PENDAHULUAN Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan jenis tanaman hortikultura. Di antara jenis tanaman hortikultura yang banyak diusahakan oleh masyarakat adalah buah-buahan.
Kenyataan ini, didukung oleh potensi alam
dengan iklim dan ketinggian yang memungkinkan musim panen berbeda antar daerah. Selain itu, Indonesia juga mempunyai potensi lahan ± 9,7 juta Ha, serta potensi lebih 6.000 sumber plasma nutfah buah-buahan yang bervariasi dan memungkinkan untuk dapat dimanfaatkan sebagai sumber tetua untuk pemuliaan (Poerwanto, 2000). Sebagai negara tropis, buah-buahan Indonesia menunjukkan perkembangan yang positif, baik peningkatan konsumsi maupun kuantitas.
Komoditi ini,
semakin digemari oleh masyarakat luas, karena memiliki citarasa yang khas dan kesan menyegarkan.
Selain itu, buah-buahan menjadi sumber vitamin dan
mineral yang dibutuhkan dalam upaya peningkatan mutu sumber daya manusia (SDM). Sejalan dengan meningkatnya kemampuan ekonomi dan gaya hidup sehat masyarakat, konsumsi buah-buahan per kapita meningkat dari 56 kg pada tahun 2004 menjadi 59 kg pada tahun 2005, dan 63 kg pada tahun 2006. Bahkan diprediksi menjadi 64 kg pada tahun 2007, 67 kg pada tahun 2008 dan 70 kg pada tahun 2009 (Ditjen Bina Produksi Hortikultura, 2005). Dibandingkan dengan negara-negara maju, tingkat konsumsi ini masih tergolong rendah. Di Eropa konsumsi buah-buahan sekitar 90 kg/kapita/tahun. Untuk negara-negara berkembang seperti Indonesia, diperlukan konsumsi buah-buahan sebesar 65,75 kg/kapita/tahun (Ditjen Bina Produksi Hortikultura, 2001a). Dengan demikian, semakin meningkat keadaan dan taraf hidup masyarakat, tingkat konsumsi buah-buahan cenderung meningkat di masa mendatang.
Menurut
Poerwanto (2000), untuk beberapa tahun ke depan, diperkirakan terjadi peningkatan laju permintaan buah-buahan.
Tahun 2010 diperkirakan akan
mencapai 14 juta ton, dan pada tahun 2015 diperkirakan menjadi 20 juta ton.
2
Tingginya permintaan pasar, baik dikonsumsi segar maupun sebagai bahan baku industri pangan, serta potensi peningkatan nilai tambah telah menjadi peluang bagi pengembangan agrobisnis buah-buahan dan sumber pertumbuhan baru ekonomi dewasa ini. Industri pangan adalah industri yang mengolah komoditas pangan yang bersumber dari hasil-hasil pertanian (misal, buah-buahan) menjadi produk olahan (misal, makanan dan minuman) hingga perdagangan dan distribusinya. Industri ini memiliki berbagai keunggulan (misal, penyediaan lapangan kerja, bahan baku berbasis lokal, skala usaha, pasar lokal, substitusi produk impor dan ragam produk). Dalam operasionalisasinya, sesuai komoditas yang digunakan industri pangan dapat dikategorikan berskala usaha kecil hingga besar. Skala usaha tersebut sangat ditentukan oleh ketersediaan dan produktivitas lahan (sentra produksi). Terkait dengan kenyataan tersebut, yang akan difokuskan dalam penelitian ini adalah ketersediaan bahan baku yang berbasis lokal. Di sisi lain, pengembangan agrobisnis buah-buahan menghadapi kendala atau kelemahan, yakni (1) daya saing lemah, (2) varietas beragam, (3) jumlah perusahaan pemuliaan dan pembibitan belum memadai dan tidak profesional, (4) teknologi produksi dan pascapanen belum lengkap dan tidak tepat, (5) penyediaan modal yang kurang dan bunga bank tinggi, (6) kemampuan dan pengetahuan petani yang masih rendah, (7) kelembagaan di tingkat petani, (8) sistem pemasaran (prasarana dan sarana, efisiensi, informasi dan diferensiasi harga),
dan
(9)
(Poerwanto, 2000).
