PENDAHULUAN
Latar Belakang Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) tersebar luas di Daratan Asia Tenggara, Lempeng Sunda, Kepulauan Filipina, dan daerah Wallacea Selatan . Monyet ekor panjang di Indonesia diperkirakan berasal dari Daratan Asia Tenggara dan bermigrasi melebihi satu juta tahun yang lalu (awal Pleistocene) saat Daratan Asia dan Lempeng Sunda menyatu (Eudey 1980; Wheatley 1980; Fooden 1995). Fosilnya yang ditemukan di Desa Trinil, Jawa Tengah berumur lebih tua jika dibandingkan dengan yang ditemukan di Pulau Timor dan Pulau Flores (Fooden 1995). Hal ini meyakinkan para ahli bahwa penyebarannya di kepulauan selatan Indonesia berjalan dari barat ke timur dengan populasi Jawa sebagai pusat penyebaran. Penyebarannya dari Jawa ke Bali diperkirakan melalui migrasi langsung karena kedua pulau beberapa kali menyatu saat proses glasiasi (pembentukan lempengan es) (Fooden 1995). Namun, cara penyebarannya ke pulau yang berada di sebelah timur garis Wallace belum jelas. Garis Wallace yang memisahkan fauna Indonesia menjadi Zoogeografi Oriental dan Zoogeografi Australia (Lincoln et al. 1988), memiliki peranan penting dalam penyebaran genus Macaca di Indonesia. Tidak ditemukannya monyet ekor pajang di Pulau Sulawesi (Eudey 1980; Supriatna dan Wahyono 2000) membuktikan bahwa garis Wallace yang berupa laut yang dalam efektif menghalangi penyebaran hewan ini. M. nemestrina yang melimpah di Pulau Sumatera dan Pulau Kalimantan tidak ditemukan di Pulau Jawa, Pulau Bali, dan Nusa Tenggara. Ketiadaannya mungkin berkaitan dengan pemisahan geografi oleh laut yang menghalangi penyebarannya dan kepunahan lokal (Eudey 1980; Groves 1980; Froehlich et al. 1996). Tujuh spesies monyet Sulawesi (Fooden 1969) mempunyai kesamaan nenek moyang dengan M. nemestrina (Fooden 1969; Hoelzer dan Melnick 1996). Pulau Sulawesi tidak pernah bersatu dengan Lempeng Sunda semenjak 50 juta tahun yang lalu (Hall 2001), sehingga nenek moyang monyet Sulawesi harus menyeberangi laut untuk sampai ke sana. Di kepulauan selatan Indonesia, garis Wallace memisahkan Pulau Bali dengan Pulau Lombok (Michaux 1991; Cox dan Moore 2000), bahkan pada saat glasiasi
2 maksimum yang terakhir ( 18 ribu tahun yang lalu) (Fooden 1995). Hal ini meniscayakan migrasi monyet ekor panjang juga menyeberangi laut sebagai cara penyebarannya ke kepulauan sebelah timur garis Wallace. Penelitian sebelumnya mengenai variasi genetik monyet ekor panjang di Indonesia dengan penanda protein darah menemukan adanya ketidakselarasan antara keragaman genetik bersanding dengan letak geografi kelompok monyet ekor panjang Jawa, Bali, dan Lombok (Kawamoto et al. 1984). Keragaman genetik populasi atau kelompok sosial monyet ekor panjang di Pulau Bali seyogyanya lebih tinggi daripada yang ditemukan di Pulau Lombok sebagai akibat dari efek founder, tetapi hasil penelitian (Kawamoto et al. 1984) menunjukkan hal sebaliknya. Dinyatakan pula bahwa ada bantuan manusia bagi migrasi dari Pulau Jawa langsung ke Pulau Lombok. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mendapatkan ketegasan mengenai pola migrasi monyet ekor panjang ke kepulauan sebelah timur garis Wallace. Struktur genetik suatu spesies mencerminkan biodiversitas pada tingkat yang paling dasar. Struktur genetik ini tidak hanya memberikan informasi tentang biodiversitas pada saat ini, tetapi juga menunjukkan sejarah kehidupan yang telah dilaluinya dan kondisi mendatang yang akan dialaminya. Kemampuan retrospektif dan prospektif ini diperoleh dengan mengetahui parameter-parameter yang menentukan struktur genetik populasi (Nozawa et al. 1996; Hartl dan Clark 1997; Frankham et al. 2004). Oleh karena itu, data struktur genetik suatu spesies atau populasi bukan