PENDAHULUAN Latar Belakang Dalam peta ekonomi politik Indonesia, Provinsi Nusa Tenggara Timur adalah salah satu provinsi yang masih tertinggal dari provinsi lainnya bukan saja dalam hal pembangunan fisik tetapi juga terkait dengan pembangunan dan pengembangan sumberdaya manusianya. Menurut Bank Dunia (1999), Human Development Index (HDI) Provinsi Nusa Tenggara Timur hanya 54,3 (urutan ketiga terendah secara nasional setelah Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Irian Jaya yang sekarang berganti nama menjadi Provinsi Papua). Lambannya pembangunan dan pengembangan sumberdaya manusia di provinsi kepulauan ini berdampak pada rendahnya kemampuan sosial, ekonomi, dan berbagai akses kesejahteraan lainnya sebagaimana yang dimiliki oleh warga di wilayah lain terutama di Indonesia bagian barat. Ketimpangan kebijakan pembangunan antara Indonesia bagian barat dan timur hampir di semua sektor kehidupan termasuk dalam pengembangan sumberdaya manusia menjadikan wilayah ini menjadi salah satu zona ekonomi dan sosial yang tidak kompetitif secara nasional (Sayogyo, 1994). Ketimpangan
pembangunan
antara
wilayah
di
Indonesia
telah
mengakibatkan jarak sosial dan ekonomi yang semakin lebar di antara wilayah barat dan timur. Bahkan menurut Sayogyo, sebagai subsistem sosial ekonomi, sejak tahun 1970-an, Provinsi Nusa Tenggara Timur tergolong terisolasi dari arus pembangunan ekonomi Indonesia yang dampaknya sangat terasa hingga sekarang. Isolasi sosial, ekonomi dan fisik telah menyebabkan provinsi ini tergolong sebagai provinsi yang miskin dan tertinggal. Menurut Kuncoro (2004), penduduk miskin di Provinsi Nusa Tenggara Timur sampai tahun 2001 mencapai 1.317.500.000 orang (33,01 persen dari kurang lebih 4 juta penduduk). Pada tahun 2003 pendapatan per kapita penduduk sebesar Rp. 2,2 juta/tahun atau Rp. 183.300/ bulan (BPS NTT). Keterbatasan kualitas sumberdaya manusia dan ancaman kemiskinan penduduk di Provinsi Cendana ini berjalan seiring dengan keterbatasan sumberdaya alam dengan iklimnya yang tidak menentu. Seperti tempat lain di
2 Indonesia, Provinsi Nusa Tenggara Timur mempunyai dua musim yaitu musim kemarau dan musim hujan. Pada bulan Juni-September arus angin berasal dari Australia dan tidak banyak mengandung uap air sehingga mengakibatkan musim kemarau. Sebaliknya pada bulan Desember-Maret arus angin banyak mengandung uap air yang berasal dari Asia dan Samudra Pasifik sehingga terjadi musim hujan. Namun musim hujan di Nusa Tenggara Timur berlangsung lebih singkat (Januari sampai dengan Maret dan Desember), dan 8 bulan lainnya relatif adalah kering. Keadaan ini menyebabkan Nusa Tenggara Timur tergolong wilayah yang kering dan berdampak pada merosotnya produktivitas pertanian di daerah ini (Badan Pusat Statistik Provinsi NTT, 2003). Penyebaran curah hujan di seluruh wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur juga tidak merata. Curah hujan tertinggi terdapat di Flores bagian barat, Timor bagian tengah dan Sumba Barat, yaitu antara 1200 – 3000 mm/tahun. Di Flores Timur, Alor dan Sumba Timur curah hujan rata-rata antara 800 – 1000 mm/tahun dengan jumlah hari hujan sekitar 100 – 150 hari/tahun. Rendahnya curah hujan ini juga menjadi faktor utama penyebab kurang majunya pertanian di provinsi ini selain karena keterbatasan sosial dan ekonomi masyarakatnya. Kendatipun tersedia lahan yang luas, namun jika tidak didukung oleh ketersediaan air, maka usaha pertanian tetap akan menjadi sia-sia. Dari segi ekologi dan wilayah, iklim Nusa Tenggara Timur yang lebih kering (pengaruh benua Australia) berbeda dari iklim “tropik basah” yang mencirikan sebagian besar Indonesia bagian barat. Sebagai