1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Balai Besar Karantina Pertanian Soekarno-Hatta (BBKPSH) merupakan unit pelaksana teknis (UPT) lingkup Badan Karantina Pertanian yang berkedudukan di Bandara Udara Internasional Soekarno Hatta (BUISH). UPT ini dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden No. 58 Tahun 2001 yang kemudian ditindaklanjuti
dengan
Surat
Keputusan
Menteri
Pertanian
No.
354.1/Kpts/OT.210/6/2001, dan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 392/Kpts/OT.210/7/2001 tentang organisasi dan tata kerja Departemen Pertanian, serta Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 22/Kepmen/OT.140/4/2008 tentang organisasi dan tata kerja Balai Besar Karantina Hewan. Perkembangan perdagangan dunia yang semakin pesat dan berkembang saat ini yang diikuti dengan meningkatnya arus lalu lintas hewan dan produk hewan menuntut kesiapan Karantina Hewan sebagai filter atau pertahanan pertama dalam melindungi dan melestarikan sumber daya hayati hewani dari ancaman Hama Penyakit Hewan Karantina (HPHK) serta melindungi konsumen produk hewan di dalam wilayah Negara Republik Indonesia dari kemungkinan masuknya bibit penyakit yang berasal dari produk hewan impor. Mengingat besarnya frekwensi pemasukan serta arus produk Hasil Bahan Asal Hewan melalui BUISH yang ditujukan bagi konsumen di dalam wilayah Negara Republik Indonesia, maka BBKPSH memegang peranan yang sangat penting dalam misinya melindungi masyarakat dari ancaman zoonosis (penyakit hewan yang dapat menular ke manusia) yang mungkin terbawa oleh hewan dan produk-produk asal hewan
serta memberi rasa aman dan ketentraman batin
konsumen. Salah satu dari banyak produk Hasil Bahan Asal Hewan yang sering melintasi wilayah kerja BBKPSH adalah susu Ultra High Temperature (UHT). Menurut data rekapitulasi kegiatan operasional Balai Besar Karantina Hewan Soekarno-Hatta, sepanjang tahun 2006 telah terjadi arus impor susu UHT yang berasal dari luar Indonesia. Susu UHT yang telah masuk melalui karantina tersebut berasal dari lima negara, yang didominasi oleh produk asal negara
2
Australia (49.318 kg), diikuti oleh produk dari negara New Zealand (4009 kg), Belanda (500 kg), Perancis (359 kg), dan Jepang (9 kg) dari total susu UHT yang masuk sebesar 54.195 kg selama tahun 2006 (Badan Karantina Pertanian 2007). Susu merupakan sumber gizi terbaik bagi manusia. Susu disebut sebagai makanan yang hampir sempurna karena kandungan zat gizi yang lengkap. Selain air, susu mengandung protein, karbohidrat, lemak, mineral, enzim-enzim, gas serta vitamin A, C dan D dalam jumlah memadai. Manfaat susu merupakan hasil dari interaksi dalam molekul-molekul yang terkandung di dalamnya (Astawan 2007). Susu segar merupakan cairan yang berasal dari ambing sapi sehat dan bersih yang diperoleh dengan cara pemerahan yang benar yang kandungan alaminya tidak dikurangi atau ditambah sesuatu apapun dan belum mendapat perlakuan apapun (SNI 01-3141-1998). Dalam prakteknya sangat kecil peluang untuk mengkonsumsi susu segar seperti dalam definisi SNI tersebut di atas. Umumnya susu yang dikonsumsi masyarakat adalah susu olahan baik dalam bentuk cair (susu pasteurisasi, susu UHT) maupun susu bubuk. Susu UHT (Ultra High Temperature) merupakan susu yang diolah menggunakan pemanasan dengan suhu tinggi (135-145 0C) dan dalam waktu yang singkat selama 2-5 detik (Badan Standarisasi Nasional 1998). Pemanasan dengan suhu tinggi bertujuan untuk membunuh seluruh mikroorganisme (baik pembusuk maupun patogen) dan sporanya. Waktu pemanasan yang relatif singkat dimaksudkan untuk mencegah kerusakan nilai gizi susu serta untuk mendapatkan warna, aroma, dan rasa yang relatif tidak berubah seperti susu segar (Astawan 2007). Secara keseluruhan faktor utama penentu mutu susu UHT adalah bahan baku, proses pengolahan dan pengemasannya. Pakan sapi harus bermutu baik dan mengandung zat-zat gizi yang memadai, bebas dari antibiotik dan bahan-bahan toksis lainnya. Diharapkan sapi perah akan menghasilkan susu dengan komposisi gizi yang baik. Mutu susu segar juga harus didukung oleh cara pemerahan yang benar termasuk di dalamnya pencegahan kontaminasi fisik dan mikrobiologi melalui sanitasi alat pemerah dan sanitasi pekerja.
