PENDAHULUAN Latar Belakang Sektor pertanian merupakan sumber penghidupan jutaan rakyat Indonesia sebagai mata pencaharian pokok, sumber pendapatan, penyedia bahan makanan, penyedia bahan baku industri, penyedia lapangan kerja, dan basis perekonomian nasional. Posisi sektor pertanian dalam perekonomian nasional secara umum mempunyai tiga fungsi, yaitu: (1) fungsi ekonomi sebagai penyedia pangan, kesempatan kerja, dan pendapatan; (2) fungsi sosial berkaitan dengan pemeliharaan masyarakat pedesaan sebagai penyangga budaya bangsa; dan (3) fungsi ekologi sebagai perlindungan lingkungan hidup, konservasi lahan dan cadangan sumber air (Hafsah, 2009). Era baru pertanian ke depan menghendaki orientasi kepada pencapaian nilai tambah, pendapatan serta kesejahteraan petani sebagai acuan utama dalam pembangunan pertanian. Dalam menjalankan fungsinya sebagai penyedia pangan, pemerintah terus berupaya untuk mempercepat upaya peningkatan produksi padi nasional untuk memenuhi kebutuhan pangan yang terus meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dari tahun ke tahun. Upaya pemerintah telah diimplementasikan melalui program Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN) yang dilaksanakan semenjak awal tahun 2007.
Program ini ditargetkan mampu meningkatkan
produksi beras nasional sebanyak 5 persen setiap tahunnya (Deptan, 2008). Peningkatan produktivitas padi dan kesejahteraan petani melalui penerapan inovasi merupakan salah satu strategi yang diterapkan pemerintah dalam program P2BN. Badan Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Pertanian telah menghasilkan dan mengembangkan pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) padi yang telah terbukti melalui uji coba di 23 kabupaten pada tahun 2003 dan mampu meningkatkan produktivitas padi dan efisiensi produksi. Berdasarkan hal tersebut, pemerintah melalui Departemen Pertanian meluncurkan program Sekolah Lapang (SL) PTT padi (Deptan, 2008). Program Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) pada dasarnya merupakan suatu program yang dirancang oleh pemerintah dan direncanakan bersama-sama oleh kelompok tani atau gabungan kelompok tani. Program ini bertujuan untuk memberikan pelayanan informasi dan pelatihan
secara terpadu mengenai inovasi dan teknologi padi kepada petani melalui kegiatan penyuluhan agar petani mampu meningkatkan produktivitas padi dan pendapatan dari budidaya padi, atau dengan kata lain bahwa program SL-PTT padi bertujuan untuk mengubah perilaku petani agar petani lebih mandiri untuk mencapai tujuannya melalui penerapan PTT padi. SL-PTT
padi
sebagai
suatu
bentuk
kegiatan
penyuluhan
perlu
memperhatikan proses komunikasi yang berlangsung dalam pelaksanaan kegiatan agar program tersebut dapat berjalan dengan baik. Beberapa kegiatan penyuluhan sebelumnya dapat dinyatakan belum berhasil dikarenakan proses komunikasi yang dilakukan tidak berjalan dengan baik. Roling dan Van de Fliert (1994) menguraikan bahwa program BIMAS yang dahulu pernah berjalan hanya menekankan pada peningkatkan produksi padi tidak disertai dengan peningkatan kapasitas analisis petani dan penggunaan pupuk dan pestisida. Dampak dari program mengakibatkan terjadinya penggunaan pupuk dan pestisida yang berlebihan,
mengakibatkan
pencemaran
air,
lingkungan,
dan
perusakan
keseimbangan hara tanah. Benih padi unggul yang dianjurkan memiliki kerentanan terhadap hama wereng coklat jika dibandingkan dengan beberapa varietas lokal yang sudah ditanam oleh petani secara turun-temurun. Gencarnya anjuran pelaksanaan BIMAS juga menyebabkan varietas-varietas lokal yang seharusnya menjadi sumber plasma nutfah perlahan-lahan punah. Serangan wereng mengakibatkan sebagian besar petani peserta program BIMAS gagal panen dan petani menjadi tidak mampu membayar hutang kredit pupuk dan pestisida yang terlanjur dibeli sebagai syarat yang harus dipenuhi untuk menanam benih varietas unggul. World Bank (2002) melalui berbagai evaluasi pada proyek-proyek penyuluhan mengindikasikan bahwa penyuluhan belum memenuhi orientasi dan kepentingan client, kapasitas sumberdaya manusia lemah, dan tingkat komitmen pemerintah masih lemah.
