PENDAHULUAN Latar Belakang Kebakaran hutan di Jambi telah menjadi suatu fenomena yang terjadi setiap tahun, baik dalam cakupan luasan yang besar maupun kecil. Kejadian kebakaran tersebut tersebar dan melanda hampir di seluruh daerah kabupaten/kota di Provinsi Jambi, demikian halnya peristiwa kebakaran terjadi di beberapa fungsi kawasan hutan menurut wilayah Tata Guna Hutan Kesepakaan (TGHK) yang terdistribusi pada kawasan hutan lindung, hutan konservasi, area penggunaan lain serta kawasan hutan produksi (tetap, terbatas dan yang dapat dikonversi), tak terkecuali terjadi pada kawasan hutan produksi yang menjadi areal perijinan Hutan Tanaman Indsutri (HTI) PT. Wirakarya Sakti. Kebakaran hutan telah menimbulkan dampak kerugian yang cukup berarti, baik segi ekonomi, sosial maupun ekologi, bahkan peristiwa kebakaran hutan dapat dikategorikan sebagai bencana karena telah mengganggu dan mengancam kehidupan dan penghidupan masyarakat yang mengakibatkan kerugian materi, kerusakan harta benda bahkan korban jiwa. Dampak dari kebakaran hutan tersebut antara lain asap yang ditimbulkan yang sangat membahayakan kesehatan dan mengganggu transportasi darat, udara dan perairan. Peristiwa kebakaran hutan pada dasarnya disebabkan oleh beberapa hal diantaranya karena faktor lingkungan fisik hutan yang mendukung serta adanya aktivitas manusia di sekitar hutan sebagai pemicu terjadinya kebakaran. Kegiatan masyarakat dalam penyiapan lahan secara tradisional dengan tahapan tebang, tebas, tumpuk dan bakar pada umumnya dididuga sebagai penyebab awal terjadinya kebakaran hutan. Sebagaimana menurut Suratmo dkk. (2003) bahwa penyebab utama kebakaran hutan yang terjadi di Kalimantan dan Sumatera dipengaruhi oleh faktor manusia, baik dikarenakan kelalaian maupun kesengajaan (pembukaan lahan / slash and burning) dan kecil kemungkinannya oleh faktor alamiah seperti fenomena iklim, petir, gesekan kayu dan benturan batu. Aktivitas masyarakat di hutan pada awalnya diyakini sebagai suatu cara untuk mendapatkan penghidupan bagi diri dan keluarganya karena hutan merupakan sumberdaya alam yang dapat menghasilkan pendapatan bagi
2 masyarakat dari hasil hutan berupa kayu dan non-kayu seperti rotan, damar, gaharu, jelutung, lebah madu dan lain-lain. Selanjutnya, aktivitas masyarakat di sekitar hutan berubah orientasinya dengan keharusan dan keinginan mendapatkan lahan hutan untuk dijadikan ladang, kebun dan mata pencaharian lainnya sebagai sumber penghidupannya. Semakin tingginya intensitas untuk mendapatkan lahan hutan diduga disebabkan oleh kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar hutan; antara lain tingkat pendapatan yang rendah, taraf pendidikan dan pengetahuan masyarakat tentang fungsi dan manfaat hutan masih rendah, adanya pertambahan penduduk masyarakat sekitar hutan serta lapangan pekerjaan yang terbatas. Kurangnya upaya-upaya pemerintah untuk memberdayakan masyarakat sekitar hutan ke arah kemapanan kehidupan sosial dan peningkatan ekonomi masyarakat akan meningkatkan alternatif aktivitas masyarakat berbasis lahan ke arah penguasaan lahan hutan. Adanya kebijakan pemerintah untuk meningkatkan kontribusi ekonomi sektor kehutanan melalui pembangunan Hutan Tanaman Industri telah melahirkan perijinan pemanfaatan hutan kepada pihak swasta atas kawasan hutan yang pada kenyataannya sebagian dari areal perijinan tersebut telah dikuasai oleh masyarakat. Hal ini berpotensi menimbulkan benturan kepentingan karena menghadapkan perusahaan dan masyarakat atas penguasaan lahan hutan. Berdasarkan hukum formal yang berlaku telah ada pembatasan akses masyarakat atas sumberdaya hutan, yang pada hakekatnya terjadi pengekangan untuk mendapatkan penghidupan bagi masyarakat. Dengan tidak terakomodasinya peran serta masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya hutan pada faktanya melahirkan reaksi yang meningkatkan aktivitas masyarakat di kawasan hutan . Dalam areal perijinan Hutan Tanaman Industri (HTI) PT. Wirakarya Sakti seluas ± 293.000 Ha, sesuai Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 346/Menhut-II/2004 tanggal 10 September 2004, ditemukan beragam wujud penggarapan lahan hutan oleh masyarakat berupa kebun dan ladang. Penguasaan lahan hutan oleh masyarakat di HTI meliputi areal seluas ± 55.000 Ha atau sekitar 18% dari luas total areal perijinan HTI PT. Wirakarya Sakti. Upaya-upaya penyelesaian permasalahan status lahan di areal HTI telah dilakukan antara lain dengan pengelolaan lahan pola kemitraan, yaitu kerjasama Hutan Rakyat Pola
3 Kemitraan (HRPK) untuk areal masyarakat di luar HTI dan kerjasama Hutan Tanaman Kehidupan Pola Kemitraan (HTPK) untuk areal kebun masyarakat di dalam areal perijinan HTI PT. Wirakarya Sakti. Walaupun penyelesaian permasalahan lahan di areal HTI antara pihak perusahaan dan masyarakat melalui pola kemitraan telah diupayakan namun masih
belum
banyak
menunjukkan
keberhasilan.
