PENDAHULUAN Latar Belakang Cabai (Capsicum annuum L) merupakan salah satu komoditas sayuran yang bernilai ekonomi tinggi. Hal ini terlihat dari areal pertanaman cabai yang menempati areal terluas diantara tanaman sayuran yang diusahakan di Indonesia. Areal pertanaman cabai pada tahun 2005 seluas 103 531 ha dan pada tahun 2006 meningkat menjadi 113 079 ha atau menempati 18.27% dari total pertanaman sayuran (Departemen Pertanian 2007).
luas
Bertambahnya luas areal
tersebut dilakukan untuk memenuhi kebutuhan cabai dalam negeri. Kebutuhan cabai terus meningkat sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk dan berkembangnya industri makanan, kosmetik, serta farmasi yang menggunakan cabai sebagai bahan baku.
Data statistik menunjukkan bahwa
konsumsi cabai mencapai 4.65 kg per kapita per tahun,
jika diasumsikan
penduduk yang mengkonsumsi cabai berumur 15 tahun ke atas sebanyak 170 juta maka diperkirakan kebutuhan cabai dalam negeri sebesar 790 500 ton per tahun. Di lain pihak, produksi cabai secara nasional baru mencapai 736 019 ton dengan produktivitas sebesar 6.51 ton/ha (Departemen Pertanian 2007), sehingga produksi cabai perlu ditingkatkan untuk memenuhi kebutuhan di dalam negeri. Sentra produksi cabai di Indonesia sekitar 80% masih berada di Pulau Jawa, namun ketersediaannya pada masa yang akan datang tidak lagi dapat diandalkan dari Pulau Jawa. Hal ini disebabkan semakin berkurangnya lahanlahan pertanian di Pulau Jawa akibat dikonversi menjadi lahan-lahan non pertanian, sehingga perluasan areal pertanaman cabai di luar Pulau Jawa perlu mendapat perhatian.. Lahan kering di luar Pulau Jawa yang potensial untuk lahan pertanian luasnya mencapai 132.88 juta hektar atau 92.31% dari total luas lahan kering di Indonesia (Hidayat & Mulyani 2002). Namun, 33.58% dari luas lahan tersebut atau seluas 44.62 juta ha merupakan jenis tanah Ultisol yang tersebar di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, serta Papua. Adanya kelarutan aluminium yang tinggi pada tanah Ultisol merupakan kendala utama yang sering membatasi pertumbuhan tanaman pada tanah tersebut (Matsumoto et al. 1996; Vitorello et al. 2005). Pada tanah Ultisol dengan pH kurang dari 5.0, oksida-oksida aluminium akan memfiksasi ion-ion fosfat (P)
2 sehingga menurunkan ketersediaan hara P (Ralalage et al. 1995; Baligar et al. 1997). Selain itu, kelarutan Al pada pH kurang dari 4.5 didominasi bentuk Al
3+
yang dapat menghambat pertumbuhan akar sehingga menurunkan kemampuan akar dalam menyerap hara mineral dan air (Marschner 1995; Rout et al. 2001). Masalah cekaman Al pada tanah Ultisol dapat diatasi dengan memperbaiki kondisi tanah melalui pengapuran (Naidu et al. 1990; Idris 1995; Nurlaeny et al. 1998), namun pendekatan ini tidak ekonomis karena dibutuhkan dalam jumlah yang banyak dalam aplikasinya. Pada daerah-daerah dengan sarana transportasi terbatas dan jauh dari sumber industri kapur akan terkendala dengan tingginya biaya pengadaan. Penggunaan genotipe yang adaptif terhadap cekaman Al dapat dijadikan alternatif karena lebih praktis (Samac & Tesfaye 2003; Bakhtiar et al. 2007).
Genotipe adaptif Al dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik pada
tanah Ultisol karena adanya peningkatan sintesis asam-asam organik untuk mendetoksifikasi Al (Ma 2000; Watanabe et al. 2006; Enggarini & Marwani 2006).