kelembagaan
riset
dan
pengembangan
yang
kurang
Kelemahan tersebut mengakibatkan akhir-akhir ini, laju
impor Indonesia untuk komoditas buah-buahan lebih tinggi bila dibandingkan dengan peningkatan ekspornya. Tahun 2004 ekspor buah-buahan Indonesia sebesar 210.500.808 kg dengan nilai US$ 122.836.691. Sedangkan nilai impor pada tahun yang sama lebih tinggi, yakni 393.353.172 kg dengan nilai US$ 224.589.553 (BPS, 2004). Keadaan ini mengindikasikan bahwa agrobisnis buah-buahan Indonesia belum berkembang secara baik. Selain potensi agroklimat, biodiversitas tinggi dan permintaan pasar, pengembangan buah-buahan Indonesia didukung oleh ketersediaan lahan dan adanya kemauan politik pemerintah. Sebagai negara tropis, Indonesia seharusnya mengoptimalkan keunggulan komparatif yang dimiliki.
Keunggulan tersebut
3
perlu dikembangkan menjadi keunggulan kompetitif, melalui pengembangan antar sektor yang terpadu dan keterkaitan kuat hulu dan hilir. Strategi pengembangan yang tepat akan menghasilkan buah-buahan tropika Indonesia dapat menjadi andalan ekspor, pemenuhan kebutuhan dalam negeri dan pemulihan ekonomi rakyat. Di Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel), secara keseluruhan sektor pertanian masih mendominasi struktur perekonomian. Tahun 1994, pemerintah provinsi menyusun strategi dasar pembangunan sektor pertanian yang disebut Tri Konsep, meliputi (1) pewilayahan komoditas, (2) petik olah jual, dan (3) perubahan pola pikir.
Konsep
ini
bertujuan
untuk
meningkatkan
produksi
pertanian,
meningkatkan pendapatan petani, memperluas lapangan kerja dan meningkatkan penerimaan devisa.
Selanjutnya, untuk mempertajam strategi dan program
pembangunan, dikembangkan Gerakan Peningkatan Produksi Ekspor Dua Kali Lipat (Grateks-2) dan Gerakan Masyarakat untuk Padi, Palawija dan Jagung (Gema Palagung). Namun demikian, pelaksanaan gerakan masyarakat tersebut mengalami berbagai masalah, misalnya pengembangan komoditas tidak tepat dan bersifat sektoral (tidak terpadu), pola yang tidak jelas dan tidak fokus. Kondisi ini menyebabkan pengembangan komoditas memiliki nilai tambah dan daya saing rendah (Pemprov Sulsel, 2004). Haeruman (1997), menyatakan dalam rangka memanfaatkan keunggulan komparatif daerah dan penghapusan kemiskinan, dilakukan upaya regionalisasi pertanian, meliputi (1) program pewilayahan komoditi,
(2)
program
peningkatan
pendapatan
petani
kecil,
dan
(3) pengembangan pusat-pusat produksi. Selanjutnya, dijelaskan bahwa untuk mencapai tujuan pewilayahan komoditi, diperlukan informasi yang akurat dan rinci untuk menentukan komoditas unggulan. Namun demikian, program pewilayahan komoditi tersebut, menghadapi berbagai kendala, satu diantaranya adalah belum didukung analisis bisnis dan sinergi antar sektor yang berkesinambungan. Nasution (2002), mengungkapkan bahwa keragaman kondisi setiap daerah, misalnya sosio-kultural masyarakat, kuantitas dan mutu masyarakat, sarana dan prasarana, iklim dan heterogenitas ketersediaan sumber daya alam (SDA) menyebabkan pengembangan pertanian dan agroindustri tidak dapat dilakukan secara terpusat. Impilikasi dari kondisi ini, adalah bahwa setiap daerah
4
