PENDAHULUAN Latar Belakang Otonomi Daerah sebagai wujud dari sistem demokrasi dan desentralisasi merupakan landasan dalam pelaksanaan strategi pembangunan yang berkeadilan, merata, dan inklusif. Kebijakan Otonomi Daerah telah dimulai sejak awal reformasi sepuluh tahun yang lalu dan diamanatkan melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, dan telah disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Penyerahan sebagian besar kewenangan Pemerintahan kepada Pemerintah Daerah, telah menempatkan Pemerintah Daerah sebagai ujung tombak pembangunan nasional, dalam rangka menciptakan kemakmuran rakyat secara adil dan merata. Sebagaimana pernyataan yang disampaikan dalam suatu pidato kenegaraan (2009),
Presiden
SBY
mengungkapkan
bahwa
Otonomi
Daerah
yang
dilaksanakan dengan benar, akan menghasilkan dampak yang positif dalam bentuk pertumbuhan ekonomi daerah yang makin merata, serta tingkat kemiskinan dan pengangguran yang makin menurun. Dalam mewujudkan pembangunan daerah yang adil dan merata, maka pelaksanaan desentralisasi fiskal secara konsisten dan bertanggung jawab menjadi sangat penting. Desentralisasi keuangan negara ditujukan untuk menjalankan prinsip anggaran, yang harus mengikuti fungsi dan tanggung jawab yang telah didelegasikan kepada daerah (money follows function). Kebijakan transfer anggaran ke daerah ditujukan untuk dapat mengurangi kesenjangan fiskal antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah, serta kesenjangan antar daerah. Transfer anggaran ke daerah juga ditujukan untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik di daerah, dan mengurangi kesenjangan pelayanan publik antar daerah. Menurut Sjafrizal (2008), diberlakukannya kebijakan Otonomi Daerah merupakan
bagian
dari
upaya
mengatasi
disparitas
dan
ketidakadilan
pembangunan antar wilayah (inter-regional), termasuk ketidakseimbangan kewenangan antara pusat dan daerah. Dengan dilaksanakannya Otonomi Daerah dan desentralisasi pembangunan, maka aktivitas pembangunan daerah, termasuk daerah terbelakang akan lebih digerakkan karena ada wewenang yang berada pada pemerintah daerah dan masyarakat setempat. Dengan adanya wewenang tersebut, maka berbagai inisiatif dan aspirasi masyarakat untuk menggali potensi daerahnya
2
akan dapat diakomodir. Bila hal ini dapat dilakukan, maka proses pembangunan daerah secara keseluruhan dapat lebih ditingkatkan dan secara bersamaan disparitas pembangunan antar wilayah akan dapat dikurangi. Selain itu Anwar (2005) menambahkan bahwa Otonomi Daerah diharapkan dapat memotong proses backwash yang telah menyebabkan terjadinya keterkaitan-keterkaitan interregional yang bersifat ekploitatif, yang pada gilirannya dapat mengurangi disparitas pembangunan antar wilayah. Namun, dengan adanya kebijakan Otonomi Daerah ini, wilayah yang kaya (terutama sumberdaya alam) dan dapat mengelola potensi di wilayahnya dengan baik akan berpeluang menjadi semakin kaya dan mengalami tingkat pertumbuhan yang lebih pesat dibandingkan dengan wilayah yang lain, sehingga hal ini justru memperparah tingkat disparitas yang terjadi antar wilayah. Paradigma
baru
pembangunan
menuntut
adanya
keserasian
dan
keseimbangan antara pertumbuhan dan pemerataan, atau growth with equity. Strategi demikian juga merupakan koreksi atas kebijakan pembangunan terdahulu, yang dikenal dengan istilah trickle down effect. Strategi trickle down effect mengasumsikan perlunya memprioritaskan pertumbuhan ekonomi terlebih dahulu, baru kemudian dilakukan pemerataan. Dalam kenyataannya di banyak negara, termasuk di Indonesia, teori ini gagal menciptakan kemakmuran untuk semua. Sebagaimana konsep temuan Kuznets (1954): kurva U-terbalik yang menyatakan bahwa bagi negara yang pendapatannya rendah, tumbuhnya perekonomian harus mengorbankan pemerataan (trade off antara pertumbuhan dan pemerataan). Pembangunan ekonomi yang semakin berorientasi kepada mekanisme pasar serta adanya pergeseran struktur perekonomian, menyebabkan disparitas pembangunan antar wilayah menjadi hal yang sulit dihindari. Salah satu contoh bentuk disparitas regional yang banyak dikaji dan seringkali menjadi