PENDAHULUAN Latar Belakang Merosotnya perilaku beragama remaja dewasa ini merupakan gambaran sedang terjadi proses yang berpotensi menuju kehancuran suatu bangsa. Lickona (Megawangi, 2007: 57) mengatakan ada sepuluh tandatanda yang menggambarkan kehancuran sebuah bangsa. Tandatanda itu adalah: (1) kekerasan di kalangan remaja, (2) penggunaan bahasa dan katakata kotor, (3) pengaruh kuat dari teman sebaya (peer group) dalam tindak kejahatan, (4) meningkatnya perilaku merusak diri, seperti narkoba, alkohol, seks bebas, (5) semakin kaburnya pedoman moral, (6) penurunan etos kerja, (7) semakin rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru, (8) rendahnya rasa tanggung jawab sebagai individu dan anggota masyarakatwarga negara, (9) semakin membudayanya nilai ketidak jujuran, (10) meningkatnya rasa kebencian dan saling curiga. Banyaknya pemberitaan di media masa tentang maraknya fenomena dekadensi moral, kejahatan dan kenakalan yang dilakukan oleh remaja seperti: penyalahgunaan narkoba, tawuran pelajar, pornografi, pemerkosaan, hubungan seks pranikah, merusak milik orang lain, pemerasan, penipuan, pengguguran kandungan, penganiayaan, perjudian, pelacuran, pembunuhan, membolos sekolah, dan lain sebagainya. Kejadian kejadian tersebut tidak hanya menunjukkan bahwa tandatanda proses menuju kehancuran bangsa tersebut telah dan sedang terjadi juga pada bangsa Indonesia, tetapi juga cerminan dari krisis karakter dan moral yang terjadi pada seluruh bangsa. Survei BKKBN melaporkan bahwa 39,63 persen remaja usia 1524 tahun di enam kota di Jawa Barat pernah berhubungan seks sebelum nikah (Republika, 12 Maret 2006). Laporan dari suatu survei di Yogyakarta mengatakan bahwa 97,05 persen mahasiswi yang kuliah di sana sudah kehilangan keperawanannya sewaktu masih sekolah di SLTA (Suara Merdeka, 31 Agustus 2002). Hasil penelitian Universitas Negeri Makasar (2006), menginformasikan bahwa remaja di Makasar banyak terlibat ”kumpul kebo” dan hubungan seks pranikah, yang dianggap sebagai simbol remaja moderen, sebagai akibat remaja terbiasa dengan situssitus porno dari dunia cyber. Beredarnya beberapa VCD porno yang dibintangi oleh remaja, seperti “Bandung Lautan Asmara,” diklakoni oleh pasangan mahasiswa/i, VCD porno yang dibintangi siswa SMP dan SMA di Banyuwangi, Purwokerto, Situbondo, Jember, Samarinda.
2
Buku “Sex in the Kost” yang mengungkapkan bahwa 97,5% mahasiswi Yogyakarta hilang kegadisannya. Dan beberapa buku lain yang mengungkapkan fenomena seks bebas yang dilakukan oleh kalangan remaja, di antaranya “campus fresh chicken”, “Jakarta Undercover” dan “Jember Undercover”. Perilaku seks bebas tersebut berimplikasi pada permasalahan lain, seperti HIV/AIDS dan aborsi. Ternyata HIV/AIDS tidak hanya menjangkiti para pekerja seks komersial (PSK) saja, tetapi juga kalangan remaja, baik pelajar maupun mahasiswa. Yayasan AIDS Indonesia (YAI) mengungkapkan bahwa 50 persen pengidap HIV/AIDS adalah usia produktif (1529 tahun). Dipertegas dengan catatan Departemen Kesehatan (2006) bahwa sebagian besar pengidap HIV/AIDS adalah mahasiswa. Di Malang, pengidap HIV/AIDS mencapai angka 58,1 persen adalah mahasiswa (Kompas, 2001) dan Jawa Barat mencapai angka fantastis 82,56 persen (Pikiran Rakyat, 2004). Di Jawa Timur, 45 persen pengidap HIV/AIDS adalah pelajar dan mahasiswa (BKKBN, Oktober 2006). Sedangkan Jember merupakan kota dengan jumlah pengidap HIV/AIDS kedua tertinggi di Jawa Timur (Radar Jember, April 2007). Fenomena aborsi bukan lagi merupakan hal yang tabu di kalangan remaja di Indonesia. Setiap tahunnya, sekitar 2,3 juta kasus aborsi terjadi di Indonesia di mana 20 persen dilakukan oleh remaja. Bahkan dilaporkan oleh sebuah media terbitan tanah air bahwa diperkirakan praktek aborsi yang dilakukan remaja mencapai 5 juta