61
PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya alam hutan (SDAH) adalah faktor produksi dan konsumsi untuk kesejahteraan bangsa khususnya dan umat manusia pada umumnya. SDAH dalam memberikan manfaat kesejahteraan kepada umat manusia mempunyai lebih banyak dimensi dibandingkan dengan sumberdaya alam (SDA) lain, yakni: (1) memberi berbagai bentuk manfaat, baik manfaat-manfaat berwujud (tangible), maupun manfaat tidak berwujud (intangible); (2) bagi seluruh lapisan masyarakat, lapisan bawah sampai atas, masyarakat tradisional sampai modern; (3) bagi generasi kini dan generasi yang akan datang, serta (4) bagi keutuhan bumi sebagai tempat hidup seluruh bangsa di dunia (Darusman 2002). Dari sudut pandang sumberdaya alam sebagai aset ekonomi maupun daya dukung kehidupan, SDAH dapat digolongkan sebagai berikut : 1.
Bentang alam berupa stock atau modal alam (natural capital) seperti daerah aliran sungai (DAS), danau, kawasan lindung, yang keberadaannya tidak dibatasi wilayah administratif, dan
2.
SDA berupa komoditi seperti kayu, rotan, air, mineral, batu bara, dan sumber daya alam lainnya yang dapat diproduksi menjadi sumber/aset ekonomi Aset ekonomi maupun daya dukung kehidupan tersebut berada dalam
berbagai bentuk ekosistem. Dengan demikian, ekosistem menyediakan produk seperti makanan dan air serta jasa, seperti pengaturan dan pengendalian banjir; kekeringan dan penyakit; jasa pendukung seperti pembentukan tanah dan siklus hara; jasa kebudayaan seperti rekreasi, spiritual, keagamaan dan manfaat bukan material lain (Bappenas 1993, diacu dalam Kartodiharjo 2006). Secara umum, nilai ekonomi didefinisikan sebagai pengukuran jumlah maksimum kemauan seseorang ingin mengorbankan barang dan jasa yang dimilikinya dalam rangka memperoleh barang dan jasa lainnya. Secara formal, konsep nilai ekonomi lingkungan disebut dengan kemauan membayar (willingness to pay) seseorang terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam dan lingkungan. Dengan menggunakan pengukuran ini, nilai ekologis dari hutan
62
bisa “diterjemahkan” ke dalam bahasa ekonomi dengan mengukur nilai moneter barang dan jasa (Fauzi 2004). Manfaat lingkungan seringkali diabaikan karena pada umumnya manfaat tersebut baru terasa manfaatnya di masa yang akan datang. Manfaat pencegahan banjir dan erosi misalnya, baru terasa jika banjir dan erosi tersebut telah terjadi. Oleh karena itu, manfaat lingkungan seringkali tidak terkuantifikasi dalam perhitungan menyeluruh terhadap perhitungan SDAH. Dalam hal ini, nilai tersebut tidak saja nilai pasar (market value) barang yang dihasilkan dari sumberdaya hutan, melainkan juga nilai jasa lingkungan yang ditimbulkan oleh sumberdaya tersebut. Menurut (Balmford et al 2002, diacu dalam Barkmann et al 2006), salah satu rintangan paling besar dalam membuat desain pengelolaan jasa lingkungan adalah kurangnya pengetahuan tentang nilai ekonomi non pasar yang ada pada ekosistem hutan dan sistem penggunaan lahan pertanian yang ada di dalamnya. Dalam konteks Indonesia, studi mengenai nilai ekonomi hutan yang ada di Indonesia masih sangat sedikit. Selain itu, riset tentang penghitungan nilai jasa lingkungan dan keanekaragaman hayati juga masih sedikit (Pattanayak & Kramer 