fokus pembicaraan tentang masalah kesenjangan di Indonesia adalah bentuk disparitas antara Jawa dan luar Jawa. Pulau Jawa yang luasnya hanya mencapai 7% dari total seluruh luas daratan Nusantara merupakan pulau yang mempunyai daya tarik yang tinggi ditinjau dari segi sosial, ekonomi, geopolitik dan kondisi sumberdaya alam. Pulau Jawa menduduki posisi yang penting dalam percaturan kehidupan sosial dan pemerintahan nasional, karena: (a) merupakan lokasi pusat pemerintahan; (b) ditempati oleh sebagian besar penduduk Indonesia (dihuni oleh sekitar 60% penduduk nasional); dan (c) berkontribusi paling besar dalam perekonomian nasional. Dari data BPS dapat diketahui bahwa jumlah penduduk di
3
Pulau Jawa meningkat sebesar 7.89% dari tahun 2000 hingga 2006. Dalam konstelasi perekonomian nasional, Pulau Jawa memegang peranan yang sangat signifikan karena kontribusinya dalam menyumbangkan sekitar 59% PDRB nasional, sedangkan sisanya (41%) disumbangkan oleh wilayah luar Jawa. Berbagai faktor, seperti kekayaan sumberdaya alam (khususnya kesuburan tanah), faktor sejarah, geografi, sosial-budaya, kondisi infrastruktur dan aksesibilitas ke sistem perekonomian nasional dan global serta berbagai kebijakan pembangunan yang “bias Jawa” (sebagaimana dikemukakan Anwar, 2005 dan Rustiadi et al., 2009) menyebabkan Pulau Jawa tumbuh menjadi kawasan paling berkembang dan memiliki “magnet” bagi masuknya investasi pembangunan nasional di Indonesia. Kecenderungan pembangunan yang “bias Jawa” nampaknya masih akan berlangsung dari waktu ke waktu. Bias Jawa yang terjadi di Indonesia dapat disaksikan dalam berbagai bentuk pembangunan (baik fisik maupun non fisik) serta segala bentuk investasi dan modal yang sebagian besar disalurkan di Pulau Jawa. Pesatnya pembangunan yang dilakukan dan derasnya aliran modal di Pulau Jawa menyebabkan wilayah tersebut menjadi tempat terkonsentrasinya penduduk. Perumusan Masalah Sejak tahun 1970-an hingga saat ini telah banyak penelitian dan kajian yang mengangkat isu tentang pembangunan ekonomi regional yang fokus pada masalah disparitas pembangunan antar wilayah di Indonesia. Pelopor dari studistudi tentang disparitas tersebut adalah Esmara yang melakukan penelitian tahun 1975 (Tambunan, 2003), kemudian disusul antara lain oleh Hughes dan Islami (1981), Islam dan Khan (1986), Uppal dan Handoko (1988), Akita (1988), Akita dan Lukman (1995), Tambunan (1996, 2001), Takeda dan Nakata (1998), Garcia dan Soelistyaningsih (1998), Sjafrizal (1997, 2000) dan Both (2000). Walaupun data yang digunakan sama, yaitu PDRB per kapita, namun pendekatan yang digunakan dalam analisis bervariasi antar studi. Dari berbagai penelitian dan kajian tersebut dapat diketahui bahwa disparitas yang timbul bisa meliputi disparitas tingkat kesejahteraan ekonomi, sosial, maupun akibat faktor ketidakmerataan potensi sumberdaya, terutama sumberdaya alam (SDA) dan sumberdaya manusia (SDM) antara daerah yang satu dengan daerah yang lain. Bahkan hasil kajian pada beberapa studi menunjukkan bahwa salah satu faktor yang ditengarahi menjadi penyebab terjadinya disparitas
4
pembangunan antar wilayah adalah kebijakan pemerintah yang selama ini terlalu sentralistik, baik dalam proses perencanaan maupun dalam proses pengambilan keputusan. Secara deskriptif disparitas pembangunan antar wilayah dapat dilakukan dengan membandingkan secara langsung antara proporsi penduduk, luas wilayah dengan proporsi kontribusi wilayah terhadap PDRB secara keseluruhan (PDRB nasional). Hasil penelitian Rustiadi et al. (2009) yang membandingkan antara pembangunan KBI (Kawasan Barat Indonesia) dan KTI (Kawasan Timur Indonesia) tahun 2002 dengan menggunakan indeks Williamson menunjukkan bahwa pada tahun tersebut KTI yang luas wilayahnya meliputi 64.21% total wilayah nasional, hanya dihuni 18.7% penduduk dan menghasilkan 17.4% PDRB nasional. Dari penelitian ini dapat diketahui bahwa besarnya indeks disparitas di KBI adalah 1.27 (dengan migas), dan 1.23 (tanpa migas). Sedangkan indeks disparitas KTI mencapai 3.20 (dengan migas), atau 4.26 (tanpa migas). Angka ini lebih tinggi dibandingkan KBI karena