kasus per tahun, sebuah jumlah yang sangat fantastis bahkan untuk ukuran dunia sekalipun. Menteri Negara Komunikasi dan Informasi mengatakan bahwa 60 persen pengguna internet di Indonesia membuka situs porno (Kompas, 2 Agustus 2002). Survei Yayasan Kita dan Buah Hati terhadap 1.705 anak usia 9–12 tahun di Jabodetabek menemukan bahwa ditemukan sebanyak 80 persen mereka telah pernah mengakses materi porno dari internet (Republika,12 Maret 2006). Akses untuk mendapatkan hal hal porno, Miras dan Narkoba mudah diperoleh di masyarakat, walaupun dilarang. Dalam laporan penelitian tentang kenakalan dan tawuran remaja di Jakarta Selatan diberitakan bahwa 79 persen mereka yang terlibat tawuran adalah dipicu oleh keagresifan akibat menggunakan narkoba (Republika, 24 September 1999), padahal gerakan anti porno, miras dan narkoba gencar dilakukan. Kondisi ini memprihatinkan semua pihak, orang tua, pendidik, tokoh masyarakat dan tokoh agama serta pemerintah. Hal itu karena yang menjadi korbannya adalah kaum remaja atau generasi muda yang akan menjadi penerus di masyarakat dan bangsa ini
3
bahkan menentukan masa depan bangsa. Ini berarti maju atau mundurnya suatu bangsa tergantung kualitas generasi muda atau remajanya. Seluruh manusia dilahirkan dalam keadaan suci (fitrah). Dia akan berakhlak baik atau buruk tergantung bagaimana dia dididik dan dibesarkan oleh lingkungannya (keluarga, sekolah, komunitas dan masyarkat luas). Lingkungan tempat remaja sekarang dibesarkan sedang menghadapi krisis multidimensi, dan hakekatnya adalah krisis moral atau akhlak sebagai akibat lemahnya pengamalan agama. Budaya korupsi kolusi dan nepotisme (KKN) di setiap lapisan dan aspek kehidupan masyarakat, kebohongan publik, fitnah, kemunafikan, konflik keluarga, konflik antar etnis dan agama, main hakim sendiri, mentalitas calo dan jalan pintas, budaya mempertontonkan aurat (pornografi dan pornoaksi) dan lain sebagainya. Dengan kondisi seperti ini, muncul pertanyaan bagaimana menciptakan kualitas remaja masa depan bangsa ini. Media massa, cetak dan elektronik setiap hari menginformasikan peristiwa peristiwa perampokan, pembunuhan, penculikan, pencabulan, pemalsuan, korupsi, main hakim sendiri, penangkapan para koruptor yang berasal dari agamawan, tokoh masyarakat, pejabat dan politisi. Dalam masalah ekonomi dan bisnis, pedagang cenderung menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keuntungan material dengan melakukan kecurangan atau pemalsuan. Misalnya adalah memalsukan merek dagang, mambuat surat fiktif dalam kegiatan eksport dan inport, pengurangan timbangan, mencampurkan zat kimia yang membahayakan, mengoplos, dan sebagainya. Di dunia pendidikan banyak terjadi plagiasi, rekayasa dan pemalsuan nilai, mementingkan label gelar dari isi, proses pembelajaran instan, dan sebagainya. Kondisi keluarga dewasa ini ditandai dengan terjadinya kekerasan fisik dan verbal di dalam rumah tangga, kesibukan orang tua di luar rumah, dan banyaknya kaum ibu bekerja di luar rumah (sektor publik). Journal of Marriage and Family melaporkan bahwa setiap 15 menit terjadi kekerasan terhadap kaum wanita yang dilakukan oleh kaum pria dan setiap 14 menit terjadi juga kekerasan yang dilakukan wanita terhadap pria. Dalam Journal Canadian of Sociology dilaporkan bahwa pria yang melakukan kekerasan terhadap pasangannya 4,5 persen, sedangkan wanita melakukannya 10 persen (Megawangi 2007). Dengan kata lain, kekerasan dalam rumah tangga tidak bergantung pada jenis kelamin dan kaum pria sebagai pelakunya. Di kotakota besar setiap hari orang tua sibuk bekerja, pergi pagi ketika anak anak mereka kadangkala masih tidur dan pulang ke rumah ketika anakanak mereka
4