seharusnya mengembangkan komoditas pertanian sesuai dengan kondisi dan potensi yang dimilikinya. Dengan demikian, metodologi penentuan komoditas dan produk unggulan, serta wilayah pengembangan agroindustri suatu daerah memerlukan acuan dan konsensus yang jelas. Hal ini terkait dengan pengambilan keputusan pada pengembangan agroindustri banyak diwarnai oleh pengaruh birokrasi, misalnya perbedaan kriteria yang digunakan antar instansi. Akibatnya, muncul bias terhadap komoditas dan produk yang diunggulkan pada suatu wilayah. Sejalan dengan penerapan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, terbuka peluang dan sekaligus tantangan bagi pemerintah daerah (Pemda) untuk menggali dan memanfaatkan sumber daya daerah masing-masing. Dalam hal ini, prioritas utama yang tepat dalam pengembangan ekonomi daerah adalah pembangunan sektor pertanian, karena terkait dengan kegiatan ekonomi rakyat banyak. Sehubungan dengan hal tersebut, pada tahun 2004 pemerintah Provinsi Sulsel menyusun konsep pemberdayaan ekonomi rakyat, yakni Gerakan Pembangunan Ekonomi Masyarakat (Gerbang Emas). Gerakan ini merupakan kerjasama saling mendukung antara Pemda, Perguruan Tinggi (PT), Lembaga Riset dan Pelatihan, Perbankan serta Swasta dalam suatu program perekonomian yang jelas, terfokus, berkeadilan, terukur dan berkesinambungan. Secara umum, tujuan gerakan tersebut adalah untuk memperkuat struktur perekonomian daerah, terciptanya iklim investasi yang kondusif dan peningkatan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) (Pemprov Sulsel, 2004). Industri pangan sebagai subsistem agroindustri mempunyai peranan strategis dalam menggerakkan perekonomian nasional. Dalam hal ini, industri pangan
dilaksanakan
untuk
meningkatkan
nilai
tambah,
memperdalam
(memperkuat) struktur industri dan memperluas kesempatan berusaha serta penyerapan tenaga kerja. Di Provinsi Sulsel, industri pangan buah-buahan difokuskan pada industri pengolahan buah markisa dan buah jeruk keprok Siem menjadi sari buah dan tepung sari. Selain itu, dikembangkan pula industri pengolahan buah nangka menjadi keripik, pengolahan buah terung belanda (Tamarillo), pengawetan buah mangga dan salak menjadi produk manisan dan asinan (Disperindag, 2005). Selanjutnya, untuk mencapai sasaran pengembangan,
5
Pemprov Sulsel menyusun strategi pendekatan klaster industri melalui sentra pengembangan komoditi, yakni (1) buah markisa di Tana Toraja (Tator), Enrekang dan Gowa, (2) buah mangga di Maros, Pangkajene Kepulauan (Pangkep), Barru, Takalar, Bantaeng, Bulukumba, Sinjai, Bone, Sidenreng Rappang (Sidrap) dan Luwu, (3) buah jeruk di Luwu Utara, Pangkep, Bulukumba dan Bantaeng. Namun demikian, pengembangan industri pengolahan pangan tersebut memiliki sejumlah permasalahan, diantaranya (1) dukungan pemodalan yang kurang, (2) kemampuan SDM rendah, (3) kemampuan manajemen terbatas, (4) penguasaan teknologi pengolahan masih rendah, (5) jaringan pemasaran yang lemah, dan (6) kesadaran pelestarian lingkungan hidup rendah (Disperindag, 2005). Penelitian tentang komoditas buah-buahan di Provinsi Sulsel telah banyak dilakukan, diantaranya adalah buah markisa (Intan, 1994; Latief, 1996), buah jeruk manis (Saptana dan Noekman, 1994) dan buah jeruk besar Pangkajene (Munir dan Latief, 1998), akan tetapi penelitian-penelitian tersebut umumnya hanya menyangkut aspek tertentu dan belum bersifat menyeluruh, serta terpadu. Hasil penelitian demikian tidak dapat langsung digunakan sebagai dasar pengembangan agroindustri pangan, dalam hal ini dipengaruhi oleh banyak faktor (Gumbira dan Intan, 2001a). Secara nasional, dalam Kebijakan Strategis Pembangunan Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Jakstranas Iptek) 2005-2009, memuat enam bidang utama program pembangunan, yakni (1) ketahanan pangan, (2) sumber energi baru dan terbarukan, (3) teknologi dan manajemen transportasi, (4) teknologi informasi dan komunikasi, (5) teknologi pertahanan, dan (6) teknologi kesehatan dan obat-obatan.
