PENDAHULUAN Latar Belakang Pengembangan pertanian di lahan rawa pasang surut semakin penting dan strategis dalam kaitannya dengan perkembangan penduduk, industri, dan berkurangnya lahan subur karena berbagai penggunaan non pertanian. Potensi lahan pasang surut di Indonesia sekitar 20,1 juta hektar, yang terdiri dari 2,07 juta hektar lahan potensial, 6,72 juta hektar lahan sulfat masam, 10,8 juta hektar lahan gambut, dan 0,44 juta hektar lahan salin (Nugroho et al. 1992). Lahan pasang surut yang berpotensi untuk dijadikan areal pertanian sekitar 9,53 juta hektar, yang sudah direklamasi sampai tahun 2000 baru sekitar 4,18 juta hektar (Alihamsyah, 2002), sisanya masih merupakan lahan yang belum dimanfaatkan. Karakteristik mineralogi tanah sulfat masam penting diketahui karena komposisi bahan kimianya memegang peranan penting dalam mengendalikan perilaku ion-ion dalam larutan tanah. Mulyanto et al. (1999) menyatakan bahwa hasil analisis mineral liat dari semua contoh tanah sulfat masam yang dianalisis dengan penjenuhan K+, Mg2+, dan Mg2+ ditambah glycol menunjukkan bahwa tanah sulfat masam mengandung mineral kaolinit, mika, mineral liat campuran mika-smektit, mika-vermikulit, smektit-kaolinit dan smektit. Dent (1986) menyatakan bahwa selain mineral-mineral di atas, dijumpai juga mineral kuarsa dan markasit. Mineral markasit (FeS2) merupakan volimorf dari mineral pirit yang terbentuk sehubungan dengan lingkungan air payau. Reaksi oksidasi pirit merupakan penyebab utama munculnya permasalahan di tanah sulfat masam. Menurut Van Mensvoort dan Dent (1998); Dent (1986); Jaynes et al. (1984) oksidasi pirit akan menghasilkan Fe(OH)3 H+(aq).
(s),
SO42-(aq), dan
Oksidasi pirit secara kimia berlangsung lambat, tetapi reaksi yang
dimediasi oleh bakteri pengoksidasi besi, khususnya Thiobacillus ferrooxidans menjadikan kondisi optimum untuk oksidasi pirit dengan konsentrasi oksigen (1%), temperatur (30 oC), dan pH (3,2). Sedangkan proses reduksi pada tanah sulfat masam akan menghasilkan Fe2+(aq) dan H2S(aq, g). Reduksi besi (Fe III menjadi Fe II) terjadi pada potensial redoks (Eh) -180 mV yang menyebabkan pH menjadi 7, dan reduksi sulfat (SO42(aq) menjadi H2S(aq,g)) terjadi pada Eh -220 mV
yang juga menyebabkan pH naik mencapai 7. Pirit adalah bentuk umum dan sangat stabil yang merupakan produk akhir dari reduksi sulfat. Hasil oksidasi pirit adalah mineral berwarna kuning yang dikenal sebagai jarosit yang mengendap. Keberadaan mineral ini umumnya pada kondisi oksidasi kuat (Eh > + 400 mV) dan menyebabkan tanah menjadi sangat masam (pH < 3,7). Pembentukan K-jarosit dari pirit akan menghasilkan KFe3(SO4)2 (OH)6(s), SO42(aq),
dan H+(aq). +
(FeO.OH(s)), H
Pada pH lebih tinggi, jarosit terhidrolisis menjadi goetit (aq),
dan SO42-(aq).
Menurut Breemen (1993) pada pH sangat
rendah (< 4) kelarutan Al3+ cukup tinggi menyebabkan cukup besarnya mobilitas Al3+ dalam tanah. Secara alami tanah sulfat masam dalam keadaan tergenang namun masih terjadi oksidasi. Reklamasi lahan pasang surut dengan tanah sulfat masam untuk pertanian umumnya dimulai dengan pembuatan saluran drainase.
