1
PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan sektor pertanian sudah selayaknya tidak hanya berorientasi pada produksi atau terpenuhinya kebutuhan pangan secara nasional, tetapi juga harus mampu meningkatkan kualitas hidup masyarakat petani. Oleh karena itu, pilihan kebijakan pembangunan terhadap sektor pertanian sebagai pilar pembangunan nasional, dalam kondisi struktur perekonomian dan gejolak faktor eksternal saat ini, dinilai masih tepat dengan kontribusinya yang dominan terhadap peningkatan produksi nasional atau Gross National Product (GNP). Selain itu berbagai justifikasi terhadap peran sektor pertanian dalam hal: (a) kesempatan kerja dan berusaha serta ekspor, baik di tingkat nasional maupun regional/daerah, (b) keunggulan komparatif wilayah masih bertumpu kepada penguasaan
sumberdaya
alam
sebagai
negara
agraris
dan
maritim,
(c) pengembangan sistem agribisnis wilayah sejalan dengan upaya pembangunan ketahanan pangan yang mengakomodasi keragaman bahan pangan, budaya dan kelembagaan lokal, dan (d) pembangunan agribisnis diyakini akan mampu menyelaraskan
dimensi
pertumbuhan,
pemerataan,
dan
keberlanjutan
pembangunan dalam arti luas (Deptan RI, 2001:2-3). Peran subsektor perkebunan dalam pembangunan pertanian pada tiga dasawarsa terakhir ini masih menunjukkan lemahnya kemampuan partisipasi masyarakat, kelanjutan pelaksanaan program pembangunan perkebunan, dan hanya terfokus pada pertumbuhan ekonomi berbasis komoditas. Konsekuensinya adalah pengurasan sumberdaya masyarakat dan pemiskinan wilayah perdesaan, karenanya perlu dipertimbangkan kembali implementasi konsep kebijakan pembangunan perkebunan rakyat (revitalisasi) yang pelaksanaannya bukan saja mempertimbangkan karakteristik wilayah, tetapi juga terhadap ragam karakteristik masyarakatnya serta rencana program penyuluhan dan pemberdayaan yang tepat dilaksanakan dalam pembangunan masyarakat perdesaan. Pengentasan kemiskinan terhadap sumberdaya masyarakat pada suatu wilayah khususnya di perdesaan, menurut Chamber (1983:113-114) dengan konsep deprivasi yang mengemukakan penyebab kemiskinan sebagai suatu kompleksitas
serta
hubungan
sebab-akibat
yang
saling
berkaitan
dari
2
ketidakberdayaan (powerlessness), kerapuhan (vulnerability), kelemahan fisik (physical weakness), kemiskinan (poverty), dan keterasingan (isolation). Pandangan tersebut, memaknai pengembangan masyarakat perdesaan, bahwa sesuatu ketidakberdayaan bukan menunjuk pada tidak adanya kekuatan sama sekali, karena dalam suatu realitas kehidupan mereka (masyarakat) yang hanya memiliki sedikit kekuatan ternyata justru mampu untuk dapat bertahan, berproses dan kadang-kadang mampu mentransformasikan kondisi hidup mereka. Dengan kata lain, kekuatan pada suatu individu dan masyarakat itu ada, hanya saja perlu untuk ditampakkan dan dikembangkan sebagai wujud kompetensi sumberdaya manusia untuk mengelola sumberdaya alam secara produktif. Pada wilayah yang sumberdayanya berupa lahan kering, dan masyarakat petaninya belum banyak menikmati hasil pembangunan, merupakan fenomena sosial yang sangat terkait dengan program pembangunan masyarakat perkebunan di perdesaan, karena sumberdaya yang dikelola masyarakat sangat memungkinkan memberi peluang peningkatan pendapatan dan kesejahteraan bagi pelaku usahatani lahan kering. Namun demikian, pada masyarakat perdesaan kondisinya masih menunjukkan bahwa tradisi perilaku agribisnis dalam usahatani masyarakat khususnya petani kakao lahan kering, dapat dikatakan hampir pada seluruh subsistem kegiatan agribisnis masih terasa lemah, akibatnya pengembangan agribisnis berjalan lambat dan kurang mampu memenuhi kebutuhan pembangunan masyarakat di perdesaan. Pada subsistem agribisnis produksi usahatani (on-farm), masih ditemukan beberapa permasalahan yang terkait dengan sistem produksi seperti: rendahnya tingkat kesuburan tanah, banyaknya gangguan hama penyakit, dan rendahnya penerapan teknologi budidaya. Demikian pula dengan subsistem agribisnis hilir, pada sistem pengolahan dan pasar juga masih lemah, serta beberapa pelaku agribisnis yang ada kurang mampu berperan sebagai “lokomotif” sehingga belum mampu menarik para petani untuk berkembang dengan baik, akibatnya pendapatan dan taraf hidup petani masih tetap rendah sebagai pelaku usahatani lahan kering (BPTP Sulawesi Tenggara, 2004:35). Penerapan sistem dan usaha agribisnis dalam masyarakat perdesaan, juga terlihat belum mampu meraih nilai tambah produktivitas dan kualitas usahatani
