menghadapi tantangan (dalam dan luar negeri) perlu dikembangkan secara terus menerus, dan (4) perlu pengembangan jiwa kewirausahaan, sikap hemat dan kepedulian sosial. Dalam persaingan global tersebut perlu dicari nilai-nilai keunggulan yang khusus terutama yang ada pada petani sebagai ujung tombak pelaku pembangunan pertanian. Tim CRESCENT (2003) melaporkan bahwa dalam suatu masyarakat manapun terdapat daya internal yang mekanismenya bersifat khas (local specific) dan secara nyata berperan dalam mengatasi masalahnya sendiri (internal). Nilai-nilai keunggulan yang ada pada petani seperti pengalaman dan pengetahuan asli petani maupun kapasitas (potensi lokal) yang lain dalam melaksanakan usaha pertanian dapat dijadikan pijakan (entry point) untuk membangun sektor pertanian yang berbasis kepada kebutuhan dan harapan petani. Potensi-potensi lokal harus dapat dimanfaatkan seoptimal-optimalnya sambil menerapkan berbagai inovasi/teknologi tepat guna sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan petani. Perilaku petani yang spesifik dalam berusahatani harus mampu menjadi daya dorong untuk mewujudkan keberhasilan usaha pertanian yang tangguh pada persaingan global. Sejalan dengan persaingan global, pada era otonomi daerah juga terdapat persaingan dalam mencari identitas sebagai andalan untuk diunggulkan oleh masing-masing daerah. Daerah provinsi Jawa Timur banyak memiliki keunggulan dari sektor pertanian. Sub sektor tanaman pangan, Jawa timur merupakan salah satu sentra produksi untuk tanaman padi, jagung maupun tanaman kacangkacangan seperti kedelai, kacang tanah maupun kacang hijau. Kontribusi tanaman padi yang menghasilkan beras untuk bahan makanan pokok di Indonesia mencapai 10 persen dari kebutuhan Nasional yang menempati peringkat ketiga setelah Jawa barat dan Sulawesi selatan. Oleh karena itu tidak heran bila banyak program nasional untuk sub sektor tanaman pangan banyak dilaksanakan di daerah provinsi Jawa timur. Selain sebagai sentra produksi
tanaman pangan, daerah Provinsi Jawa Timur juga merupakan sentra produksi tanaman hortikultura. Walau demikian, petani yang bergerak pada usaha tanaman sayuran relatif lebih berkembang dibanding petani yang mengusahakan tanaman padi. Program pembangunan pertanian yang banyak memprioritaskan komoditas unggulan yang berpotensi dan bertujuan ekspor tidak sepenuhnya salah tetapi juga memiliki resiko yang cukup besar karena sangat tergantung kepada kebutuhan pasar terutama bagi komoditas-komoditas yang memiliki tingkat daya saing yang rendah. Menurut Azahari (2004), prioritas pengembangan tanaman buah-buahan seperti manggis, mangga, dan pisang karena buah-buah tersebut merupakan komoditas unggulan yang berpotensi dan bertujuan ekspor. Kebijakan pengembangan tanaman buah-buahan untuk tujuan ekspor dalam kurun waktu jangka pendek memang menguntungkan, tetapi keberlanjutannya sangat tergantung kebijakan negara pengimpor. Dalam kondisi sistem perdagangan dunia hasil produk pertanian yang tidak jujur (fair) akan membahayakan dan sangat merugikan petani (Husodo, 2004). Bahkan menurut Sawit (2004), walaupun ada perlakuan khusus terhadap sektor pertanian di negara berkembang seperti Indonesia, hampir tidak mungkin dapat mengejar ketinggalan, dan hanya negara maju yang akan mampu memetik manfaat jauh lebih banyak dibanding negara berkembang. Pesimistis Sawit (2004) dan Husodo (2004) tersebut cukup beralasan karena hampir semua negara di dunia secara normatif akan selalu melindungi produk yang dihasilkan dengan berbagai kebijakan proteksi dan promosi. Sebagai contohseperti yang dimuat pada Harian Kompas (2005) dilaporkan bahwa seluruh ekspor buah-buahan Indonesia sejak bulan Januari 2005 telah ditolak memasuki pasaran Eropa karena negara-negara Eropa menerapkan kebijakan standarisasi mutu (Europe Good Agriculture Practice/GAP) yang sebelumnya tidak ada. Tanaman padi sebagai penghasil beras merupakan produk pertanian yang memiliki nilai strategis yang sangat penting sehingga menjadi prioritas pengembangan untuk dimanfaatkan sebagai upaya peningkatan kesejahteraan para petani. Walaupun demikian secara faktual, masyarakat Indonesia terutama para petani di Indonesia masih menempati peringkat strata ekonomi dari