Drainase
berlebih dapat mempercepat proses oksidasi, oleh karena itu upaya pengelolaan tanah dan air di tanah sulfat masam lebih difokuskan pada upaya mempertahankan lapisan pirit tetap dalam kondisi reduksi (Multilaksono et al., 2001). Jika telah terjadi oksidasi, maka air drainase pada tanah sulfat masam akan membawa hasil oksidasi dan reduksi seperti ion-ion H+, SO42-, Al3+, dan Fe2+ serta unsur hara Ca2+, Mg2+ dan K+, kondisi ini dapat mencemari lingkungan sekitarnya (Rachim et al., 2000). Upaya perbaikan kualitas air drainase tesebut dapat dilakukan dengan mengalirkan air drainase melewati tumbuhan biofilter berupa purun tikus (Eleocharis dulcis) dan bulu babi (Eleocharis retroflaxa) yang dapat menyerap atau menetralisir unsur-unsur tersebut. Mulyanto et al. (1998) menyatakan bahwa purun tikus mengandung Fe dan S masing-masing 273 dan 4.500 ppm. Sedangkan Anwar (2006) menyatakan bahwa bulu babi mengandung Fe dan S masing-masing 884 dan 340 ppm. Pelindian tanah sulfat masam merupakan salah satu upaya untuk membuang asam dan ion-ion seperti Fe-bebas, SO42-, Al3+, dan Mn2+ yang berada pada tingkat meracun bagi tanaman. Subagyono et al. (1994) menyatakan bahwa pelindian tidak hanya mengurangi kemasaman, tetapi berdampak pada terlindinya basa-basa seperti
Ca2+ dan Mg2+ yang diperlukan untuk pertumbuhan dan
2
produksi tanaman. Keadaan ini terbukti dari kandungan Ca2+ dan Mg2+ di dalam tanah pada lahan yang dilindi lebih rendah dari pada lahan yang digenangi. Sumber air yang umum dijumpai di lingkungan tanah sulfat masam adalah air laut di daerah pantai, air tawar di daerah lebih ke pedalaman, dan air gambut di daerah bagian tengah kawasan atau delta.
Air gambut memiliki kelebihan
dibandingkan dengan air tawar karena mengandung asam-asam organik yang terlarut.
Van Breemen dan Brinkman (1978) menyatakan bahwa air gambut
mengandung senyawa organik berbobot molekul rendah (asam-asam sitrat, oksalat, vanillat dan p-hidroksibenzoat), sebagaimana asam fulvat yang lebih kompleks memainkan peranan penting sebagai pengkelat. Gugus fenolat dan karboksilat dari asam fulvat membentuk semacam cakar yang mempunyai affinitas sangat kuat bagi ion-ion logam trivalen seperti Al3+ dan Fe3+. Senyawa padatan dan larutan dari asam fulvat dengan Al3+ atau Fe2+ membentuk kelat yang dapat mengurangi pencemaran lingkungan akibat kelarutan ion-ion tersebut. Bourbonniere dan Creed (2006) menyatakan bahwa asam humat dan fulvat yang ada pada air gambut dapat menyumbangkan muatan negatif tanah dan berfungsi sebagai koloid organik. Asam humat dan fulvat berturut-turut memiliki muatan negatif rata-rata 670 dan 1.030 me 100 g-1 . Berdasarkan paparan di atas terlihat bahwa proses oksidasi dan reduksi pirit akan menyebabkan larutnya ion-ion Fe2+, Al3+, dan SO42-. Oleh karena itu, dalam penelitian ini dilakukan dua pendekatan yakni membuat pirit berada dalam kondisi reduksi atau membiarkan pirit teroksidasi kemudian dilindi, namun air hasil lindian dinetralisir dengan tumbuhan biofilter yang terdiri dari tumbuhan purun tikus dan bulu babi dengan (LTB/pot) yang sesuai sehingga tidak menyebabkan pencemaran lingkungan sekitarnya. Tujuan 1. Mempelajari dan menemukan kondisi awal Eh tanah sulfat masam dan sumber air pelindi (air hujan, air payau, dan air gambut) yang dapat mempercepat ion-ion Fe2+, Fe-total, SO42-, dan Al3+ terlindi dari tanah. 2. Mempelajari dan menemukan sumber air pelindi yang dapat menurunkan konsentrasi Fe2+, Fe-total, dan SO42- pada air hasil lindian, tanah yang
3
dilindi, dan memperbaiki pertumbuhan serta produksi padi varietas Margasari. 3. Mempelajari dan menemukan (LTB/pot) serta jenis tumbuhan biofilter dan sumber air pelindi yang dapat menurunkan konsentrasi Fe2+, Fe-total, dan SO42- pada air hasil lindian.