3
perkebunan yang berdampak pada peningkatan pendapatan petani kakao yang berusahatani pada lahan kering, dan sampai saat ini masih mengandalkan potensi usaha ekstensifikasi, dan intensifikasi budidaya tanaman kakao. Oleh karena itu, diharapkan penyuluhan pembangunan menjadi suatu konsep pendekatan yang diyakini membawa perubahan perilaku kepada petani kakao agar dapat berusahatani lebih baik, efisien dan efektif sehingga menjadi kuat dan mandiri untuk meraih kualitas diri petani dan kesejahteraan hidup mereka. Kompetensi petani perlu dikembangkan sebagai basis pelaku agribisnis perkebunan rakyat di perdesaan dengan menempatkan kegiatan penyuluhan pembangunan sebagai inti (core) dan penggerak utama terhadap perubahan perilaku petani dalam pengelolaan agribinis kakao pada masyarakat perkebunan setempat di perdesaan. Pengembangan kompetensi petani perlu menjadi perhatian utama sebagai pelaku agribisnis komoditas perkebunan di perdesaan yang penanganannya sampai saat ini masih kurang memenuhi standar kompetensi agribisnis kakao dalam pengelolaan usahatani lahan kering. Kompetensi agribisnis membutuhkan faktor internal petani untuk adopsi teknologi yang integratif dan komprehensif, permodalan dan sistem perkreditan, infrastruktur dan pendukung faktor eksternal, kelembagaan penyuluhan, organisasi dan kelembagaan petani, norma dan tata nilai peraturan lokal, dukungan aspek kultur yang menyangkut spesifikasi keterikatan etnik dan sifat eksklusivitas lokal. Dalam sosiologi Barat, terdapat dua konsep mengenai petani yaitu peasants dan farmers. Peasants adalah petani yang memiliki lahan sempit dan memanfaatkan sebagian besar dari hasil pertanian yang diperoleh untuk kepentingan mereka sendiri. Sedangkan farmers adalah orang-orang yang hidup dari pertanian dan memanfaatkan sebagian besar hasil pertanian yang diperoleh untuk dijual. Berbeda dengan peasants, tampaknya farmers lebih akrab dengan pemanfaatan teknologi pertanian modern (Loekman, 2002:4). Komunitas petani lahan kering umumnya masih dalam kategori peasants karena belum akrab dalam penggunaan teknologi modern. Kondisi sosial, ekonomi dan budaya petani menjadi faktor penting dalam pengelolaan usahatani kakao pada lahan kering. Secara umum petani memegang dua peranan utama dalam menjalankan usahatani, yaitu sebagai pekerja (cultivator) dalam usahataninya dan sekaligus
4
sebagai pengelola usahatani atau manager (Mosher, 1981:37). Sebagai pengelola usahatani, petani perlu memiliki kompotensi diri yang standar atau minimal dalam meningkatkan produktivitas usahatani yang dikelolanya. Kompetensi yang dimaksud mencakup kompetensi teknis berusahatani dan kompetensi manajerial dalam agribisnis. Kompetensi agribisnis tersebut, diperlukan agar petani mampu menjalankan perannya yang handal dan berkualitas dalam meningkatkan produktivitas dan pendapatan usahatani serta mampu berusahatani secara baik (better farming) dan mampu meningkatkan kesejahteraan hidupnya (better living) dengan berorientasi usaha agribisnis secara utuh. Kompotensi agribisnis petani kakao yang perlu dikembangkan yakni memiliki perilaku dasar yang diperlukan dalam pengelolaan usahatani kakao lahan kering dengan melaksanakan kegiatan agribisnis secara utuh (on-farm dan off-farm) adalah pengetahuan, sikap dan keterampilan yang minimal (standar) dalam berperilaku agribisnis sehingga kualitas dan produktivitas hasil usahatani dapat memberi nilai tambah dan pendapatan yang lebih layak untuk menunjang kesejahteraan hidup petani kakao dalam mengelola sumberdaya pertanian lahan kering. Provinsi Sulawesi Tenggara memiliki potensi yang sangat besar dalam mendukung pengembangan tanaman perkebunan rakyat pada lahan kering dengan daratan seluas 3.814.000 ha dan diperkirakan sekitar 1,5 juta hektar atau 20 persen dari total daratan masih tersedia lahan kering untuk pengembangan tanaman, dengan tingkat pemanfaatan yang masih sangat rendah. Areal tanaman perkebunan rakyat di Sulawesi Tenggara telah mencapai seluas 196.884 ha, dengan produksi sebanyak 124.921 ton (BPS Provinsi Sultra, 2007:39). Komoditas perkebunan yang banyak dikembangkan masyarakat pada usahatani lahan kering adalah tanaman kakao (Theobroma cacao L). Data