Asam-asam organik akan membentuk kompleks Al-asam organik,
sehingga mengurangi toksisitas Al pada tanaman (Jones & Brassington 1998; Ma et al. 2001). Keragaman genotipe cabai di Indonesia cukup banyak, namun selama ini baru dimanfaatkan untuk perbaikan daya adaptasi terhadap cekaman biotik seperti penyakit antraknosa dan virus mosaik, sedangkan untuk daya adaptasi terhadap cekaman abiotik seperti cekaman Al belum banyak dilakukan. Genotipe cabai yang adaptif terhadap Al dapat diperoleh melalui seleksi terhadap plasma nutfah yang ada. Seleksi tanaman untuk daya adaptasi terhadap cekaman Al dapat dilakukan berdasarkan perbedaan karakter pertumbuhan akar, fisiologi maupun agronomi antara tanaman yang mengalami cekaman Al dan yang tidak (Matsumoto et al. 1996; Kasim et al. 2001). Pada beberapa tanaman, untuk mengidentifikasi daya adaptasi terhadap cekaman Al secara cepat dapat dilakukan penapisan dengan mengamati perbedaan panjang akar pada fase vegetatif (Sasaki et al.1994; Samuel et al. 1997; Hanum 2004; Bakhtiar et al. 2007). Metode penapisan dapat menghemat waktu dan tenaga terutama bila genotipe yang diseleksi cukup banyak. Namun demikian, hasil penapisan karakter panjang akar tidak selalu konsisten dengan respon hasil karena tekanan cekaman yang dialami
3 hanya sampai fase vegetatif. Oleh karena itu hasil penapisan berdasarkan panjang akar perlu dievaluasi lebih lanjut sampai periode panen. Perbaikan daya adaptasi tanaman terhadap cekaman abiotik juga dapat dilakukan dengan memanfaatkan simbiosis antara tanaman dan fungi mikoriza arbuskula
(FMA).
Pemanfaatan
FMA
telah
banyak
diketahui
mampu
meningkatkan adaptasi tanaman terhadap cekaman abiotik, seperti pada cabai terhadap cekaman hara P maupun kekeringan (Haryantini & Santoso 2001; Rahayu et al. 2002), serta jagung, kedelai, dan kacang tunggak terhadap cekaman Al pada tanah ultisol (Nurlaeni et al. 1996; Hanum 2004; Rohyadi et al. 2004). Fungi mikoriza arbuskula memberikan keuntungan pada tanaman melalui ekspansi hifa eksternalnya sampai ke lapisan subsoil sehingga meningkatkan kapasitas penyerapan hara dan air (Cruz et al. 2004). Fosfat adalah unsur hara utama yang diserap tanaman dengan bantuan mikoriza (Joner & Johansen 2000; Rohyadi et al. 2003). Inokulasi FMA pada cabai dapat meningkatkan penyerapan P sebesar 30.95% di tanah andisol (Haryantini & Santoso 2001). Selain itu, koloni FMA dapat menginduksi aktivitas fosfatase asam dan sintesis asam organik sehingga dapat memperbaiki kondisi rizosfir (Joner et al. 1995; Joner & Johansen 2000). Kemampuan kolonisasi setiap jenis FMA, selain tergantung pada jenis FMA, juga sangat tergantung pada genotipe tanaman, dan kondisi tanah serta interaksi ketiganya (Brundrett et al. 1996).
Pada kondisi tanah marginal,
ketergantungan tanaman pada mikoriza akan meningkat. Fungi mikoriza akan mengenal inangnya melalui sinyal kimia dalam bentuk eksudat akar yang terinduksi oleh kondisi tanah yang kurang menguntungkan (Clark 1997). Dengan demikian, kemampuan kolonisasi jenis FMA diduga berkaitan dengan tingkat toleransi genotipe cabai terhadap cekaman Al. Pendugaan ini dapat diketahui berdasarkan pengamatan intensitas akar terinfeksi melalui uji kompatibilitas FMA dengan genotipe cabai yang mempunyai tingkat toleransi Al yang berbeda. Keefektivan penggunaan FMA tidak cukup dinilai dengan kemampuan kolonisasi yang tinggi, tetapi juga dinilai dari besarnya manfaat yang diberikan untuk peningkatan pertumbuhan dan hasil cabai. Pengujian tanggap agronomi dan fisiologi terhadap inokulasi FMA perlu dilakukan untuk menilai keefektifannya.
