I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Secara historis, konsep zakat1 muncul dari wahyu yang diturunkan oleh Allah melalui Rasul-Nya Muhammad SAW. Wahyu ditafsirkan oleh Muhammad SAW, sebagai manusia yang dipercaya dalam tuntunan kenabian, sehingga zakat yang dipahami oleh beliau, dipercaya kebenarannya. Ketika zakat dikonstruksi dalam satu pemahaman di bawah kontrol kuasa Muhammad SAW sebagai nabi, pengetahuan zakat disosialisasikan dan diterima serta dipahami secara seragam oleh umat. Namun belakangan dalam diskursus tentang zakat muncul konstruksi pemahaman yang berbeda-beda. Apalagi ketika wacana zakat disuarakan dalam ruang civil society, negara dan swasta. Zakat dalam konteks civil society, disuarakan dalam wacana keshalehan, kedermawanan, dan kepedulian sosial. Zakat dalam konteks negara disuarakan dalam wacana pembangunan dan pengentasan kemiskinan. Sementara zakat dalam konteks industri (swasta) disuarakan dalam wacana pemberdayaan dan social responsibility. Lahirnya sebuah warna yang menafsirkan fenomena dalam perspektif sosiologis,
oleh
Foucault
diasumsikan
sangat
terkait
dengan
kekuatan
pengetahuan dan kekuasaan yang bekerja dalam masyarakat. Mengaitkan wacana zakat dengan pemikiran Foucault tentang Pengetahuan dan Kekuasaan (Foucault, 1984 dan Mills, 2007), maka pemahaman zakat yang berbeda dalam ruang civil society, negara dan industri/swasta, menunjukkan adanya perbedaan pengetahuan dan
kekuasaan
yang
bekerja membentuk,
mewarnai dan
mengarahkan pemahaman zakat dalam tiga ruang sosial tersebut. Bekerjanya pengetahuan oleh Foucault (1985) dilihat sebagai proses yang menghasilkan kekuasaan, dan kemudian kekuasaan secara bersamaan akan 1
Secara bahasa zakat berarti tumbuh, bersih, berkembang dan berkah. Sedangkan menurut terminologi syari'ah zakat berarti kewajiban atas harta atau kewajiban atas sejumlah harta tertentu untuk kelompok tertentu dan dalam waktu tertentu. Kewajiban atas harta yang bersifat mengikat seorang yang membayar zakat karena keimanannya niscaya akan memperoleh kebaikan yang banyak. Allah berfirman dalam surat At-Taubah ayat 103, artinya: "Pungutlah zakat dari sebagian kekayaan mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka". Menurut al-Mawardi dalam Yusuf Qardhawi, kata zakat selalu disamakan dengan shadaqah, keduanya berbeda nama , namun punya makna sama. Lihat Yusuf`al-Qardhawi (1418 H/1997 M), lihat juga QS. At-Taubah (9): 58, 60 dan 103. Zakat sebagai shadaqah wajib dan shadaqah sendiri adalah sunnah. Menurut UU No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, zakat adalah : harta yang wajib disisihkan oleh orang muslim atau badan yang dimiliki oleh orang muslim sesuai dengan ketentuan agama untuk dib erikan kepada yang berhak menerimanya (Anonim. 2007).
2
membentuk pengetahuan. Pengetahuan dan kekuasaan menurut Foucault saling melahirkan, dan tidak ada pengetahuan tanpa kekuasaan, begitu pula sebaliknya (Mills, 2007). Kekuasaan selalu menyertai pengetahuan dan terkadang merupakan hasil reproduksi dari pengetahuan. Selanjutnya penguatan kekuasaan ditopang dan diperkokoh oleh dukungan pengetahuan sebagai legitimasi dan justifikasi ilmiah. Perluasan apapun dari satu pengetahuan sistematis, selalu melibatkan perluasan relasi kekuasan dalam masyarakat, dan terlihat dalam bentuk kontrol sosial. Bagi Foucault, pertumbuhan satu pengetahuan berkorespondensi dengan peningkatan kontrol sosial dan politik terhadap kumpulan massa yang tertawan dalam ruang sebuah rezim pengetahuan (Turner, 1983). Sebuah pengetahuan akan melahirkan kategori-kategori yang membedakan dan membatasi satu dengan yang lainnya, dan membuat yang satu terbatasi, terkuasai dan terarahkan oleh yang lainnya. Pengetahuan sistematis bisa dipandang sebagai rancangan kerja, penelaahan, taksonomi dan tipologi yang meletakkan individu dalam ruangruang teoritis, sebagaimana dinyatakan Foucault bahwa: Psikiatri ilmiah berkoresponden dengan asylum (Foucault, 1967), pengobatan klinis dengan rumah sakit (Foucault, 1973), penologi dengan penjara (Foucault, 1977), dan diskursus seks dengan pengakuan dosa (Foucault, 1985). Pengetahuan terkait dengan kekuasaan, tidak hanya menganggap otoritas ―kebenaran‖, tetapi memiliki kekuatan untuk membuat dirinya benar. Semua pengetahuan, sekali diterapkan di dunia nyata, memiliki efek, paling tidak ―menjadi benar‖. Pengetahuan digunakan untuk mengatur perilaku orang lain, menjadi peraturan dan praktek pendisiplinan yang mengandung hubungan kekuasaan. Tidak ada hubungan kekuasaan tanpa konstitusi korelatif dari bidang ilmu pengetahuan, atau pengetahuan apapun selalu mengandaikan dan merupakan relasi kekuasaan (Foucault, 1977). Senada dengan Foucault, maka warna wacana zakat dalam ruang civil society, negara, dan industri swasta, merupakan fenomena di mana pengetahuan dan kekuasaan dalam masing-masing ruang tersebut telah bekerja, membentuk dan mewarnai bagaimana zakat dipahami dan pemahaman itu dibangun dalam ruang kuasa pengetahuan siapa. Kemudian terwujud dalam bentuk tindakan zakat yang diarahkan oleh satu sistem pengetahuan dan kekuasaan, menjadi pengarah yang dikendalikan oleh aktor-aktor (aparat) sebagai perwakilan institusi,