Hipotesis 1. Pelindian dengan pengeringan terlebih dahulu akan lebih cepat melindi ion-ion Fe2+, Fe-total, dan SO42- dari tanah dibandingkan dengan tanpa pengeringan. 2. Sumber air pelindi dapat menurunkan konsentrasi ion-ion Fe2+, Fe-total, dan SO42- pada air hasil lindian dan tanah yang dilindi, baik sebelum maupun sesudah ditanami padi varietas Margasari. 3. (LTB/pot) serta jenis tumbuhan biofilter dapat menurunkan konsentrasi ion-ion Fe2+, Fe-total, dan SO42- pada air hasil lindian.
Kerangka Pemikiran Lahan rawa pasang surut pada awalnya merupakan rawa pantai pasang surut di muara sungai besar, yang dipengaruhi secara langsung oleh air laut. Di bagian agak ke pedalaman, pengaruh sungai besar makin kuat sehingga wilayah ini memiliki lingkungan air payau. Adanya proses sedimentasi, kini wilayah ini berwujud daratan yang merupakan bagian dari delta sungai. Wilayah ini terletak relatif agak jauh dari garis pantai sehingga kurang terjangkau secara langsung oleh air laut pada waktu pasang. Oleh karena itu, wilayah ini sekarang lebih banyak dipengaruhi oleh air sungai dari pada air laut akibat pasang surut harian (Subagjo, 2006). Di wilayah pasang surut terdapat dua jenis tanah utama, yaitu tanah mineral dan tanah gambut. Tanah mineral di wilayah pasang surut terbentuk dari bahan endapan marin, yang proses pengendapannya di dalam lingkungan laut (marin). Pada wilayah agak ke pedalaman, pengaruh sungai relatif kuat, sehingga tanah bagian atas terbentuk dari endapan sungai, sedangkan pada bagian bawahnya
4
terdapat bahan sulfidik (yang mengandung pirit tinggi), proses pengendapan lumpur bahan tanah didominasi oleh air laut (Widjaja Adhi et al., 2000). Tanah ini disebut tanah sulfat masam karena berkaitan dengan adanya pirit dalam tanah dan bila teroksidasi akan menghasilkan asam sulfat sehingga menyebabkan tanah menjadi sangat masam (pH 2-3). Menurut Van Breemen dan Pons (1978) berdasarkan kemasaman dan kematangannya, tanah sulfat masam dibagi menjadi dua kelompok yaitu: (1) tanah sulfat masam potensial dan (2) tanah sulfat masam aktual. Tanah sulfat masam potensial digolongkan dalam great grup Sulfaquent, yang dicirikan oleh warna kelabu, masih mentah (n > 0,7), dan tingkat kemasaman sedang sampai masam (pH 4,0). Subgrup lain dari tanah sulfat masam potensial adalah Sulfic Fluvaquent,Sulfic Hydraquent, Sulfihemist, dan Sulfisaprist.