daerah yang beriklim kering (Semi Arid), sumberdaya lahan di Provinsi Nusa Tenggara Timur didominasi oleh lahan kering. Lahan kering adalah lahan yang tidak mengalami genangan secara permanen ataupun tidak dapat digenangi air (upland). Lahan kering di wilayah ini adalah lahan kering beriklim kering, sehingga sangat berbeda dengan lahan kering beriklim basah seperti di Kalimantan atau Sumatra, yang pada umumnya terdiri dari tanah Podsolik Merah Kuning. Ciri-ciri umum lahan kering di Nusa Tenggara Timur, antara lain : (a) kandungan humus/bahan organiknya rendah sampai sangat rendah, (b) tingkat keasamannya netral, (c) solum tanahnya tipis sampai sedang, (d) keadaan tanah umumnya berbatu, (e) tekstur tanah umumnya lembung sampai liat kecuali di daerah pantai, (f)
3 kesuburan kimiawi tanah relatif masih tinggi, namun karena kekurangan air maka tingkat kesuburannya tergolong rendah (lahan marginal), dan (g) jenis tanah umumnya mediteran merah kuning, grumusal andosol, regosol dan tanah kompleks. Topografi Nusa Tenggara Timur yang umumnya terdiri dari tanah pegunungan dan daerah perbukitan serta padang luas yang tandus, kering dan tidak subur dengan intensitas curah hujan yang sangat rendah menjadi hambatan lain dalam membangun wilayah ini selain masih rendahnya komitmen pemerintah pusat dalam membuka isolasi fisik, sosial dan ekonomi yang menerpa wilayah ini dari dahulu sampai sekarang. Kebijakan pembangunan yang tidak merata antara wilayah barat dan timur Indonesia menyebabkan sebagian besar wilayah Timur Indonesia termasuk Nusa Tenggara Timur terisolasi bukan saja secara fisik tetapi juga secara sosial, ekonomi dan budaya (Sayogyo, 1994). Ketidakmerataan dalam pembangunan infrastruktur, sarana transportasi dan komunikasi menyebabkan wilayah ini sangat lamban untuk bertumbuh dan berkembang sebagaimana wilayah lainnya. Hubungan timbal balik dan saling mempengaruhi antara keterbatasan sumberdaya alam dengan kualitas sumberdaya manusia di Nusa Tenggara Timur telah menyebabkan provinsi ini tergolong sebagai salah satu wilayah yang termiskin dan tertinggal di Indonesia. Keterbatasan kemampuan kualitas sumberdaya manusia di provinsi ini berpengaruh pada keseluruhan kinerja dan etos kerja warga yang pada gilirannya berdampak pada rendahnya kesejahteraan sosial dan ekonomi. Padahal sumberdaya manusia atau human resources adalah penduduk yang siap, mau dan mampu memberi sumbangan terhadap usaha pencapaian tujuan organisasional (the people who are ready, willing and able to contribute to organizational goals) yang tidak hanya terbatas pada industri atau perusahaan, tetapi juga organisasi di berbagai bidang seperti politik, pemerintahan, hukum, sosial, budaya, lingkungan, masyarakat ataupun negara (Ndraha, 1999). Sebagai bagian dari sumberdaya manusia Nusa Tenggara Timur, Penyuluh Pertanian yang selama ini menjadi agen pemberdaya bagi petani akan berhadapan dengan kenyataan keterbatasan sosial, ekonomi, sumberdaya alam dan kualitas
4 sumberdaya manusia itu sendiri. Berbagai persoalan itu akan berpengaruh pada kinerja penyuluhan pada umumnya. Martinez (1987) mengatakan bahwa penyuluh adalah seorang profesional garis depan yang berinisiatif melakukan perubahan, membantu
masyarakat
sasaran
melaksanakan
aktivitas
usaha
taninya,