3
yang di dalamnya sarat dengan kepentingan. Pada civil society, zakat terkait erat dengan agamawan, pada negara, zakat terkat dengan aparat, dan pada industri, zakat terkait dengan pengusaha. Artinya bagaimana pengetahuan dikonstruksi dan dimainkan dalam memproduksi kekuasaan atau sebaliknya kekuasaan memproduksi pengetahuan dalam ruang-ruang sosial yang memberikan warna terhadap konstruksi pengetahuan dan kuasa zakat, begitu terkait dengan rezim pengatahauan apa, oleh siapa dan untuk apa? Memahami
zakat
sebagai praktek distribusi kesejahteraan
(shared
prosperity), maka seketika zakat mempertemukan tiga kelompok orang yang terlibat dalam peraktek zakat dengan konstruksi pengetahuan zakat yang berbeda. Amil2 dengan tuntutan kewajiban sebagai sebagai pengelola zakat, muzakki3 dengan kewajiban membayar zakat dan mustahik4 dengan haknya untuk menerima zakat, kesemuanya terkadang memandang zakat dalam ranah pengetahuan dan konstruksi yang berbeda. Tujuan perintah zakat memang sama dipahami sebagai ibadah untuk menjalin relasi antar struktur yang secara sosial, ekonomi, dan politik selalu berada pada sisi yang berbeda dan berlawanan (Kuntowijoyo, 1991). Namun ketiga kelompok tersebut dalam memandang zakat selalu terkait dan dipengaruhi dengan realitas diri dan perbendaharaan pengetahuan mereka, sehingga zakat difahami dan dikonstruksi secara berbeda. Memaknai zakat sebagai wujud solidaritas sosial, merupakan pemaknaan yang menonjol dalam wacana zakat sebagai mekanisme distribusi kesejahteraan. Memberikan sebagian harta bagi muzakki karena memiliki harta yang lebih
2
Amil dalam zakat adalah semua pihak yang bertindak mengerjakan yang berkaitan dengan pengumpulan,
penyimpanan, penjagaan, pencatatan, dan penyaluran atau distribusi harta zakat. Dalam UU No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat pada pasal 3 menyatakan bahwa : Yang dimaksud dengan amil zakat adalah pengeola zakat yang diorganisasikan dalam suatu badan atau lembaga 3 Muzakki : Orang dikenai kewajiban membayar zakat dengan syarat hartanya memenuhi nisab dan haul, atau orang atau badan yang dimiliki oleh orang muslim yang berkewajiban menunaikan zakat (pasal 1 ayat 3 UU. No. 38, tahun 1999. 4 Mustahik : Orang yang berhak menerima zakat yang terdiri dari delapan golongan, yaitu : Pertama: fakir, yaitu mereka yang tidak mampu mencukupi separuh dari kebutuhanya, tidak dapat menafkahi diri sendiri dan keluarganya selama setengah tahun. Kedua: Miskin, adalah orang-orang yang memiliki harta, namun tidak dapat memenuhi kebutuhanya selama setahun penuh. Ketiga: Amil, yaitu orang yang bertugas mengumpulkan zakat dari para muzakki, untuk dikelola dan disalurkan ke yang berhak. Keempat: Muallaf, mereka adalah orang yang masih lemah imannya, diberi zakat untuk menguatkan keimanan. Kelima: Budak, untuk membebaskan mereka dari keterkungkungan, atau membantu membebaskan diri, termasuk membebaskan tawanan Islam. Keenam: Orang-orang yang berhutang, dan tidak dapat menutupi hutangnya, mereka diberi dari zakat sesuatu yang dapat menutupi hutangnya, meski mereka kaya makanan namun tidak mampu membayar hutangnya, maka ia diberi zakat untuk sekedar menutupi hutangnya. Ketujuh: Fi sabilillah, para mujahid atau berjuang dijakan Allah, mereka diberikan zakat untuk memenuhi kebutuhan perjuangan, termasuk diantaranya adalah: orang yang menuntut ilmu syar'i. Kedelapan: Ibnu sabil, yaitu musafir yang perjalananya terputus, ia dapat diberi zakat agar dapat sampai ke negerinya.
4
kepada mustahik karena kondisi ekonomi yang kekurangan, dimaknai sebagai satu bentuk kepedulian sosial orang kaya terhadap orang miskin yang dimulai dari perintah yang wajib untuk berzakat. Di sini ditanamkan semangat bertangungjawab terhadap fenomena kemiskinan, penderitaan sesama dari mereka yang memiliki tingkat kesejahteraan yang lebih baik.