luas
areal
dan
produksi
perkebunan
Kabupaten
Konawe
menunjukkan areal penanaman telah mencapai seluas 105.827 ha, dengan produksi sebanyak 84.661,6 ton dan lebih dari 71 persen luasan areal tersebut diusahakan oleh perkebunan rakyat dengan tingkat produktivitas dan mutu hasil usahatani yang dicapai lebih rendah dibanding produksi perkebunan besar swasta/negara yang operasional di daerah. Produksi perkebunan rakyat khususnya komoditi kakao menunjukkan produktivitas rata-rata hanya mencapai 0,663 ton
5
biji kakao kering per hektar (Disbun Konawe, 2006:41). Tampak bahwa produktivitas kakao rakyat di wilayah penelitian lebih rendah dibanding rata-rata produktivitas kakao nasional yakni 1,2 ton biji kakao kering per hektar (Ditjenbun, 2004:51). Potensi genetik tanaman kakao bisa mencapai 2,4 ton biji kakao kering per hektar (Puslitkoka Jember dan BPTP Sultra, 2002:37). Produktivitas pertanaman kakao Sulawesi Tenggara khususnya di Kabupaten Konawe tergolong masih rendah, jika dibanding dengan rata-rata produksi kakao nasional, apalagi mencapai potensi genetiknya. Gambaran tingkat produktivitas kakao rakyat, memberi indikasi terhadap penanganan pengelolaan agribisnis kakao pada usahatani lahan kering masih perlu lebih intensif dilakukan dalam komunitas petani lahan kering, dengan penerapan sistem agribisnis dan usaha-usaha lainnya yang memiliki nilai tambah produktivitas dan kualitas hasil terutama dalam mengantisipasi terjadinya perubahan produksi dan harga komoditi kakao yang berdampak pada pendapatan petani dalam masyarakat perkebunan. Rendahnya produktivitas perkebunan kakao rakyat antara lain disebabkan kurang intensifnya pemeliharaan tanaman oleh petani yang mengakibatkan daya hasil rendah dan kurang intensifnya penanganan pascapanen. Hal tersebut, menyebabkan kualitas hasil usahatani kakao masih rendah (mutu asalan) sehingga nilai jualnya juga rendah, dan umumnya petani masih mengandalkan usahatani secara monokultur, dengan kemampuan teknis dan manajemen petani relatif terbatas serta rendahnya kondisi sosial ekonomi petani perkebunan. Selain itu petani perkebunan belum mampu membangun dan mengembangkan organisasi kelembagaan ekonomi yang berperan dalam memperkuat posisi tawar mereka dalam meraih nilai tambah yang lebih tinggi pada kegiatan off-farm yang konsekuensinya semakin mengurangi upaya petani perkebunan dalam mengelola usaha perkebunannya secara lebih baik dan efisien. Meskipun demikian peluang pengembangan komoditas perkebunan kakao rakyat sebagai komoditi unggulan sangat prospektif dipandang dari ketersediaan sumberdaya pertanian lahan kering dan kemampuan petani dalam pengelolaan usahatani kakao di daerah. Masalah rendahnya kemampuan teknis budidaya dan kemampuan pengelolaan usahatani kakao yang dilakukan petani dalam menerapkan perilaku agribisnis pada usahatani lahan kering yang mencakup pengadaan agroinput,
6