Masyarakat
masih
mengusahakan lahan sendiri/berkelompok untuk menggarap kebun dengan cara tradisional. Penggunaan api dalam penyiapan lahan oleh masyarakat sebagai cara yang paling mudah dan murah yang akan menjadi pemicu terjadinya kebakaran hutan. Motif dan tindakan masyarakat dalam melakukan pembakaran lahan juga sebagai alternatif yang dipilih untuk mempertahankan eksistensi penguasaan lahan hutan oleh masyarakat atas lahan hutan, kondisi ini sangat berpotensi meningkatkan kerawanan kebakaran di areal HTI PT. Wirakarya Sakti. Pembangunan Hutan Tanaman Industri pada kawasan hutan produksi mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan berupa kayu tanaman. Pemanfaatan kawasan hutan produksi sebagai wujud pemanfaatan ruang yang penetapannya lebih ditujukan pada pembagian ruang dalam suatu wilayah sesuai dengan fungsi dan manfaatnya.
Padahal permasalahan yang muncul terkait
dengan ruang tidak dapat dilepaskan dari penegasan terhadap hak penguasaan terhadap ruang tersebut. Menurut Djajono (2006), kompleksitas permasalahan pengelolaan ruang ternyata telah berpengaruh besar pada proses penetapan perencanaan tata ruang suatu wilayah (kawasan hutan) dalam hal sulitnya penataan ruang yang akan ditetapkan menjadi acuan pihak-pihak yang akan memanfaatkan ruang tersebut. Beragam alasan dapat disebutkan sebagai penyebabnya, antara lain : kepentingan ekonomi terhadap ruang yang bersangkutan, belum ditampungnya kondisi riil masyarakat yang mendiami ruang tersebut dalam peraturan perundangan serta berbagai konflik penguasaan lahan yang terdapat di kawasan hutan. Penunjukkan kawasan hutan sebagai implementasi pemanfaatan ruang, penetapannya lebih ditujukan pada pembagian ruang (kawasan hutan) sesuai dengan fungsi dan manfaatnya yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budidaya. Pengaturan Tata Ruang
4 Hutan Tanaman Industri sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Kehutanan No. 70/Kpts-II/1995 (sebagaimana diubah dengan Kepmenhut No.246/KptsII/1996 dan Peraturan Menteri No. P.21/Menhut-II/2006), didasarkan atas pertimbangan aspek-aspek kepastian lahan, kontinuitas sumberdaya hutan, konservasi/fungsi lindung serta sosial ekonomi masyarakat sekitar hutan. Penataan ruang HTI bertujuan untuk mengatur penggunaan suatu unit areal HTI sesuai peruntukannya, yaitu untuk areal tanaman pokok, tanaman unggulan, tanaman kehidupan, kawasan lindung serta sarana prasarana. Kesesuaian pelaksanaan pembangunan Hutan Tanaman Industri dengan rencana tata ruang HTI diharapkan akan menjadi suatu pengelolaan hutan yang berkelanjutan. Pada proses perencanaan tata ruang HTI juga diperlukan penataan ruang yang berbasis mitigasi bencana, antara lain mempertimbangkan kawasan rawan kebakaran hutan. Sehingga diharapkan pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang HTI merupakan suatu upaya untuk meminimalkan kejadian kebakaran hutan dan pada akhirnya meningkatkan