Terbangunnya
makna bahwa kemiskinan sebagai akibat dari adanya orang yang memiliki tingkat kesejahteraan berlebih, sehingga mereka yang sejahtera wajib memperhatikan saudaranya yang miskin. Konseptualisasi keadilan sosial (social equality) dalam wacana zakat, selalu dikaitkan dengan konsep Rowls (1999), yang menyarankan bahwa keadilan sosial bukan berada pada individu-individu melainkan pada pranatapranata sosial yang diterima, disepakati dan kemudian bekerja dalam semua lapisan (Rowls, 1999). Pranata tersebut bertanggungjawab atas distribusi tiga ‖maslahat utama‖ (primary goods) secara adil yang meliputi ‖kebebasan dan kesempatan‖ (liberty and opportunity), ‖pendapatan dan kekayaan‖ (income and wealth), dan basis sosial harga diri (social basic of self respect). Manakala distribusi tidak adil, maka harus ada kompensasi untuk orang banyak terutama untuk kelompok yang tidak berdaya. Terbangunnya sebuah pemahaman zakat, jika dipahami dalam pandangan Berger (1967 dan 1990) digerakkan melalui tiga momen, yaitu: momen objektivasi, internalisasi dan eksternalisasi, yang prosesnya terjadi secara terus menerus dan berdialektika dalam pemahaman, keyakinan dan tindakan yang dipengaruhi oleh pengetahuan dan kekuasaan yang bekerja pada aras kognitif. Jika Foucault (2002) tentang pengetahuan dan kekuasaan dipertemukan dengan teori konstruksi sosial ala Berger (1967), maka akan memunculkan pertanyaan tentang: bagaimana pengetahuan dan kekuasaan dikonstruksi? Pengetahuan apa dan dikuasai oleh siapa? Atas kepentingan siapa dan untuk apa? 1.1.1. Zakat dalam Perspektif Pembangunan Wacana tatakelola zakat di Indonesia, dari waktu ke waktu menunjukkan ada pergeseran dinamis dan bersinergis dengan pengetahuan dan kekuasaan uang membangun pemaknaan terhadap kewajiban dan potensi zakat. Pada masa penjajahan, zakat dianggap sebagai potensi ancaman bagi penjajah karena bisa menjadi sumber kekuatan para pemimpin agama untuk melawan penjajah, maka
5
tatakelola zakat kala itu diintervensi, dibatasi dan dikooptasi oleh penjajah untuk mengebiri dan melumpuhkan agamawan dan mengalihkan kekuatan itu pada penghulu tanpa gaji (Anshori, 2006). Di sini awal tatakelola zakat dintervensi oleh kekuasaan di luar kelembagaan lokal dan bersentuhan dengan pengetahuan sekuler. Tatakelola zakat di sini masuk dalam ruang sistem kuasa dan kontrol manajemen pemerintah kolonial berbasis sains dan membatasi ruang agamawan dan mengenyampingkan budaya lokal. Tatakelola zakat pada awal kemerdekaan, kembali ke pangkuan kuasa agamawan berbasis pengetahan lokal dan hasilnya menjadi sumber pendanaan bagi penyiaran agama, membantu kaum lemah dalam skala lokal dan menjadi sumber pembiayaan pembangunan fasilitas ibadah dan pendidikan agama. Di sini agamawan (kiyai) memegang kuasa penuh dalam tata kelola zakat tanpa adanya campur tangan pemerintah. Agamawan mengemban kuasa secara individu melekat dalam perannya sebagai imam atau guru agama. Oleh agamawan pengetahuan zakat masyarakat dibangun, diarahkan, dan dikontrol dalam ruang kuasa pengatahuan agama melalui masjid dan madrasah. Pengetahuan zakat kala ini berorietasi nilai, sehingga zakat lebih dipahami sebagai fenomena asketik dan altruis. Wacana tatakelola zakat kembali berubah tahun 1950-an, yang ditandai dengan munculnya ide tatakelola zakat negara, dengan mewacanakan zakat sebagai salah satu sumber keuangan negara (Ali, 1988). Untuk pertama kalinya, wacana dimunculkan dalam majalah al-Hikmah oleh Mr. Jusuf Wibisono, yang pada saat itu menjabat menteri keuangan. Ketika ini zakat dilihat sebagai fenomena agama yang memiliki potensi ekonomi bagi pemerintah. Wacana memasukkan tatakelola zakat dalam ruang negara di sini, terkait erat dengan wacana membangun negara Islam Indonesia. Namun karena dalam ruang politik negara, kekuatan Islam yang memperjuangakan zakat, selalu berhadapan dengan kelompok partai komunis dan nasionalis liberal yang tidak menginginkan Indonesia menjadi negara Islam. Akibatnya tatakelola zakat tetap berada dalam ruang kuasa agamawan lokal berbasis budaya masjid dan pesantren/madrasah. Perubahan signifikan tatakelola zakat, dimulai ketika dibentuknya Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila (YABMP) pada tahun 1982, menjadi lembaga pengelola infak dan shadaqah dari para PNS, ABRI-Polri di bawah kepemimpinan presiden Soeharto (Anshori, 2006). Yayasan ini merupakan lembaga pengelola
6
infak dan shadaqah berskala nasional yang pertama di tanah air dan menjadi cikap bakal lahirnya wacana tatakelola zakat negara. Pengelolaan Infak dan shadaqah di sini sangat berbeda dengan pola pengelolaan sebelumnya, di sini kuasa tidak lagi ditekankan pada kuasa personal seperti pada agamawan, namun telah beralih dalam sistem administrasi kelembagaan modern. Mekanisme pun berubah, kalau sebelumnya pemanfaatan dana melalui mekanisme langsung dengan sang agamawan secara personal, Tapi pada lembaga YABMP, proses lebih diwarnai oleh mekanisme administrasi dan birokrasi modern yang melekat dengan sistem pemerintahan. LAZ Komunitas
LAZ Swasta
BAZ Negara Technocratism
Naturalism
Gambar 1 : Inisiasi Perkembangan Kelembagaan Zakat dan Tatakelola Zakat Pada gambar 1 terlihat bahwa ada tiga model lembaga tatakekola zakat yang jika dipetakan mengerucut pada dua aliran besar yang posisinya berada pada dua sisi yang berbeda, yaitu Naturalism dan Technoratism. Sisi kiri yang beraliran
naturalism
dengan
berbasis
pengetahuan
lokal
dengan
mengetengahkan kearifan lokal, rasionalitas nilai dengan menonjolkan nilai agama dan norma budaya, kepentingan asketik dengan penekanan pada orientasi ibadah kepada Tuhan, keadilan dan kebersamaan dalam komunitas. Aliran naturalism ditandai oleh hadirnya Lembaga Amil Zakat (LAZ) berbasis komunitas.
Pada sisi kanan beraliran Technoratism dengan dengan basis
pengetahuan modern dengan mengetengahkan sains modern, rasionalitas instrumental dengan menonjolkan logika politik, kepentingan asketik dengan penekanan pada aspek pembangunan dengan orientasi kekuasaan dan keamanan negara, yang ditandai dengan kehadiran Badan Amil Zakat (BAZ) berbasis Negara. Pada posisi kanan tengah muncul LAZ Swasta dengan basis pengetahuan modern yang mengetengahkan sains modern, rasionalitas instrumental dengan menonjolkan logika ekonomi, dengan kepentingan asketik yang penekanannya pada pemberdayaan dengan orientasi profit atau utility maximization.