3
Susu segar yang baru diperah harus diberi perlakuan dingin termasuk saat transportasi susu menuju pabrik. Pengolahan di pabrik untuk mengkonversi susu segar menjadi susu UHT juga harus dilakukan melalui proses sanitasi yang optimum yaitu dengan menggunakan alat-alat yang steril dan meminimalkan kontak dengan tangan. Seluruh proses dilakukan secara aseptik. Susu UHT dikemas secara higienis dengan menggunakan kemasan aseptik multilapis berteknologi canggih. Kemasan multilapis ini kedap udara sehingga bakteri tidak dapat masuk ke dalamnya. Susu UHT yang bebas bakteri patogen menyebabkan kondisi tetap segar dan aman untuk dikonsumsi. Selain itu kemasan multilapis susu UHT berfungsi kedap cahaya sehingga cahaya ultra violet tidak mampu menembus dan kesegaran susu UHT akan tetap terjaga. Setiap kemasan aseptik multilapis susu UHT disterilisasi satu per satu secara otomatis sebelum pengisian susu. Proses tersebut secara otomatis dilakukan hampir tanpa adanya campur tangan manusia sehingga menjamin produk yang sangat higienis dan memenuhi standar kesehatan internasional. Teknologi UHT dan kemasan aseptik multilapis menjamin keamanan dan daya tahan susu UHT tanpa membutuhkan bahan pengawet serta tak perlu disimpan di lemari pendingin hingga 10 bulan setelah diproduksi (Astawan 2007). Pada umumnya kontaminasi yang sering ditemukan pada susu UHT bersumber pada kurangnya pengawasan di bagian kontrol kualitas. Sebelum dijual ke pasaran, produk susu telah melalui kontrol kualitas fisik, kimia dan biologi dengan cara mengukur status mikroba (jumlah dan jenis bakteri). Kemungkinan kedua terjadi pada proses distribusi sampai ke konsumen yang biasanya terdapat kerusakan kemasan selama dalam perjalanan. Suhu rendah selama masa penyimpanan sampai ke konsumen tidak membunuh mikroorganisme tetapi hanya menghambat perkembangbiakannya. Mikroba patogen yang umum mencemari susu adalah Escherichia coli. Standar Nasional Indonesia tahun 2000 mensyaratkan bakteri E. coli tidak boleh ditemukan dalam susu dan produk olahannya. Bakteri E. coli dalam susu maupun produk olahannya dapat menyebabkan diare pada manusia bila dikonsumsi. Beberapa bakteri patogen yang umum mencemari susu adalah Brucella sp., B.
4
cereus, Listeria monocytogenes, Campylobacter sp., Staphylococcus aureus, dan Salmonella sp. (Adams dan Motarjemi 1999). Bakteri yang dapat mencemari susu terbagi menjadi dua golongan, yaitu bakteri patogen (pathogenic bacteria) dan bakteri pembusuk (spoilage bacteria). Beberapa jenis bakteri tersebut dapat menimbulkan penyakit yang ditularkan melalui susu (milkborne diseases) seperti tuberkulosis, bruselosis, dan demam tipoid (typhoid fever). Pembusukan susu oleh bakteri dapat menyebabkan degradasi protein, karbohidrat, dan lemak yang terkandung dalam susu. Pencemaran susu oleh bakteri Escherichia coli dapat bersifat enterovirulen serta memproduksi gas dan asam, sehingga bakteri ini mempunyai peran ganda baik sebagai bakteri patogen maupun bakteri pembusuk (Goff dan Hill 1993). Cemaran mikroba pada produk olahan asal susu dan produk pangan lainnya yang mampu menyebabkan penyakit (food borne disease) tergantung pada jenis mikroba, jumlah mikroba, dan toksin yang dihasilkan. Pada B. cereus jumlah minimal cemaran pada produk susu maupun produk pangan yang mampu menyebabkan terjadinya keracunan adalah
sebesar 105/g. Apabila jumlah
cemaran mikroba B. cereus kurang dari 105/g tidak akan menimbulkan gejala penyakit.
