PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dapat memberikan berbagai manfaat bagi kehidupan manusia, yaitu manfaat ekologis, sosial maupun ekonomi. Tetapi dari berbagai manfaat tersebut, manfaat ekonomilah yang lebih menjadi perhatian dari sebagian besar masyarakat. Hutan sebagai sumber keanekaragaman hayati dan sebagai penyedia kebutuhan hidup dari masyarakat di sekitar hutan. Pendapat yang menganggap fungsi hutan hanya sebagai pemenuhan kebutuhan ekonomi mengakibatkan semakin meningkatnya degradasi hutan dari tahun ke tahun. Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan menyebutkan bahwa penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan meningkatkan daya dukung Daerah Aliran Sungai (DAS) dan mempertahankan kecukupan hutan minimal 30% dari luas DAS dengan sebaran proporsional. UndangUndang No. 7 tahun 2004 tentang Sumberdaya Air mendefinisikan DAS sebagai suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografi dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan. Menurut Sinukaban (2008) pengertian DAS adalah daerah yang dibatasi oleh topografi secara alami sehingga semua air hujan yang jatuh diatas DAS tersebut akan mengalir melalui titik pembuangan (outlet) yang sama. Berdasarkan pengertian tersebut maka DAS merupakan suatu wilayah daratan atau lahan yang mempunyai komponen topografi, batuan, tanah, vegetasi, air, sungai, iklim, hewan, manusia dan aktivitasnya yang berada pada, di bawah, dan di atas tanah. Pengelolaan DAS adalah upaya dalam mengelola hubungan timbal balik antara sumberdaya alam terutama vegetasi, tanah dan air dengan sumberdaya manusia di DAS dan segala aktivitasnya untuk mendapatkan manfaat ekonomi dan jasa lingkungan bagi kepentingan pembangunan dan kelestarian ekosistem DAS. Kompleksitas permasalahan pengelolaan DAS menimbulkan adanya paradigma baru berupa pemberdayaan masyarakat ditingkat operasional dan pelaksanaan dengan menggunakan pendekatan bottom up. Ada beberapa hal penting dalam paradigma baru
2 tersebut, diantaranya : 1). pengelolaan dilaksanakan secara terpadu lintas sektoral; 2). peningkatan peran serta masyarakat (partisipatif); 3). peningkatan penyuluhan baik kualitas dan kuantitas; 4). penguatan institusi dan 5). pemberian insentif kepada petani di kawasan DAS (khususnya di bagian hulu) (Priyono dan Cahyono, 2003 dalam Ahsoni, 2008). Program Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) di wilayah DAS bukan hal baru di Indonesia. Pada tahun 2003 pemerintah telah melaksanakan program RHL melalui Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL). Secara konseptual program tersebut merupakan upaya strategis yang langsung menyentuh masyarakat. Pelaksanaan program tersebut di beberapa daerah banyak mengalami kegagalan, misalnya tahun 2003 di Kalimantan Selatan sudah 29.000 hektar lahan kritis ditanami pohon proyek GN-RHL, namun kurang lebih 11.600 hektar diantaranya (40%) mati (Partono, 2006). Hal yang sama juga terjadi di Jawa Barat, sedikitnya 19 juta pohon atau 59% dari 32 juta pohon yang ditanam melalui GN-RHL sepanjang tahun 2003 mati. Kendala yang menyebabkan kegagalan proyek GN-RHL di beberapa daerah di Indonesia antara lain disebabkan oleh perencanaan yang tidak matang, pelaksanaan program tidak memperhatikan waktu penanaman dan tingkat penerimaan masyarakat yang kurang (Departemen Kehutanan, 2007). Kajian terdahulu banyak menjelaskan hubungan antara tingkat partisipai masyarakat dengan keberhasilan pembangunan kehutanan (Pujo, 1998; Sunartana, 2003; Safei, 2003; Trison, 2005; dan Muis, 2007), tetapi belum ada kajian yang secara khusus menjelaskan faktor-faktor dominan apa saja, baik internal maupun eksternal