PENDAHULUAN Latar Belakang Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) merupakan salah satu komoditi sektor non-migas andalan yang berperan penting dalam menunjang pembangunan Indonesia.
Produksi minyak sawit di perkebunan rakyat pada tahun 2002
mencapai sebesar 3.134.300 ton dan pada tahun 2003 terjadi kenaikan sebesar 16.42% menjadi 3.648.800 ton. Sedangkan produksi minyak sawit di perkebunan besar pada tahun 2002 mencapai sebesar 5.277.300 ton dan pada tahun 2003 terjadi kenaikan sebesar 3.4% menjadi 5.456.700 ton.
Secara umum ekspor
minyak sawit di Indonesia dalam kurun waktu 1999-2003 meningkat dengan laju rata-rata 18.47 % per tahun (BPS 2003). Volume ekspor minyak sawit pada tahun 2003 mencapai 6.386.400 ton dengan nilai US$ 2.454.600.000 (BPS 2003). Kebutuhan minyak sawit terus meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk dunia, yang juga dipacu dengan ditemukannya teknologi pengolahan atau diversifikasi industri. Hal ini menunjukkan bahwa peluang pasar kelapa sawit sangat baik, sehingga produksi kelapa sawit mempunyai prospek yang sangat baik untuk dikembangkan di Indonesia. Sehubungan dengan hal tersebut, dalam dekade terakhir Indonesia sudah mengusahakan peningkatan produksi dan produktivitas sawit baik melalui program ekstensifikasi, intensifikasi maupun rehabilitasi. Salah satu kendala pengembangan kelapa sawit adalah keterbatasan lahanlahan subur, sehingga usaha perluasan areal lebih diarahkan pada lahan-lahan marjinal yang biasanya terdapat di daerah-daerah di luar Pulau Jawa.
Pada
daerah-daerah tersebut umumnya didominasi oleh tanah Podsolik Merah Kuning (PMK) dan tanah gambut yang mempunyai tingkat kesuburan yang rendah serta memiliki masalah dalam penyediaan air. Tanah PMK bersifat masam, kahat hara makro, kadar bahan organik rendah, kejenuhan basa rendah, kadar besi, alumunium dan mangan tinggi yang dapat meracuni tanaman dan dapat menyebabkan fiksasi fosfor (Sudjadi 1984). Masalah utama tanah PMK adalah dalam hal tersedianya unsur P akibat derajat
2 kemasaman yang tinggi yang menyebabkan Al dan Fe tertukar ke nisbi larut, sehingga akan terjadi fiksasi P oleh kedua unsur tersebut atau P dijerap pada permukaan oksida Fe, Al dan Mn yang tidak larut (Mengel & Kirkby 1987) atau dengan mineral liat (Tisdale et al. 1985). Selain itu, secara fisik tanah PMK peka terhadap erosi dan kemampuan menahan air yang rendah serta mempunyai nilai kapasitas tukar kation yang rendah (Mengel & Kirkby 1987).
Dengan
kemampuan menahan air yang rendah tersebut, tanah PMK mudah mengalami kekeringan terutama pada musim kemarau, sehingga tanaman kelapa sawit yang ditanam pada tanah tersebut akan mengalami cekaman kekeringan. Tanah gambut memiliki reaksi tanah yang sangat masam, kandungan hara makro dan mikro rendah, kapasitas tukar kation tinggi, sedangkan kejenuhan basa rendah, kandungan bahan organik tinggi dan tingginya kandungan asam-asam organik tanah yang berpengaruh langsung dan bersifat meracuni tanaman (Rachim 1995). Pada tanah gambut, unsur P dominan dalam bentuk inositol ester fosfat, inositol heksafosfat dan sebagian kecil dalam bentuk inositol di-, tri- dan tetrafosfat sehingga sulit tersedia bagi tanaman (Mengel & Kirkby 1987). Tanah gambut yang ditanami kelapa sawit yang akan diteliti merupakan jenis gambut saprik yang sebagian besar telah mengalami pelapukan.