tingkat keragaman geografis dan sosial budaya masyarakat antar daerah di KTI juga lebih tinggi. Tingkat disparitas dalam satu pulau penting juga untuk diperhatikan karena memiliki aspek keterkaitan secara spasial antar daerah yang lebih intens. Kondisi fisik dan sosial budaya dalam satu pulau biasanya memiliki banyak persamaan dan interaksi antar wilayah akan lebih lancar jika sarana dan prasarana perhubungan cukup memadai. Berdasarkan hasil kajiannya, Rustiadi et al. (2009) mengungkapkan bahwa Pulau Jawa dan Bali memiliki indeks disparitas yang cukup besar, yaitu 1.18 (dengan migas), atau 1.31 (tanpa migas). Bukan hanya itu, hasil penelitian Kuncoro (2001) juga mengindikasikan sangat tingginya konsentrasi spasial khususnya distribusi geografis aktivitas industri manufaktur di Pulau Jawa selama periode (1976-2001) dibandingkan di pulau lainnya. Secara umum, dapat diketahui bahwa tingkat perkembangan wilayah di Jawa paling tinggi dibandingkan wilayah lain di Indonesia, karena total nilai aktivitas ekonomi antar daerah di Pulau Jawa secara rata-rata lebih tinggi. Ketersediaan infrastruktur di semua daerah di Pulau Jawa juga relatif paling baik dibandingkan pulau lainnya. Sehingga hal-hal inilah yang diduga menjadi pemicu semakin melebarnya disparitas pembangunan antara Jawa dan luar Jawa. Namun yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah “Bagaimana dengan Pulau Jawa itu sendiri?”, “Apakah ada disparitas pembangunan antar wilayah di dalam Pulau Jawa?”, dan “Apakah pasca diberlakukannya kebijakan Otonomi
5
Daerah (desentralisasi) terjadi perbaikan atas kondisi disparitas regional tersebut?”. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya disparitas pembangunan antar wilayah di Pulau Jawa, mengkaji dinamika perubahan besarnya derajat disparitas regional tersebut, khususnya dikaitkan dengan masa sebelum dan setelah diberlakukannya kebijakan Otonomi Daerah, sekaligus menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya disparitas pembangunan antar wilayah di Pulau Jawa. Dari penelitian ini, diharapkan dapat memberikan sedikit gambaran untuk menilai sejauhmana keefektifan kebijakan Otonomi Daerah dalam mengatasi masalah disparitas regional yang terjadi di Pulau Jawa.
Tujuan Penelitian Tujuan umum dari penelitian ini adalah mengkaji dinamika perubahan disparitas regional di Pulau Jawa, khususnya menekankan pada perbandingan kondisi sebelum dan setelah diberlakukannya kebijakan Otonomi Daerah. Maka, dalam rangka menjawab tujuan penelitian, secara spesifik, penelitian ini bertujuan untuk: 1. Menganalisis dinamika pertumbuhan ekonomi (economic growth) dan pertumbuhan penduduk (population growth) di Pulau Jawa. 2. Menentukan tingkat perkembangan wilayah masing-masing kabupaten/kota di Pulau Jawa pada beberapa titik tahun. 3. Menganalisis dan membandingkan besarnya derajat disparitas regional yang terjadi di Pulau Jawa serta menilai keefektifan diberlakukannya kebijakan Otonomi Daerah. 4. Menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya disparitas regional di Pulau Jawa dengan mempertimbangkan adanya hubungan keterkaitan antar wilayah.
Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian yang mengkaji masalah disparitas regional di Pulau Jawa dan bersifat makro. Meskipun pada kenyataannya banyak faktor yang diduga dapat menjadi sumber penyebab disparitas, seperti faktor geografi, sejarah, politik, kebijakan, pemerintahan, sosial dan ekonomi, namun ruang lingkup penelitian ini hanya fokus (dibatasi) pada aspek sosial dan ekonomi
6
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat bagi berbagai pihak, yaitu antara lain: a. Bagi Pemerintah Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi Pemerintah maupun para pemangku kepentingan pada pengambilan kebijakan dalam menanggulangi atau mengurangi disparitas pembangunan antar wilayah di Pulau Jawa. b. Bagi Pihak Lain Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan pengembangan pengetahuan lebih lanjut dan dapat digunakan sebagai bahan perbandingan untuk kasus-kasus serupa, khususnya yang terkait dengan masalah disparitas pembangunan antar wilayah.