proses produksi, prosesing atau pengolahan hasil, dan pemasaran hasil, serta inovasi teknologi tepat guna memberi pengaruh terhadap rendahnya tingkat produktivitas usahatani dan mutu produksi kakao. Hal tersebut, berkaitan langsung dengan tingkat pendapatan petani, yang pada akhirnya bermuara pada rendahnya keberdayaan dan kesejahteraan hidup petani. Masalah pengembangan motivasi diri petani pelaku usahatani kakao dan kondisi lingkungan usahatani yang ada dalam komunitas petani lahan kering di wilayah Kabupaten Konawe mengalami hambatan kemampuan petani dalam hal teknis budidaya dan pengelolaan usahatani, sehingga terjadi kesenjangan kompetensi petani dalam berperilaku agribisnis kakao pada usahatani lahan kering. Oleh karena itu, rencana penyuluhan pembangunan jangka panjang yang tepat dan akses inovasi teknologi sosial ekonomi sangat diperlukan dalam upaya meningkatkan kemampuan petani untuk mengembangkan kompetensi agribisnis petani kakao dalam mencapai tingkat produktivitas dan pendapatan usahatani kakao lahan kering yang optimal di Kabupaten Konawe Provinsi Sulawesi Tenggara. Keadaan pengelolaan sumberdaya usahatani lahan kering, merefleksikan pentingnya kompetensi agribisnis petani kakao dan peran penyuluhan pertanian dalam mendukung perubahan perilaku petani sebagai pelaku utama dalam pelaksanaan kegiatan agribisnis kakao pada usahatani lahan kering guna mempercepat laju pembangunan masyarakat perkebunan, dan meningkatkan daya saing komoditas unggulan daerah yang banyak diusahakan oleh petani perkebunan kakao rakyat di wilayah perdesaan. Kompetensi petani dalam berperilaku agribisnis adalah petani yang memiliki karakteristik mendalam dan menonjolkan dengan perilaku terukur dalam pengelolaan agribisnis secara utuh, bermotivasi tinggi, menanggung resiko, melihat dan menilai peluang dalam mengelola sumberdaya dan memperoleh keuntungan, sehingga individu dianggap mampu dan berkualitas oleh masyarakat lain. Menurut Davis dan Newstrom (1995:89) kompetensi merupakan salah satu motivasi yang dimiliki individu dan merupakan dorongan bagi diri untuk mencapai keunggulan kerja, meningkatkan keterampilan pemecahan masalah, dan inovatif. Hal tersebut sejalan dengan yang dikemukakan Suparno dan Suhaenah (2001:19-20) bahwa kompetensi dapat dikembangkan dari proses berpikir, praktek dan pengalaman hidup seseorang.
7
Kebutuhan pengembangan kompetensi petani kakao beragribisnis sebagai pelaku utama terhadap pelaksanaan kegiatan agribisnis kakao pada usahatani lahan kering, akan semakin penting urgensinya dengan pemberlakuan kebijakan otonomi daerah, di mana akuntabilitas pelaksanaan program pembangunan subsektor perkebunan akan banyak ditentukan oleh kelembagaan masyarakat perdesaan dengan pelaksanaan demokratisasi yang lebih luas (BAPPENAS, 2003:3). Batasan petani yang memiliki kompetensi agribisnis kakao adalah petani yang memiliki kemampuan teknis budidaya sehingga mampu dalam penyiapan sarana dan peralatan, terampil dalam cara melakukan usaha produksi kakao, melakukan pengolahan hasil kakao, dan tanggap dalam melakukan pilihan jalur pemasaran kakao. Di samping memiliki kemampuan teknis tersebut, juga perlu memiliki kemampuan pengelolaan usahatani yang handal dalam pengelolaan agribisnis kakao pada usahatani lahan kering yang mencakup; kemampuan merencanakan, mengorganisasikan, melaksanakan, dan mengawasi kegiatan usahatani kakao, memiliki kemampuan menciptakan jejaring bisnis usahatani kakao, serta mampu mengambil keputusan yang tepat untuk mengendalikan resiko usahatani (sikap wirausaha). Meskipun telah terbukti bahwa pengelolaan usahatani kakao pada lahan kering mampu menjadi tumpuhan hidup masyarakat perkebunan, tetapi upayaupaya meningkatkan kompetensi agribisnis pada pencapaian kualitas diri petani dalam berperilaku agribisnis untuk meraih nilai tambah produktivitas, mutu produksi dan peningkatan pendapatan petani kakao melalui dukungan peran penyuluhan pertanian dan program pemberdayaan masyarakat perkebunan kakao di perdesaan bukanlah suatu hal yang mudah dilakukan untuk merubah sikap petani, karena dibutuhkan motivasi yang kuat dalam diri dan semangat yang tinggi untuk mau dan mampu memanfaatkan peluang serta kesempatan yang ada dalam lingkungan usahatani petani dan masyarakat di perdesaan. Dengan kata lain, perkembangan inovasi teknologi, belum mampu dibarengi dengan tradisi pengelolaan usahatani kakao yang masih konvensional dalam komunitas petani lahan kering untuk mencapai tingkat produktivitas dan mutu produksi serta penerimaan pendapatan yang lebih baik dalam menunjang kesejahteraan hidupnya.