2001, diacu dalam Barkman et al 2006). Dari segi karakteristik SDA, konservasi jasa lingkungan, misalnya berupa pengendalian banjir, longsor, dan erosi dapat diklasifikasikan ke dalam common pool resources, yang menyediakan jasa bagi kelompok masyarakat tertentu dalam suatu wilayah daerah aliran sungai (DAS) tertentu. Pemanfaatan jasa lingkungan ini pada umumnya bersifat non-excludable, artinya sangat sulit, meskipun bukan tidak mungkin mengeluarkan individu atau kelompok masyarakat tertentu untuk tidak memanfaatkan jasa lingkungan. Jasa lingkungan mempunyai sifat sebagai non-subtractable, yaitu apabila dimanfaatkan oleh satu pihak, pihak lain masih dapat menikmati (Folmer and Gabel, 2001). Selain itu, konservasi jasa lingkungan seringkali dilakukan oleh perorangan atau kelompok masyarakat, misalnya dengan melakukan penanaman hutan atau mengkonservasi sumber air. Dana untuk kegiatan tersebut bisa berasal dari berbagai sumber seperti dari pemerintah, lembaga donor, swadaya masyarakat, atau gabungan dari beberapa pihak. Apabila upaya-upaya ini gagal dilakukan
63
maka dampak negatif akan terjadi dan menjadi common pool bads (Kartodiharjo 2006). Dengan demikian, peran masyarakat cukup menentukan dalam upaya pelestarian maupun perbaikan kualitas lingkungan. Desa Salua merupakan salah satu desa yang berbatasan langsung dengan Taman Nasional Lore Lindu (TNLL). Desa Salua terletak di lembah Kulawi dan banyak memiliki anak sungai yang bermuara di Sungai Miu atau DAS Palu. Sudah sejak lama masyarakatnya memiliki hubungan yang erat dengan TNLL yang dapat dilihat dari banyaknya aktivitas masyarakat yang dilakukan di dalam kawasan TNLL baik untuk memperoleh sumber pendapatan seperti merotan dan mengambil kayu maupun untuk hal lain seperti keperluan obat-obatan dan mencari tambahan makanan, misalnya sayuran dan daging (Care 2002). Mata pencaharian utama masyarakat Desa Salua adalah pertanian, khususnya tanaman coklat dan kopi, sekitar 95% masyarakat mengandalkan hasil tanaman coklat sebagai penghasilan utama. Sebagian masyarakat juga mengandalkan rotan sebagai mata pencaharian alternatif/sampingan. Di sekitar ladang dan tempat tinggal masyarakat desa Salua terdapat tiga sungai besar yang sering meluap di musim hujan. Dalam hal pengelolaan hutan, masyarakat disekitar Taman Nasional Lore Lindu telah memiliki falsafah yang disebut Katuwua, yaitu suatu ajaran tentang keselarasan antara kehidupan manusia dengan alam. Falsafah tersebut diwujudkan oleh masing-masing kelompok masyarakat dalam bentuk hukum adat. Desa Salua telah mempunyai aturan adat dalam mengelola lingkungan, yaitu hukum adat Taolo dan hukum adat Ombo. Taolo adalah aturan adat yang berisi : 1) Sumber mata air tidak boleh dirusak, 2) Hutan dengan kemiringan 70˚-90˚ tidak boleh dirusak, dan 3) Tempat-tempat yang dikeramatkan tidak boleh dirusak. Hukum adat Ombo adalah suatu kegiatan adat berupa pelarangan melakukan kegiatan yang berlebih untuk sementara waktu dalam wilayah tertentu. Ada tiga unsur penting dalam pemberlakuan hukum adat Ombo, yaitu jenis sumberdaya yang dilarang, batas wilayah dan daerah yang akan diberlakukan Ombo. Selain itu, ada juga ketentuan tentang pengelolaan hutan yang disepakati oleh pemerintah desa dan lembaga adat dengan difasilitasi oleh LSM Care. Kesepakan-kesepakatan tersebut adalah; 1) Dilarang menebang hutan secara liar