memperkenalkan dan menyebarkan ide-ide baru, mendorong partisipasi dan menyokong kepentingan masyarakat sasaran. Peran penyuluh ini terkait dengan tiga tujuan utama penyuluhan yakni bertani lebih baik (better farming), berusahatani lebih baik (better business) dan mencapai kehidupan yang lebih baik (better living). Dalam proses mencapai tiga tujuan penyuluhan ini, Dusentary (Mosher, 1971) mengatakan bahwa tugas penyuluh adalah : (1) menambah pengetahuan kepada para petani sehingga mereka menjadi cakap dan mampu berusahatani lebih baik, (2) memotivasi para petani agar mengarahkan usahataninya kepada bahan pangan yang banyak diperlukan sehingga hasil yang diperoleh lebih menjamin kehidupannya, (3) menambah pengetahuan petani tentang inovasi-inovasi baru yang berguna untuk usahataninya, (4) menumbuhkan pengetahuan petani untuk mengembangkan bakat-bakatnya di bidang usahatani, dan (5) membentuk masyarakat petani yang bangga akan usahanya, bebas dan mandiri dalam berpikir, percaya diri dan tidak bergantung pada kekuatan orang lain. Di tengah kelompok sasaran penyuluhan, penyuluh berperan dalam banyak hal seperti yang disampaikan oleh Rogers dan Shoemaker (1971) yakni : (1) mengembangkan kebutuhan untuk berubah, (2) membina hubungan untuk perubahan, (3) mengidentifikasi dan menganalisa masalah, (4) menumbuhkan rencana perubahan pada sasaran, (5) melaksanakan rencana perubahan, dan (6) menjaga kestabilan perubahan sehingga sasaran mampu mengembangkan dirinya. Dalam konteks masyarakat yang serba terbatas dan miskin sumberdaya, peranan seorang penyuluh pertanian di Nusa Tenggara Timur sangat strategis untuk melakukan aksi pemberdayaan. Persoalannya adalah sejauh mana ia memiliki kemampuan mengaplikasikan perannya secara optimal karena penyuluh pertanian hanyalah salah satu subsistem dari keseluruhan sistem yang lebih besar. Secara organisatoris, penyuluh pertanian adalah bagian kecil dari sistem organisasi pemerintahan yang besar dan kompleks. Tatkala penyuluh pertanian melaksanakan tugasnya, ia tidak melaksanakan tugas atas nama dirinya sendiri,
5 tetapi atas nama sebuah organisasi pemerintahan. Penyuluh pertanian diangkat oleh negara dengan persyaratan-persyaratan tertentu dan ketika ia diberi tugas sebagai penyuluh ia harus melaksanakan tugasnya dengan kompetensi-kompetensi tertentu yang telah ditetapkan oleh organisasinya. Karena itu tatkala seorang penyuluh pertanian melaksanakan tugasnya ia tidak hanya mengandalkan kemampuan internal individunya seperti pendidikan formal, jumlah pelatihan yang pernah diperoleh, pengalaman bekerja, motivasi dan semangat, tetapi juga dukungan berbagai faktor determinan lain seperti dukungan kebijakan, komitmen politik, dukungan lingkungan sosial dan sebagainya. Sekedar kembali mengingat sejarah masa lalu, pembangunan pertanian dan penyuluhan pertanian di Indonesia pernah mencapai puncaknya terutama di era tahun 1980-an ketika komitmen politik pemerintah sangat tinggi terhadap pembangunan ekonomi yang berbasis pertanian. Pengakuan Badan Pangan Dunia (FAO), tahun 1983 ketika Indonesia mampu menjadi negara swasembada pangan khususnya beras tidak saja pengakuan terhadap kemajuan pertanian itu sendiri, tetapi juga pengakuan terhadap kemajuan penyuluhan. Arifin (2005:11-12) mengatakan bahwa selama 16 tahun pertama masa administrasi Presiden Soeharto, sektor pertanian telah menjadi basis utama strategi pembangunan dan berperan cukup penting dalam perekonomian Indonesia. Investasi besar-besaran dalam sektor infrastruktur, sarana dan prasarana dasar seperti jalan, jembatan, bendungan, saluran irigasi dan lain-lain seakan menjadi menu dasar dalam strategi pembangunan ekonomi waktu itu. Wardoyo (1992) mengatakan bahwa keberhasilan pembangunan pertanian di Indonesia waktu itu dimungkinkan oleh dukungan dua hal penting yaitu: (1) stabilitas sosial politik dan keamanan yang sangat diperlukan dalam kegiatan pembangunan, dan (2) komitmen yang kuat baik dari pimpinan tingkat nasional dan provinsi maupun kabupaten/kota. Wardoyo menyebut enam faktor kunci keberhasilan pembangunan pertanian Indonesia itu yakni: (1) political will dari pemerintah yang tercermin dari adanya penyediaan tenaga pembangunan pertanian yang cukup dengan dana dan sarana yang memadai, (2) kebijaksanaan pembangunan pertanian yang tepat, konsisten dan berkesinambungan, (3) dianutnya kebijakan system approach yang artinya bahwa pembangunan pertanian