Selanjutnya, secara khusus terkait dengan Iptek pangan,
dijabarkan empat arah kebijakan, yaitu (1) peningkatkan produktivitas, mutu dan efisiensi
produksi
pertanian
on-farm
(intensifikasi)
dengan
penerapan
bioteknologi, precision farming, biocyclofarming, serta Good Agriculture Practices (GAP) secara berkelanjutan, (2) perluasan cakupan pengolahan hasil pertanian yang efisien untuk meningkatkan nilai ekonomi dan nilai tambah produk pada masing-masing komoditas pangan, (3) peningkatkan keragaman bahan baku pangan, (4) mewujudkan kerjasama yang kondusif bagi berkembangnya inovasi
6
yang berorientasi penguatan kemampuan nasional. Untuk mendukung kebijakan tersebut, diprioritaskan terwujudnya kemandirian dan ketahanan pangan serta peningkatan daya saing produk; revitalisasi terhadap nilai kearifan lokal; meningkatkan jaringan kemitraan dengan lembaga terkait baik nasional maupun internasional; serta proses implementasi (translation) pengetahuan global (global knowledge) ke dalam situasi lokal setempat (site specifics), dengan kriteria (1) kemanfaatan dan keuntungan (beneficial and profitability) dari komoditas unggulan (misal, tanaman pangan, sayuran, buah-buahan, perkebunan, perikanan, hasil laut serta ternak besar dan kecil), (2) keberlanjutan (sustainability), (3) keamanan dan mutu (safety and quality), (4) diversifikasi dan penciptaan nilai tambah (diversification and adding value), (5) pengembangan pasar (market development), dan (6) pendayagunaan lahan marginal yang kurang subur (Anonim, 2005). Berdasarkan pada potensi, keadaan usaha pertanian buah-buahan, perkembangan hasil penelitian terdahulu, serta kebijakan Iptek nasional maka diperlukan suatu kajian mendalam tentang bagaimana kelayakan industri pangan berbasis buah-buahan unggulan yang terintegrasi dan terkait kuat antara hulu dan hilir, sebagai salah satu upaya untuk pembangunan ekonomi daerah ?. Selain itu, diperlukan pula analisis strategi pengembangan yang tepat sehingga dapat menjadi bahan masukan bagi pengambil keputusan. Selanjutnya, didasarkan atas adanya interaksi atau saling keterkaitan antara satu komponen (elemen) dengan komponen lain dan faktor (peubah) yang dinamis dalam pemenuhan kebutuhan, maka pemecahannya dilakukan dengan pendekatan sistem. Pendekatan sistem adalah suatu metodologi pemecahan masalah bersifat menyeluruh dan terpadu (holistic), berorientasi tujuan (cybernetics) dan bersifat operasional (effective). Secara khusus, permasalahan dalam pengembangan industri pangan berbasis buah-buahan unggulan dirumuskan sebagai berikut : (1) Bagaimanakah perumusan cara pemilihan komoditas unggulan dan produk unggulan industri pangan berbasis buah-buahan unggulan ?; (2) Bagaimanakah analisis kelayakan usaha industri pengolahan buah-buahan unggulan berbasis lokal yang memiliki nilai tambah dan potensi daya saing tinggi, baik di tingkat hulu maupun hilir ?; (3) Bagaimanakah struktur sistem dan faktor-faktor internal-eksternal yang
7
berperan dalam pengembangan industri pangan berbasis buah-buahan unggulan ?; dan (4) Bagaimanakah penyusunan strategi pengembangan industri pangan berbasis buah-buahan unggulan dan unsur-unsur peluang serta tantangan, yang mendukung rekomendasi dan penerapan lain terkait dengan perubahan situasional ?.
Tujuan Penelitian
Secara umum, tujuan penelitian ini adalah : 1. Menyusun struktur sistem yang mempengaruhi kelayakan dan strategi pengembangan industri pangan berbasis buah-buahan unggulan. 2. Mengidentifikasi dan merumuskan pola keterkaitan dari faktor-faktor yang berpengaruh dalam strategi pengembangan industri pangan berbasis buahbuah unggulan. Secara khusus, tujuan penelitian adalah : 1. Melakukan identifikasi dan pemilihan prioritas buah unggulan dan produk unggulan. 2. Pemetaan potensi dan lokasi sentra produksi buah unggulan setiap wilayah (daerah), menyusun pohon industri dan menganalisis kelayakan usaha tani primer, serta pengembangan industri pengolahan produk unggulan. 3. Menyusun strategi pengembangan industri pengolahan pangan berbasis buahbuahan unggulan.