PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan Pertanian hingga saat ini mempunyai peran sentral sebagai tulang punggung pembangunan perekonomian nasional. Peran penting sektor pertanian tersebut tidak terlepas dari peran penyuluhan pertanian sebagai bagian yang terpenting dari pembangunan pertanian secara umum. Pada era pelaksanaan Bimas, peran penyuluh pertanian di Indonesia sangat dirasakan manfaatnya yang ditunjukan melalui proyek penyuluhan pertanian tanaman pangan (Nation Food Crops Extension Project) dan dilanjutkan dengan NAEP (National Agricultural Extension Project) tahun 1978, hingga pada tahun 1984 pemerintah Republik Indonesia meraih masa kejayaannya dengan memperoleh penghargaan FAO atas keberhasilannya mencapai swasembada beras (Mardikanto, 2009). Kejayaan penyuluhan pertanian tersebut hanya mampu bertahan dalam beberapa tahun saja, karena memasuki tahun 1990-an pamor penyuluhan pertanian yang dikelola oleh pemerintah (Departemen Pertanian) dirasakan semakin menurun (Margono Slamet, 2001). Peran penyuluh pertanian dari tahun ke tahun terus menunjukkan penurunan yang cukup signifikan, baik dari segi jumlah maupun tingkat kinerja yang dicapai. Bergulirnya era reformasi semakin memperburuk citra penyuluhan pertanian yang diikuti oleh terus menurunnya kinerja para penyuluh pertanian secara nasional termasuk di Kota Tidore Kepulauan Provinsi Maluku Utara. Kondisi ini diperparah lagi dengan pemberlakuan otonomi daerah melalui Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004. Margono Slamet (2001) menyatakan bahwa, selama masa reformasi kegiatan penyuluhan pertanian yang dilakukan oleh pemerintah dinilai merosot sampai ke titik nadir. Dampak negatif yang ditimbulkan di era otonomi daerah adalah banyak penyuluh pertanian yang memenuhi syarat kepangkatan lebih memilih beralih status dari pejabat fungsional ke struktural, sehingga penyuluh pertanian secara kuantitas maupun kualitas terus mengalami penurunan.
2
Jumlah penyuluh yang terus menurun dan kelembagaan penyuluhan yang belum
stabil
tersebut menyebabkan
kinerja penyuluh
maupun
kondisi
penyelenggaraan penyuluhan secara keseluruhan, termasuk di Kota Tidore Kepulauan Provinsi Maluku Utara pun terus mengalami penurunan. Kenyataan ini diakui oleh Menteri Pertanian Republik Indonesia (Sinar Harapan, 2008) dikutip dari http://blog-husni.blogspot.com, bahwa kinerja penyuluh pertanian di seluruh wilayah Indonesia hingga saat ini masih rendah. Pada tahun 1999 jumlah penyuluh pertanian dari semula berjumlah 37.636 orang menjadi 33.659 orang pada tahun 2001 dan sampai akhir tahun 2009 jumlah penyuluh pertanian berkurang drastis menjadi 25.708 orang (Departemen Pertanian, 2010). Di Privinsi Maluku Utara jumlah penyuluh pertanian sampai dengan akhir tahun 2010 tercatat sebanyak 370 orang penyuluh PNS, 269 orang THL-TBPP, 41 orang penyuluh swadaya dan 51 orang penyuluh kontrak daerah. Jumlah ini tersebar secara tidak merata di sembilan Kabupaten/Kota yang ada provinsi Maluku Utara. Jumlah penyuluh pertanian di Kota Tidore Kepulauan sebanyak 67 orang penyuluh PNS, 38 orang THL-TBPP, dan 2 orang penyuluh kontrak