6 akan terlaksana dengan baik apabila faktor-faktor yang berhubungan dan berkaitan secara langsung dan tidak langsung dibangun secara bersamaan, (4) dihasilkannya teknologi pertanian dan rekayasa sosial yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat, (5) berkembangnya struktur pedesaan yang progresif, seperti penyuluh pertanian, Koperasi Unit Desa (KUD), lembaga-lembaga perkreditan, lembaga pengolahan dan pemasaran hasil pertanian, dan (6) dibentuknya suatu kelembagaan yang terkenal dengan sebutan Bimas (Bimbingan massal)
yang
mempertemukan
dan
menyinkronkan
beberapa
lembaga
pembangunan pertanian untuk dapat bekerja secara isi mengisi, saling membutuhkan dan saling menguntungkan dan
dikoordinir oleh Departemen
Pertanian, Gubernur dan Bupati/Walikota. Soedijanto (2004) mengatakan bahwa pada saat itu pembangunan pertanian yang berbasis beras itu dijadikan sektor pembangunan yang paling penting dengan pendekatan Trimatra yakni (1) usahatani terpadu, (2) komoditi terpadu, dan
(3) wilayah terpadu, melalui 4
(empat) usaha pokok yaitu: (1) intensifikasi, (2) ekstensifikasi, (3) rehabilitasi, dan (4) diversifikasi. Dari uraian di atas tampak bahwa kemajuan pembangunan pertanian dan penyuluhan pertanian di masa lalu termasuk di Nusa Tenggara Timur ditentukan oleh tiga hal utama, yaitu (1) kesiapan sumberdaya manusia (penyuluh pertanian, aparatur pemerintah, peneliti, lembaga-lembaga masyarakat dan sebagainya), (2) kesiapan kelembagaan (terstruktur dari pusat sampai dengan daerah), dan (3) dukungan politik yang tinggi (baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah). Komitmen politik ini berdampak pada kesiapan peraturan dan kebijakan, dana,
pembangunan
infrastruktur,
kelembagaan
ekonomi/keuangan
dan
sebagainya. Permasalahan Penelitian Ada tiga masalah utama yang menyebabkan penyuluhan di Provinsi Nusa Tenggara Timur mengalami stagnasi terutama setelah wewenang penyuluhan diserahkan kepada daerah dalam kerangka pelaksanaan otonomi daerah, yaitu (1) masalah rendahnya kualitas dan kesiapan sumberdaya penyuluh pertanian sebagai pembelajar/agen pembaharu bagi petani, (2) struktur kelembagaan penyuluhan pertanian yang tidak tertata rapi dari tingkat kabupaten sampai kecamatan, dan (3)
7 kurang adanya dukungan politik Pemda yang signifikan dan intensif terhadap kegiatan penyuluhan pertanian. Dari aspek sumberdaya manusia penyuluh pertanian, provinsi yang terdiri dari limabelas kabupaten dan satu kota ini hanya memiliki 1.081 orang penyuluh pertanian Pegawai Negeri Sipil, tidak sebanding dengan jumlah desa
2.585
desa/kelurahan (BPS Nusa Tenggara Timur, 2003). Perbandingan jumlah penyuluh pertanian dengan desa 1:2,4; sebagian besar penyuluh pertanian (57 persen) hanya berpendidikan SPMA (Sekolah Pertanian Menengah Atas). Di tiga kabupaten lokasi penelitian, yakni Kabupaten Kupang, Kabupaten Timor Tengah Selatan dan Kabupaten Manggarai, jumlah penyuluh pertanian juga tidak sebanding dengan jumlah desa. Kabupaten Kupang mempunyai 99 penyuluh pertanian dengan jumlah desa/kelurahan 186 (perbandingan 1:1,8); sebagian besar penyuluh pertanian (86,8 persen) berpendidikan SPMA. Kabupaten Timor Tengah Selatan mempunyai 122 penyuluh pertanian dengan jumlah desa/kelurahan 215 (perbandingan 1:1,8); sebagian besar penyuluh pertanian (85,7 persen) berpendidikan SPMA. Kabupaten Manggarai mempunyai 98 penyuluh pertanian, desa/kelurahan 254 (perbandingan 1:2,6);
