1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Air merupakan kebutuhan dasar makhluk hidup dan sebagai barang publik yang tidak dimiliki oleh siapapun, melainkan dalam bentuk kepemilikan bersama (global commons atau common resources), sumber daya alam yang dikelola secara kolektif, bukan untuk dijual atau diperdagangkan guna memperoleh keuntungan (Sanim 2011). Ketersediaan air tersebut mengikuti siklus hidrologis yang dipengaruhi secara langsung oleh kondisi ekologi dan secara tidak langsung juga dipengaruhi oleh kondisi ekonomi dan sosial pada suatu wilayah. Dalam segi ekologi, ketersediaan air sangat bergantung pada peran ekosistem hutan sebagai daerah tangkapan air (catchment area). Sebagaimana disampaikan oleh Asdak (2007), bahwa tegakan hutan sebagai hulu DAS (Daerah Aliran Sungai) merupakan bagian yang penting karena mempunyai fungsi perlindungan tata air terhadap seluruh bagian DAS, sehingga setiap aktivitas yang terdapat di dalamnya dapat mempengaruhi kualitas dan kuantitas air. Peningkatan jumlah penduduk dalam suatu wilayah sebagai salah satu kondisi sosial turut meningkatkan jumlah kebutuhan air, sedangkan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pengembangan ekonomi juga menyebabkan peningkatan kegiatan pemanfaatan air, terutama untuk kebutuhan industri. Kananto et al. dalam Rusdiana (2001) memprekdisikan kebutuhan air di Pulau Jawa dan Madura akan meningkat seiring dengan peningkatan laju pertumbuhan penduduk yaitu pada tahun 2020 akan dibutuhkan air sejumlah 60,295.45 juta m3/tahun. Ketiga kondisi tersebut lambat laun akan membuat ketersediaan air menjadi terbatas, sedangkan kebutuhan air terus meningkat. Dengan demikian, diperlukan suatu pengelolaan pemanfaatan air agar dapat memenuhi kebutuhan makhluk hidup sepanjang masa. Dalam kegiatan pemanfaatan air, terdapat dua cara pandang yang berbeda, yang pertama yaitu cara pandang anthropocentrisme yang menganggap bahwa manusia adalah pemilik semua yang ada di bumi ini sehingga setiap keputusan atau kegiatan ekonomi harus mengedepankan kepentingan manusia di atas kepentingan elemen alam lainnya. Sistem ekonomi muncul dari kelangkaan yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan manusia semata, sehingga dalam memperlakukan sumber daya alam cenderung eksploitatif bahkan terkadang destruktif, sehingga air dapat dimanfaatkan secara tidak efisien, boros dan tanpa dilandasi perlunya keberlanjutan dari keberadaan air tersebut. Pandangan yang kedua yaitu ecocentrisme, yaitu menganggap bahwa setiap elemen ekosistemmanusia memiliki kedudukan yang setara dalam mendapatkan kebutuhan dan kepentingannya. Sistem nilai ekonomi yang diberlakukan terhadap benda-benda alam dikaitkan dengan nilai intrinsik yang tidak dapat dinilai secara konvensional oleh perangkat ekonomi semata, sehingga pemanfaatan air diperlakukan secara ramah lingkungan dengan memperhatikan efisiensi dan keberlanjutan dari keberadaan sumber daya air (Diesendorf dan Hamilton 1997 dalam Sanim 2011). Pengelolaan pemanfaatan air perlu didasarkan atas cara pandang ecocentrisme, karena ketersediaan air dipengaruhi oleh kondisi ekologi dan harus dapat memenuhi kebutuhan bagi semua makhluk hidup tanpa mengganggu
2
kapasitas potensi air tersebut. Dengan demikian, diperlukan pendekatan pemanfaatan air yang efisien dan tidak boleh mengorbankan hak pemenuhan kebutuhan generasi yang akan datang. Konsep pendekatan ini disebut juga dengan konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development), yakni suatu konsep pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengorbankan generasi yang akan datang (Rustiadi et al. 2009). Pembangunan berkelanjutan dapat dilihat melalui tiga dimensi keberlanjutan, yaitu keberlanjutan secara ekonomi, sosial, dan ekologi yang membentuk segitiga kerangka kerja (“a triangular framework”), sebagaimana dikemukakan oleh Serageldin dalam Rustiadi (2009). Dalam konteks keberlanjutan pemanfaatan air, selain tiga dimensi tersebut diatas, terdapat dua dimensi lain yang dianggap cukup mempengaruhi yaitu dimensi kelembagaan dan dimensi teknologi. Kelembagaan penting untuk dibentuk sebagai dukungan