saja dapat menerangkan sejarahnya, tetapi juga dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan strategi konservasinya. Ungkapan struktur genetik pada peringkat fenotipe terlihat pada morfologi hewan. Monyet ekor panjang yang terisolasi di berbagai pulau di Indonesia telah diidentifikasi sebagai subspesies-subspesies yang berbeda berdasarkan pada morfologinya. Namun, penentuan subspesiesnya terutama yang menempati daerah Wallacea belum mendapatkan ketegasan oleh para ahli primatotogi. Sody (1949) menempatkan monyet ekor panjang di Pulau Jawa sebagai M. f. mordax, di Pulau Bali sebagai M. f. submordax, dan di Pulau Lombok sebagai M. f. sublimiatus. Sementara, Supriatna dan Wahyono (2000)
3 mengelompokkan monyet ekor panjang di Pulau Jawa, Pulau Bali, dan Pulau Lombok ke dalam M. f. fascicularis. Berkaitan dengan hal ini, variasi genetik antar populasi juga dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk penegasan suatu klasifikasi. Terlepas dari kisah penyebarannya, kini, sebagian besar populasi monyet ekor panjang di suatu pulau berada dalam populasi-populasi lokal yang terpisah satu dengan yang lain. Meskipun keberadaan menjadi beberapa populasi lokal cukup menguntungkan seperti tidak musnah seluruhnya jika terjadi bencana alam atau wabah penyakit di satu lokasi dan memberi insentif ekonomi tinggi pada masyarakat sekitarnya, populasi demikian cukup rentan terhadap kehanyutan genetik dan tekanan silang dalam (Avise 1994; Nozawa et al. 1996; Hartl dan Clark 1997). Kehilangan keragaman genetik populasi yang berkelanjutan akan mengancam keberadaan jangka panjang populasi lokal tersebut. Langkah-langkah konservasi in situ sangat diperlukan untuk menghindarkan kesirnaan dari habitat alaminya. Demografi populasi berperan penting dalam mempertahankan keberadaan variabilitas genetik populasi. Nasib suatu varian genetik dalam populasi sangat ditentukan oleh peluang varian tersebut diteruskan ke generasi selanjutnya. Peluang ini sangat berkaitan dengan ukuran populasi efektif yang besarnya ditentukan oleh jumlah jantan dan betina dewasa serta rasionya dalam populasi (Nozawa et al. 1996; Hartl dan Clark 1997; Li 1997). Dampak random genetic drift akan semakin besar pada populasi dengan ukuran populasi efektif yang semakin rendah (Hartl dan Clark 1997; Li 1997; Frankham et al. 2004). Demografi populasi juga dapat merefleksikan kondisi struktur genetik populasi. Kawin keluarga yang tinggi dan pemunculan alel letal dalam populasi dapat menurunkan fitness atau daya hidup individu yang baru dilahirkan (Frankham et al. 2004; Klug dan Cummings 2005). Efek ini selanjutnya akan menyebabkan jumlah hewan muda lebih rendah dari jumlah yang dewasa. Oleh karena itu, data demografi populasi dapat digunakan sebagai indikator untuk keberlangsungan hidup populasi ke depan.
4 Berdasarkan pada informasi di atas, sangat menarik untuk meneliti cara penyebaran monyet ekor panjang melewati garis Wallace, isolasi geografi dan fragmentasi populasi, serta kondisi ekosistem kontemporer. Penelitian kali ini dilakukan pada populasi lokal monyet ekor panjang yang menempati Kawasan Jawa Timur (sebagai populasi asal) serta Pulau Bali dan Pulau Lombok yang mengapit garis Wallace. Penelitian menyangkut demografi populasi dan keragaman genetik populasi yang didekati melalui morfologi eksternal (fenotipe kualitatif) dan penanda mikrosatelit (DNA).
Identifikasi Masalah 1
Belum adanya informasi struktur populasi monyet ekor panjang di Jawa Timur, Pulau Bali, dan Pulau Lombok.
2
Kurangnya informasi keragaman genetik populasi lokal monyet ekor panjang di Jawa Timur, Pulau Bali, dan Pulau Lombok yang didekati dengan morfologi eksternal (fenotipe kualitatif) dan mikrosatelit (DNA inti).