sebagian besar (77,5 persen)
berpendidikan SPMA. Tingkat pendidikan sebagian besar penyuluh pertanian yang terbatas ini semakin kurang berdaya menghadapi perubahan-perubahan kemasyarakatan termasuk di bidang usahatani. Diklat yang diharapkan menjadi media pengembangan dan peningkatan kompetensi kurang memberi nilai tambah yang berarti kepada kemampuan penyuluh pertanian karena kualitas dan kuantitasnya yang terbatas. Kurikulum diklat yang selama ini diberikan kepada penyuluh pertanian masih dominan berasal dari pusat dan kurang mengakomodasi kebutuhan penyuluh pertanian dan petani di daerah. Dampak lanjutan yang terjadi adalah rendahnya kompetensi penyuluh pertanian yang berakibat pada kurang efektifnya mereka di dalam menjalankan tugas. Kurangnya dukungan politik pemda terhadap penyuluhan tampak dalam struktur kelembagaan penyuluhan yang terkesan tidak tertata secara profesional. Di tingkat provinsi, kelembagaan yang khusus menangani penyuluhan belum ada. Kegiatan
penyuluhan dan semua yang terkait dengan penyuluh pertanian
8 ditangani oleh sub Bidang Sumberdaya Manusia Badan Ketahanan Pangan Provinsi. Di tingkat kabupaten, kelembagaan penyuluhan sangat beragam bentuk dan statusnya: ada yang berbentuk ”Badan”, ”Kantor,” ”Sub Bidang”, ”Kelompok Jabatan Fungsional” dan sebagainya. Sebagian besar struktur kelembagaan penyuluhan di kabupaten/kota maksimal Eselon III dan berakibat pada rendahnya ”posisi tawar” tatkala ia berkoordinasi dengan lembaga lain yang memiliki struktur eselonering yang lebih tinggi. Struktur kelembagaan yang terbatas ini juga berakibat pada dilikuidasinya unit-unit struktur yang lebih kecil yang menangani penyuluhan dan penyuluh. Dampak dari penggabungan beberapa struktur adalah perampingan personil termasuk penyuluh yang di era otonomi daerah cenderung berpindah ke unit-unit/kantor lain dan meninggalkan tugasnya sebagai penyuluh. Penyuluhan pertanian semakin menjadi terputus karena Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) di hampir semua kecamatan di Nusa Tenggara Timur yang dahulu sebelum otonomi daerah sangat eksis dan menjadi pusat informasi jasa penyuluhan banyak yang tidak berfungsi. Ada sebagian kecamatan yang masih memiliki gedung BPP tetapi tidak ada aktivitasnya. Ada juga sebagian kantor camat yang memberikan salah satu ruangannya untuk penyuluh pertanian mengkoordinasikan tugasnya di desa-desa, namun pelaksanaan manajemennya tidak efektif. Padahal BPP adalah tempat yang strategis bukan saja bagi penyuluh pertanian tetapi juga bagi petani yang ingin mencari informasi penting terkait dengan pertanian. Slamet
(2003:59)
mengatakan
bahwa
dalam
situasi
yang
tidak
menguntungkan itu motivasi kerja para penyuluh pertanian turun secara deras, sampai banyak yang terbukti tidak menjalankan tugasnya lagi. Hal ini makin dimungkinkan karena tidak adanya program-program penyuluhan yang wajib mereka lakukan di lapangan. Sebagian penyuluh pertanian mengerjakan pekerjaan-pekerjaan sampingan yang dapat menghasilkan tambahan penghasilan. Ada yang tetap melayani kebutuhan-kebutuhan petani “binaannya” dengan dukungan “biaya” dari para petani, dan ada pula yang “lari” dari wilayah kerjanya. Dari penelitian ditemukan adanya kelompok-kelompok tani yang mengaku telah 1-2 tahun ini tidak pernah bertemu dengan penyuluh pertanian
9 yang bertugas di wilayahnya, tanpa mengetahui kemana perginya penyuluh pertanian itu. Dari aspek penyelenggaraan penyuluhan, ditemukan berbagai persoalan seperti ketidakmampuan penyuluh pertanian menyusun