64
di wilayah DAS, 2) Dilarang berburu binatang dan hewan yang dilindungi, 3) Dilarang menebang kayu/membuka lahan baru di kemiringan 45˚ pada DAS dan jarak dari DAS 50-100 meter, 4) Dilarang melakukan penangkapan ikan dengan arus listrik dan racun pada sungai di Desa Salua. Jika ada masyarakat yang melanggar peraturan tersebut akan dikenai sanksi Hampole Hangu dengan nilai uang setara dengan Rp 600.000 (10 Dulang, 1 mbesa, 1 ekor kerbau). Seiring dengan perubahan waktu, terdapat faktor sosial, ekonomi dan kebudayaan yang mempengaruhi pengelolaan hutan di Desa Salua. Ketiga faktor tersebut diduga telah menyebabkan terjadinya perubahan perilaku dari masyarakat Desa Salua dalam hal pengelolaan hutan. Adanya perubahan perilaku tersebut menyebabkan terjadinya penyerobotan kawasan Taman Nasional Lore Lindu, pemanfaatan hasil hutan non kayu yang intensif, terjadinya konversi hutan menjadi penggunaan lain serta terjadinya penebangan liar. Luas kawasan TNLL yang telah berubah menjadi perkebunan coklat mencapai 30.000 ha. (Sinar Harapan, 2003). Hal tersebut menyebabkan penurunan fungsi hutan, terutama fungsi lingkungannya. Salah satu contoh penurunan fungsi hutan yang telah terjadi adalah penurunan fungsi hutan sebagai pengatur tata air. Pada tahun 2002 di Desa Salua pernah terjadi banjir besar, yang menyebabkan kerusakan pada ladang dan rumah milik masyarakat. Terjadinya penurunan fungsi lingkungan hutan di Desa Salua, telah menyebabkan bahaya lingkungan di Desa Salua. Secara umum, bahaya lingkungan yang mengancam Desa Salua terbagi dua, yaitu bahaya lingkungan yang sudah diketahui seperti banjir dan erosi, serta bahaya lingkungan yang belum diketahui seperti timbulnya penyakit baru bagi manusia, serangan hama penyakit serta bahaya lingkungan lain yang belum pernah terjadi sebelumnya. Untuk mencegah bahaya lingkungan, baik yang telah diketahui maupun belum diketahui di Desa Salua, diperlukan program-program perbaikan lingkungan, yang mengikutsertakan seluruh stakeholders yang terkait. Biaya untuk mendanai program perbaikan lingkungan tersebut bisa berasal dari pemerintah, swasta, bantuan asing, swadaya masyarakat, maupun gabungan dari beberapa pihak.
65
Penelitian ini bermaksud untuk mengetahui persepsi masyarakat terhadap kondisi lingkungan di Desa Salua dan mengetahui nilai ekonomi jasa lingkungan untuk pencegahan bahaya lingkungan dengan cara mengukur kemauan membayar masyarakat Desa Salua terhadap perbaikan lingkungan beserta peubah-peubah yang mempengaruhinya, serta merumuskan strategi pengelolaan wilayah di sekitar kawasan TNLL khususnya di Desa Salua. Metode analisis yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kuantifikasi nilai ekonomi lingkungan dalam hal pencegahan banjir dan erosi serta bahaya lingkungan yang belum diketahui dengan menggunakan valuasi nonmarket dengan pengukuran secara langsung atau melalui survei (expressed willingness to pay). Metode valuasi non-market melalui survei yang akan dipakai adalah Contingent Valuation Method (CVM). Dalam praktiknya, pengukuran manfaat ekonomi jasa lingkungan dianggap masih
memiliki
kelemahan.