pihak-pihak yang berkepentingan dalam kegiatan pemanfaatan air antara lain negara, sektor swasta, dan masyarakat sipil, sedangkan teknologi yang diterjemahkan sebagai infrastruktur juga berperan dalam tata pengaturan ketika ketersediaan air berlimpah di musim hujan maupun ketika terjadi kelangkaan air di musim kemarau (Sanim 2011). Kegiatan pemanfaatan air di Indonesia pertama kali diatur oleh UndangUndang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, dengan pertimbangan bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang memberikan manfaat untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia dalam segala bidang dan sebagai salah satu upaya menghadapi ketidakseimbangan antara ketersediaan air yang cenderung menurun dan peningkatan kebutuhan air, maka diperlukan suatu pengelolaan sumber daya air. Dalam undang-undang tersebut, kegiatan pemanfaatan air diistilahkan dengan “pendayagunaan sumber daya air”, dimana kegiatan ini mengacu pada pola pengelolaan sumber daya air pada setiap wilayah sungai dan dikecualikan untuk kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam. Pada kenyataannya, terdapat kawasan pelestarian alam yang menjadi lokasi kegiatan pemanfaatan air untuk pemenuhan kebutuhan air masyarakat di sekitarnya, diantaranya yaitu Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) yang telah dimanfaatkan sejak tahun 1998 untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di Kabupaten Cianjur dan Sukabumi. Keseluruhan pengguna air di kawasan TNGGP merupakan pengguna air secara langsung yaitu pengguna yang menggunakan sarana dan prasarana secara langsung yang terhubung dengan sumber air yang berada di dalam kawasan dengan menggunakan pipa atau paralon. Kawasan Pelestarian Alam (KPA) adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya (UndangUndang R.I. Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan). Meskipun dalam UU No.7/2004 tidak mengatur kegiatan pemanfaatan air untuk KPA, namun kegiatan pemanfaatan air yang telah berjalan di TNGGP tetap mengacu pada undangundang tersebut. Hal ini dikarenakan dalam UU No.41/1999 belum mengatur jenis kegiatan pemanfaatan yang diperbolehkan dalam KPA. TNGGP merupakan salah satu KPA yang diketahui memiliki potensi air berlimpah yaitu berupa surplus sebesar 548,960,480 m3/tahun (Rushayati 2006),
3
dan menjadi penyedia kebutuhan air untuk tiga kabupaten di sekitarnya yaitu Kabupaten Cianjur, Bogor, dan Sukabumi. Sejak tahun 1998 sampai dengan tahun 2009, pengguna air secara langsung dari kawasan ini telah meningkat sebanyak hampir 37 kali lipat. Pengguna air yang semula hanya berjumlah 3 (tiga) pengguna yang tersebar pada 2 (dua) kabupaten yaitu Cianjur dan Sukabumi (Sumarto 2008), hingga saat ini sudah mencapai 113 pengguna yang tersebar pada 3 (tiga) kabupaten yaitu 39 pengguna di Bogor, 21 pengguna di Sukabumi, dan 53 pengguna di Cianjur (FORPELA 2009). Balai Besar TNGGP selaku pengelola kawasan telah mengelompokkan pengguna air secara langsung di kawasan TNGGP menjadi 2 (dua) jenis pengguna, yaitu pengguna air non komersial dan pengguna air non komersial. Pengguna air non komersial merupakan masyarakat desa di sekitar kawasan TNGGP yang memanfaatkan air untuk pemenuhan kebutuhan air bersih atau kegiatan rumah tangga, sedangkan pengguna air komersial merupakan pihak perorangan atau kelompok di sekitar kawasan TNGGP yang memanfaatkan air untuk tujuan usaha. Sumber air yang digunakan berasal dari mata air, sungai, dan kali yang terdapat di dalam kawasan TNGGP. Data FORPELA (2009) menyebutkan bahwa dari 113 pengguna air di kawasan TNGGP, 91 diantaranya merupakan pengguna komersial. Meningkatnya pengguna air tersebut dapat menimbulkan ketidakseimbangan antara ketersediaan air dan kebutuhan air, sehingga diperlukan suatu pengelolaan kegiatan pemanfaatan air agar dapat berkelanjutan. Kegiatan pemanfaatan air di TNGGP sejak tahun 2006 dikelola berdasarkan konsep kemitraan melalui pembentukan kelembagaan Forum Peduli Air (FORPELA) TNGGP yang beranggotakan pihak pengguna air secara langsung dari kawasan TNGGP. Kemitraan ini diwujudkan dalam bentuk perjanjian kerjasama antara