program penyuluhan
pertanian oleh karena ketidakjelasan pelaksanaan kebijakan penyuluhan. Hal ini sangat terasa di era kejatuhan Orde Baru tahun 1998 sampai dengan tahun 2003. Pada masa-masa transisi ini penyuluhan sama sekali tidak berjalan dan semua penyuluh pertanian menunggu dalam ketidakjelasan. Mardikanto mengatakan bahwa kegiatan penyuluhan pertanian oleh pemerintah tak diminati masyarakat. Penyebabnya bukan hanya lemahnya profesionalisme penyuluh pertanian, tetapi karena kebijakan pemerintah yang berubah-ubah dan kian beragamnya kegiatan penyuluhan oleh berbagai pihak. Peran penyuluh pertanian pemerintah mulai memudar dan mencapai titik terparah saat penyuluhan pertanian diserahkan ke daerah karena desentralisasi (Kompas, 27 Januari, 2006:22). Selain permasalahan-permasalahan di atas, kompetensi penyuluh pertanian yang ada juga sudah tidak memadai sesuai dengan dinamika perubahan yang ada. Pada umumnya Penyuluh Pertanian yang ada terbiasa dengan budaya petani produsen. Warna penyuluhan yang diberikan kepada petani ini lebih mengarah ke usahatani. Sementara dalam perkembangannya, sebagian petani telah melangkah maju menjadi petani pengusaha dengan budaya bisnisnya. Karena itu penyuluhan pertanian telah bersifat agrobisnis dan agroindustri. Hal itu berarti ciri khas penyuluhan pertanian itu telah berubah menjadi penyuluhan agribisnis. Kesenjangan kompetensi ini mengakibatkan banyak program penyuluhan baik yang ada di kabupaten/kota, kecamatan, apalagi desa tidak bisa disusun dan dilaksanakan dengan baik. Kompetensi Penyuluh Pertanian yang kurang memadai ini pada gilirannya menghasilkan output penyuluhan yang tidak memuaskan kelompok sasaran. Di tingkat petani saat ini ada sikap acuh terhadap penyuluh (Soedijanto, 2004: 49). Berdasarkan latarbelakang dan permasalahan di atas, maka pertanyaan penelitian yang dapat dikemukakan adalah sebagai berikut: (1) Faktor-faktor apa saja yang menentukan/berpengaruh terhadap kompetensi penyuluh pertanian?, (2) bagainana pengaruh kompetensi terhadap kinerja penyuluhan? 3) Bagaimanakah
10 kaitan antara karakteristik individu petani dengan penilaiannya terhadap kinerja penyuluhan?, dan (4) Bagaimana strategi pengembangan kompetensi penyuluh pertanian? Tujuan Penelitian (1) Menganalisis
faktor-faktor
yang
menentukan/berpengaruh
terhadap
kompetensi penyuluh pertanian. (2) Menjelaskan kaitan antara kompetensi penyuluh dengan kinerja penyuluhan. (3) Menjelaskan kaitan antara karakteristik individu petani dengan penilaiannya terhadap kinerja penyuluhan. (4) Merumuskan rekomendasi strategi pengembangan kompetensi penyuluh pertanian yang tepat bagi Nusa Tenggara Timur di era Otonomi Daerah. Kegunaan Penelitian Penelitian ini memiliki dua implikasi manfaat yakni : (1) manfaat teoritis dan (2) manfaat praktis. (1) Manfaat Teoritis Dari segi pengembangan keilmuan, penelitian ini berkontribusi dalam mempertajam keterkaitan dengan pengembangan kompetensi penyuluh pertanian. (2) Manfaat Praktis Dari aspek penyuluhan pertanian, penelitian ini berguna sebagai (a) bahan masukan bagi pemerintah atau pengambil kebijakan di tingkat pusat tentang dinamika penyuluhan pertanian dan pelaksanaannya di daerah, (b) bahan masukan bagi Pemerintah Daerah Provinsi/Kabupatan/Kota yang saat ini sedang melaksanakan otonomi daerah. Kiranya hasil penelitian ini bisa dijadikan salah satu rujukan dalam rangka menata kembali kebijakan, khususnya strategi pembangunan pertanian dan penyuluhan, dan (c) bahan masukan bagi masyarakat umum dalam menyikapi pelaksanaan otonomi daerah dan pentingnya penyuluhan pertanian dalam rangka penataan pembangunan pertanian secara umum.