yang dapat menyebabkan tingkat partisipasi masyarakat rendah dalam pelaksanaan kegiatan GN-RHL. Partisipasi masyarakat merupakan modal dasar untuk membangun sebuah kekuatan di masyarakat untuk melakukan suatu kegiatan secara bersama-sama (colection action). Tingkat partisipasi masyarakat pada setiap tahapan kegiatan RHL sangatlah diperlukan, selain itu peran pemerintah dalam menunjang keberhasilan pengelolaan lahan yang berkelanjutan sangatlah diharapkan. Program RHL di DAS Cisadane Hulu melakukan kegiatan konservasi vegetatif dan sipil teknis. Konservasi vegetatif yang dilakukan dengan cara penanaman tanaman keras bernilai ekonomi tinggi seperti rambutan, pete, sengon, mahoni, nangka di lahan masyarakat (783,4 Ha), sedangkan untuk konservasi teknik sipil berupa pembuatan teras
3 gulud (3.883,9 Ha), sumur resapan, dan dam penahan (BPDAS Citarum Ciliwung, 2007). Program tersebut merupakan program terpadu antar departemen dengan menggunakan pendekatan partisipatif yang melibatkan mayarakat dan lembaga sosial pada setiap tahapan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan sampai dengan evaluasi. Adanya pendekatan partisipatif diharapkan masyarakat dapat ikut berperan aktif, sehingga implementasi program RHL di DAS Cisadane Hulu ini dapat berhasil dengan baik. Hasil penelitian Ahsoni (2008) menyatakan bahwa masyarakat pada umumnya memiliki kondisi sosial ekonomi yang terbatas, hal ini tercermin dari : 1). buruknya infrastruktur rumah; 2). rendahnya tingkat pendidikan (80% tidak tamat Sekolah Dasar); 3). sempitnya kepemilikan lahan rata-rata hanya 0,2 Ha; 4). rata-rata pendapatan keluarga sebesar Rp 11.849.550/tahun dan 5). mata pencaharian sebagai buruh tani (51%) dan penggarap (31%). Adanya keterbatasan kondisi sosial ekonomi tersebut maka kemampuan masyarakat dalam keterlibatan program RHL terbatas, sehingga dapat mempengaruhi tingkat partisipasi. Keberhasilan tingkat partisipatif sangat ditentukan oleh tingkat partisipasi masyarakatnya, biasanya partisipasi masyarakat yang tinggal di wilayah terkena kebijakan, program atau proyek dimungkinkan untuk: 1). merumuskan persoalan dengan lebih efektif; 2). mendapatkan informasi dan pemahaman di luar jangkauan dunia ilmiah; 3). merumuskan alternatif penyelesaian masalah yang secara sosial akan dapat diterima dan 4). membentuk perasaan memiliki terhadap rencana dan penyelesaian, sehingga memudahkan dalam penerapan. Oleh karena itu dalam konteks partisipasi masyarakat, maka program RHL di DAS Cisadane Hulu perlu dikaji dan dikembangkan implementasinya. Perumusan Masalah Berdasarkan hasil inventarisasi dan identifikasi pada tahun 2003 luas lahan kritis di wilayah kerja BPDAS Citarum Ciliwung adalah 498.146,4 ha yaitu di dalam kawasan hutan 166.338,8 ha dan di luar kawasan hutan 331.807,6 ha. Penanganan lahan kritis tersebut telah dilakukan memalui program Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL) yang dimulai sejak tahun 2003. Pada tahun 2007, luas lahan kritis yang sudah ditangani di luar kawasan hutan (terutama di lahan-lahan milik masyarakat adalah 91.165 ha yang tersebar di beberapa Kabupaten/Kota di Wilayah BPDAS