daerah. Mencermati kondisi tersebut, pada tahun 2005 pemerintah mencanangkan Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK) dan Revitalisasi Penyuluhan Pertanian (RPP). Program RPP ini mendapat payung hukum yang kuat dengan terbitnya Undang-undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (SP3K). Program revitalisasi di fokuskan pada beberapa sub program yaitu penataan kelembagaan penyuluhan pertanian, peningkatan kuantitas dan kualitas penyuluh pertanian, peningkatan kelembagaan dan kepemimpinan petani, peningkatan sistem penyelenggaraan penyuluhan pertanian, dan pengembangan kerjasama antara sistem penyuluhan pertanian dan agribisnis (Sumardjo et al, 2010). Dalam perspektif yang melihat pertanian secara menyeluruh dalam satu kesatuan,
maka program diharapkan berimplikasi pada dimensi kualifikasi
personil dan organisasi penyuluhan. Dalam dimensi organisasi, kelembagaan penyuluhan harus independen terhadap kepentingan sempit dan target-target
3
keproyekan sebagaimana amanat Undang-undang Nomor 16 Tahun 2006. Sedangkan pada dimensi personil, diperlukan upaya-upaya peningkatan kualitas kuantitas penyuluh pertanian. Implementasi operasionalisasi Undang-undang Nomor 16 Tahun 2006 tersebut masih dihadapkan pada berbagai permasalahan diantaranya; (1) beragamnya bentuk dan tingkat eselonering kelembagaan penyuluhan ditingkat provinsi dan kabupaten/kota, (2) terbatasnya kuantitas dan kualitas tenaga penyuluh pertanian, (3) programa penyuluhan pertanian belum disusun secara partisipastif antara pelaku utama, pelaku usaha, dan penyuluh pertanian, (4) terbatasnya sarana dan prasarana penyuluhan pertanian, dan (5) masih banyak Pemerintah Daerah yang belum memberikan perhatian secara khusus terhadap penyediaan pembiayaan penyuluhan pertanian. Departemen Pertanian, 2009 (Sumardjo et al, 2010). Dalam upaya mengatasi permasalahan tersebut diharapkan respon baik dari
pemerintah
daerah
untuk
membangun
sistem
penyuluhan
dan
penyelenggaraan penyuluhan yang terintegrasi. Untuk mencapai hal ini, perlu adanya sosialisasi secara luas kepada seluruh pemangku kepentingan untuk membangun
kesamaan
persepsi
dalam
operasionalisasinya
sehingga
penyelenggaraan penyuluhan pertanian dapat berjalan dengan produktif, efektif dan efisien di setiap tingkatan dalam satu kelembagaan yang kuat, didukung oleh sumberdaya yang memadai dan penyuluh yang profesional. Kondisi penyelenggaran penyuluhan pertanian di Kota Tidore Kepulauan dirasakan menurun sejak keputusan pemerintah menyerahkan status kepegawaian penyuluh dari sebelumnya sebagai pegawai pusat menjadi pegawai daerah. Dampak negatif dari keputusan pemerintah tersebut adalah menurunnya kegiatankegiatan penyuluhan yang didanai melalui anggaran daerah, karena kurang nya perhatian pemerintah daerah terhadap sector ini secara khusus. Kondisi tersebut yang kemudian menimbulkan sikap apatis pemerintah daerah terhadap kegiatankegiatan penyuluhan, dimana penyuluh belum dilihat sebagai suatu asset penting tetapi lebih dipandang sebagai sector tidak memberikan kontribusi terhadap pendapatan asli daerah dan sebaliknya hanya dianggap membebani anggaran pemerintah daerah.