keselamatan dan kenyamanan bagi kehidupan dan penghidupan pada umumnya. Upaya meminimalisir terjadinya kebakaran hutan antara lain dengan menginventarisir lokasi rawan kebakaran hutan berdasarkan faktor-faktor penyebabnya sehingga dapat disusun suatu model kerawanan kebakaran hutan serta memetakan wilayah-wilayah yang rawan terjadinya kebakaran hutan di areal Hutan Tanaman Industri PT. Wirakarya Sakti Perumusan Masalah Kebakaran hutan yang terjadi dipengaruhi oleh faktor biofisik dan faktor aktifitas manusia, meskipun hingga saat ini informasi tentang seberapa besar pengaruh faktor biofisik dan faktor aktifitas manusia yang dapat menyebabkan kebakaran hutan belum banyak diketahui. EEP (1998) melaporkan bahwa faktor utama penyebab kebakaran hutan di Indonesia adalah perilaku manusia, sementara kondisi iklim dan lingkungan dapat memperbesar dan meningkatkan intensitas kebakaran. Berkembangnya sektor kehutanan dan ekstraksi sumberdaya hutan telah menarik masyarakat ke kawasan hutan yang kemudian membangun ladang, kebun bahkan permukiman, dengan demikian menghadapkan hutan pada potensi bahaya kebakaran besar yang dapat timbul setiap saat. Beberapa studi
5 mengidentifikasikan bahwa kebakaran pada umumnya terjadi di sekitar permukiman (desa/kampung/transmigrasi), jalur jalan atau akses masuk ke hutan konversi dan lahan perkebunan, serta di kawasan Hutan Tanaman Industri (HTI). Kondisi biofisik lingkungan hutan yang diduga berpengaruh terhadap kebakaran hutan antara lain adalah: kuantitas bahan bakar, curah hujan dan kondisi iklim setempat, keadaan permukaan bumi (topografi), jenis tanah, kondisi tutupan lahan serta tipe lahan pada areal Hutan Tanaman Industri. Pembukaan hutan sebagai desakan kebutuhan akan lahan untuk dijadikan kebun atau ladang mendorong terjadinya perubahan peruntukkan lahan hutan menjadi areal budidaya, konsekuensinya, terjadi interaksi yang lebih intensif antara aktivitas masyarakat dengan lingkungan hutan. Interaksi masyarakat atas lahan hutan dalam penyiapan lahan dengan menggunakan api dapat menimbulkan terjadinya kebakaran hutan. Faktor-faktor pendukung aktivitas masyarakat yang menguasai lahan hutan dan diduga berpengaruh terhadap kejadian kebakaran hutan adalah kemudahan atau akses masyarakat terhadap sumberdaya hutan antara lain disebabkan oleh faktor jarak dari jalan, jarak dari sungai serta jarak dari lahan hutan yang dikuasai oleh masyarakat,. Kejadian kebakaran hutan di areal Hutan Tanaman Industri (HTI) PT. Wirakarya Sakti yang terjadi dari tahun 2005, 2006 dan 2007, menurut data dari pihak perusahaan terjadi berturut-turut sebanyak 61 kasus, 127 kasus serta 33 kasus yang tersebar di setiap distrik, seperti disajikan pada Gambar 1. 33
35 30 23
Frekuensi
25
21
20
2006
14
15 10
2005
18
17 15
2007
11 9
10
9 7
6
4
5
9
4
4
3
2
0
1
0
0
1
0 I
II
III
IV
V
VI
VII
VIII
Distrik
Gambar 1 Sebaran Kejadian Kebakaran di setiap Distrik pada Areal Kerja HTI.