Perbedaan
jumlah
minimal
cemaran
mikroba
yang
mampu
menyebabkan sakit tercantum pada Tabel 1. Tabel 1 Jumlah Mikroba dan Racunnya yang dapat Menyebabkan Sakit Mikroba B. cereus C. jejuni C. botulinum C. perfringens E. coli O157 : H7 Salmonella sp. S. typhi S. aureus
Jumlah minimal 105/g atau toksin 102 Toksin dosis rendah 106 102 105 102 Toksin dosis rendah
Sumber: Lily 2000
Konsumen yang mengkonsumsi produk olahan asal susu yang tercemar mikroba akan mengalami gejala sakit setelah melewati masa inkubasi. Masa inkubasi penyakit berbeda-beda tergantung pada jenis mikroba penyebab penyakitnya. Masa inkubasi untuk B. cereus tipe emetik (muntah) berbeda dengan
5
masa inkubasi tipe diare. Perbedaan jenis mikroba, masa inkubasi, dan gejala sakit terdapat pada Tabel 2. Tabel 2 Gejala Keracunan Makanan serta Mikroba Penyebabnya Inkubasi 1 – 5 jam 2 – 6 jam 8 –18 jam 8 –16 jam 12 -36 jam 12 – 48 jam 24 – 48 jam 2 – 5 hari
Gejala Muntah, mual, diare, kejang Muntah, mual, diare Diare, sakit perut Diare, sakit perut Lemah, pandangan ganda, sulit menelan, mulut kering Diare, demam, sakit perut beberapa hari Diare, kadang berdarah Diare, sakit perut, demam
Mikroba penyebab B. cereus S. aureus C. perfringens B. cereus C. botulinum Salmonella E. coli Campylobacter
Sumber: Lily 2000
Berdasarkan permasalahan diatas maka perlu dilaksanakan pengujian mikrobiologik terhadap makanan yang berpotensi menyebabkan gangguan kesehatan konsumen. Pengujian mikrobiologik pada bahan pangan, baik pada bahan baku, selama proses, dan produk akhir dilaksanakan dalam rangka pengawasan keamanan dan mutu bahan pangan. Pengujian lebih ditujukan untuk mengetahui jumlah dan keberadaan mikroorganisme patogen tertentu (Soejoedono 2004). Tabel 3 Suhu Pertumbuhan Minimal Beberapa Mikroorganisme Sifat mikroba Patogen atau potensial patogen
Mikroorganisme index atau indicator Mikroorganisme pembusuk
Sumber : Sinell, 1992
Genus atau spesies B. cereus Staphylococcus aureus S. aureus pembentuk enterotoxin Vibrio parahaemolyticus E.coli enteropatogenik Clostridium botulinum tipe A Pseudomonas aeruginosa Salmonella sp Clostridium perfringens Clostridium botulinum tipe E dan beberapa strain tipe B dan F E. coli Klebsiella sp, Enterobacter sp. Streptococcus faecalis B. subtilis Streptococcus faecium Lactobacillus sp. Pseudomonas fluorescens Ragi
Suhu pertumbuhan minimum (°C) 10 5 – 13 10 – 19 5- 8 8 – 10 10 9 6 5 3,5 – 5 8 – 10 ±0 ±0 12 ±0–3 1 -3 - 12
6
Rumusan Permasalahan Keberadaan B. cereus pada produk olahan susu ditulis oleh Bean dan Griffin (1990) yang melaporkan bahwa 94% dari penyakit keracunan yang diakibatkan oleh B. cereus berasal dari produk-produk asal susu yang disimpan pada suhu penyimpanan yang tidak tepat. Meer et al. (1991) juga melaporkan bahwa B. cereus telah berhasil diisolasi dari susu segar dan susu pasteurisasi. Becker et al. (1994) menemukan adanya B. cereus pada makanan bayi, dan produk-produk susu bubuk. De Rezende (1998) bahkan melaporkan terdapat 34,17% sampel yang positif mengandung bakteri B. cereus pada pengujian produk susu UHT yang berasal dari Brazil pada tahun 1998. Penelitian ini dimaksudkan untuk mendeteksi keberadaan B. cereus pada susu UHT impor yang masuk ke Indonesia, juga untuk mengetahui kualitas susu UHT impor bagi konsumen di Indonesia. Sesuai dengan Standar Nasional Indonesia mengenai spesifikasi persyaratan mutu susu UHT (SNI 01-3950-1998), yang mengharuskan tidak adanya cemaran mikroba dalam produk susu UHT (0) maka semua produk susu UHT baik yang beredar maupun yang masuk ke negara Indonesia juga diharuskan tidak mengandung mikroba. Peraturan perundang-undangan kesehatan hewan yang berlaku di Indonesia juga menyebutkan mengenai larangan kandungan residu antibiotik dalam susu serta mengatur pemakaian antibiotik pada ternak. Hasil ternak baru boleh dikonsumsi oleh manusia setelah melewati waktu henti (withdrawal time) antibiotik yang digunakan terhadap ternak (Direktorat Kesehatan Hewan, 1987).
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat keamanan susu UHT ditinjau dari kualitas mikrobiologik melalui pengujian Total Plate Count, dan B. cereus serta residu antibiotik pada produk susu UHT impor yang melewati Balai Besar Karantina Pertanian Soekarno Hatta.
7
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan mampu memberi manfaat berupa informasi serta keterangan bagi masyarakat tentang kualitas susu UHT impor sehingga dapat menjamin bahwa produk susu UHT tersebut aman, sehat, dan bebas dari kontaminasi mikroba. Hasil dari penelitian ini diharapkan mampu menjadi salah satu bahan rujukan dan masukan bagi kebijakan teknis kegiatan importasi produkproduk olahan asal susu khususnya susu UHT yang akan masuk ke Indonesia.
Hipotesis Penelitian Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah bahwa susu UHT impor yang berasal dari Negara Australia tercemar mikroba B.cereus.