8
Faktor-faktor pengembangan kompetensi agribisnis petani kakao dalam pengelolaan usahatani lahan kering perlu dikembangkan implementasinya dalam pembangunan masyarakat perkebunan, sebagai upaya meningkatkan kualitas diri petani berperilaku agribisnis kakao untuk meraih nilai tambah (value added) terhadap tingkat produktivitas dan kualitas hasil usahatani serta tingkat pendapatan hasil usahatani kakao. Selanjutnya diharapkan pengembangan kompetensi agribisnis petani, mampu memperbaiki kesejahteraan hidup petani yang sebagian besar menggantungkan hidupnya dari sumberdaya pertanian lahan kering yang mampu dikelola secara berkelanjutan. Dari uraian tersebut di atas, maka timbul pertanyaan “bagaimana tingkat kompetensi agribisnis petani kakao dalam pengelolaan usahatani lahan kering?” dan “faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pengembangan kompetensi agribisnis petani kakao dalam pengelolaan usahatani lahan kering?” serta “bagaimana rencana penyuluhan dan pemberdayaan masyarakat perkebunan kakao yang tepat untuk meningkatkan produktivitas dan pendapatan usahatani lahan kering?”. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, perlu dilakukan penelitian dan kajian secara mendalam terhadap pengembangan kompetensi petani kakao beragribisnis di Kabupaten Konawe, Provinsi Sulawesi Tenggara, guna mewujudkan keberdayaan petani perkebunan dan kesejahteraan hidup komunitas petani kakao yang berusahatani pada lahan kering.
Masalah Penelitian Pengembangan kompetensi agribisnis petani kakao dalam pengelolaan usahatani lahan kering di perdesaan dapat dipandang sebagai pengaktifan kekhasan sumberdaya alam dan sumberdaya manusia pada suatu wilayah, terutama dari kesesuaian agroekologi dan sistem sosial masyarakat pelaku usahatani kakao. Pengembangan agribisnis kakao yang sesuai dengan spesifik lokasi/wilayah, mestinya dapat dipadukan dengan upaya mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya lokal dan mengaktualisasikan keunggulan komparatif dan kompetitif suatu wilayah sebagai kawasan sentra pengembangan masyarakat perkebunan kakao (Ditjenbun, 2004:5).
9
Karakteristik petani kakao sebagai pengelola usahatani lahan kering dicirikan oleh pengaruh kondisi dan sifat usahatani yang mempunyai tingkat kesuburan tanah relatif rendah dan ketersediaan sumber air yang terbatas berdasarkan kondisi curah hujan wilayah usahatani kakao (KEPAS, 1989:12). Petani kakao juga dicirikan dengan umur produktif, tingkat pendidikan formal, pendidikan nonformal yang pernah diikuti, jumlah tanggungan keluarga, pengalaman berusahatani, kekosmopolitan, nilai pendapatan keluarga, dan keterikatan etnik budaya. Tradisi inovasi kerja dalam komunitas petani lahan kering yang cukup tinggi dalam melakukan pengelolaan usahatani kakao memberi harapan ketergantungan hidup yang tinggi untuk meningkatkan keberdayaan petani dan kesejahteraan hidupnya. Menurut Weber (1964:23-24) ada kaitan antara perkembangan suatu masyarakat dengan sikap dari masyarakat itu terhadap makna kerja. Kemampuan menggunakan pengetahuan-pengetahuan khusus secara efektif merupakan hasil menggunakan pengetahuan yang lain, serta dapat dipertimbangkan sebagai kompetensi dengan alasan terdapat perbedaan tingkat pengetahuan dan fakta khusus yang dapat digunakan untuk menunjukkan kompetensi yang lain. Aspek kompetensi petani kakao yang masih relatif rendah dalam memiliki kemampuan teknis dan manajerial untuk melaksanakan subsistem-subsistem dalam sistem agribisnis secara utuh terhadap pengelolaan usahatani lahan kering, juga ditentukan dengan motivasi dari dalam diri petani untuk lebih semangat, ulet, percaya diri, dan kreatif dalam melakukan pengelolaan usahatani kakao pada lahan kering. Petani masih banyak menggunakan pengalaman berusahatani yang diperoleh secara turun temurun dalam keluarga dan hasil interaksi dengan petani lainnya dalam lingkungan masyarakatnya. Di sisi lain frekuensi dan akses petani untuk mengikuti kegiatan penyuluhan belum efektif dilakukan oleh petani untuk memenuhi peran dan fungsinya sebagai pelaksana kegiatan dan manajer usahatani kakao. Wibowo (2007:86) menyatakan bahwa kompetensi sebagai suatu kemampuan seseorang untuk menghasilkan pada tingkat yang memuaskan di tempat kerja, termasuk di antaranya kemampuan seseorang untuk mentransfer dan mengaplikasikan keterampilan dan pengetahuan tersebut dalam situasi yang baru
10
dan meningkatkan manfaat. Kompetensi juga menunjukkan karakteristik pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki atau dibutuhkan oleh setiap individu untuk melakukan tugas dan tanggungjawab mereka secara efektif dan meningkatkan standar kualitas profesional dalam pekerjaan mereka. Oleh karena itu, kompetensi agribisnis merupakan karakteristik yang mendasar pada setiap individu yang dihubungkan dengan Kriteria yang direferensikan terhadap produktivitas kerja atau kinerja yang unggul dan efektif dalam sebuah pekerjaan atau situasi berperilaku agribisnis dengan mengintegrasikan kegiatan on-farm dan off-farm dalam pengelolaan usahatani kakao lahan kering. Fenomena sosial yang ada dalam komunitas petani lahan kering menunjukkan bahwa pengembangan kompetensi agribisnis petani kakao dalam pengelolaan usahatani lahan kering terhadap pencapaian produksi dan mutu produksi kakao rakyat pada usahatani lahan kering lebih rendah dari produksi kakao nasional, dan berpengaruh pada tingkat harga kakao dan pendapatan petani. Kompetensi agribisnis petani kakao perlu dikembangkan dalam masyarakat perkebunan dengan berbagai penguasaan kemampuan teknis budidaya kakao dan kemampuan pengelolaan usahatani kakao untuk menerapkan sistem agribisnis perkebunan kakao yang mencakup subsistem pengadaan agroinput, proses produksi, prosesing atau pengolahan hasil, pemasaran hasil, serta introduksi inovasi teknologi tepat guna. Pada akhirnya, konsekuensi dari pengembangan kompetensi agribisnis petani kakao dalam pengelolaan usahatani lahan kering, akan bermuara pada kualitas diri dan keberdayaan petani untuk meningkatkan kesejahteraan
hidupnya.