Tanah sulfat masam aktual digolongkan dalam great grup
Sulfaquept, yang dicirikan oleh warna kecoklatan, cukup matang (n < 0,7), dan sangat masam (pH < 3,5). Subgrup lain dari tanah sulfat masam aktual adalah Sulfohemist dan Sulfosapris. Tanah ini memiliki horizon sulfurik yang disebabkan oleh teroksidasinya pirit akibat drainase berlebih. Apabila pH tanah < 3,5 dapat mengakibatkan kisi-kisi liat hancur sehingga ion Al3+ sangat dominan dalam kompleks jerapan. Degradasi tanah sulfat masam dimulai dari reklamasi lahan menggunakan alat-alat berat, pembuatan salaruran drainase berukuran besar, dan kesalahan dalam pengelolaan lahan sehingga terjadi proses oksidasi pirit. Oksidasi pirit merupakan penyebab utama munculnya permasalahan di tanah sulfat masam. Menurut Van Mensvoort dan Dent (1998) proses oksidasi pirit pada tanah sulfat masam menghasilkan ion-ion Fe3+, SO42-, dan H+. Adanya ion H+ menyebabkan kemasaman tanah meningkat yang diikuti oleh meningkatnya kelarutan Al3+. Sedangkan pada musim hujan, tanah mengalami proses
reduksi yang
menyebabkan kelarutan Fe2+ tinggi. Kondisi ini menyebabkan tingkat kesuburan dan produktivitas lahan menurun, lama kelamaan akan menjadi lahan tidur atau terlantar. Selama ini perbaikan lahan yang telah mengalami kerusakan dilakukan dengan mempertahankan pirit dalam kondisi redoksi dan pelindian secara alami. Perbaikan lahan seperti ini memerlukan waktu puluhan tahun, adanya sistem tata air satu arah untuk lahan pasang surut tipe A dan B serta sistem tabat pada
5
lahan tipe C dan D memungkinkan lahan untuk dibiarkan teroksidasi selama musim kemarau, kemudian dilindi pada musim hujan. Terdapat dua cara tumbuhan mengatasi cekaman Al3+ dan Fe2+, yaitu melalui mekanisme eksternal dan internal. Pada mekanisme eksternal, tumbuhan mencegah Al dan Fe masuk ke dalam jaringan antara lain dengan mengeksudasi asam organik pada akar yang dapat berikatan dengan Al3+ dan Fe2+ di rhizosfer sehingga membentuk kompleks dan tidak bersifat racun bagi tumbuhan (Ryan et al., 2001). Mekanisme kedua adalah secara internal dimana tumbuhan dapat mentolerir kehadiran Al dan Fe di dalam jaringan dengan cara menghasilkan asam organik atau ligan organik yang dapat berikatan dengan Al3+ dan Fe2+ sehingga terbentuk kompleks yang tidak bersifat racun (Watanabe dan Osaki, 2002). Crolak (2001) yang melakukan penelitian di lahan basah sub tropika Polandia menunjukkan bahwa tanaman dari jenis rerumputan (Taraxacum offinalle Webb) mampu menyerap logam-logam berat yang diakumulasi dalam jaringan tanaman tanpa menampakkan efek fisiologi. Suriawiria (2003) menunjukkan beberapa jenis tanaman yang mampu berfungsi sebagai biofilter antara lain: enceng gondok (Eichornia crassipes), kayambang (Lemna menor), ki apu (Spirodella polyrhiza), mendong (Fimbristylis exp), paku air (Azolla pinnata), kangkung (Ipomoea aquatica), genjer (Limnocharis flava) dan selada air (Nosturfium offinale). Tanaman-tanaman ini umumnya mempunyai mikrob rhizosfer yang mampu menguraikan bahan organik dan anorganik di sekitar akarnya sehingga dapat memperbaiki kualitas air dari pencemaran logam berat. Proses pelindian di tanah sulfat masam berlangsung secara alami karena adanya pergantian pasang dan surut air serta musim kemarau dan hujan. Air drainase pada awal musim hujan akan membawa hasil oksidasi dan reduksi, seperti ion-ion H+, Fe2+, Al3+, dan SO42- yang berakibat pada pencemaran lahan pertanian di sekitarnya. Agar pencemaran terhadap lingkungan dapat ditekan seminim mungkin, maka air drainase perlu diperbaiki kualitasnya dengan menggunakan tumbuhan biofilter yang terdiri dari tumbuhan purun tikus dan bulu babi. Selain itu, digunakan juga sumber air yang berbeda yaitu air hujan, air payau, dan air gambut. Air gambut mengandung asam-asam organik yang dapat
6
mengikat Al3+ dan Fe2+ membentuk kelat, sehingga pencemaran lingkungan akibat kelarutan ion-ion ini dapat dikurangi.