menengah hingga bawah. Hingga sekarang permintaan pasar untuk pangan terutama beras terus meningkat dan untuk mencukupi kebutuhan beras di dalam negeri banyak diimpor dari luar negeri seperti dari Vietnam, Cina, Thailand maupun negara asia yang lain seperti India dan Philipines. Dalam era globalisasi persaingan akan semakin ketat, sehingga kapasitas yang dimiliki petani dalam melaksanakan usaha pertanian harus selalu ditingkatkan dan dikembangkan agar dapat mampu bersaing dan tangguh dalam menghadapi persaingan global. Berbagai hasil penelitian dan konsep tentang usaha pertanian tangguh sebenarnya telah banyak muncul sejak awal tahun sembilan puluhan (Hadiwigeno, 1985; Baharsyah dkk., 1985; Kasryno, 1988; Abbas, 1995)., tetapi konsep yang dibangun tidak mempertimbangkan kapasitas petani sehingga berakibat tidak memiliki keberkelanjutan. Bahkan faktor keberlanjutan dari ketangguhan usaha pertanian lebih ditekankan kepada keberlanjutan sumber daya alam, sedangkan faktor keberlanjutan untuk sumber daya manusia banyak diabaikan. Pengembangan kapasitas petani cenderung diabaikan terutama karena dominasi paradigma pembangunan yang masih bersifat top down. Sejalan dengan era otonomi dan desentralisasi, maka pengembangan kapasitas petani sangat diperlukan untuk menciptakan ketangguhan usaha pertanian. Pertanyaan yang muncul untuk dapat dicari jawabannya dalam penelitian ini adalah: Bagaimana kapasitas perilaku yang harus dimiliki petani agar dapat berhasil dalam melaksanakan usaha pertanian sehingga memiliki daya saing tinggi dalam menghadapi tantangan global? Masalah Penelitian Masalah adalah suatu fenomena yang dapat diartikan sebagai suatu kesenjangan antara yang ada sekarang dengan kondisi yang seharusnya terjadi (diharapkan). Untuk memecahkan masalah tersebut, dalam masalah penelitian secara teknis menyiratkan adanya kemungkinan untuk dilakukan penelitian (McMillan dan Schoemaker, 1989). Dalam sistem usaha pertanian untuk tanaman padi dan sayuran di Indonesia, sistem pengelolaan yang dominan adalah pola pengelolaan rakyat. Sistem pola
pengelolaan rakyat dicirikan dengan hanya sebatas kantong-kantong produksi yang
bersifat
kawasan
produksi,
pertanaman
menggunakan
teknologi
sederhana dan penggunaan informasi pasar belum memadai, modal terbatas, dan lebih dominan bersifat individu. Masalah pengelolaan tanaman padi dan tanaman sayuran adalah terletak pada kapasitas petani dalam mengelola usahatani masih berorientasi kepada kuantitas produksi bukan kepada kualitas sehingga memiliki daya saing rendah (Supriyanto, 2001). Usahatani sayuran merupakan suatu usaha yang memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap preferensi konsumen (pasar). Sedangkan usahatani padi memiliki masalah yang lebih komplek baik yang menyangkut kebijakan yang penuh dengan muatan politis maupun skala pengusahaan lahan yang relatif sempit. Perilaku petani dalam mengelola usahatani dengan sistem pengelolaan rakyat memiliki kekhususan tersendiri dibanding dengan sistem pengelolaan perkebunan. Sejumlah rangkaian perilaku petani tersebut, menurut Popkin (1986), merupakan suatu tindakan yang rasional. Dikatakan rasional karena hanya petani itu sendiri yang secara pasti mengetahui perilaku yang tepat sesuai dengan harapan dan kebutuhannya. Kemampuan petani untuk memenuhi kebutuhan sesuai dengan potensi yang dimiliki merupakan suatu kapasitas petani yang tidak boleh diabaikan apabila ingin keberhasilan usaha pertanian dapat berkelanjutan. Dengan demikian, selama ini perilaku petani dalam melaksanakan usaha pertanian selalu berpijak sesuai dengan kapasitas yang petani miliki. Sejalan dengan pendapat Popkin tersebut, Scott (1994) mengemukakan bahwa perilaku petani sesuai dengan potensi, kemampuan dan kebutuhan petani. Menurut Asngari (2001), perilaku seseorang (petani) dapat dikategorikan menjadi dua yaitu perilaku yang secara jelas dapat dilihat (overt behavior) dan perilaku yang kadangkala tidak dapat dilihat secara nyata (covert behavior). Baik perilaku yang dapat dilihat maupun yang tidak dapat dilihat dipengaruhi oleh unsur-unsur pembentuk perilaku yang menurut Isaac dan Michael (Asngari, 2001) terdapat pada kawasan kognitif, afektif dan psikomotor. Ketiga kawasan unsur pembentuk perilaku tersebut saling berinteraksi. Dengan demikian perilaku merupakan suatu rangkaian tindakan seseorang dalam mengimplementasikan kebutuhan dan harapannya.