sudah tidur. Akibatnya kurang terjadi interaksi antara orang tua dan anakanaknya (remaja), sehingga berakibat keteladanan orang tua di rumah yang berkaitan dengan masalah keagamaan sangat kurang. Faktor lain adalah pengawasan orang tua terhadap anak sangat minim, seperti dalam menonton acara televisi, main game, bermain dengan teman sebayanya, dan mengawasi belajar atau mengisi waktu luang dengan halhal positif yang bermanfaat. Isi tayangan televisi umumnya bernuansa hedonisme dan materialisme. Acara acara yang disuguhkan pada jamjam utama dominannya menonjolkan hidup mewah, mempertontonkan aurat, mengungkapkan bahasabahasa kasar dan kotor. Sedangkan acaraacara yang dikhususkan untuk kalangan remaja, seperti dalam sinetron menampilkan kegiatan pacaran di sekolah, perebutan pacar, perkelahian, hidup mewah dan budaya santai, mentalitas mencapai prestasi dengan kecurangan bukan kerja keras (ulet). Kalaupun ada program televisi yang bernuansa agama, seperti kuliah subuh, bukan untuk konsumsi remaja. Banyaknya kaum ibu yang bekerja di luar rumah mengakibatkan pengasuhan, pengawasan dan penanaman nilainilai karakter terhadap anak menjadi berkurang. Kemajuan ekonomi di Jepang dan Singapura pada abad ini adalah ditentukan oleh peran ibu sebagai pendidik utama dalam keluarga (kyoiku mama atau education mama). Kebudayaan Jepang mengandalkan sepenuhnya peran perempuan dalam membesarkan anak. Karena itu dipegang teguh kebijakan ryosai kentro (istri yang baik dan ibu yang arif), yang menetapkan posisi perempuan selaku manajer urusan rumah tangga dan pera wat anakanak bangsa. Sejak dulu filosofi ini merupakan bagian dari mindset Jepang dan menjadi kunci pendidikan dari generasi ke generasi. Pada paruh kedua abad XX peran kerumahtanggaan perempuan Jepang kian dimantapkan selaku kyoiku mama atau education mama. Menurut Tony Dickensheets, hal ini merupakan "a purely Japanese phenomenon". (Kompas, 7 Agustus 2007). Peranan keluarga dalam membina kepribadiaan anak (remaja) belum menemukan formula yang tepat. Ancok (1995) menyatakan bahwa pada saat ini pembinaan terhadap kaum remaja belum menemukan format dan hasil yang maksimal dan tepat. Perilaku remaja seperti yang tergambar di atas menjadi terasing dari kasih sayang dan perhatian orang tua, karena orang terlalu sibuk dan keterbatasan waktu. Anak menjadi tidak mempunyai hak untuk menyatakan keinginan dan pendapatnya karena orang tua terlalu memberi petunjuk serta pengarahan. Anak kurang diberi
5
peluang untuk mengembangkan keinginannya sehingga menimbulkan rasa benci dan dendam dalam diri anak. Akibatnya, ia mencari pelampiasan (kompensasi) di luar rumah bersama teman sebaya, seperti perilaku negatif di atas. Tingginya tingkat kejahatan dan kriminal di masyarakat akibat kurang berfungsinya keluarga, bekerjanya kaum perempuan di sektor publik, kemiskinan dan penegakan hukum yang lemah. Brooks dan Goble (1997) mengatakan bahwa meningkatnya kejahatan dan kriminalitas dalam masyarakat berhubungan dengan kemiskinan, pengangguran, diskriminasi, kelemahan hukum dan sebagainya. Penyebab kriminalitas dan demoralisasi akibat ketidakstabilan keluarga dalam masyarakat. Fagan (1995) mengatakan perceraian meningkat, keluarga dengan orang tua tunggal menjadi tren, dan kurangnya hubungan intim serta kasih sayang dalam perkawinan dan keluarga. Barbara menyatakan bahwa ketidaksahan (“illegitimacy”) bukan satusatunya ancaman bagi anak, tetapi budaya dengan ibu yang tidak menikah dan bercerai. Fenomena ini menurutnya adalah hasil dari ideologi kebebasan ekspresif individual yang mengunggulkan aktualisasi diri sendiri dibandingkan kebutuhan anakanaknya (Dana Mack, 1997: 15). Fagan (1995) berpendapat bahwa banyaknya keluarga yang “broken” akan menyebabkan masyarakat menjadi buruk dan sakit, karena dimulai dari cara yang salah atau keliru dalam memandang pernikahan dan anak. Persoalan demoralitas