7
Lembaga Amil Zakat (LAZ) komunitas, merupakan wujud tatakelola zakat warisan sejarah, yang menerapkan pengelolaan zakat dalam komunitas dengan basis budaya lokal di bawah kuasa kelembagaan lokal berupa masjid dan madrasah. Di sini zakat dipercaya mengandung nilai sakral dan murni ritual beragama. Kehangatan sosial (social warmness) dalam relasi muzakki, amil dan mustahik, mewarnai peratek ritual tatakelola zakat komunitas yang muncul dari kepentingan ibadah, keadilan dan kebersamaan yang muaranya
pada
kenyamanan hidup bersama. Sedangkan pada LAZ swasta dan BAZ negara, merupakan perkembangan kelembagaan tatakelola zakat terakhir berbasis sains modern, di bawah kuasa kelembagaan modern (negara dan swasta). Zakat di sini dipandang sebagai ajaran agama yang memiliki potensi politik dan ekonomi. Relasi sistemik yang diwarnai dengan hubungan birokrasi antara muzakki, amil dan mustahik, mewarnai praktek tatakelola zakat negara dan swasta, hal ini muncul dari kepentingan pembangunan dan pemberdayaan ekonomi yang muaranya pada penguatan kekuasaan. Terjadi pergeseran sistem tatakelola dari sistem kerja lembaga lokal yang menonjolkan kepercayaan secara personal ke sistem kerja lembaga modern yang menonjolkan administasi dan birokrasi. Legitimasi yang dibangun di atas bangunan kepercayaan masyarakat luas di bawah pengawasan bersama, beralih dan dirampas oleh sistem administrasi dan birokrasi kelembagaan formal. Zakat yang tadinya sebagai instrumen pengamanan konsumsi (ekonomi survival) begeser menjadi instrumen pengamanan politik, pertanggungjawaban sosial dan kesejahteraan. Makanya kemudian dalam literatur Barat seringkali konsep zakat disandingkan dengan konsep charity atau dikategorikan sebagai philantrophy. Perkembangan wacana tatakelola zakat paling signifikan adalah lahirnya UU No. 38 tentang pengelolaan zakat, yang disertai munculnya berbagai macam institusi tatakelola dan gerakan sadar zakat (Bamualim, 2006). Mulai dari negara, industri swasta, LSM, hingga gerakan zakat di masjid atau zakat komunitas. Keragaman institusi ini merupakan satu perwajahan bahwa gerakan zakat telah begitu berkembang dan dianggap memiliki potensi luar biasa (ekonomi, politik dan sosial). Potensi-potensi tersebut mucul dari logika ragam rezim pengetahuan dalam wacana zakat. Akibatnya wacana zakat digerakan oleh ragam basis rasionalitas yang disertai dengan ragam kepentingan.
8
1.1.2. Zakat dan Pembangunan Pedesaan Relevansi zakat dan pembangunan pedesaan terkait erat dalam ruh zakat dan sasarannya, yaitu: Pertama, zakat didistribusikan untuk memberdayakan orang miskin (al-masaakin). Masalah al-masaakin merupakan fenomena yang berhubungan dengan masyarakat petani di desa. Kedua, dengan menggunakan kerangka berfikir Iris Young (Mullaly, 2002) bahwa: petani Indonesia adalah orang yang tertindas dan terpinggirkan di negeri ini. Kondisi ini mencerminkan para petani sebagai budak dalam bangunan sistem sosial (fi al-riqâb). Al-Qur'an (9: 60) menyebutkan bahwa budak sebagai salah satu dari delapan penerima zakat, bukan sebaliknya. Ketiga, kaum tani Indonesia diperlakukan
tidak adil
dalam sistem sosial-ekonomi. Zakat diatur untuk membangun keadilan sosialekonomi dan pembagian yang adil atas kekayaan dalam masyarakat. Instrumen ekonomi Islam menentang konsentrasi modal dan kekayaan serta kesejahteraan dalam masyarakat. Dengan demikian maka posisi petani dan masyarakat pedesaan merupakan sasaran yang paling tepat bagi pemanfaatan dana zakat. Zakat dalam sejarah perjuangan civil society, telah mengukir prestasi yang mengagumkan dan telah membuktikan bahwa zakat telah menjadi sumber penguatan komunitas. Di pedesaan masa lampau, zakat sebagai praktek ibadah benuansa sosial ekonomi, ternyata telah mampu menjadi perekat relasi antara masyarakat kaya dan miskin serta dengan para elit. Di pedesaan masa lalu, zakat menjadi sumber pembiayaan bagi penyediaan fasilitas sosial agama dan pendidikan, yang terbukti dengan banyaknya rumah-rumah ibadah dan pondok pesantren yang terbangun dengan menggunakan dana zakat (Abdallah, 2005). Di samping itu zakat memang tidak nyata telah memberikan sumbangan bagi pemberdayaan ekonomi masyarakat pedesaan, namun setidaknya di sana zakat telah menjadi bagian dari social security system dalam masyarakat pedesaan dalam kaitannya dengan kebutuhan dasar (subsisten) masyarakat miskin. Zakat adalah ide tentang kepedulian terhadap fakir miskin; gagasan untuk mempromosikan martabat kaum dhuafa agar kodrat kemanusiaannya tidak ternodai. Karenanya redistribusi kekayaan kepada golongan lemah ini hendaknya dilakukan dengan komitmen moral, bertanggungjawab dan profesional. Distribusi zakat secara inter-personal menjadi persoalan, makanakala memang bisa membangun relasi yang hangat tanpa harus mengeksploitasi, mengerdilkan atau
9