Kerangka Penyajian Tulisan Hasil penelitian akan disajikan dalam kerangka tulisan yang terdiri dari delapan bagian yaitu: BAB I
Pendahuluan: terdiri dari latar belakang penelitian, tujuan, hipotesis, kerangka pemikiran, dan kerangka penyajian tulisan.
BAB II
Tinjauan Pustaka: memuat tulisan-tulisan ilmiah hasil penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan aspek yang diteliti
BAB III
Metodologi Penelitian: memuat penjelasan tentang tempat dan waktu penelitian, lokasi pengambilan contoh tanah, dan tahapan pelaksanaan kegiatan penelitian.
BAB VI
Pelindian Tanah Sulfat Masam pada Beberapa Kondisi Potensial Redoks Menggunakan Sumber Air Pelindi
BAB V
Pelindian Tanah Sulfat Masam Menggunakan Sumber Air Insitu serta Pengaruhnya terhadap Pertumbuhan dan Hasil Padi
BAB VI
Kemampuan Biofilter dan Sumber Air Insitu dalam Menurunkan Konsentrasi Fe2+, Fe-total, dan SO42- pada Air Hasil Lindian
BAB VII
Pembahasan Umum: memuat hubungan antar bab yang masih belum dibahas
BAB VIII
Kesimpulan dan Saran: memuat kesimpulan hasil penelitian secara menyeluruh dan saran yang diberikan untuk penelitian selanjutnya Daftar Pustaka
Alihamsyah, T. 2002. Optimalisasi pendayagunaan lahan rawa pasang surut. Makalah disajikan pada Seminar Nasional Optimalisasi Pendayagunaan Sumberdaya Lahan di Cisarua tanggal 6-7 Agustus 2002. Puslitbang Tanah dan Agroklimat. Anwar, K. 2006. Peningkatan kualitas tanah sawah dan air buangan di saluran drainase pada tanah sulfat masam [disertasi]. Bogor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
7
Bourbonniere, R. A. and I. F. Creed. 2006. Biodegradability of dissolved organic matter extracted from a chronosequence of forest-floor materials. Journal of Plant Nutrition and Soil Sci. 169:101-107. Crolak, E. 2001. Heavy metal content in falling dust, soil and dandelion (Taraxacum offinale Webb) in southern Poddlasie lowland. In. Series Environmental Development. Polandia: Electronic Journal of Polish Agricultural University. Vol. 4, Issue 1. Hptt://www.ejpau.media.pl/series /volume4/issue1/enviroment/art-01.html. Dent, D. L. 1986. Acid sulphate soils: A baseline for research and development, Pub. 39, Int. Inst. Land Reclamation and Improvement, Wageningen. ISBN 90 70260 980. Jaynes, D. B., A. S. Rogowski, and H. B. Pionke. 1984. Acid mine drainage from reclaimed coal strip mines, I. Model description. Water Resources Research 20:233-242. Mulyanto, B., Suwardi, dan B. Sumawinata. 1998. Hubungan asosiasi vegetasi dengan sifat-sifat tanah dalam sekuen suksesi pada Sistem Pengelolaan Lahan Orang Banjar (SPLOB) di Kalimantan Selatan. Jurnal Ilmiah Pertanian. Gakuryoku 2:24-33. Mulyanto, B., B. Sumawinata, Suwardi, dan G. Djajakirana. 1999. Sifat mineralogi liat tanah berpotensi sulfat masam pada Sistem Pengelolaan Lahan Orang Banjar (SPLOB) di Kalimantan Selatan. Jurnal Ilmiah Pertanian. Gakuryoku 4:273-281. Murtilaksono, K., Sudarmo, A. Sutandi, G. Djajakirana, dan U. Sudadi. 