berhubungan juga dengan manusia terlalu lemah dalam pengendalian emosi dan nafsunya karena tidak lagi memiliki ikatan kuat dengan kekuasaan absolut Tuhan yang supranatural dan tidak adanya kebiasaan baik yang membentengi manusia dari pengaruh kejahatan. Lahirnya paham positivisme yang mengedepankan bukti nyata science, sehingga bukanlah kebenaran jika tanpa bukti empirik—telah menggoyang keyakinan manusia tentang keberadaan moral dan agama, seperti dituliskan oleh Wilson (1993). Rendahnya standar moral dan lemahnya penetapan norma baik dan buruk dalam masyarakat menyebabkan berubahnya cara pandang generasi muda terhadap kehidupan (Brooks dan Goble, 1997). Persoalan demoralitas juga berhubungan dengan pemisahan pendidikan umum dari nilai agama. Benson dan Engemen mengatakan bahwa ada hubungan erat antara kejahatan dengan kurangnya instruksi moral dan etika dalam masyarakat dan perubahan orientasi pendidikan umum kepada pemisahan antara nilai agama dengan pendidikan di sekolah negeri.
6
Kelahiran filsafat positivisme yang mendasari kelahiran ilmu pengetahuan (science) telah membuat pemisahan sangat jelas antara fakta (yang dapat dibuktikan dengan ilmiah sehingga disebut kebenaran/the truth) dengan nilai (yang tidak dapat dibuktikan secara ilmiah, sehingga disebut sebagai perasaan/feeling, bukan kebenaran) juga turut mendorong manusia untuk selalu mempertanyakan tentang moral dan nilai yang bersifat abstrak. Kelahiran teori Darwin juga telah merangsang manusia untuk mempertanyakan semua hal, seperti tentang asal mula manusia hidup, siapa yang menciptakan kehidupan, dan darimana asal kehidupan itu. Oleh sebab itu, kebenaran moral juga terus dipertanyakan dan moral dianggap sebagai sesuatu yang terus menerus berubah (morality as being in flux) (Lickona, 1992). Akibatnya, seperti dikutip dari Lickona (1992), bangsa Amerika terutama generasi mudanya mengalami penderitaan karena senantiasa mempertanyakan nilai dan moral. Mereka juga kekurangan pelatihan etika individual karena sekolahsekolah tidak lagi mengajarkan dan melatih tentang moral. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi memang telah mendorong manusia untuk mempertanyakan tentang kehidupan termasuk agama dan moral. Dampaknya adalah manusia mulai merasionalisasikan segala sesuatu termasuk agama dan moral, sehingga sistem pendidikan Amerika yang semula memperhatikan nilainilai agama pun telah berubah. Sehingga pendekatan yang dilakukan dalam pendidikan moral di Amerika adalah dengan mengajarkan bagaimana menghargai pandangan moral orang lain, dan menjelaskan bahwa tidak ada jawaban benar dan salah dalam setiap permasalahan kehidupan. Pendekatan dengan menampilkan moral dilema ini menjadikan anak Amerika piawai dalam memutuskan benar dan salah dari sisi pandangan pribadinya (personal point of view). Secara tidak langsung, pendekatan moral reasoning dan values clarification yang sangat humanis telah merusak otoritas agama dan otoritas orangtua terhadap anak yang selanjutnya meningkatkan demoralisasi atas bangsa Amerika, suatu hal yang sangat tidak diharapkan. Penyebab persoalan moral dan kenakalan yang terjadi di kalangan remaja sangat kompleks. Gustafson (Syakrani, 2004:34) mengatakan bahwa kaum muda dewasa ini telah tumbuh dalam konteks sosial yang tidak ramah dan santun. Hal ini menunjukkan kehancuran strukturstruktur keluarga, etika politik dan bisnis yang kotor, tindak kekerasan dan runtuhnya misi pendidikan, materialisme yang merajalela dan utang
7