Kelapa sawit
memerlukan drainase yang baik untuk pertumbuhannya, oleh karena itu penanaman tanaman tersebut pada tanah ini terlebih dahulu perlu dibuat drainase dengan dibuat parit. Pada tanah gambut ini air tersedia juga rendah sehingga tanaman kelapa sawit tersebut akan mengalami kekeringan juga sewaktu musim kemarau. Tanaman kelapa sawit yang ditanam pada tanah PMK ataupun gambut di Provinsi Jambi mudah sekali mengalami kekeringan, terutama di musim kemarau. Hal itu disebabkan karena selain sifat tanah tersebut yang mempunyai kemampuan menahan air yang rendah (khususnya tanah PMK), juga menurut Hartley (1977) karena tanaman kelapa sawit mempunyai tipe perakaran yang dangkal (akar serabut), sehingga mudah mengalami cekaman kekeringan yang sangat membatasi pertumbuhan dan produksi tanaman tersebut. Dampak kekeringan terhadap pertumbuhan tanaman kelapa sawit ditandai dengan daun
3 muda tidak membuka, merusak hijau daun yang menyebabkan daun tampak menguning dan mengering, pelepah daun tua terkulai dan pupus patah. Pada fase reproduktif, cekaman kekeringan menyebabkan perubahan nisbah kelamin bunga, bunga dan buah muda mengalami keguguran dan tandan buah gagal menjadi masak, yang pada akhirnya dapat mengakibatkan gagal panen dan menurunkan produksi 10-40 % dan CPO 21-65 % (Siregar 1998). Alternatif yang mungkin dapat dikembangkan untuk mengatasi masalah tersebut selain dengan menggunakan bahan tanaman yang toleran, adalah dengan usaha pemanfaatan mikroorganisme bermanfaat seperti mikoriza.
Beberapa
penelitian telah menunjukkan manfaat mikoriza seperti pada tanaman padi gogo (Sastrahidayat 1991), kopi (Hanapiah 1997), gandum (Al-Karaki et al. 1998), kakao (Sasli 1999), barley (Al-Karaki & Clark 1999), jagung dan kedelai (Sastrahidayat 2000), padi sawah tadah hujan (Hanafiah 2001), dan jeruk (Camprubi & Calvet 1996; Graham & Eissentat 1998; Syvertsen & Graham 1999; Fidelibus et al. 2000). Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA) pada lahan kekeringan mampu meningkatkan penyerapan hara makro (terutama P) dan hara mikro melalui hifa eksternalnya, selain itu juga mampu memberikan ketahanan terhadap kekeringan (Nelson & Safir 1982; Setiadi 1989; Al-Karaki & AlRaddad 1997; Al-Karaki et al. 1998; Al-Karaki & Clark 1999; Aboul-Nasr 1998; Brundrett et al. 1996). Peningkatan serapan P oleh tanaman akibat adanya asosiasi CMA dan tanaman merupakan manfaat yang paling dominan.
Penyebab terjadinya peningkatan
serapan P oleh tanaman bermikoriza adalah karena serapan P oleh hifa berlangsung sangat efektif (Smith & Read 1997). Menurut Bowen (1987), CMA dapat ditemukan hampir pada sebagian besar tanah dan pada umumnya tidak mempunyai inang yang spesifik. Walaupun demikian, tingkat populasi dan komposisi jenis sangat beragam dan dipengaruhi oleh karakteristik tanaman dan faktor lingkungan seperti suhu, pH tanah, kelembaban tanah, kandungan fosfor dan nitrogen, serta konsentrasi logam berat (Daniels & Trappe 1980). Abbott & Gazey (1994) menyatakan bahwa CMA sangat berlimpah pada tanah dengan bahan organik rendah. Dengan demikian,
4 setiap ekosistem kemungkinan dapat mengandung CMA dengan jenis yang sama atau bisa juga berbeda. Sampai sejauh ini, pemanfaatan CMA dalam mengatasi cekaman kekeringan pada bibit kelapa sawit belum banyak dilaporkan. Oleh karena itu perlu diteliti lebih lanjut bagaimana peranan CMA dalam mengatasi cekaman kekeringan pada bibit kelapa sawit, sehingga akan didapatkan mekanisme adaptasi bibit kelapa sawit terhadap cekaman kekeringan pada keadaan dengan dan tanpa inokulasi CMA. Produksi kelapa sawit sangat dipengaruhi oleh kualitas bibit yang digunakan, oleh karena itu pembibitan merupakan langkah awal dari seluruh rangkaian kegiatan pembudidayaan pada tanaman kelapa sawit. Melalui tahap pembibitan ini diharapkan akan menghasilkan bibit yang baik dan berkualitas. Bibit kelapa sawit yang berkualitas adalah bibit yang memiliki kekuatan dan penampilan tumbuh yang optimal serta berkemampuan dalam menghadapi keadaan cekaman lingkungan, seperti cekaman kekeringan. Dengan adanya CMA pada bibit kelapa sawit, diharapkan CMA dapat meningkatkan kemampuan bibit mengatasi cekaman kekeringan dan meningkatkan serapan hara, sehingga pada akhirnya bibit tersebut mampu tumbuh baik di lapangan dan mampu mengatasi keadaan lingkungan yang beragam. Tujuan Penelitian Penelitian bertujuan : 1. Mengisolasi dan mengkarakterisasi CMA dari tiga lokasi perkebunan kelapa sawit yaitu pada tanah PMK bekas hutan, tanah PMK bekas kebun karet, dan tanah gambut bekas hutan. 2. Menguji keefektivan CMA terhadap bibit kelapa sawit pada media dari ketiga lokasi perkebunan kelapa sawit tersebut. 3. Mengkaji peranan CMA pada keadaan kekeringan terhadap pertumbuhan dan serapan hara bibit kelapa sawit yang ditanam pada media tanah PMK dan tanah gambut bekas hutan.