Kegiatan
penyuluhan
dan
program
intervensi
pemberdayaan masyarakat petani, dan faktor lingkungan luar lainnya (faktor eksternal petani) juga memberi pengaruh terhadap tingkat kompetensi agribisnis petani kakao dalam pengelolaan usahatani untuk meningkatkan produktivitas dan pendapatan usahatani lahan kering di Kabupaten Konawe, Provinsi Sulawesi Tenggara. Berdasarkan pemikiran yang telah dikemukan dalam penelitian ini, tampak bahwa peningkatan kompetensi agribisnis petani kakao dalam pengelolaan usahatani lahan kering kualitas diri petani kakao sangat diperlukan untuk mengatasi
hambatan
kompetensi
agribisnis
petani
kakao,
kesenjangan
11
produktivitas dan pendapatan usahatani kakao, serta keberdayaan petani perkebunan kakao rakyat, sehingga alur proses agribisnis kakao pada akhirnya bermuara terhadap kesejahteraan hidup dalam komunitas petani lahan kering di perdesaan. Beberapa permasalahan yang perlu dijawab sebagai pertanyaan pokok (research question) dalam penelitian ini, sebagai berikut: (1) Sejauh mana tingkat kompetensi agribisnis petani kakao dalam pengelolaan usahatani lahan kering di Kabupaten Konawe? (2) Faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap tingkat kompetensi agribisnis petani kakao untuk melakukan tindakan yang tepat dalam pengelolaan usahatani lahan kering? (3) Bagaimana mengembangkan kompetensi agribisnis petani kakao dalam perkebunan kakao rakyat, dan apakah kompetensi yang dimiliki petani kakao sudah efektif dan efisien untuk meningkatkan produktivitas dan pendapatan usahatani lahan kering? (4) Bagaimana rencana kebijakan program penyuluhan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat perkebunan yang efektif dalam jangka panjang untuk mengembangkan kompetensi agribisnis petani kakao untuk memiliki kemampuan meningkatkan produktivitas dan pendapatan usahatani lahan kering di Kabupaten Konawe?
Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan, maka tujuan penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: (1) Mengidentifikasi tingkat kompetensi agribisnis petani kakao dalam pengelolaan usahatani lahan kering dalam masyarakat perkebunan di wilayah penelitian. (2) Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kompetensi agribisnis petani kakao untuk meningkatkan produktivitas dan pendapatan usahatani lahan kering di wilayah penelitian. (3) Mengembangkan kompetensi agribisnis petani kakao dalam masyarakat perkebunan untuk meningkatkan produktivitas dan pendapatan usahatani
12
kakao sesuai kondisi sumberdaya komunitas petani kakao
di wilayah
penelitian. (4) Merumuskan rencana penyuluhan dan pemberdayaan masyarakat perkebunan yang efektif dalam kawasan sentra produksi kakao, untuk mengembangkan kompetensi agribisnis petani kakao dalam pengelolaan sumberdaya pertanian lahan kering di Kabupaten Konawe.