nasional yang terus meningkat. Semua ini menjadi tanda bahwa institusi, sistem dan struktur kehidupan publik tampak telah hancur, curang dan tidak berperan. Kondisi di atas menggambarkan kompleksitas masalah yang terjadi pada bangsa Indonesia, yang intinya berakar pada persoalan moralitas atau akhlak dan agama belum diamalkan oleh masyarakat. Kondisi tersebut terjadi mulai dari unit keluarga, sekolah, komunitas, masyarakat luas, pemerintahan dan dunia politik sejak di tingkat desa dan perkotaan, daerah dan pusat. Hal ini mengindikasikan bahwa pembangunan di bidang agama belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Padahal asas pembangunan nasional adalah keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dan ia menjadi jiwa, penggerak dan penggendali segala aktivitas, sebagai nilai luhur yang menjadi landasan spiritual, moral dan etika pembangunan nasional. Masa remaja (adolescence) adalah masa yang labil dan rawan sebagai akibat adanya perubahan dalam sistem fisiologi dan biokimia serta perilaku. Menurut Muuss (1990:56), perubahanperubahan yang dialami oleh remaja tersebut meliputi perubahan biologis, adanya gap antara perkembangan biologis dan perkembangan sosial, adanya kebingungan dalam memeilih peran, adanya kesulitan untuk melihat apa yang akan terjadi dan adanya kemudahan akses pada ancaman yang potensial seperti: alkohol, narkoba, senjata tajam dan perilaku lain yang merusak. Perkembangan biologis diikuti dengan keinginan seksual yang mulai bangkit, karena itu remaja sangat suka terhadap halhal yang bersifat porno (Santrock and Yussen,1989:282295). Remaja yang kurang memiliki pengendalian diri dan ketaatan beragama sangat mungkin untuk terlibat dalam perilaku seks akibat proses perkembangan organ seks mereka. Peran agama, orang tua dan guru sangat penting dalam mengarahkan remaja agar tidak terjerumus ke dalam perilaku seks bebas. Persoalan pemaja juga ditandai dengan adanya kesadaran akan identitas diri. Erikson (Dariyo, 2004) berpendapat bahwa kesadaran akan identitas diri, remaja masuk dalam tahapan identity versus indentity confusion versus role diffusion, yaitu tahapan pencarian identitas yang mana individu ingin mengungkapkan dan mengerti siapa dirinya dan apa yang diinginkannya di masa depan. Pada tahapan ini orang tua dan guru sangat berperan dalam membantu anaknya untuk mengeksplorasi berbagai peranan dalam kehidupan seharihari. Apabila anak remaja dapat mengeksplorasi peranannya dengan perilaku baik dan dapat menemukan jalur yang tepat bagi hidupnya, maka anak tersebut akan mencapai identitas positif (a positive identity). Sebaliknya, apabila anak
8
tersebut terlalu dipaksa dalam mengeksplorasi peranan sehingga anak kurang cukup kesempatan memahami cara pengeksplorasian peranannya sendiri, maka kebingungan akan identitas (a identity confusion) akan semakin besar. Perhatian remaja terhadap diri sendiri sangat besar, 'sang aku' menjadi segalanya, tidak menghendaki campur tangan dan penguasaan orang tua atau orang dewasa lainya, tidak segansagan mengemukakan kecaman terhadap orang tua, guru atau orang dewasa lain. Kebutuhan untuk bergabung dengan temanteman sebaya kuat sekali dalam usaha untuk menemukan nilainilai hidup dan menetapkan citacitanya. Peran teman sebaya sangat penting dan strategis bagi remaja, baik untuk halhal yang positif atau yang negatif. Keberhasilan orang tua, guru atau orang dewasa lainnya membantu remaja dalam menemukan identitas dirinya mengharuskan mengenal beberapa hal dari ciriciri remaja. Bandura (1986) mengatakan bahwa ciriciri masa remaja adalah sebagai berikut: (1) status dalam masyarakat masih tidak menentu, (2) rasa emosional yang tinggi seperti cepat marah, takut, cemas, ingin tahu, iri hati, sedih, dan kasih sayang, (3) perasaan yang tak stabil seperti kesedihan yang tibatiba berganti dengan kegembiraan, rasa percaya diri berganti dengan keraguan, rasa alturisme atau mementingkan orang lain berganti dengan sikap acuh tak acuh, dan (4) mempunyai banyak masalah yang berhubungan dengan: (a) keadaan jasmaninya, (b) kebebasannya, (c) nilainilai