mensubordinasi kaum lemah, karena yang terpenting adalah melindungi martabat si penerima zakat serta mencegah langgengnya relasi kuasa antara si kaya-si miskin sebagai tema sentral zakat. Dengan demikian, keikhlasan kaum dermawan serta kemurnian imannya terpelihara dengan baik, sebagai wujud terbangunnya relasi sosial yang suci, hangat dan egaliter antara kaum kaya dan kelompok miskin. 1.1.3. Zakat dalam Arena Kekuasaan Mas'udi (1991 dan 1993) pernah menyatakan bahwa: ada perbedaan mendasar tatakelola zakat di tangan kaum tradisionalis dengan kaum modernis. Kalau kelompok tradisionalis memberikan kepatuhannya pada "ajaran" melalui perantara otoritas personal yang melekat pada tokoh ulama atau kiyai. Kelompok modernis menyalurkan kepatuhannya kepada "ajaran" melalui perantara berupa otoritas impersonal yang ada pada institusi atau organisasi. Kalangan tradisionalis memanfaatkan zakat umumnya untuk membangun sarana-sarana formalisme keagamaan seperti: tempat ibadah, pusat penyebaran, pewarisan ajaran dan upacara-upacara keagamaan. Sementara kaum modernis untuk membangun sarana fisik yang relatif lebih megah seperti : perkantoran, masjid, sekolahan, rumah sakit dan asrama-asrama panti. Sarana-sarana tersebut cenderung untuk dikomersilkan dalam melayani kepentingan kelas menengah ke atas, ketimbang masyarakat lapisan bawah (Masudi, 1991 dan Miftah, 2005). Keduanya menunjukkan adanya perbedaan
kepentingan dan
memberikan keuntuangan yang pada kelompok berbeda. Banyak kajian zakat yang memperlihatkan besarnya potensi zakat, seperti Hafidhuddin (2001 dan 2005), degan potensi ekonomi mencapai Rp. 19 triliun pertahun.
Pusat Studi Budaya dan Bahasa (PBB) UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, menyatakan potensi zakat mencapai angka Rp 19,3 triliun per tahunnya (Anonim, 2005) dan
Elfindri (2002), potensi zakat sektor perikanan laut di
Indonesia dari data BPS 2001 minimal Rp. 1,05 triliun per tahunnya (Anonim, 2007).
Besarnya
potensi
zakat
tersebut,
memicu
munculnya
wacana
pemberdayaan berbasis zakat dan membidani lahirnya ragam lembaga penggalangan dana zakat secara modern dan inovatif, sebagaimana layaknya lembaga filantropi modern (direct mail, media campaign, membership, special event) (Idris, 1987, dan Bamualim dkk. ed. 2005). Misalnya Yayasan Dompet
10
Dhuafa Jakarta, Yayasan Dana Sosial Al-Falah (YDSF) Surabaya, Yayasan Daar al-Tauhid (DT) Bandung, Pos Keadilan Peduli Umat (PKPU) Jakarta, dan Dompet Sosial Umul Quro (DSUQ) Bandung. Badan usaha bisinis tak ketinggalan melakukan penggalangan zakat, seperti : PT. Garuda, PT. Pertamina, dan PT. Semen Padang. Menjamurnya LAZ (Lembaga Amil Zakat) pada satuan ruang negara, korporasi dan masyarakat, jika dipetakan akan memperlihatkan tiga model lembaga amil zakat yang bermain dan berjuang memperebutkan legitimasi dari umat (masyarakat zakat), yaitu : negara, industri dan komunitas. Kehadiran negara di sini erat kaitannya dengan sejarah perkembangan Islam dan relasinya dengan negara yang secara historis memang menempatkan kekuasaan tatakelola zakat di tangan khalifah (negara) (Idris, 1997). Negara dengan
logika kekuasaan (politik), mengembangkan wacana
bahwa zakat sebagai hak kuasa negara dan membangun logika bahwa zakat hanya bisa berjalan optimal dengan campur tangan negara, karena negara memiliki berbagai perangkat kekuasaan yang bisa mengkondisikan ruang dengan efektif. Landasan negara di sini diwarnai etika politik. Tatakelola zakat kemudian oleh negara di sini dipandang sebagai fenomena tindakan rakyat yang harus di bentuk, arahkan, dikondisikan dengan perangkat kekuasaan. Akibatnya praktek zakat menjadi bagian dari praktek bernegara di samping praktek beragama. Konsep kewajiban ajaran berzakat serta merta menjadi konsep yang legal dalam sistem negara, untuk memaksakan kehendak dengan alasan optimalisasi zakat. Memasukkan tatakelola zakat dalam ruang negara, menjadikan negara sebagai penguasa ruang tatakelola zakat, dengan mekanisme politik melalui kekuatan administrasi dan birokrasi negara. Di sini kemudian negara memiliki legalitas menentukan legal dan tidaknya sebuah sistem tatakelola zakat. Pada saat yang bersamaan negara juga seketika mendapatkan legalitas kuasa tatakelola dengan menggunakan instrumen hukum formal sebagai yang berkuasa, dan layak dipatuhi demi azas legalitas hukum dan politik. Kehadiran civil society dalam wacana zakat, merupakan hasil dari diskursus tentang relasi agama dan negara dalam konteks negara nasional modern dan diskursus demokratisasi bias Barat yang menonjolkan penguatan masyarakat dan komunitas (Culla, 2006). Lembaga Amil Zakat (LAZ) berbasis civil society (komunitas) menekankan logika dan kekuasaan budaya lokal sebagai kekuatan di
11
luar struktur negara, berbasis pengetahuan lokal dengan dukungan komunitas dan legitimasi kelembagaan lokal. Zakat melebur dalam masyarakat sebagai tindakan kolektif
dan sebagai salah satu kekuatan civil society, yang telah