5 4. Mengkaji mekanisme adaptasi tanaman kelapa sawit dalam mengatasi cekaman kekeringan pada keadaan dengan dan tanpa inokulasi CMA. Kegunaan Penelitian 1. Dengan ditemukannya isolat CMA yang efektif, maka isolat tersebut diharapkan dapat digunakan pada pembibitan kelapa sawit di perkebunanperkebunan. 2. Dengan diketahui mekanisme toleransi bibit kelapa sawit terhadap cekaman kekeringan, diharapkan dapat memanipulasi teknik agronomi dalam mengatasi cekaman kekeringan. 3. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi program pemuliaan dalam merakit varietas tanaman yang toleran terhadap cekaman kekeringan. Hipotesis Hipotesis yang diajukan adalah : 1. Setiap jenis tanah dari tiga lokasi perkebunan kelapa sawit (tanah PMK bekas hutan, tanah PMK bekas kebun karet, tanah gambut bekas hutan) memiliki jenis CMA yang berbeda. 2. Terdapat CMA jenis tertentu dari setiap jenis tanah yang mempunyai keefektivan yang tinggi pada bibit kelapa sawit. 3. CMA pada keadaan
kekeringan dapat meningkatkan pertumbuhan dan
serapan hara bibit kelapa sawit yang ditanam pada media tanah PMK dan tanah gambut bekas hutan. 4. Mekanisme adaptasi bibit kelapa sawit terhadap cekaman kekeringan dipengaruhi oleh CMA. Tanpa CMA, diduga osmoregulasi merupakan mekanisme adaptasi bibit kelapa sawit terhadap cekaman kekeringan.
6 Strategi Penelitian Disertasi ini disusun berdasarkan hasil penelitian yang terdiri dari tiga topik penelitian, dan masing-masing topik penelitian saling berkaitan. Topik penelitian pertama bertujuan untuk mengisolasi dan mengkarakterisasi isolatisolat CMA yang terdapat pada tanah PMK bekas hutan, PMK bekas kebun karet dan gambut bekas hutan, dengan judul “Isolasi, karakterisasi dan pemurnian CMA dari tiga lokasi perkebunan kelapa sawit (tanah PMK bekas hutan, tanah PMK bekas kebun karet, dan tanah gambut bekas hutan)”. Isolatisolat CMA yang ditemukan pada hasil penelitian pertama, diuji keefektivannya dengan bibit kelapa sawit pada penelitian kedua yang berjudul “Pengujian keefektivan CMA terhadap bibit kelapa sawit pada media tanah PMK bekas hutan, tanah PMK bekas
kebun karet, dan tanah gambut bekas
hutan”. Selanjutnya hasil dari penelitian kedua tersebut, digunakan pada topik penelitian ketiga yang berjudul “Adaptasi bibit kelapa sawit yang bersimbiosis dengan CMA terhadap cekaman kekeringan pada media tanah PMK dan gambut bekas hutan”. Bagan alur penelitian yang menunjukkan keterkaitan antar penelitian disajikan pada Gambar 1.
7
Percobaan 1 Isolasi, karakterisasi dan pemurnian CMA dari 3 lokasi perkebunan kelapa sawit (tanah PMK bekas hutan, tanah PMK bekas kebun karet, tanah gambut bekas hutan)
Percobaan 2 Pengujian keefektivan CMA terhadap bibit kelapa sawit pada media tanah PMK bekas hutan, tanah PMK bekas kebun karet, dan tanah gambut bekas hutan
Percobaan 3 Mengkaji adaptasi bibit kelapa sawit yang bersimbiosis dengan CMA terhadap cekaman kekeringan pada media tanah PMK dan gambut bekas hutan
Diperoleh gambaran tentang tanggap pertumbuhan, serapan hara dan karakter morfofisiologi terhadap cekaman kekeringan pada bibit kelapa sawit yang bersimbiosis dengan Cendawan Mikoriza Arbuskular
Gambar 1. Alur penelitian tanggap pertumbuhan, serapan hara dan karakter morfofisiologi terhadap cekaman kekeringan pada bibit kelapa sawit yang bersimbiosis dengan Cendawan Mikoriza Arbuskular