yang dianutnya, (d) peranan pria dan wanita dewasa, (e) lawan jenis, (f) masyarakat, dan (g) kemampuan mengerjakan sesuatu yang terkadang sukar untuk diselesaikan karena menganggap orang tua dan guru terlalu tua untuk mengerti pikiran dan perasaannya. Dalam perkembangan keyakinan (Syamsu, 2002), remaja masuk dalam tahapan keyakinan sintesiskonvensional, remaja mulai mengambil alih pandangan orang lain seperti, guru atau ustaz menurut pola pengambilan perspektif antar pribadi secara timbal balik. Penekanan adalah mengintegrasikan gambaran diri yang berbeda supaya menjadi satu identitas diri yang koheren. Maka tugas yang pokok adalah menciptakan sintesis identitas. Usaha menciptakan identitas pribadi dan seperangkat arti baru dalam hidup ini bersifat konpromistis. Karena itu identitas diri dibentuk oleh interaksi pengaruh pengaruh teman sebaya, sekolah, pekerjaan, media massa, kebudayaan populer dan kelompok religius. Kurangnya pelaksanaan peranan
keluarga
akan berakibat terhadap
perkembangan keberagamaan remaja. Karena itu keluarga harus berperan sebagai: (1)
9
pemberi rasa aman bagi anak dan anggota keluarga lainnya, (2) sumber pemenuhan fisik dan psikis, (3) sumber kasih sayang dan penerimaan, (4) model perilaku yang tepat bagi anak untuk dapat belajar menjadi anggota masyarakat yang baik, (5) pemberi bimbingan bagi pengembangan perilaku yang secara sosial dianggap tepat, (6) pembentuk anak dalam memecahkan masalah yang dihadapi untuk penyesuaian diri terhadap kehidupan, (7) Pemberi bimbingan dalam belajar motorik, verbal dan sosial yang dibutuhkan untuk penyesuaian diri, (8) stimular bagi pengembangan anak dalam mencapai prestasi di sekolah dan masyarakat, (9) Pembimbing dalam pengembangan aspirasi, dan (10) sumber persahabatan dan teman bermain bagi anak sampai usia berkeluarga (Syamsu, 2002:38). Keluarga yang fungsional dan ideal ditandai oleh adanya ciriciri berikut: (1) saling mencintai dan menghargai, (2) bersikap terbuka dan jujur, (3) orang tua menerima perasaan, mendengar anak dan menghargai pendapatnya, (4) ada sharing masalah atau pendapat di antara anggota keluarga, (5) bersinergi berjuang mengatasi masalah hidup, (6) saling menyesuaikan diri dan mengakomodasi, (7) melindungi dan mengayomi anak, dan (8) ada komunikasi yang baik, (9) minimnya pertengkaran dan perselisihan antar anggota keluarga, (10) orang tua memiliki emosi yang stabil, (11) berkecukupan secara ekonomi, dan (12) mengamalkan nilainilai agama dan moral. Peranan keluarga yang kurang dan ditambah dengan erosi nilainilai agama dalam keluarga akan melahirkan remaja yang: (1) berperilaku nakal, (2) mengalami depresi, (3) melakukan tindakan kekerasan dan kriminal, (4) melakukan hubungan seksual bebas secara aktif, (5) meningkatnya penderita HIV/AIDS di kalangan remaja, dan 5) kecenderungan terhadap miras dan obatobatan terlarang (Syamsu, 2002:4145). Parenting style juga mempengaruhi perkembangan agama remaja. Baumrind (Syamsu, 2002:5153) mengatakan bahwa parenting style (authoritarian, permissive dan authoritative/demokratis memiliki kontribusi terhadap kompetensi sosial, emosional dan intelektual siswa. Remaja yang orang tuanya bersikap authoritarian cenderung bersikap bermusuhan dan memberontak, remaja yang orang tuanya bersikap permissif cenderung berperilaku
bebas
(tidak
terkontorol),
dan remaja
yang
orang
tuanya
authoritatif/demokratis) cenderung terhindar dari perilaku gelisah, kacau dan nakal. Pembiasaan dan pencontohan perilaku yang baik, sosialiasi nilai yang baik dalam keluarga, sangat berperan dalam meletakkan dasardasar perilaku bagi anak anaknya. Sikap, perilaku, dan kebiasaan orang tua selalu dilihat, dinilai, dan ditiru oleh
10