pihak pengguna dan pihak pengelola kawasan yaitu Balai Besar TNGGP. Hal ini dilakukan karena sampai saat ini peraturan terkait kegiatan pemanfaatan air di KPA masih dalam tahap penyusunan pada instansi terkait yaitu Kementerian Kehutanan. Lemahnya payung hukum yang mendukung kegiatan pemanfaatan air ini menyebabkan adanya ketidakjelasan hak dan kewajiban para pihak yang dapat menimbulkan potensi konflik, karena dalam perjanjian kerjasama tersebut belum menyebutkan bagaimana kewajiban pihak pengguna terhadap kawasan TNGGP dalam satuan yang terukur. Selain itu, hal ini juga dapat menghambat evaluasi terhadap pelaksanaan kegiatan pemanfaatan air yang telah dilakukan karena belum adanya pedoman yang menjadi acuan, sehingga pada akhirnya dapat mengganggu keberlanjutan kegiatan pemanfaatan air yang sudah berjalan di kawasan TNGGP. Dalam rangka mendukung keberlanjutan pemanfaatan air di kawasan TNGGP dan mendukung percepatan proses penyusunan kebijakan pemanfaatan air di KPA, maka dilakukan penelitian yang menganalisis faktor-faktor yang dapat mendukung keberlanjutan pemanfaatan air melalui penilaian status keberlanjutan dari masing-masing dimensi keberlanjutan yaitu dimensi ekologi, sosial, ekonomi, kelembagaan, dan teknologi. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang dikuantifikasi untuk mengetahui status keberlanjutan dari masing-masing dimensi keberlanjutan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu arahan untuk pengelolaan kegiatan pemanfaatan air di kawasan TNGGP. Sebagai lokasi contoh dalam kajian ini, maka dipilih satu lokasi yang dianggap cukup mewakili karakteristik pengguna air di kawasan TNGGP. Dari ketiga wilayah
4
pengguna air di kawasan TNGGP, Kabupaten Bogor memiliki karakteristik yang lebih bervariasi dibandingkan kedua kabupaten lainnya. Hal ini dikarenakan penggunaan air pada Kabupaten Bogor selain untuk kebutuhan rumah tangga dan pertanian, juga banyak digunakan untuk kepentingan usaha di bidang air minum, peternakan, hortikultura, penginapan dan wisata, sehingga Kabupaten Bogor dipilih sebagai lokasi pengambilan contoh dalam penelitian ini.
Perumusan Masalah Air merupakan barang publik dan merupakan salah satu jasa lingkungan yang dihasilkan oleh hutan. Berbagai pihak dapat memanfaatkan air tanpa harus membayar, namun pemanfaatan air yang berlebihan dan tidak bijaksana dapat mengakibatkan penurunan dalam kualitas dan kuantitas air. Peningkatan pengguna air secara langsung di kawasan TNGGP dan belum adanya kebijakan yang mengatur secara khusus kegiatan pemanfaatan air di KPA dapat mempengaruhi keberlanjutan dari pemanfaatan air tersebut. Penggunaan air yang semakin meningkat tanpa memperhatikan pertimbangan teknis dapat mengakibatkan penurunan ketersediaan air, sedangkan belum adanya kebijakan yang menjadi acuan dalam pelaksanaan kegiatan dapat menghambat upaya konservasi sumber daya air. Di lain pihak, sangat penting untuk memelihara ketersediaan air agar tetap berlimpah sehingga dapat memberikan manfaat yang optimal bagi wilayahwilayah disekitarnya. Sejalan dengan kegiatan pemanfaatan air yang telah dilakukan di kawasan TNGGP, diharapkan pihak pengguna air dapat memberikan timbal balik yang sesuai terhadap kawasan sebagai kompensasi akibat pemanfaatan air. Berdasarkan hasil evaluasi yang telah dilakukan oleh pihak pengelola kawasan, upaya timbal balik tersebut masih dirasakan kurang optimal, karena penentuan kompensasi atas penggunaan air ditentukan tanpa adanya pertimbangan teknis. Hal ini disebabkan belum ada kebijakan teknis terkait pemanfaatan air di KPA, yang dapat menjadi pedoman bagi pegelola kawasan untuk melakukan evaluasi, sehingga sampai saat ini belum pernah dilakukan penilaian keberlanjutan dari kegiatan pemanfaatan air di kawasan TNGGP. Berkaitan dengan hal tersebut, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut : 1) Mekanisme kegiatan pemanfaatan air di kawasan TNGGP masih belum diatur dengan jelas; 2) Keberlanjutan kegiatan pemanfaatan air di kawasan TNGGP belum diketahui; dan 3) Pengelolaan kegiatan pemanfaatan air di TNGGP belum didukung dengan kebijakan teknis terkait pemanfaatan air di KPA.