terbukti mampu menjaga netralitas, peran dan eksistensinya dalam membantu (bahkan mengambil) beberapa peran negara dalam merealisasikan kemakmuran warga negara (Sadili, 2006). Out put-nya pun mampu menciptakan kemandirian umat, karena tatakelola zakat yang dilakukan tidak tergantung pada peran pemerintah. Ketika zakat berada dalam ruang komunitas, kelembagan zakat merupakan instrumen penguatan masyarakat milik bersama (public good) dan menjadi media penciptaan suasana sosial yang hangat antara struktur ekonomi atas dan bawah. Zakat dipratekkan sebagai tindakan kolektif, yang terumuskan dalam kepentingan beberapa aktor secara rasional, untuk mencapai suatu common interest. Namun keadaan ini hanya tercipta dalam suatu situasi dan kondisi yang sangat tergantung pada kekuatan aktor, insentif, dan unsur paksaan. Terbangunnya kepentingan bersama akan memunculkan motivasi bertindak secara kolektif untuk mencapai kepentingan bersama. Namun yang paling mengkhawatirkan di sini adalah kemungkinan munculnya kelompok mayoritas yang akan merajalela dan mengeksploitasi kelompok minoritas. Karena tindakan kolektif selalu lebih efektif jika dilakukan dalam kelompok relatif kecil dan homogen, dari pada kelompok yang besar dan beragam (Olson, 1971). Tatakelola zakat komunitas mampu menjadi praktek tindakan kolektif ketika ada usaha dari dua individu atau lebih untuk memperjuangkan hasil yang diinginkan. Konsep global collective action timbul dari adanya kebutuhan untuk merealisasikan kebutuhan bersama, yang sering disebut sebagai human security, dengan pemahaman bahwa mengatasi bahaya dan ancaman bukan hanya dominasi negara, tapi juga menjadi kewajiban seluruh umat manusia (peoplecentered view). Dominasi tatakelola zakat dalam konteks ini bukan hanya dalam artian politik, tapi juga kesejahteraan, kemiskinan, dan lingkungan. Kehadiran industri (swasta/pasar) merupakan respon atas tuntutan pasar yang memunculkan moralitas lingkungan dan kemanusiaan sebagai bagian dari tuntutan
pasar,
ketimbang
tujuan
pemberdayaan
masyarakat
lemah.
Industri/kapitalis swasta berbasis pengetahuan modern dengan rasionalitas ekonomi merupakan gejala yang menarik. Kehadiran perusahaan-perusahaan
12
industri dalam arena kelembagaan zakat, pada satu sisi bisa dimaknai sebagai sebuah gejala bangkitnya kepedulian sosial terhadap ekonomi lemah, namun di sana juga secara bersamaan hadir sinyal bahwa fenomena itu sebagai respon atas tuntutan etika lingkungan. Kebangkitan semangat spiritualitas di kalangan Industri mungkin memang murni secara moral, namun erat terkait dengan kepentingan ekonomi. Wacana zakat dalam dunia swasta atau industri memungkinkan menjadi salah satu strategi ekonomi melalui simbol spiritualitas dan moralitas. Fenomena kehadiran tiga entitas sosial (negara, civil society dan industri) sebagai aktor dalam Lembaga Amil Zakat (LAZ), bermain di arena zakat sarat dengan motif-motif politik, ekonomi dan sosial budaya. Ketiga entitas sosial tersebut masing-masing berjalan dalam ruang tatakelola zakat dengan gaya dan pola masing-masing, berbeda basis pengetahuan, rasionalitas dan kepentingan. Persoalannya mungkinkah perbedaan basis pengetahuan, rasionalitas dan kepentingan bisa berjalan seiring tanpa melahirkan gesekan? 1.2. Perumusan Masalah 1.2.1. Isu-isu Kritikal Tatakelola Zakat di Indonesia Wacana transformasi pengelolaan zakat, dari manajemen tradisional menuju profesional, muncul dari semua pihak terkait (stakeholders) yang melingkupi penerapan prinsip-prinsip manajemen modern dan good governance5 seperti
membudayakan
asas
transparansi
(transparence),
responsibilitas
(responsibility), akuntabilitas (accountability), kewajaran dan kesepadanan (fairness) dan kemandirian (independency). Skala prioritas yang tepat sasaran dan distribusi yang efisien dan efektif dari dana-dana zakat ditonjolkan sebagai keunggulan kompetetitif (competitive advantage) dari lembaga amil zakat. Beberapa ide menjadi tawaran, yaitu : Pertama, Kejujuran, komitmen dan konsistensi dari para amilin dan pihak-pihak yang berwenang sangat berpengaruh dalam mobilisasi dana zakat secara optimal dari voluntary sector . Mewujudkan
5
Konsep governance untuk pertama kali muncul melalui laporan tahunan yang dibuat Bank Dunia pada 1989 dengan judul ―Sub‐ Saharan Africa: From Crisis towards Sustainable Growth‖ sebagai gagasan pemerintahan dan kegagalan model‐model pembangunan di dunia. Melalui laporan ini pula untuk pertama kalinya istilah governance diperkenalkan secara luas (Abrahamsen, 2004). Konsep governance dimaknai sebagai penggunaan kekuasaan politik untuk mengatur dan mengelola bangsa, pentingnya legitimasi politik dan konsensus bagi proses‐proses pembangunan yang berkelanjutan. Dalam rangka membangun konsensus itu, aktor‐aktor dari kelompok bisnis, pemerintah maupun civil society harus dikelola secara sinergis. Sementara, peran negara di sini tidak lagi hanya menjalankan fungsi‐fungsi regulatif, melainkan hanya menjalankan fungsi fasilitatif (Pratikno, 2007).