Di masa lalu perilaku petani dipandang sebagai bentuk tindakan konservatif karena para agen pembaharu maupun perancang pembangunan tidak dapat melihat dan memahami secara jelas perilaku sesungguhnya. Walaupun ada keberpihakan kepada petani dari pemerintah (policy maker) dalam melakukan usahatani padi dan sayuran tetapi masih bersifat semu sehingga tingkat keberhasilan usahatani masih rendah dan kesejahteraan hidup petani tetap rendah. Pertanyaan yang timbul adalah bagaimana dan mengapa petani tetap bertahan mengusahakan tanaman padi dan tanaman sayuran? Pertanyaan lebih lanjut dalam penelitian untuk dicari jawabannya adalah: (1) Bagaimana tingkat kapasitas petani sayuran dan petani padi dalam melaksanakan usahatani? (2) Faktor-faktor manakah yang berpengaruh efektif terhadap peningkatan kapasitas petani dalam berusaha di bidang pertanian agar memiliki tingkat keberhasilan tinggi? (3) Faktor determinan apa saja yang berpengaruh terhadap kapasitas petani agar tingkat keberhasilan usahatani tetap tinggi? (4) Bagaimana model pengembangan kapasitas petani yang efektif (operasional) untuk peningkatan kapasitas petani dalam mewujudkan keberhasilan usahatani? Tujuan Penelitian Selaras dengan permasalahan yang telah diuraikan tersebut, maka tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah : (1) Mendeskripsikan secara jelas tingkat kapasitas petani sayuran dan petani padi dalam melaksanakan usahatani. (2) Mengungkap faktor-faktor determinan yang mempengaruhi kapasitas petani sayuran dan petani padi dan tingkat keberhasilannya dalam usahatani. (3) Memetakan kapasitas petani sayuran dan petani padi dalam mewujudkan keberhasilan usahatani. (4) Tersusunnya rumusan model pengembangan kapasitas petani yang tepat untuk peningkatan kapasitas petani sayuran dan petani padi dalam mewujudkan keberhasilan usahatani.
Manfaat Hasil Penelitian Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah model pengembangan kapasitas petani yang dapat memberikan sumbangan secara praktis dan ilmiah. Dari segi praktis, hasil penelitian ini mendapatkan rumusan faktor determinan yang berpengaruh terhadap kapasitas petani sehingga dapat digunakan sebagai acuan untuk menyusun strategi peningkatan kapasitas petani dalam mewujudkan keberhasilan usahatani. Peningkatan kapasitas petani dapat digunakan sebagai upaya untuk mempertahankan usaha pertanian yang dilakukan petani agar tetap memiliki peluang kepastian pasar. Dari segi ilmiah, bermanfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan tentang konsep-konsep kapasitas petani bagi pengembangan sumber daya manusia. Hal tersebut berguna untuk menyusun model-model alternatif dalam rekayasa sosial pengembangan kapasitas secara bottom up khususnya bagi petani tanaman padi dan petani tanaman sayuran dan pembangunan pertanian secara umum. Selain itu hasil penelitian dapat sebagai dasar acuan suatu model pengembangan kapasitas petani sayuran dan petani padi dalam mewujudkan keberhasilan usaha pertanian.
Definisi Istilah (1) Petani adalah sosok manusia sebagai pelaku utama yang mengandalkan pengelolaan sumber daya pertanian sebagai sumber nafkah/berusaha di bidang pertanian baik berupa tanaman, ternak maupun pengelola hasil pertanian. Kebutuhan untuk hidup mereka sebagian besar dicukupi dari hasil usaha pertanian. Dalam penelitian ini yang dimaksud petani adalah sosok manusia sebagai pelaku utama yang mengelola usahatani sayuran dan usahatani padi. (2) Karakteristik pribadi petani adalah ciri-ciri yang melekat bagi seseorang sebagai pelaku utama yang berkaitan erat dengan kesiapannya untuk mengembangkan diri dalam melakukan usaha pertanian. Karakteristik petani pada penelitian ini ditunjukkan oleh tingkat pendidikan, pengalaman berusahatani, tingkat kekosmopolitan dan tingkat keberanian mengambil resiko.