2001. Model sistem drainase dalam hubungannya dengan oksidasi pirit serta pengaruhnya terhadap sifat kimia tanah dan kualitas air pada tanah sulfat masam. Laporan Hasil Penelitian Hibah Bersaing Perguruan Tinggi T. A. 1998-2001. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Nugroho, K. Alkasuma, Paidi, W. Wahdini, Abdurachman, H. Suhardjo, dan IPG. Widjaja Adhi. 1992. Peta areal potensial untuk pengembangan pertanian lahan rawa pasang surut, rawa dan pantai. Proyek Penelitian Sumberdaya Lahan. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor. Rachim, A., K. Murtilaksono, A. Sastiono, dan Sudradjad. 2000. Peningkatan produktivitas tanah sulfat masam untuk budidaya tanaman palawija melalui pencucian dan penggunaan amelioran. Laporan Hasil Penelitian Hibah Bersaing Perguruan Tinggi T. A. 1997-2000. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Ryan, P.R., E. Delhaize, and D.L. Jones. 2001. Function and mechanism of organic anion exudation from plant roots. Plant Mol. Biol. 52:527-560.
8
Van Bremen, N. 1993. Environmental aspects of acid sulpahate soil. p. 391-402. In. Dent, D. L. and M. E. F. van mensvoor (ed.) Selected Paper of the Ho Chi Minh City Simposium on Acid Sulphate Soils. Vietnam. March 1992. Van Bremeen, N. and R. Brinkman. 1978. Chemical aquilibria and soil formation. In. Soil Chemistry. A Elsilvier Sciencetific Pub. Co. Van Bremeen, N. and L. J. Pons. 1978. Soil ripening and soil classification. Pub. 13, Int. Inst. Land Reclamation and Improvement. Wageningen. Van Mensvoort, M. E. F. and D. L. Dent. 1998. Acid Sulphate Soil. p. 301337. In. Lal, R., W. H. Blum, C.Valentine, and B. A. Steward (ed.). Method for Assessment of Soil Degradation. Florida. CRC Prees LLC. Subagjo. 2006. Lahan rawa pasang surut. p. 23-98. Dalam. Karakteristik dan pengelolaannya. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor. Subagyono, K. H. Suwardjo, A. Abas, dan I.P.G. Widjaja-Adhi. 1994. Pengaruh pencucian, kapur dan pemupukan K terhadap sifat kimia tanah , kualitas air dan hasil padi pada lahan sulfat masam di Unit Tatas, Kalimantan Tengah. Pemberitaan Penelitian Tanah dan Pupuk 12:35-47. Suriawira, O. 2003. Mikrobiologi Air dan Dasar-dasar Pengolahan Buangan secara Biologis. Cetakan ke 3. PT. Alumni. Bandung. Watanabe, T. and M. Osaki. 2002. Mechanisms of adaptation to high aluminum condition in native plant species growing in acid soils. Communication Soil Science Plant Analysis 33:1247-1260. Widjaja Adhi, IPG., D. A. Suradikarta, M. T. Sutriadi, IGM. Subiksa, dan IW. Suastika. 2000, Pengelolaan, pemanfaatan, dan pengembangan lahan rawa. p. 127-164. Dalam. A. Adimihardja, L. I. Amien, F. Agus, dan D, Djaenudin (Eds.). Sumber Daya Lahan Indonesia dan Pengelolaannya. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat.
9