13
tatakelola yang baik hanya bisa ditegakkan dengan jalan melibatkan aktor-aktor non negara seluas-luasnya dan dengan membatasi intervensi pemerintah (Pratikno, 2005). Zakat adalah salah satu rukun Islam yang bicara tentang kemasyarakatan (At-Taubah (9):103), dan merupakan titipan muzakki untuk didistribusikan kepada mustahik, maka di sana sebaiknya ada kepastian akan tersalurnya dengan baik. Kedua,
transparansi
lembaga
pengelola
zakat
selaku
amil
wajib
mempertanggung-jawabkan tugasnya kepada publik, baik kepada para muzakki, mustahik maupun stakeholder lainnya. Ketiga, profesional. Pelaku pengelolaan zakat memiliki kompetensi, amanah,dan jujur. Dengan pengelolaan yang profesional, amanah muzakki tertunaikan dan mustahik mendapatkan haknya. Bergulirnya wacana zakat dan kuasa tatakelolanya yang menggunakan berbagai rumusan-rumusan teoritis ilmiah dengan berlandaskan pada kerangka rasionalitas yang berbeda-beda, bermuara pada menghangatnya diskursus zakat. Mulai dari wacana yang mengedepankan manajemen negara, industri, budaya komunitas hingga micro banking dengan alasan masing-masing yang cukup menyakinkan. Dari sini benturan gagasan bermuncul dan mewarnai wacana dan aksi zakat di tanah air, hingga melahirkan sistem tatakelola zakat yang bervariasi dalam beberapa entitas sosial (negara, industri dan komuitas). Shihab (1992) berpandangan bahwa negara bertanggungjawab atas pelayanan dan kepentingan umum. Oleh karena itu negara berhak mengelola zakat
sebagai sumber keuangan bagi negara yang dapat digunakan untuk
kepentingan umum. Namun Oleh Esposito, John L. (1995), dikatakan bahwa kedatangan kolonialisme dan diperkenalkannya sistem pemerintahan yang sekuler, membuat doktrin keagamaan menjadi tersingkirkan, termasuk zakat. Pelembagaan sistem pajak sekuler, membuat zakat mulai kehilangan peran pentingnya dalam kehidupan muslim dan menjadi sumber pendapatan negara. Masudi (1991) merupakan tokoh yang paling santer menyuarakan perjuangan untuk menyerahkan tatakelola zakat di bawah kekuasaan negara, hingga kemudian melahirkan UU No. 38 tahun 1999 tentang pengaturan dan pegelolaan zakat (Abdalla, 2005). Namun kelahiran UU ini bukan berarti kemudian menghentikan perjuangan kelompok yang menolak campur tangan negara dalam tatakelola dan kelembagaan zakat. Akan tetapi terus meningkat dan meruncing sehingga memunculkan ragam model dalam pengelolaan zakat.
14
Bergulirnya wacana tatakelola zakat dengan menawarkan tiga sistem tatakelola yaitu: pertama berbasis civil society (komunitas) dengan menonjolkan manajemen kelembagaan berbabasi budaya lokal. Model ini diunggulkan dengan alasan aspiratif karena menggunakan lembaga lokal yang telah mengakar dalam budaya komunitas. Sistem tatakelola zakat berbasis komunitas ini memang unggul jika partisipasi masyarakat dan kehangatan yang diharapkan, namun kelemahannya berpotensi lahirnya kondisi yang hegemonik dan manajemennya yang selalu dinilai kurang efektif, dan tidak efisien. Tabel 1 : Isu-isu Kritikal Lembaga Tatakelola Zakat Basis Bentuk Kelembagaan
Isu Isu Kelembagaan Ketatakelolaan
Civil Society (komunitas)
LAZ Komunitas
Komunitas berbasis budaya lokal
Negara
Baznas/Bazda Formal, berbasis negara
Isu Kritis
Aspiratif. Karena Melalui lembaga lokal (masjid, langgar dan pesantren)
Hegemoni lokal, (wacana tidak efektif dan efisien).
Efektifitas. Melalui lembaga negara dan manajemen pemerintah.
Sentralisasi, (wacana dominasi, dan politisasi)
Efisiensi. Melalui Ketergantungan, lembaga dan (wacana manajemen komodifikasi) swasta Wacana tatakelola zakat berbasis negara menonjolkan lembaganya yang
Swasta
LAZ Swasta
Swasta berbasis industri
fomal dengan dukungan negara. Model ini menawarkan tatakelola dalam kaitannya dengan pembangunan dan pengentasan kemiskinan. Model ini dianggap memiliki kelebihan pada sisi ketatakelolaannya yang dianggap efektif karena mendapatkan dukungan dari negara dan lembaga bentukan negara serta di dalam pengawalan dan pengaturan negara, hanya saja dianggap lemah dan dikritik karena dianggap sentralistik, berada dalam dominasi negara dan rawan dipolitisir untuk kepentingan kekuasaan. Wacana tatakelola zakat berbasis swasta sebagai pendatang terakhir, menawarkan konsep pemberdayaan masyarakat miskin berbasis swasta dan pertanggungjawaban sosial terhadap lingkungan sosial bagi perusahaan. Kelebihan yang ditonjolkan adalah logika efisiensi dari industri swasta yang berasal dari logika ekonomi yang selalu dianggap sebagai cara yang paling tepat
15
jika bicara tentang kemiskinan dan pemberdayaan. Meski demikian ternyata hal ini
juga
mendapatkan
kritikan
karena
dianggap
berpotensi
melahirkan