Tujuan Tujuan dari penelitian ini yaitu : 1) Menganalisis bentuk mekanisme kegiatan pemanfaatan air di kawasan TNGGP; 2) Menganalisis status keberlanjutan kegiatan pemanfaatan air di kawasan TNGGP; dan 3) Menyusun arahan untuk pengelolaan kegiatan pemanfaatan air di kawasan TNGGP.
5
Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah untuk memberikan informasi mengenai keberlanjutan kegiatan pemanfaatan air yang terdapat di kawasan TNGGP dan sebagai bahan pertimbangan dalam pengelolaan kegiatan pemanfaatan air di kawasan TNGGP serta penyusunan kebijakan teknis terkait pemanfaatan air di KPA.
Ruang Lingkup Studi Penelitian yang dilakukan merupakan suatu studi berkaitan dengan kegiatan pemanfaatan air secara langsung dari dalam kawasan TNGGP yang terdiri dari : 1) persepsi dan partisipasi pengguna air non komersial dan pengguna air komersial yang termasuk wilayah Kabupaten Bogor dan termasuk dalam keanggotaan FORPELA; dan 2) penilaian kondisi ekologi, sosial, ekonomi, kelembagaan, dan teknologi terkait kegiatan pemanfaatan air secara langsung di kawasan TNGGP. Ruang lingkup penelitian berbasis kawasan TNGGP sebagai daerah tangkapan air (catchment area) dan lokasi pengguna air secara langsung yang termasuk wilayah Kabupaten Bogor. Studi ini menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan kualitatif dan kuantitatif dengan pembobotan dalam dalam analisis status keberlanjutan kegiatan pemanfaatan air dan analisis arahan terkait penyusunan kebijakan pemanfaatan air di KPA.
Kerangka Pemikiran Kajian keberlanjutan pemanfaatan air ini diawali dengan pemikiran adanya peningkatan jumlah pengguna air secara langsung di kawasan TNGGP sejak tahun 1996 – 2009 dan belum adanya dukungan peraturan teknis terkait kegiatan pemanfaatan air di KPA, maka dapat mempengaruhi potensi ketersediaan air apabila tidak dilakukan suatu pengelolaan khusus dalam kegiatan pemanfaatan air. Dalam hal ini, diperlukan suatu mekanisme pemanfaatan air yang dapat mengatur hak dan kewajiban pengguna air dalam memanfaatkan air sekaligus mendukung kelestarian potensi air. Dengan memperhatikan kondisi tersebut diatas, maka kebijakan teknis terkait pemanfaatan air di KPA menjadi hal yang penting dalam pengelolaan kegiatan pemanfaatan air di kawasan TNGGP agar dapat berkelanjutan. Salah satu upaya untuk mendukung hal tersebut adalah melakukan suatu kajian keberlanjutan kegiatan pemanfaatan air yang meliputi analisis mekanisme kegiatan dan analisis status keberlanjutan pemanfaatan air termasuk menganalisis bagaimana kondisi setiap dimensi keberlanjutan yaitu dimensi ekologi, ekonomi, sosial, kelembagaan dan teknologi. Hasil analisis tersebut diharapkan dapat menjadi dasar dalam menentukan arahan pengelolaan kegiatan pemanfaatan air di kawasan TNGGP. Secara skematik kerangka pemikiran ini digambarkan pada Gambar 1.
6
Peningkatan jumlah pengguna air di kawasan
TNGGP
Peraturan teknis kegiatan pemanfaatan air di KPA belum tersedia
Pengelolaan kegiatan pemanfaatan air di TNGGP
Ketersediaan air di TNGGP
Ekologi
Mekanisme kegiatan pemanfaatan air di TNGGP
Sosial
Pemanfaatan air berkelanjutan
Kelembagaan
Analisis status keberlanjutan
Arahan pengelolaan pemanfaatan air di TNGGP
Gambar 1 Diagram alir kerangka pemikiran
Ekonomi
Teknologi