Beberapa pelajaran dan pengalaman dari berbagai
World Bank Extension Projects selama 1977-1991 yang dirangkum oleh Antholt (Eicher dan Staatz, 1999) menyimpulkan beberapa hal antara lain: (1) 70 persen dari berbagai proyek penyuluhan yang didukung World Bank memiliki tingkat sustainability yang rendah; (2) banyak muncul masalah insufficiency teknologi
yang relevan, (3) keterkaitan dengan lembaga riset lemah; dan (4) banyak kelemahan pada pendekatan Training and Visit. Rogers dan Shoemaker (1971) menyatakan bahwa komunikasi merupakan elemen utama dan terpenting dalam proses perubahan perilaku. Berdasarkan pengalaman-pengalaman masa lalu seperti yang telah dijelaskan sebelumnnya, maka proses komunikasi dapat berpengaruh dalam kegiatan penyuluhan. Oleh karena itu, agar kegiatan SL-PTT berjalan dengan efektif, proses komunikasi yang dilakukan dalam kegiatan ini menjadi aspek penting yang harus diperhatikan. Rogers dan Shoemaker (1971) menjelaskan bahwa salah satu prinsip utama dari komunikasi antar manusia adalah bahwa transfer ide yang paling sering terjadi adalah berada di antara komunikator dan komunikan yang sama, mirip dan homophilous. Kesamaan tersebut tidak hanya dilihat dari latar belakang dan budaya yang sama akan tetapi yang paling terpenting adalah kesamaan maksud dan tujuan dalam berkomunikasi. Mulyana dan Rakhmat (1998) menambahkan bahwa persepsi merupakan inti dari komunikasi, karena jika persepsi seseorang tidak akurat, maka manusia tidak mungkin berkomunikasi dengan efektif. Persepsi menentukan seseorang memilih suatu pesan dan mengabaikan pesan yang lain. Dalam proses komunikasi, baik sumber dan penerima berperilaku sesuai dengan persepsi mereka terhadap reaksi yang diharapkan dari satu sama lain dan pesan sedang dikirim. Efek dari sebuah pesan pada penerima perilaku akan tergantung pada cara penerima merasakan situasi komunikasi, termasuk derajat dari homofili atau heterofili. Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat dipahami bahwa proses transfer informasi mengenai inovasi dalam kegiatan SL-PTT padi yang dilakukan melalui komunikasi antara petani dan penyuluh bisa saja mengalami hambatan dari tingkat kehomofilian antara petani dan penyuluh. Hambatan-hambatan yang terjadi harus ditelusuri lebih mendalam. Penelusuran tersebut diharapkan dapat menemukan jawaban tentang cara meminimalisasi hambatan-hambatan yang terjadi sehingga proses komunikasi pada kegiatan SL-PTT padi akan menjadi lebih efektif. Komunikasi yang efektif di antara petani dan penyuluh sebagai perantara pemerintah diharapkan akan mampu menciptakan iklim komunikasi yang baik untuk mencapai kepentingan bersama antara petani dengan pemerintah.
Masalah Penelitian Dalam upaya mempertahankan swasembada beras, pemerintah melalui Dinas Pertanian terus berupaya menyusun program-program yang mampu mendorong peningkatan produktivitas padi dan kesejahteraan petani. SL-PTT padi merupakan salah satu program yang diluncurkan pemerintah saat ini. Progam SL-PTT padi ini dilaksanakan di setiap daerah yang memiliki potensi menghasilkan beras, baik yang sudah mampu berswasembada beras maupun yang belum berswasembada beras. Inovasi padi yang masuk ke desa dalam bentuk penyuluhan melalui kegiatan SL-PTT padi sebenarnya bukan merupakan hal baru. Pengalaman masa lalu menunjukkan
bahwa
program-program
penyuluhan
sebelumnya
pada
kenyataannya hanya bertujuan meningkatkan produktivitas, parsial, tidak memberikan pelayanan terpadu, belum partisipatif atau cenderung top down, hanya semata-mata sebagai bentuk alih pengetahuan dan bukan menghasilkan pengetahuan. Kelahiran dari program SL-PTT padi diharapkan mampu untuk menggugurkan masalah-masalah yang dihadapi oleh penyuluh sehingga peningkatan kesejahteraan petani dan produktivitas padi dapat dicapai. Proses komunikasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam kegiatan penyuluhan. Prinsip utama dalam komunikasi antar manusia adalah tingkat kesamaan antara manusia yang berkomunikasi. Rogers dan Shoemaker (1971) menjelaskan tingkat kesamaan tersebut sebagai tingkat kehomofilian dalam komunikasi. Rogers dan Bhowmik (1971) mengkonseptualisasikan homofili atas dasar pengukuran menjadi dua tingkatan, yaitu: (1) subyektif, yaitu tingkatan kesamaan antara sumber atau penerima dalam memandang suatu obyek; dan (2) obyektif, yaitu tingkat kesamaan diamati dari karteristik antara sumber dan penerima. Keberhasilan kegiatan SL-PTT ini dapat ditentukan oleh proses komunikasi di antara penyuluh dan petani. Tingkat homofili petani dan penyuluh diduga dapat mempengaruhi terciptanya komunikasi yang efektif antara penyuluh dan petani sehingga akan mempengaruhi tingkat penerapan inovasi dari petani. Berdasarkan
latar
belakang
dan
identifikasi
masalah
yang
telah
dikemukakan, maka permasalahan yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut:
(a) Bagaimana tingkat homofili petani dan penyuluh dalam kegiatan SL-PTT padi? (b) Bagaimana tingkat penerapan PTT padi petani dalam kegiatan SL-PTT padi? (c) Bagaimana pengaruh tingkat homofili obyektif petani dan penyuluh dengan tingkat homofili subyektif petani dan penyuluh dalam kegiatan SL-PTT padi? (d) Bagaimana pengaruh antara tingkat homofili obyektif dan homofili subyektif petani dan penyuluh dengan penerapan inovasi PTT padi? Tujuan Penelitian (a) Mengkaji tingkat homofili petani dan penyuluh dalam kegiatan SL-PTT padi (b) Mengkaji tingkat penerapan PTT padi oleh petani dalam kegiatan SL-PTT padi (c) Menganalisis pengaruh tingkat homofili obyektif petani dan penyuluh dengan tingkat homofili subyektif petani dan penyuluh dalam kegiatan SL-PTT padi (d) Menganalisis pengaruh tingkat homofili obyektif dan subyektif petani dan penyuluh dengan penerapan inovasi PTT padi
Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai informasi bagi peneliti lain yang berminat dalam penelitian sejenis dan sebagai informasi dan masukan bagi pihak terkait dalam hal ini para penyuluh, para aktivis pemberdayaan masyarakat, dan para pengambil kebijakan.