Kelemahan
tersebut
diantaranya
adalah
:
Kemungkinan timbulnya bias (understate dan overstate) yang disebabkan oleh strategi yang keliru atau rancangan penelitian yang kurang tepat (Fauzi 2001), kemungkinan timbulnya warm glow (menyenangkan pewawancara) dan catering bias (menyetujui apa yang disetujui oleh pewawancara) (Carson 2001), serta kemungkinan bias akibat faktor ekonomi, psikologi ekonomi dan politik serta tidak konsistennya jawaban responden akibat keterbatasan pengetahuan responden terhadap materi yang ditanyakan (Schläpfer, 2007). Meskipun demikian, ada beberapa solusi
yang bisa dilakukan untuk
mengurangi kemungkinan bias yang terjadi. Solusi yang bisa dilakukan diantaranya adalah : Membuat desain dan implementasi studi secara hati-hati (Richard 2001), harga yang ditawarkan dalam CVM sebaiknya, dekat dengan harga aktual yang berlaku bagi mayoritas responden, jika harga berupa kenaikan pajak, sebaiknya disampaikan dalam bentuk persentase serta responden harus diberikan pilihan jawaban berdasarkan informasi yang diketahui atau dimengerti secara umum oleh sebagian besar responden. Penelitian ini akan mencoba untuk membuat desain penelitian dan implementasi CVM yang dapat mengurangi hasil perhitungan yang bias, berdasarkan solusi yang telah disebutkan sebelumnya. Dengan demikian
66
diharapkan penelitian ini diharapkan dapat menghitung nilai ekonomi bahaya lingkungan di Desa Salua, secara akurat. Setelah nilai ekonomi jasa lingkungan dari TNLL diketahui, diharapkan apresiasi masyarakat Desa Salua terhadap kelestarian lingkungan bisa meningkat dan bisa dijadikan rekomendasi bagi pemerintah atau pemegang kebijakan dalam pengelolaan hutan atau lingkungan di Desa Salua. Rekomendasi tersebut akan dilengkapi dengan strategi pengelolaan lingkungan dengan menggunakan analisis SWOT. Berdasarkan hal-hal di atas, maka penulis memandang perlu untuk melakukan penelitian yang berjudul “Manfaat Ekonomi Jasa Lingkungan dan Strategi Pengelolaan Wilayah Sekitar Taman Nasional Lore Lindu (Studi Kasus di Desa Salua Kecamatan Kulawi, Kabupaten Dongggala, Provinsi Sulawesi Tengah)”. Perumusan Masalah Secara administratif, Desa Salua berada di Kecamatan Kulawi, Kabupaten Donggala, Provinsi Sulawesi Tengah. Desa Salua merupakan salah satu desa yang berada di Lembah Kulawi dan berbatasan langsung dengan Taman Nasional Lore Lindu. Secara langsung maupun tidak langsung masyarakat Desa Salua sangat bergantung dengan TNLL, dan sejak lama masyarakatnya memiliki hubungan yang erat dengan hutan di TNLL. Hal ini terlihat dengan banyaknya aktivitas masyarakat yang dilakukan dalam hutan, baik untuk memperoleh pendapatan seperti merotan dan mengolah kayu maupun untuk keperluan mencari makanan tambahan
seperti
sayuran
dan
daging,
memperoleh
obat-obatan,
serta
perlengkapan ritual. Meskipun masyarakat Desa Salua telah memiliki aturan adat yang mengatur tata cara pengelolaan hutan yang lestari yang tertuang dalam hukum adat Taolo dan hukum adat Ombo serta peraturan desa yang merupakan hasil kesepakatan antara lembaga adat dengan aparat desa, di dalam survey pendahuluan ditemukan kecenderungan perubahan perilaku masyarakat dalam mengelola hutan, akibat berbagai faktor, seperti faktor sosial, ekonomi, budaya serta penegakan hukum.
67
Faktor sosial pertama yang mempengaruhi perilaku masyarakat dalam pengelolaan hutan adalah adanya interaksi masyarakat Salua dengan pendatang, interaksi yang paling intensif terjadi dengan Suku Bugis. Interaksi tersebut menempatkan penduduk asli Salua sebagai pihak yang kalah dalam persaingan, terutama dalam hal persaingan ekonomi. Berdasarkan wawancara dengan tokoh masyarakat dan pengamatan di lapangan, penyebab utama kekalahan tersebut adalah faktor internal masyarakat Salua sendiri yang cenderung kurang ulet dan kurang rajin bekerja. Salah satu contoh adalah kebun coklat masyarakat pendatang dikelola dengan baik, sehingga hasil produksinya lebih besar dibandingkan dengan kebun coklat masyarakat lokal yang dibiarkan tidak terawat. Demikian