PENDAHULUAN Latar Belakang Keluarga adalah orang yang bertempat tinggal bersama yang dihubungkan dengan ikatan-ikatan biologis, perkawinan, adat istiadat, atau dengan adopsi (Sussman & Steinmetz 1987). Reuter (1989) memberikan batasan keluarga sebagai dua orang atau lebih yang dihubungkan dengan darah, adopsi, perkawinan atau kesepakatan untuk hidup di dalam rumahtangga yang sama. Namun lebih khusus lagi dalam UU No 10 tahun 1992 dinyatakan bahwa keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami-istri dengan anaknya, atau ayah dengan anaknya, atau ibu dengan anaknya (BKKBN, 1996). Keberadaan anak dalam keluarga memberikan konsekuensi pada pengalokasian dana dan waktu oleh kedua orang tua. Apa yang dikorbankan tersebut merupakan investasi yang dapat disebut human investment. Investasi ini human capital didasarkan pada proposisi bahwa ada pengeluaran tertentu (sacrifies) yang dilakukan secara sengaja untuk menghasilkan kapasitas produktif pada manusia agar mampu memberikan jasa di masa yang akan datang (Schultz 1974). Pada hakekatnya apa yang dilakukan rumah tangga dalam bentuk investasi terhadap anggota keluarganya dapat dikatakan sebagai tindakan altruis. Zeitlin dkk (1995) menyebutkan bahwa altruism in the family adalah penggabungan seluruh household resources dan kemudian dialokasikan kembali berdasarkan aturan yang lazim agar dapat memberikan keuntungan kepada seluruh anggota keluarga. Selanjutnya dikemukakan bahwa keputusan berkenaan dengan alokasi sumberdaya di dalam keluarga sangat ditentukan oleh peran ibu rumah tangga. Zeitlin (1995) mengemukakan jika pendapatan di tangan ibu rumah tangga maka akan mempunyai efek terhadap pengeluaran rumah tangga yang berbeda dibandingkan jika dipegang oleh pria. Pendapatan di tangan ibu rumah tangga berkaitan dengan banyaknya pengeluaran rumah tangga yang cenderung dialokasikan untuk human capital, yang diukur dari household services, kesehatan dan pendidikan, leisure dan recreation, dan juga yang bersifat biologis seperti status gizi anak, imunisasi, daya tahan, dan asupan gizi.
2
Alokasi sumberdaya dalam keluarga tersebut menyesuaikan dalam perkembangan usia anak, semakin dewasa anak maka semakin membutuhkan alokasi sumberdaya yang semakin besar pula sesuai kebutuhan pada usianya. Usia masa remaja dapat dibagi kedalam tiga tahap: remaja awal (11-14 tahun), remaja tanggung (15-17 tahun), dan remaja lanjut (18-21 tahun). Pada masa remaja ini dibutuhkan kalori dan gizi yang banyak dikarenakan pertumbuhan fisik. Selain itu pada masa remaja terjadi pertumbuhan berkaitan dengan hormonal, kognitif, dan emosional (Shelornenself D 2000). Remaja mengalami perubahan sosial (bergeser dari keluarga ke kelompok sebaya), perubahan fisik (masa pubertas), perubahan emosional (pemantapan identitas personal), perubahan kognitif (berpikir secara hipotetis dan berbagai perspektif), dan perubahan seksual (perubahan hormonal mempengaruhi perubahan fisik dan seksual) (Dobbs L 2002).