Kegunaan Penelitian Penelitian ini berguna sebagai suatu proses belajar bagi pengembangan ilmu pengetahuan, dan hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis dan implementatif, sebagai berikut: (1) Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih terhadap khasanah pengembangan ilmu penyuluhan pembangunan dalam rangka mengukur perubahan tingkat kompetensi agribisnis petani kakao dalam pengelolaan usahatani kakao, untuk meningkatkan produktivitas dan pendapatan usahatani lahan kering,
yang
mengintegrasikan
metode
pendekatan deskriptif- kuantitatif. (2) Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan pemikiran kepada penentu kebijakan baik ditingkat pusat maupun ditingkat daerah dalam merumuskan kebijakan strategis penyuluhan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat perkebunan untuk meningkatkan kompetensi teknis dan manajerial petani kakao beragribisnis dalam pengelolaan usahatani lahan kering. (3) Secara implementatif, penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai bahan pertimbangan pendekatan model kebijakan program penyuluhan dan pemberdayaan masyarakat petani perkebunan rakyat sebagai pelaku utama agribisnis kakao pada usahatani lahan kering, serta pelaku usaha lainnya dalam menunjang program pembangunan masyarakat perkebunan.
Definisi Istilah Definisi istilah merupakan terjemahan dari teori, konsep dan gagasan yang telah dirujuk oleh peneliti sehingga konsep-konsep tersebut dapat diukur dan
13
diterapkan secara tepat, sehubungan dengan topik penelitian “pengembangan kompetensi agribisnis petani kakao”. Untuk keperluan penelitian ini, digunakan beberapa istilah yang perlu diketahui maknanya, sesuai dengan kebutuhan penelitian. Beberapa istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini, sebagaimana berikut: (1) Petani Kakao adalah pelaku utama kegiatan perkebunan rakyat, yang mengelola usahatani kakao pada lahan kering. Petani kakao dalam penelitian ini adalah orang
yang
melakukan
fungsi
dan peranannya dalam
membudidayakan tanaman kakao pada lahan kering. (2) Kompetensi adalah karakter yang melekat pada diri seseorang untuk mengembangkan potensi dirinya dengan pengetahuan, keterampilan, dan kecerdasan dalam menjalankan tugas pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya,
memiliki
penguasaan
kemampuan
teknis
budidaya
dan
kemampuan pengelolaan usahatani dalam penerapan sistem dan usaha agribisnis kakao. (3) Kompetensi Agribisnis Petani Kakao adalah berbagai kemampuan budidaya dan kemampuan pengelolaan usahatani lahan kering yang dimiliki petani kakao
untuk mengintegrasikan subsistem-subsistem agribisnis dalam
pengelolaan usahatani kakao, dan mampu menghasilkan produktivitas dan pendapatan usahatani lahan kering sebagaimana yang diharapkan. (4) Kompetensi Teknis Budidaya adalah kualitas atau tingkat kemampuan teknis budidaya yang dibutuhkan petani kakao dalam menyiapkan sarana produksi dan peralatan usahatani, melakukan penanaman secara tepat, melakukan pemupukan dengan tepat, melakukan pengendalian hama terpadu (PHT), melakukan panen secara tepat, dan mengakses jalur pemasaran secara efektif dalam penyelenggaraan sistem agribisnis usahatani kakao. (5) Kompetensi Pengelolaan Usahatani adalah kualitas atau tingkat kemampuan pengelolaan usahatani yang dibutuhkan petani kakao dalam perencanaan agribisnis usahatani, mengorganisasi sumberdaya usahatani, melaksanakan kemitraan bisnis usahatani, melakukan evaluasi dan pengendalian usahatani, dan kemampuan mengambil keputusan yang tepat dalam pengelolaan usahatani kakao yang berwawasan agribisnis.
14
(6) Motivasi Diri adalah dorongan atau arah pilihan perilaku seseorang untuk berbuat atau melakukan tindakan, yang datangnya dari keinginan dalam diri (motif intrinsik) atau keinginan yang digerakkan dari luar diri (motif ekstrinsik). Dalam penelitian ini, motivasi diri petani dilihat dari aspek motif intrinsik dan motif ekstrinsik dalam menjalankan kegiatan agribisnis kakao. (7) Karakteristik Petani Kakao adalah sifat bawaan atau ciri-ciri yang melekat pada diri petani yang berhubungan dengan semua aspek kehidupan berusahatani kakao dan lingkungannya. Dalam penelitian ini, karakteristik petani dilihat dari aspek; umur, pendidikan formal, pendidikan nonformal, kekosmopolitan, luas lahan, jumlah tanaman kakao menghasilkan (TKM), pendapatan keluarga, dan keterikatan etnik/budaya. (8) Komunitas Petani Lahan Kering adalah kumpulan orang-orang yang hidup di suatu tempat (lokalitas), di mana mereka mampu membangun ikatan-ikatan sosial dan bersama-sama menyusun aktivitas hidupnya secara kolektif. Dalam penelitian ini, komunitas petani lahan kering adalah sekumpulan petani kakao yang terorganisir dalam kelompoktani di perdesaan yang secara bersamasama melakukan pengelolaan usahatani kakao pada lahan kering sebagai sumber mata pencaharian hidupnya. (9) Usahatani Lahan Kering adalah suatu lahan usaha pertanian yang mempunyai kondisi agroklimat yang sangat beragam dan kondisi sosial ekonomi yang kurang mampu dengan potensi sumberdaya lahan yang terbatas. Dalam penelitian ini, usahatani lahan kering dilihat dari karakter petani kakao dalam pengelolaan usahatani lahan kering yang berorientasi agribisnis. (10) Faktor Internal adalah daya dorong yang ada pada diri seseorang untuk memenuhi kebutuhannya dan merasa puas dengan pekerjaan yang dilakukannya. Dalam penelitian ini, faktor internal dilihat dari; motivasi intrinsik dan karakteristik petani kakao dalam berperilaku agribisnis kakao. (11) Faktor Eksternal adalah kekuatan-kekuatan yang berasal dari luar diri seseorang untuk mencegah ketidakpuasan dalam pekerjaan. Dalam penelitian ini,
faktor
eksternal
dilihat
dari;
kegiatan
penyuluhan,
pemberdayaan, dan lingkungan masyarakat perkebunan kakao.