4 Citarum-Ciliwung dengan berbagai pola penanganan baik vegetatif maupun sipil teknis dan masih terdapat sisa lahan kritis di luar kawasan hutan yang belum tertangani seluas 240.642,6 ha (BPDAS Citarum Ciliwung, 2007). DAS Cisadane sebagai salah satu wilayah hidrologis saat ini kondisi biofisik, sosial ekonomi dan budayanya sangat bervariasi, sehingga upaya pengembangan dan pemasyarakatan kegiatan RHL dan konservasi tanah merupakan suatu hal yang sangat penting serta mendesak untuk segera dilaksanakan. Luas dan kompleksnya permasalahan dalam suatu DAS, baik yang bersifat ekonomis maupun ekologis, maka perlu adanya upaya RHL dan konsevasi tanah yang terencana, terpadu dan lintas sektoral dengan penanganan yang bersifat multi disipliner. Pelaksanaan RHL selalu terdapat beberapa faktor pembatas dan permasalahan yang harus dicari penanganannya melalui kegiatan-kegiatan yang sesuai dengan kondisi biofisik, sosial ekonomi dan kelembagaan seta aspek ekologis wilayah setempat. Menurut Kartodiharjo (2006), selama ini program pembangunan kehutanan yang dianggap sebagai jawaban atas kerusakan hutan masih bertumpu pada tindakan-tindakan fisik dan bukan masyarakat. Dalam rancangan anggaran GN RHL tahun 2005 misalnya, biaya pembibitan, penanaman dan pemeliharaan mencapai 82,7%. Keyakinan itu sejak awal tahun 80an tidak terbukti kebenarannya, yaitu dengan tingginya kegagalan pelaksanaan reboisasi dan penghijauan, asumsi yang dipakai seolah-olah sudah terdapat kelembagaan yang mapan dan mendukung pelaksanaan gerakan tersebut. Kelembagaan bukan hanya keberadaan lembaga atau organisasi pengelola hutan yang mampu, melainkan juga termasuk kepastian kawasan hutan, sistem insentif, maupun regulasi yang tidak menyebabkan biaya transaksi tinggi. Pengetahuan akan tingkat partisipasi masyarakat terhadap kegiatan RHL sangat penting. Tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan RHL akan berbeda dari suatu lokasi ke lokasi lain, sehingga sulit untuk dapat memperkirakan sampai sejauh mana tingkat partisipasi masyarakat pada suatu lokasi terkait dengan dilaksanakan kegiatan RHL. Selain itu, penelitian tentang hubungan faktor-faktor yang mempengaruhi dari tingkat partispasi masyarakat pada kegiatan RHL ini belum banyak dilakukan. Dalam penelitian ini perlu kajian untuk meneliti faktor-faktor apa saja yang dapat mempengaruhi tingkat partisipasi suatu masyarakat baik internal maupun eksternal, sehingga tingkat partisipasi suatu masyarakat dapat diketahui dari faktor-faktor tersebut.
5 Kemampuan memprediksi tingkat partisipasi tersebut juga akan membantu dalam penyusunan kebijakan yang tepat dan bisa digunakan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam kegiatan tersebut. Kerangka Pemikiran Proses perencanaan yang begitu panjang dan banyak melibatkan instistusi terkait serta luasnya sasaran lahan kritis yang perlu direhabilitasi baik di dalam maupun di luar kawasan hutan dalam kurun waktu selama 5 tahun, pola penyelenggaraan GN-RHL beragam, hampir dapat dipastikan dalam pelaksanaan penyelenggaraan GN-RHL akan banyak mengalami permasalahan baik teknis maupun administratif, ditambah lagi sistem pelaksanaan kegiatannya melalui proses tahapan-tahapan yang terputus (discontinue). Akibat dari proses yang bertahap dan terputus tersebut mengakibatkan pertanggungjawaban publik (public accountabillity) juga terputus dan tidak jelas arahnya karena banyaknya pihak-pihak yang terkait, sehingga akhirnya disadari atau tidak disadari akan berdampak kepada keluaran (out-put) atau hasil akhir dari pekerjaan GN-RHL yang cenderung mengarah kepada ketidakberhasilan (kegagalan) di lapangan dengan biaya ekonomi yang tinggi (inefisiensi). Sasaran RHL adalah lahan maka keluaran (out put) dari GN-RHL tidak lain adalah terwujudya penutupan lahan kritis baik di dalam maupun di luar kawasan hutan oleh jenis kayu-kayuan tanaman hutan dan atau jenis MPTS, sehingga lahan kritis tersebut dapat berfungsi kembali sebagai penyangga kehidupan dalam hal pencegahan banjir, erosi, longsor dan sebagainya sesuai dengan tujuan dari GN-RHL. Lahan yang digunakan dalam program RHL di DAS Cisadane Hulu adalah lahan masyarakat. Untuk mengetahui tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan RHL ini dilakukan penelitian dengan melihat faktor-faktor yang dapat mempengaruhi, baik faktor internal maupun faktor ekternal. Faktor internal merupakan ciri-ciri atau karakter individu dari anggota masyarakat itu sendiri, yaitu dapat berupa sumbangan tenaga, pemikiran, penyediaan lahan, perilaku dan kesepakatan anggota masyarakat dalam pelaksanaan kegiatan. Sedangkan faktor eksternal adalah kondisi yang ada di luar karakteristik individu anggota masyarakat, dapat berupa dukungan pemerintah yang berupa sosialisasi program dan penyuluhan, penyediaan sarana dan prasaran rehabilitasi (dana, bibit dan pupuk), fasilitas pembentukan lembaga serta pendampingan. Hal ini dapat menjadi bentuk kegiatan yang bersifat partisipatif. Melalui hubungan empiris
6 diantara faktor-faktor internal dan faktor eksternal terhadap tingkat partisipasi masyarakat, maka dapat ditetapkan alternatif kebijakan yang tepat untuk peningkatan partisipasi masyarakat dalam kegiatan RHL. Kajian faktor internal dan eksternal mengambil sampel dari suatu populasi melalui teknik wawancara terbuka, kuesioner, dan diskusi ahli. Wawancara ataupun kuesioner dilakukan ke berbagai tingkatan responden, yaitu dari tingkatan petani atau masyarakat setempat sampai kepada responden ahli yang mengetahui dan terjun langsung dalam kegiatan RHL di lokasi tersebut. Analisis data dari hasil wawancara menggunakan analisis statistik non parametrik uji korelasi Spearman Rank, untuk mendapatkan ketepatan dalam mengolah data dibantu dengan komputer program Statistical Program for Social Sience (SPSS) versi 15. Sedangkan untuk menentukan alternatif kebijakan peningkatan partisipasi masyarakat menggunakan metode Analytic Hierarchy Process (AHP),
di mana
menggunakan bentuk hirarki sesuai tujuan, aktor, faktor pendukung dan alternatif kebijakan, dalam mengolah data dibantu komputer dengan progran Expert Choice 2000. Uraian mengidentifikasi
tersebut tingkat
menjadi
landasan
partisipasi
kerangka
masyarakat,
pemikiran
mengkaji
untuk
dapat
faktor-faktor
yang
mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat dan menyusun alternatif kebijakan peningkatan partisipasi masyarakat dalam kegiatan RHL di DAS Cisadane Hulu. Secara skematis pada Gambar 1. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi tingkat partisipasi masyarakat, mengkaji hubungan antara faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat dan menyusun alternatif kebijakan dalam peningkatan partisipasi masyarakat dalam kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan di DAS Cisadane Hulu. Manfaat Penelitian Penelitian ini dapat mengetahui tingkat partisipasi masyarakat di setiap tahapan kegiatan dan faktor-faktor yang memiliki hubungan dengan tingkat partisipasi masyarakat, sehingga dapat mengupayakan dalam mengembangkan tingkat partisipasi masyarakat. Hasil penelitian ini juga dapat menjadi
acuan bagi pihak-pihak yang
berkepentingan dalam mengimplementasikan program-program pembangunan yang bersifat partisipatif.
7
Kerusakan Hutan dan lahan yang menyebabkan DAS kritis
Program Rehabilitasi Hutan dan Lahan
Tahapan Perencanaan (Y1)
Tahapan Pelaksanaan (Y2)
Tahapan Evaluasi (Y3)
Faktor Internal - Umur (X1.1) - Tingkat Pendidikan (X1.2) - Luas lahan (X1.3) - Tingkat pendapatan
(X1.4) - Pekerjaan sampingan (X1.5) - Persepsi (X1.6)
Metode AHP
Faktor Eksternal
Tingkat Partisipasi Masyarakat
- Intensitas sosialisassi program (Penyuluhan) (X2.1) - Peran Pendamping (X2.2) - Ketersediaan sarana (X2.3) - Peran kelembagaan sosia (X2.4)
Alternatif prioritas kebijakan
Peningkatan Partisipasi masyarakat
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian
Metode AHP