6 Areal perijinan yang diberikan kepada perusahaan HTI (PT. Wirakarya Sakti) berupa kawasan hutan produksi oleh pemerintah pusat pada kenyataannya secara fakta di lapangan sebagian telah dikuasai oleh masyarakat, lahan garapan milik perorangan atau kelompok, berupa kebun atau ladang. Akan tetapi ada juga sebagian penguasaan lahan hutan oleh masyarakat terjadi setelah perijinan diberikan kepada perusahaan serta pihak perusahaan telah menjalankan operasional di lapangan. Penguasaan lahan oleh masyarakat, di setiap distrik pada areal HTI disajikan pada Gambar 2. 30 26
25
Kasus
20
17 15
15
12
12
Klaim
9
10
6 4
5 0 I
II
III
IV
V
VI
VII
VIII
Ditsrik
Gambar 2 Penguasaan Lahan Hutan oleh Masyarakat di setiap Distrik pada Areal HTI PT. Wirakarya Sakti. Dari gambaran pada Gambar 2 terlihat bahwa jumlah penguasan lahan pada areal HTI terdata 101 kasus yang tersebar di setiap distrik. Terdapat suatu indikasi bahwa semakin banyak jumlah penguasaan lahan maka semakin besar peluang terjadinya kebakaran, seperti terlihat pada Gambar 1. Pengelolaan kawasan hutan oleh perusahaan berdasarkan asas legalitas hukum formal pada areal perijinannya dimanfaatkan untuk membangun hutan tanaman. Sistem silvikultur yang diterapkan dalam pembangunan HTI adalah sistem Tebang Habis Permudaan Buatan (THPB) yaitu dengan menebang habis (land clearing) tegakan hutan atau semak belukar untuk kemudian diganti dengan tanaman pokok (Akasia sp., Eucalypthus sp. serta tanaman unggulan dan kehidupan). Penyiapan lahan untuk penanaman dilakukan dengan cara Penyiapan Lahan Tanpa Bakar (PLTB). Akan tetapi sisa kayu sebagai hasil limbah
7 pembalakan akan menjadi bahan bakar sebagai salah satu unsur terjadinya kebakaran. Semakin banyak sisa kayu yang tertinggal di areal bekas penebangan maka akan sangat berpotensi meningkatkan kerawanan kebakaran. Sampai saat ini, meskipun kejadian kebakaran hutan di HTI terjadi hampir setiap tahun, namun informasi mengenai wilayah-wilayah yang mudah terjadi kebakaran belum banyak tersedia. Oleh karena itu pengembangan wilayah yang rawan terjadi kebakaran hutan dan terintegrasi dengan mempertimbangkan faktor kondisi biofisik serta faktor pendukung aktivitas masyarakat khususnya pada areal Hutan Tanaman Industri akan sangat diperlukan. Apabila dilihat dari uraian rumusan masalah di atas, maka dapat dirangkum suatu pertanyaan umum penelitian yaitu bagaimana model spasial dan pemetaan kerawanan kebakaran hutan pada areal Hutan Tanaman Industri.
Sedangkan
pertanyaan khusus penelitian adalah sebagai berikut : 1. Apa faktor-faktor biofisik hutan yang berpengaruh terhadap kejadian kebakaran hutan? 2. Sampai sejauh mana kebakaran hutan dipengaruhi oleh aktivitas masyarakat yang menguasai lahan hutan pada areal Hutan Tanaman Industri? 3. Sampai sejauh mana karakteristik dan tindakan masyarakat yang menguasai lahan hutan pada areal Hutan Tanaman Industri mempunyai keterkaitan dengan kebakaran hutan? 4. Sampai sejauh mana kesesuaian Rencana Tata Ruang Hutan Tanaman Industri dengan peruntukkannya serta pengaruhnya terhadap kebakaran hutan? Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang serta rumusan masalah tersebut diatas maka penelitian ini bertujuan untuk : (1) Mengidentifikasi faktor biofisik yang berpengaruh terhadap kebakaran hutan di areal Hutan Tanaman Industri. (2) Mengidentifikasi faktor pendukung aktivitas masyarakat yang menguasai lahan hutan dalam kaitannya dengan kebakaran hutan di areal Hutan Tanaman Industri.
8 (3) Menganalisis karakteristik dan tindakan masyarakat yang menguasai lahan hutan pada areal Hutan Tanaman Industri dalam kaitannya dengan kebakaran hutan. (4) Mengidentifikasi kesesuaian Rencana Tata Ruang Hutan Tanaman Industri dengan peruntukkannya dan pengaruhnya terhadap kebakaran hutan. (5) Membangun model spasial serta memetakan kerawanan kebakaran hutan pada areal Hutan Tanaman Industri. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah dapat memberikan bahan pertimbangan bagi perusahaan dan masyarakat agar dapat mengurangi tindakantindakan yang dapat memicu terjadinya kebakaran hutan serta memberikan data dan informasi sebagai bahan pertimbangan kepada pemerintah daerah/provinsi dalam perumusan kebijakan pembangunan secara umum.