Perubahan-perubahan tersebut membutuhan kemampuan penyesuaian
keluarga terhadap remaja maupun remaja itu sendiri agar dapat mengalami perkembangan kualitas remaja menjadi lebih baik. Syarief (1997) mendefinisikan kualitas sebagai gabungan karakateristik yang menentukan derajat kehandalan (degree of excellence) sumberdaya manusia. Kualitas SDM dapat diartikan sebagai gabungan dari karakteristik segenap sumberdaya yang ada dalam diri manusia, mencakup karakteristik fisik, akal, kalbu, dan nafsu yang menentukan kehandalan manusia baik sebagai makhluk indiividu maupun makhluk sosial. Kualitas fisik dicerminkan oleh kesehatan dan ketahanan jasmani yang memungkinkan seseorang dapat hidup sehat, aktif, produktif, dan berumur panjang. Kualitas akal dicerminkan oleh daya pikir atau kecerdasan intelektual. Manusia yang berakal selalu terdorong untuk menggali rahasia alam dan kehidupan, dan dengan itu ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) berkembang. Kualitas kalbu dicerminkan oleh keluhuran budi pekerti, moral dan akhlak. Dengan demikian dalam kualitas anak tersebut mengandung unsur kualitas fisik (jasmani), kualitas akal (kecerdasan intelektual), dan kualitas kalbu (mental spiritual). Soekirman (2002) menyatakan bahwa kualitas SDM usia dewasa tidak dapat dipisahkan dengan kualitas hidup pada usia muda. Kualitas hidup manusia
3
muda tersebut tentunya akan berpengaruh pada kualitas sumber daya manusia di kemudian hari. Kualitas SDM dapat dikaitkan dengan perkembangan siklus hidup manusia sejak dalam kandungan sampai memasuki usia lanjut. Pernyataan tersebut menjadi perhatian karena ada kaitan antara kualitas hidup usia muda dengan usia dewasa. Kualitas hidup manusia muda dicerminkan dengan tingginya prevalensi
gizi
kurang
(Basuni
2002),
upaya
perbaikan
gizi
kurang
menggembirakan (Atmarita et all 2000), kekurangan gizi berdampak pada IQ rendah (Karsin 2000), dan rendahnya status gizi berhubungan dengan pengetahuan gizi yang rendah (Khomsan 1998), serta keterlambatan mendaftar sekolah menambah permasalahan lemahnya intelektual yang disebabkan oleh kekurangan gizi (Jukes 2002). Beberapa hal tersebut menunjukkan bahwa kualitas sumberdaya manusia memerlukan perhatian yang serius. Penelitian dalam bidang pendidikan memberikan penjelasan bahwa selain kondisi sosial ekonomi keluarga ada hal lain yang berpengaruh terhadap kualitas pendidikan yaitu lingkungan sekolah dan lingkungan keluarga. Lingkungan sekolah tersebut mencakup guru, aktivitas siswa, kondisi sekolah, dan iklim belajar (Sukadi 1994). Penelitian lain dari Andrea (2003) menjelaskan bahwa prestasi belajar anak dipengaruhi juga oleh orderly (aturan tata tertib), congenial dan well maintained school (ruang sekolah, tanah lapang, fasilitas air dan toilet, fasilitas ruang kelas). Status gizi mempunyai pengaruh terhadap pendidikan. Sedangkan lingkungan keluarga, Levine dan Havighurst (1992) tentang Home Environment and Cognitive Development memberikan kontribusi korelasi antara home environment dengan perkembangan kognitif. Para sosiolog dan psikolog mengidentifikasikan 6 karakteristik home environment yang secara langsung berhubungan dengan perkembangan kognitif dan achievement di sekolah. Beberapa hal tersebut mengetengahkan arti penting kualitas sumberdaya manusia dewasa yang tidak lepas dipengaruhi kondisi pada saat muda. Pada tahap berikutnya perkembangan dari anak-anak ke remaja akan membawa konsekuensi pada kualitas sumberdaya. Apabila pada masa anak-anak mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang baik maka akan menghasilkan sumberdaya remaja yang berkualitas. Perkembangan kognitif mencakup perkembangan moral dan kekurang
4
mampuan pengetahuan. Perbedaan perkembangan kognitif antara laki-laki dan perempuan ada pada keyakinan akan kemampuan kognitif dan ketrampilan. Remaja perempuan cenderung merasa yakin pada kemampuan membaca dan ketrampilan sosial dibandingkan remaja laki-laki, dan remaja laki-laki cenderung merasa yakin pada bidang atletik dan matematika (Eccles, Baarber, Jozefowics et all 1999) Remaja
yang
mengalami
kekurangmampuan
pengetahuan
akan
menghadapi masalah dalam hal membaca, berbicara, menulis, mengingat. aritmatika, atau berpikir. Jika remaja yang mengalami problem tersebut masuk sekolah menengah maka akan mengahadapi resiko kegagalan sekolah apabila permasalahan
tersebut
tidak
diatasi.