4 Potensi pemanfaatan tanah Ultisol untuk budidaya cabai dapat diketahui melalui serangkaian penelitian untuk mendapatkan genotipe yang adaptif terhadap cekaman Al serta jenis FMA yang kompatibel dan efektif dalam perbaikan hasil dan adaptasi cabai pada tanah Ultisol. Penanaman genotipe yang adaptif terhadap cekaman Al dan pemanfaatan jenis FMA yang efektif diharapkan dapat meningkatkan produktivitas tanaman cabai pada tanah Ultisol. Adapun alur penelitian secara lengkap disajikan pada Gambar 1. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1.
Mengidentifikasi genotipe cabai yang toleran dan peka Al secara cepat melalui pengamatan perbedaan panjang akar pada fase vegetatif.
2. Mengevaluasi genotipe hasil penapisan uji hayati akar berdasarkan karakter pertumbuhan dan hasil sehingga diperoleh genotipe yang diindikasikan adaptif terhadap cekaman Al. 3. Mendapatkan FMA yang kompatibel dengan tanaman cabai. 4. Menguji keefektifan FMA dalam meningkatkan hasil dan kemampuan adaptasi cabai pada tanah masam berkadar Al tinggi. 5. Menguraikan mekanisme adaptasi terhadap cekaman Al pada tanaman cabai yang bermikoriza. Hipotesis 1. Melalui penapisan panjang akar pada fase vegetatif dan evaluasi pertumbuhan dan hasil, dapat diperoleh genotipe yang adaptif terhadap cekaman Al. 2. Terdapat perbedaan kemampuan kolonisasi akar antar jenis FMA dengan cabai. 3. Inokulasi FMA yang kompatibel, efektif meningkatkan hasil dan kemampuan adaptasi cabai terhadap cekaman Al.
5
KEEFEKTIFAN FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA DALAM MENINGKATKAN HASIL DAN ADAPTASI CABAI PADA TANAH BERCEKAMAN ALUMINIUM
Tahap 1: Identifikasi kemampuan adaptasi genotipe cabai terhadap cekaman Al. 1a. Penentuan tingkat kejenuhan Al tanah ultisol dengan pengapuran 1b. Penapisan pada fase vegetatif 1c. Evaluasi karakter pertumbuhan dan komponen hasil
Tahap 2. Pengujian kompatibilitas fungi mikoriza arbuskula (FMA) dan cabai. 2a. Penafsiran jumlah propagul infektif 2b. Pengujian daya infeksi FMA
Tahap 3. Pengujian efektifitas FMA untuk perbaikan hasil dan kemampuan adaptasi cabai pada tanah ultisol. 3a. Pengujian terhadap tanggap pertumbuhan dan hasil 3b. Pengujian terhadap tanggap fisiologi
- Informasi karakter pertumbuhan akar dan tajuk, serta komponen hasil untuk seleksi terhadap cekaman Al - Diperoleh genotipe toleran dan peka Al
Jenis FMA yang kompatibel dengan cabai
- Peningkatan kemampuan adaptasi melalui perbaikan pertumbuhan dan hasil oleh FMA - Informasi karakter fisiologi yang berkaitan dengan mekanisme adaptasi terhadap cekaman Al
PENINGKATAN PRODUKTIVITAS CABAI PADA TANAH ULTISOL Keterangan : = garis pemanfaatan data = garis target/hasil yang diharapkan
Gambar 1. Bagan alur kegiatan penelitian