intervensi
15
(12) Intervensi
Pemberdayaan
adalah
kebijakan
program
pemberdayaan
masyarakat perkebunan yang dijalankan oleh pemerintah daerah maupun pemerintah pusat untuk meningkatkan peran dan partisipasi masyarakat dalam kegiatan pembangunan perkebunan. Dalam penelitian ini, intervensi pemberdayaan dilihat dari kebijakan dan aturan pemerintah daerah yang diberlakukan kepada pelaku agribisnis kakao untuk mengakses kelancaran sarana produksi dan pasar kakao. (13) Produktivitas adalah sesuatu yang dihasilkan dari proses hubungan antara keluaran (output) dengan masukan yang diperlukan (input) yang sesuai dengan sumberdaya yang dimiliki petani untuk menghasilkan mutu produksi kakao. Dalam penelitian ini, produktivitas dilihat dari aspek: jumlah hasil dan kualitas produksi usahatani, dan nilai tambah produksi usahatani dalam setiap siklus produksi setahun. (14) Pendapatan adalah manfaat hasil usahatani kakao yang diperoleh petani dalam jumlah nilai penghasilan bersih usahatani kakao dari selisih nilai penerimaan dan biaya yang dikeluarkan pada setiap siklus produksi. Dalam penelitian ini, tingkat pendapatan dilihat dari aspek; nilai penerimaan hasil usahatani kakao sesuai nilai penjualan, dan pendapatan bersih yang diperoleh petani setelah dikurangi biaya dalam nilai uang (Rp) per satuan luas/tahun. (15) Pemberdayaan Masyarakat adalah proses dimana orang atau individuindividu dalam suatu masyarakat memperoleh pengetahuan, keterampilan dan keinginan untuk menganalisa sesuatu yang mereka hadapi dan mengambil tindakan yang tepat untuk merubah kondisi hidupnya. Dalam penelitian ini, pemberdayaan dilihat dari bentuk-bentuk intervensi program pemberdayan masyarakat dalam komunitas petani kakao lahan kering di perdesaan. (16) Rencana Penyuluhan adalah program jangka panjang dalam menggunakan semua sumberdaya dengan model pendekatan kegiatan penyuluhan pembangunan yang ditujukan kepada sasaran penyuluhan atau kelayan guna mencapai tujuan perubahan perilaku yang diharapkan. Dalam penelitian ini, rencana penyuluhan pembangunan dilihat dari aspek: model pendekatan sistem penyuluhan yang diselenggarakan untuk mengembangkan kompetensi agribisnis petani kakao dalam komunitas petani lahan kering.
16
(17) Kawasan Industri Masyarakat Perkebunan (KIMBUN) adalah suatu cakupan wilayah yang menjadi suatu sentra pengembangan produksi perkebunan yang berorientasi agribisnis dan dikelola secara bersama oleh masyarakat lokalitas setempat dengan prinsip kebersamaan usaha, secara adil, dan berkelanjutan. (18) Model PLA (participatory, learning, and action) adalah suatu rumusan konsep rencana penyuluhan dan pemberdayaan masyarakat perkebunan secara terpadu dan sinergis dalam kawasan sentra produksi kakao rakyat, yang didasarkan pada kondisi faktor internal dan eksternal petani kakao untuk meningkatkan kompetensi petani kakao beragribisnis, agar petani mampu mengintegrasikan kegiatan on-farm dan off-farm yang utuh dalam berusahatani kakao untuk mencapai tingkat produktivitas dan pendapatan usahatani kakao yang optimal dan berkelanjutan.