4
Menurunnya kinerja penyuluh tersebut lebih banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor situasional di daerah, seperti; bentuk dan tingkat eselonoring kelembagaan, pengelolaan administasi kepegawaian, pembayaran tunjangan fungsional, dan kebijakan-kebijakan organisasi lainnya yang berdampak pada menurunnya kompetensi dan motivasi kerja para penyuluh. Fakta di lapangan menunjukkan kelembagaan penyuluhan di Kota Tidore Kepulauan sesuai Undangundang Nomor 16 Tahun 2006 baru diperdakan pada tahun 2010. Artinya, sekian lama penyuluh harus bertahan dengan ketidakpastian status kelembagaan dan anggaran yang serba terbatas. Dalam bidang administrasi kepegawaian dan keuangan, penyesuaian jabatan fungsional dengan jenjang kepangkatan penyuluh menjadi terhambat. Kenyataan seperti ini menyebabkan sekian lama penyuluh tidak memperoleh pembayaran tunjangan fungsional sesuai dengan jenjang kepangkatan terakhir penyuluh. Beberapa faktor-faktor situasional dari sekian banyak faktor yang ada tersebut, secara langsung maupun tidak langsung ikut mempengaruhi menurunnya kinerja penyuluh pertanian di Kota Tidore Kepulauan. Dalam upaya mengatasi permasalahan tersebut, diharapkan respon baik pemerintah daerah untuk membangun sistem penyuluhan dan penyelenggaraan penyuluhan yang terintegrasi. Untuk mencapai hal tersebut, perlu adanya sosialisasi secara luas kepada seluruh pemangku kepentingan untuk membangun kesamaan
persepsi
dalam
operasionalisasinya
sehingga
penyelenggaraan
penyuluhan pertanian dapat berjalan dengan produktif, efektif dan efisien di setiap tingkatan dalam satu kelembagaan yang kuat didukung oleh sumberdaya yang memadai dan penyuluh yang profesional. Di era otonomi daerah, pemerintah daerah memiliki keleluasaan dalam perumusan permasalahan manajemen penyuluhan pertanian, kebutuhan serta tujuan
pembangunan
pertanian,
dan
dalam
melakukan
pengawasan
pelaksanaannya di lapangan. Pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi ini diharapkan akan mampu menjamin efisiensi dan efektivitas pelaksanaan penyuluhan pertanian, sehingga dapat memberikan manfaat yang sebesarbesarnya bagi kesejahteraan masyarakat pertanian.
5
Fakta-fakta yang menunjukkan rendahnya kinerja penyuluh pertanian di Kota Tidore Kepulauan yaitu (1) rata-rata penyuluh hanya membina satu kelompok tani, (2) motivasi kerja menurun karena rendahnya kompetensi yang dimiliki, (3) materi penyuluhan yang dibuat tidak sesuai lagi dengan kebutuhan petani, (4) hasil kegiatan pelatihan tidak bisa diimplementasikan, (5) tidak mampu meningkatkan kelas kemampuan kelompok tani, (6) menurunnya motivasi untuk pengembangan diri dan interaksi sosial, (7) lemahnya kemampuan dalam pengelolaan agribisnis, (8) lemahnya kemampuan berinovasi, dan (10) rendahnya tingkat kerjasama. Berdasarkan pada kondisi kinerja penyuluh dan berbagai permasalahan operasionalisasi penyelenggaraan penyuluhan pertanian di Kota Tidore Kepulauan tersebut, maka diperlukan suatu penelitian dan pengkajian lebih mendalam, untuk mengetahui faktor-faktor situasional manakah yang mempengaruhi tingkat kinerja penyuluh pertanian saat ini, dan menjadi penentu dalam merumuskan strategi penyelenggaraan penyuluhan pertanian yang tepat di Kota Tidore Kepulauan. Masalah Penelitian Menurunnya kinerja penyuluh pertanian di Kota Tidore Kepulauan yang terjadi
karena
pengaruh-pengaruh
situasional
dalam
pengelolaan
dan
penyelenggaraan penyuluhan, maka berdasarkan pemikiran tersebut dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut : 1. Faktor-faktor manakah yang menentukan tingkat kinerja penyuluh pertanian di Kota Tidore Kepulauan Provinsi Maluku Utara. 2. Bagaimanakah strategi penyelenggaraan penyuluhan pertanian yang tepat untuk diterapkan di Kota Tidore Kepulauan Provinsi Maluku Utara. Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi dan memiliki hubungan terhadap tingkat kinerja penyuluh pertanian di Kota Tidore Kepulauan Provinsi Maluku Utara
6
2. Merumuskan strategi penyelenggaraan penyuluhan pertanian di Kota Tidore Kepulauan Provinsi Maluku Utara.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara teoritis maupun praktis sebagai berikut : 1. Secara teoritis penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu penyuluhan pembangunan, khususunya yang berkaitan dengan peningkatan kinerja penyuluh pertanian. 2. Secara praktis penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi pemikiran bagi pengambil kebijakan dalam penyelenggaraan penyuluhan pertanian di Kota Tidore Kepulauan khususnya dan umumnya.
Provinsi Maluku Utara pada