Tujuan Penelitian 1
Mendapatkan kejelasan proses migrasi monyet ekor panjang di kepulauan selatan Indonesia.
2
Mengkaji struktur populasi lokal monyet ekor panjang di Jawa Timur, Pulau Bali, dan Pulau Lombok.
3
Mengkaji keragaman morfologi eksternal (fenotipe kualitatif) dan keragaman genetika molekuler dengan penanda mikrosatelit populasi lokal monyet ekor panjang di Jawa Timur, Pulau Bali, dan Pulau Lombok.
Pemecahan Masalah Untuk mendapatkan penyelesaian terhadap masalah dan tujuan di atas, dilakukan penelitian yang mencakup dua pendekatan yaitu pendekatan populasi dan genetik. Pendekatan populasi meliputi data struktur populasi (demografi) di masing-masing populasi lokal. Data lainnya seperti sikap masyarakat setempat terhadap keberadaan monyet ekor panjang juga dikoleksi sebagai pelengkap. Data struktur populasi lokal monyet ekor panjang dikaji mengenai dukungannya
5 terhadap keberlangsungan hidup masing-masing populasi lokal di Jawa Timur, Bali, dan Lombok. Keragaman
genetik
populasi
lokal
dianalisis
menggunakan
dua
pendekatan yaitu morfologi eksternal (fenotipe kualitatif) dan mikrosatelit (DNA inti). Pendekatan fenotipe kualitatif digunakan karena keragamannya lebih dipengaruhi oleh keragaman materi genetiknya. Meskipun fenotipe kualitatif sangat susah diketahui pola pewarisan ke generasi berikutnya karena bersifat multifaktorial, fenotipe kualitatif cukup baik untuk identifikasi keunikan suatu populasi dan identifikasi subspesies. Pendekatan genetik menggunakan mikrosatelit (DNA inti) sebagai penanda molekul. Pendekatan ini lebih mencerminkan struktur genetik populasi karena mikrosatelit merupakan materi genetik itu sendiri. Mikrosatelit telah digunakan secara luas sebagai penanda molekul di berbagai studi genetika populasi karena beberapa keunggulan yang dimilikinya
seperti
kelimpahannya
tinggi
dalam
genom
eukariot,
polimorfismenya tinggi akibat mutasi dan rekombinasi, dan amplifikasinya mudah secara in vitro melalui polymerase chain reaction (PCR). Kejelasan proses migrasi monyet ekor panjang di kepulauan selatan Indonesia didapatkan melalui pengkajian kecenderungan penurunan keragaman genetik populasi dan kecenderungan peningkatan jarak genetik populasi dari barat ke timur dengan populasi di Jawa Timur sebagai pusat penyebaran. Secara keseluruhan, kerangka pemikiran penelitian dituangkan ke dalam diagram alur seperti ditampilkan pada Gambar 1.
Hipotesis 1. Struktur populasi menentukan kestabilan populasi lokal monyet ekor panjang di setiap lokasi. 2. Karakteristik fenotipe kualitatif populasi lokal monyet ekor panjang antar pulau berbeda. 3. Migrasi monyet ekor panjang di kepulauan selatan Indonesia dari barat ke timur sejalan dengan kecenderungan penurunan keragaman genetik dan peningkatan jarak genetik antar populasi pulau.
6 Manfaat Penelitian 1. Informasi yang diperoleh dapat digunakan sebagai model untuk proses migrasi dan sejarah penyebaran mamalia. 2. Struktur dan keragaman genetik populasi dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam penyusunan strategi konservasi (pengawetan, pengembangan, dan pemanfaatan) populasi lokal monyet ekor panjang di Jawa Timur, Pulau Bali, dan Pulau Lombok.
Monyet ekor panjang
Melintasi garis Wallace Isolasi geografi dan fragmentasi Ekosistem kontemporer
Populasi lokal Di Jatim, Bali, Lombok
Karakteristik demografi
Keragaman genetik populasi lokal
Pendekatan fenotipe kualitatif
Struktur populasi
Karakter kualitatif
Analisis
Interpretasi: modus migrasi Gambar 1 Diagram alur kerangka pikir penelitian.
Pendekatan mikrosatelit
Sebaran alel Peubah genetika populasi
Rekomendasi Strategi Konservasi