(3) Keberhasilan usaha pertanian adalah kondisi yang diperoleh dari upaya pelaku usaha pertanian yang dinilai dari aspek kepastian pasar, aspek produkvitas dan aspek keberlanjutan. Aspek kepastian pasar mencerminkan suatu usaha pertanian yang dihasilkan bermanfaat dari segi ekonomi dan sosial. Segi ekonomi dapat memberikan manfaat sesuai dengan kebutuhan hidup yang diperlukan, sedangkan dari aspek sosial meliputi kebutuhan akan status usaha tersebut dapat memenuhi dan tidak bertentangan dengan kondisi lingkungan sosial budaya yang telah ada. Kepastian pasar meliputi keleluasaan pelaku usaha untuk mendapatkan faktor produksi sesuai dengan yang dibutuhkan, kegiatan usaha yang dilakukan selaras dengan lingkungan, hasil yang diperoleh sesuai/dapat terserap oleh pasar. Dari segi produktivitas adalah memperoleh manfaat secara menguntungkan dan terjadi perkembangan ke arah peningkatan sehingga dapat terjadi suatu usaha yang efisien dan efektif. Produktivitas kegiatan usaha pertanian tinggi tampak dari efisiensi penggunaan modal, tenaga kerja dan waktu. Keberlanjutan merupakan keleluasaan pelaku usaha untuk menggunakan sumberdaya usahatani yang dimiliki secara berkelanjutan. Keberlanjutan suatu usaha dapat dilaksanakan secara berkelanjutan bila tidak mengganggu dan dapat melestarikan lingkungan secara tepat dan baik yang menyangkut aspek fisik maupun sosial budaya. (4) Kapasitas petani diartikan sebagai daya-daya yang melekat pada pribadi seseorang sebagai pelaku utama pengelola sumber daya pertanian untuk dapat menetapkan tujuan usahatani secara tepat dan mencapai tujuan yang telah ditetapkan dengan cara tepat pula. Setiap individu (seseorang) secara alamiah memiliki kapasitas yang melekat pada dirinya. Tingkat perbedaan kapasitas seseorang ditunjukkan dari pengetahuan, sikap dan ketrampilan berusaha di bidang pertanian dalam memperoleh dan memanfaatkan informasi/inovasi serta kondisi lingkungan yang melingkupi seseorang tersebut. Tingkat kapasitas petani pada penelitian ini ditunjukkan dalam mengidentifikasi potensi, memanfaatkan peluang, mengatasi permasalahan dan menjaga keberlanjutan sumber daya usahatani dalam mewujudkan tingkat keberhasilan usahatani.
(5) Inovasi pertanian adalah keberadaan suatu obyek (ide, gagasan maupun tehnik) yang dianggap sesuatu yang relatif baru dan dinilai lebih bermanfaat keberadaan dalam lingkungan (usaha) yang ada. Inovasi ini dapat berasal dari hasil-hasil penelitian maupun (inovasi) yang berasal dari petani lain di luar dan di dalam lingkungan komunitas petani yang bersangkutan. Inovasi yang tersedia pada penelitian ini meliputi aspek macam, sifat dan bentuk pilihan keputusan dalam penerapannya. (6) Kemandirian usahatani adalah perwujudan dari keleluasaan petani untuk memilih dan mengarahkan hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan usaha pertanian yang dilakukan secara saling ketergantungan yang menguntungkan, bertanggung jawab dan menerima segala konsekuensinya. Kemandirian usahatani pada penelitian ini meliputi aspek pengambilan keputusan, penyediaan modal, menjalin kemitraan dan menciptakan kedinamisan usahatani (7) Aksesbilitas informasi adalah aktivitas yang dilakukan oleh petani untuk meraih pesan/pengetahuan yang terkait dengan usaha pertanian yang dilakukan. Akses terhadap informasi tersebut terkait dengan sumber informasi, macam dan kesesuaian informasi yang diperoleh serta kredibilitas pemberi informasi. (8) Lingkungan ekonomi dan sosial budaya petani adalah individu di luar pelaku utama pertanian atau sekelompok individu dalam sistem kemasyarakatan yang telah menjadi tradisi dan atau kelembagaan yang mengandung nilai dan norma serta pemanfaatan keberadaannya mempengaruhi pola pikir dan tindakan petani dalam melaksanakan usaha di bidang pertanian. Lingkungan ekonomi dan sosial budaya pada penelitian ini ditunjukkan oleh keluarga, penguasaan aset ekonomi, tokoh masyarakat dan sistem nilai (value system), tradisi/kelembagaan yang berlaku dalam masyarakat tersebut.