ketergantungan kaum lemah terhadap kaum kuat dan bahkan dianggap berpotensi melahirkan komodifikasi zakat. 1.2.2. Tatakelola Zakat : Antara Dominasi Negara dan Komunitas Gagasan yang menolak kuasa dan intervensi negara atas kelembagaan zakat dilatar belakangi oleh pemikiran bahwa zakat adalah ajaran agama, maka hanya negara yang menjalankan sistem agamalah yang layak mengelola zakat. Abdalla (2005) menolak negara dengan alasan politik, bahwa jika kelembagaan zakat berada di bawah kekuasaan negara, maka kekuatan civil society akan melemah karena zakat merupakan salah satu sumber kekuatan civil society. Terlihat dari banyaknya masjid, pesantren dan berbagai fasilitas keagamaan lainnya dibangun di beberapa daerah di Indonesia yang dananya bersumber dari zakat dan tanpa ada campur tangan negara. 1.2.3. Partisipasi Masyarakat Tidak Berkembang Hadirnya Dompet Duafa Republika dengan kepedulian media atas realitas kemiskinan, Pos Keadilan Peduli Umat (PKPU) Jakarta yang lahir karena empati bencana alam, Yayasan Dana Sosial Al-Falah (YDSF) Surabaya lewat spirit komunalitas masjid Al-Falah-nya. Ketiganya adalah sebagian dari bukti otentik tentang adanya dialektika zakat dan civil society. Jika zakat direbut negara, seperti yang di gagas oleh Masdar (1991), maka sama halnya mencabut kekuatan civil society. Negara memiliki kekuatan bertambah, sementara kekuatan civil society sebagai penyeimbangan akan melemah dan dikebiri (Abdalla, 2005). Pengambil alihan kuasa zakat oleh negara dari yang semula berada di tangan komunitas dan menjadi sumber kekuatan civil society, membuat peluang kekuatan civil society semakin melemah dan memberikan pengaruh pada partisipasi masyarakat dalam tatakelola zakat tidak berkembang dan bahkan berkurang. Kepatuhan berzakat yang berlangsung tidak lebih dari sekedar mengikuti sistem yang bekerja dan lebih merupakan tindakan kepatuhan semu karena bisa jadi hanya kepatuhan pada aturan positif dan paksaan negara. 1.2.4. Konstruksi Sosial Kuasa Tatakelola Zakat Masyarakat
16
Perdebatan hak kuasa atas tatakelola zakat, di latar belakangi oleh konstruksi sosial dan kepentingan terhadap kelembagaan zakat. Konstruksi sosial masyarakat
terhadap
negara,
konsep
keadilan, pemerataan
dan
pemberdayaan juga memberikan warna dalam wacana kuasa atas tatakelola zakat. Perbedaan pandangan terhadap penyelenggaraan zakat diserahkan ke negara atau diserahkan pada komunitas terkait erat dengan basis pengetahuan, budaya dan norma yang diyakini dan sebagai basis konstruksi sosial atas zakat. Berlandaskan eksistensi zakat dalam konteks civil society sebagai kekuatan politik dalam membangun kekuatan penyeimbang negara, serta tujuan filosofi
zakat
yang
bertujuan
mewujudkan
keadilan,
pemerataan
dan
kesejahteraan berbasis semangat solidaritas sosial untuk mendekatkan kaum kaya dengan kaum miskin, maka selayaknya zakat tetap berada dalam kekuasaan komunitas. 1.2.5. Dimensi Politik Tatakelola Zakat Perbedaan orientasi dan kepentingan dari tiga entitas sosial sebagai akibat perbedaan basis pengetahuan dan sistem rasionalitas dalam memaknai zakat, melahirkan wacana zakat (hak kuasa, manajemen dan distribusinya) yang berbeda, dan masing-masing berjuang keras membangun kepercayaan dengan cara masing-masing. Kondisi ini membuka peluang lahirnya konflik kepentingan atas potensi sosial politik di balik kelembagaan zakat. Persaingan antar aktor tatakelola zakat membawa implikasi pada persoalan kekuasaan yang terlihat pada wacana tatakelola zakat dan kuasa tatakelolanya terus berkembang dalam perdebatan panjang tentang meletakkan zakat dalam kekuasaan negara, kuasa komunitas, atau diserahkan kepada pebisnis, atau bahkan menjadikan zakat sebagai hak kuasa individu-individu mengelola zakatnya sendiri (Idris, 1997). Berbagai persoalan di atas semuanya
bermuara
pada
persoalan
bagaimana pengetahuan dibangun dan menjelma menjadi sebuah kekuasaan yang bekerja pada aras kognitif, membentuk kerangka berfikir hingga mengarahkan tindakan. Isu-isu kritikal tentang tatakelola zakat yang terbangun dari bekerjanya
pengetahuan
(pengetahuan lokal,
politik dan
ekonomi)
mengarahkan secara rasional mana sistem yang baik dan mana yang tidak. Persoalan dominasi tatakelola, berakibat pada lahirnya gesekan logika politik dan
logika budaya, siapa yang pantas menguasai zakat. Persoalan
17
berkembangnya partisipasi masyarakat, ini sangat ditentukan oleh sejauh mana ada kesesuaian antara logika berfikir masyarakat dengan sistem tatakelola yang ada, karena tanpa ada sinkronisasi logika antara masyarakat dengan lembaga tatakelola, yang terjadi bukan partisipasi tapi malah penolakan. Konstruksi sosial kuasa tatakelola zakat masyarakat dibentuk oleh kekuatan rezim pengetahuan yang bekerja dan mendominasi wacana zakat dalam masyarakat, begitu juga dengan dimensi politik zakat, sangat diwarnai oleh rezim pengetahuan yang mengatur dan mengarahkan rasionalitas berzakat dan tatakelolanya. Semua permasalahan di atas bermuara pada bangunan pengetahuan yang bekerja serta rezim pengetahuan yang berkuasa dalam membentuk konstruksi sosial zakat dan konstruksi sosial kuasa pengetahuan zakat. Oleh karena itu maka penting untuk menemukan: Bagaimana Konstruksi Sosial Kuasa Pengetahuan Zakat masyarakat? Untuk bisa menjawab masalah di atas diperlukan beberapa pertanyaan pengarah yaitu: 1. Bagaimana konstruksi sosial kuasa pengetahuan zakat dibentuk? 2. Bagaimana dinamika rasionalitas dan kepentingan dalam praktek zakat dan tatakelolanya dalam masyarakat? 1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menemukan ―Konstruksi Sosial Kuasa Pengetahuan Zakat ”, dengan berangkat dari pengkajian tentang beberapa hal terlebih dahulu, yaitu: 1.
Menemukan bagaimana proses konstruksi sosial kuasa pengetahuan zakat dibentuk?
2.
Menemukan bagaimana dinamika rasionalitas serta kepentingan apa yang menjadi motif tindakan berzakat dan tatakelolanya?
3.
Menemukan Konstruksi Sosial Kuasa Pengetahuan Zakat dalam masyarakat.