juga dalam hal perdagangan, masyarakat pendatang cenderung lebih maju sehingga dapat menguasai perekonomian di Desa Salua dan sekitarnya. Kondisi tersebut, menyebabkan banyak aset penduduk asli yang berpindah tangan kepada masyarakat pendatang. Contoh aset yang paling banyak berpindah tangan adalah tanah/lahan. Lahan-lahan milik penduduk lokal, banyak yang dijual kepada pendatang, uang hasil penjualan tersebut biasanya digunakan untuk keperluan yang bersifat konsumtif, sehingga cepat habis. Setelah uang habis dan tidak mempunyai lahan lagi, penduduk asli merambah lahan-lahan yang berada di kawasan TNLL untuk dibuka menjadi ladang atau kebun. Perambahan tersebut telah menyebabkan konversi lahan hutan menjadi perkebunan. Faktor sosial lain yang berpengaruh adalah faktor pendidikan, tingkat pendidikan yang rendah terutama pendidikan yang berkaitan dengan lingkungan hidup menyebabkan kesadaran masyarakat untuk melestarikan hutan rendah. Masyarakat cenderung berorientasi jangka pendek dalam mengelola hutan, sehingga tidak memperhatikan akibat yang akan terjadi di masa yang akan datang. Selain itu, dengan adanya interaksi sosial antara masyarakat lokal dengan pendatang, menyebabkan masyarakat lokal meniru perilaku dari masyarakat pendatang, hal tersebut terjadi pada kasus penebangan liar. Ketika banyak masyarakat pendatang yang melakukan penebangan liar atau menjadi penadah kayu curian, masyarakat lokal terpengaruh untuk melakukan hal serupa karena tahu ada permintaan terhadap kayu. Oleh karena itu, masyarakat tidak lagi
68
menebang kayu untuk keperluan pribadi saja, tetapi juga untuk dijual. Dengan demikian, jumlah kayu yang ditebang oleh masyarakat lokal jauh lebih banyak dari sebelumnya dan mengakibatkan terjadinya penebangan liar. Hal tersebut diperparah lagi dengan lemahnya penegakan hukum dari aparat, sehingga penebangan liar tetap terjadi meskipun intensitasnya tidak terlalu besar. Selain itu, dengan adanya interaksi dengan pendatang telah menyebabkan perubahan gaya hidup masyarakat lokal menjadi lebih konsumtif. Barang-barang yang semula tidak diperlukan, dipandang menjadi kebutuhan. Perubahan pola konsumsi tersebut dengan sendirinya menuntut masyarakat untuk memperoleh uang lebih banyak. Ketika hasil dari perkebunan tidak bisa memenuhi kebutuhan tersebut, yang dilakukan oleh sebagian masyarakat adalah menjual lahannya kemudian membuka lahan lain di kawasan TNLL atau mencari pendapatan tambahan dengan menebang kayu maupun mengambil rotan di kawasan yang dilarang, atau menjual binatang yang dilindungi. Perubahan perilaku tersebut telah mengakibatkan hal-hal yang negatif terhadap kelestarian lingkungan, seperti penyerobotan kawasan TNLL, konversi lahan hutan, penebangan liar dan pemanfaatan hasil hutan non kayu yang intensif. Hal tersebut dengan sendirinya menyebabkan penurunan fungsi hutan, seperti fungsi hutan dalam mengatur tata air dan mencegah erosi. Adanya penurunan fungsi tersebut menyebabkan bahaya lingkungan bagi Desa Salua, baik bahaya lingkungan yang diketahui, maupun bahaya lingkungan yang belum diketahui. Bahaya lingkungan yang belum diketahui adalah bahaya lingkungan yang belum pernah terjadi sebelumnya, seperti wabah penyakit baru serta hama dan penyakit tumbuhan yang mungkin terjadi di masa yang akan datang. Agar bahaya lingkungan baru tersebut tidak terjadi, maka diperlukan program untuk menjaga kesehatan lingkungan (tanah, hutan dan lahan) di Desa Salua. Sedangkan bahaya lingkungan yang diketahui adalah bahaya lingkungan yang telah terjadi di Desa Salua seperti banjir dan erosi. Salah satu bahaya lingkungan yang telah terjadi di Desa Salua adalah banjir besar yang melanda Desa Salua pada tahun 2002. Banjir tersebut menghancurkan sebagian besar lahan dan rumah milik masyarakat. Ketika penelitian ini dilaksanakan, masih terlihat sisa-sisa bencana banjir tersebut berupa kayu
69
gelondongan yang berserakan di sekitar sungai. Contoh sisa-sisa bencana banjir besar pada tahun 2002 bisa dilihat pada Gambar 1 di bawah ini.