Bahkan
remaja
yang
mengalami
kekurangmampuan pengetahuan menghadapi tekanan emosional 2 atau 3 kali lebih tinggi dibanding remaja lainnya, dan wanita lebih banyak mengalaminya dibandingkan dengan laki-laki (Svetaz et all 2000). Perkembangan emosional remaja mencakup rasa identitas diri berkaitan dengan orang lain dan belajar mengatasi stres dan mengelola emosi. Remaja perlu memiliki kemampuan menguasai emosi untuk mengelola stres dan efektif berhubungan dengan orang lain atau disebut sebagai kecerdasan emosional (Goleman 1994). Perkembangan fisik mencakup perkembangan pubertas dan seksual, penampilan fisik dan citra tubuh. (Jacquelyn HG & Mary C 2002). Perkembangan fisik berkaitan juga dengan perkembangan
kognitif dimana
metode instruksional dan kurikulum dapat mengarahkan motivasi dan kegiatan belajar siswa. Namun disebutkan juga bahwa perkembangan fisik merupakan suatu faktor stres yang dapat menurunkan motivasi dan kegiatan belajar siswa. Faktor stres tersebut dapat berhubungan dengan perkembangan fisik yaitu transisi dari sekolah dasar ke sekolah menengah atas. Remaja masuk sekolah pada level 8 dari level 6 dan 7 mengalami perubahan negatif dalam motivasi, persepsi diri, dan achievement. (Eccles & Midgley 1989). Keadaan seperti ini tentunya dapat berpengaruh terhadap performa belajar. Dengan demikian antar ketiga perkembangaan (fisik, kognitif, dan emosi) ada keterkaitan berkaitan dengan pendidikan remaja. Tanda rendahnya performa hasil pendidikan dapat ditunjukkan adanya
5
standar kelulusan dengan nilai tidak kurang dari 4,25. Standar nilai ini secara berangsur dari tahun ke tahun ditingkatkan sehingga ini dapat dikatakan sebagai bagian upaya meningkatkan prestasi pendidikan anak remaja. Bahkan ketika kemampuan penguasaan siswa terhadap ilmu dikompetisikan menunjukkan hasil yang rendah. Hasil studi International Educational Achievement (IEA) menunjukkan, bahwa kemampuan membaca siswa SD di Indonesia berada di urutan ke 38 dari 39 negara yang diteliti. Sementara penelitian the Third International Mathematics and Science Repeat tahun 1999 menunjukkan kemampuan siswa SMP Indonesia di bidang ilmu pengetahuan alam di urutan ke 32 dan untuk matematik di posisi ke 34 dari 38 negara yang diteliti (Harsono 2003). Ini menunjukkan bahwa kualitas anak SMP di Indonesia dalam bidang pendidikan jauh tertinggal dibandingkan dengan negara lain. Dengan demikian faktor yang menentukan kualitas remaja SMP perlu diketahui sehingga standar rendah nilai kelulusan semakin dapat dicapai dan ditingkatkan. Salah satu indikator keberhasilan dalam pembangunan sumberdaya manusia adalah Indeks Pembangunan Manusia atau Human Development Index. Human Development Index negara Indonesia berturut-turut menduduki posisi 98 dari 174 negara (1998), pada posisi 109 (2000) (Karsin 2004) dan tahun 2003 pada posisi 112 dari 174 negara (UNDP 2003), tahun 2004 menduduki peringkat 111 dari 177 negara (UNDP 2004). Indeks tersebut mengundang perhatian untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia. Kualitas manusia menjadi sangat penting sebagai pertanda keberhasilan pembangunan. Gambaran-gambaran tersebut menunjukkan adanya kekurangan dalam hal kualitas sumberdaya manusia sehingga perlu dilakukan penelitian. Hasil dari penelitian ini dapat menjadi masukan bagi lingkungan akademis dan pembuat kebijakan mengenai pembangunan sumber daya manusia. Oleh karena itu permasalahan penelitian yang menjadi fokus untuk dikaji adalah sebagai berikut:
1. Faktor-faktor apa sajakah yang berpengaruh terhadap kualitas remaja? 2. Indikator apa sajakah yang menentukan kualitas remaja?
6
Tujuan Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengukur kualitas remaja dan pengaruh faktor individu, lingkungan keluarga, dan lingkungan sosial terhadap kualitas remaja. Tujuan khusus penelitian ini adalah: 1
Mengidentifikasi indikator kualitas remaja dan mengukur kualitas remaja di Kabupaten Banyumas.
2
Menganalisis faktor individu, lingkungan keluarga dan sekolah terhadap kualitas remaja.
4
Menganalisis pengaruh faktor kualitas remaja serta faktor lingkungan keluarga terhadap prestasi akademis.
Manfaat Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pendidikan dan perhatian
terhadap
kualitas
sumberdaya
manusia.
Penelitian
bertujuan
menganalisis kualitas remaja secara utuh. Kualitas remaja secara utuh mencakup kualitas fisik, kualitas akal, dan kualitas kalbu. Kualitas fisik mengenai status gizi remaja. Kualitas akal mengenai IQ. Kualitas kalbu mengenai kecerdasan emosional. Selain itu memberikan analisis terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas remaja. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan penjelasan terhadap faktor-faktor yang memberikan pengaruh dominan terhadap kualitas remaja. Hasil penelitian diharapkan juga dapat menjadi masukan dalam membuat kebijakan kepada pemerintah berkenaan dengan upaya peningkatan kualitas remaja melalui lingkungan keluarga dan sekolah.