Gambar 1. Sisa-sisa Banjir di Desa Salua pada Tahun 2002 Salah satu cara untuk menumbuhkan kesadaran untuk mengelola lingkungan secara lestari kepada masyarakat atau pengambil kebijakan adalah dengan cara memberikan informasi tentang manfaat ekonomi yang terkandung dalam lingkungan itu sendiri. Jika nilai ekonomi lingkungan hidup belum diketahui, dengan sendirinya apresiasi masyarakat dan pengambil kebijakan tidak akan begitu besar. Dengan demikian, penelitian ini akan difokuskan untuk mengetahui persepsi masyarakat terhadap kondisi lingkungan di Desa Salua, menghitung nilai ekonomi jasa lingkungan dari TNLL dalam mencegah bahaya lingkungan baik bahaya lingkungan yang telah diketahui maupun bahaya lingkungan yang tidak diketahui, dengan menggunakan pendekatan willingness to pay (WTP), serta bentuk kontribusi dari masyarakat yang paling efektif. Selain itu, di dalam penelitian ini juga akan dirumuskan strategi pengelolaan lingkungan di Desa Salua. Berdasarkan penuturan di atas, perumusan masalah dalam penelitian ini adalah : 1.
Bagaimana persepsi masyarakat terhadap kondisi lingkungan di Desa Salua?
2.
Seberapa besar nilai ekonomi bahaya lingkungan yang diakibatkan oleh penurunan fungsi hutan di Desa Salua ?
3.
Faktor-faktor dominan apa saja yang mempengaruhi besarnya kemauan membayar (willingness to pay) masyarakat Desa Salua untuk melakukan perbaikan lingkungan ?
70
4.
Apa kontribusi masyarakat yang paling efektif dalam program perbaikan lingkungan ?
5.
Bagaimana strategi pengelolaan lingkungan di Desa Salua ? Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah :
1.
Mengetahui persepsi masyarakat terhadap kondisi lingkungan di Desa Salua
2.
Melakukan penilaian besarnya nilai ekonomi bahaya lingkungan di Desa Salua
3.
Mengetahui faktor-faktor dominan yang mempengaruhi besarnya kemauan membayar (willingness to pay) masyarakat Desa Salua untuk melakukan perbaikan lingkungan
4.
Mengetahui bentuk kontribusi masyarakat dalam program perbaikan lingkungan yang paling efektif
5.
Merumuskan strategi pengelolaan lingkungan di Desa Salua Manfaat Penelitian Dari penelitian ini diharapkan diperoleh manfaat-manfaat sebagai berikut :
1.
Dapat diperoleh informasi tentang nilai ekonomi lingkungan di sekitar kawasan TNLL berdasarkan perhitungan willingness to pay
2.
Pengetahuan
yang
diperoleh
mengenai
faktor-faktor
dominan
yang
mempengaruhi kemauan membayar masyarakat Desa Salua dalam melakukan pelestarian lingkungan dan perumusan strategi pengelolaan lingkungan di Desa Salua diharapkan dapat menjadi masukan bagi semua pihak yang terkait dengan pengelolaan lingkungan di sekitar kawasan TNLL khususnya di Desa Salua.
71
Alur Pikir Penelitian Alur pikir penelitian, yang secara diagramatis menggambarkan hubungan antara masalah penelitian, tujuan penelitian, serta metode analisis disajikan pada Gambar 2 berikut ini : Faktor-faktor Sosial: • Ada interaksi dengan pendatang • Pendidikan yang rendah
Lemahnya penegakan hukum
Faktor-faktor Ekonomi: • Permintaan kayu dan non kayu • Konsumerisme • Orientasi ekonomi jangka pendek
Faktor-faktor Budaya: • Budaya masyarakat memanfaatkan hasil hutan kayu dan non kayu • Hukum adat Ombo dan Taulo
Pengelolaan Hutan Desa Salua
Perubahan perilaku dalam pengelolaan hutan
Penyerobotan Kawasan Taman Nasional Lore Lindu (TNLL)
Pemanfaatan hasil hutan non kayu yang intensif
Konversi hutan
Ilegal Logging
Penurunan fungsi hutan
Bahaya lingkungan
WTP
Penilaian ekonomi jasa lingkungan pencegahan bahaya lingkungan
Strategi pengelolaan wilayah (lingkungan hidup)
Gambar 2. Alur Pikir Penelitian
SWOT