anaknya yang kemudian semua itu secara sadar atau tak sadar diresapinya dan kemudian menjadi kebiasaan pula bagi anakanaknya. Hal demikian disebabkan karena anak mengidentifikasikan diri pada orang tuanya sebelum mengadakan identifikasi dengan orang lain (Bonner, 1953: 207). Budiman (1986:6) mengatakan bahwa keluarga yang dilandasi kasih sayang sangat penting bagi anak supaya anak dapat mengembangkan tingkah laku sosial yang baik. Bila kasih sayang tersebut tidak ada, maka seringkali anak akan mengalami kesulitan dalam hubungan sosial, dan kesulitan ini akan mengakibatkan berbagai macam kelainan tingkah laku sebagai upaya kompensasi dari anak. Sebenarnya, setiap orang tua itu menyayangi anaknya, akan tetapi manifestasi dari rasa sayang itu berbeda beda dalam penerapannya; perbedaan itu akan nampak dalam pola asuh yang diterapkan. Kelas sosial dan status ekonomi juga mempengaruhi perkembangan agama remaja. Sigelman dan Shaffer (Syamsu, 2002:53) mengatakan bahwa orang tua kelas bawah cenderung sangat menekankan kepatuhan dan respek terhadap otoritas, sering menggunakan hukuman fisik dan lebih keras dalam “toilet training”, kurang memberikan alasan kepada anak, kurang bersikap hangat dan kurang memberi kasih sayang pada anak. Karena itu sikap anakanak mereka cenderung agresif, independen dan lebih awal dalam pengalaman seksual. Pikunas (Syamsu, 2002:53) mengatakan orang tua kelas menengah cenderung berlebihan dalam memberikan pengawasan dan perhatian, ibu merasa bertanggung jawab terhadap tingkah laku anak, dan menerapkan kontrol yang lebih halus. Mereka mempunyai ambisi untuk meraih status yang lebih tinggi, menekankan anak untuk mengejar statusnya melalui pendidikan dan latihan profesional. Anakanak mereka cenderung punya inisiatif, keingintahuan dan kreatifitas. Kelas atas cenderung lebih memanfaatkan waktu luangnya dengan kegiatankegiatan tertentu, lebih memiliki latar belakang pendidikan yang reputasinya tinggi dan biasanya senang mengembangkan apresiasi estetika. Anakanaknya cenderung memiliki rasa percaya diri, bersikap memanipulasi aspek realitas. Pengaruh status ekonomi terhadap kehidupan remaja cukup besar. Orang tua yang mengalami tekanan ekonomi atau tidak mampu memenuhi kebutuhan finansialnya, cenderung menjadi depresi, mengalamai konflik keluarga, akhirnya remaja kurang punya harga diri, prestasi belajar rendah, kurang dapat bergaul, mengalami masalah dalam penyesuaian diri, depresi dan agresi.
11
Menurut Rich dan Popov (Syakrani, 2004:4), keluarga merupakan wahana pengembangan keterampilanketerampilan unggul (mega skills) dan kebajikan kebajikan moral (virtues). Kegagalan keluarga mengembangkan keterampilan unggul tersebut tidak dapat diatasi oleh institusi sosial lain, termasuk oleh sekolah. Begitu pentingnya institusi ini, sehingga Perserikatan BangsaBangsa (PBB) pernah merancang program yang menjadikan keluarga sebagai wahana pengembangan SDM. Oleh karena itu, status sosial dan ekonomi keluarga, keberfungsian keluarga, cara dan sikap orang tua dalam memperlakukan anak atau pola asuh, kondisi religius dalam keluarga pada akhirnya berpengaruh terhadap perkembangan dan keberagamaan anak/remaja. Berbagai persoalan krisis yang terjadi sekarang ini berawal dari apa yang dihasilkan oleh dunia pendidikan. Pendidikan memiliki kontribusi besar terhadap situasi ini. Sistem pendidikan yang menekankan hafalan, sentralistik dan birokratis. Tilaar (1999) mengatakan bahwa kelemahan sistem pendidikan selama ini adalah: (1) Sistem pendidikan yang sentralistik, (2) Kurang mempertimbangkan kenyataan yang ada di masyarakat, (3) Birokratis dan serat korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), (4) Profesionalisme guru terbelenggu, (5) Pendidikan tidak berorientsi pada pembentukan kepribadian (educating for character), dan (6) Peserta didik tidak dibiasakan kreaktif dan iovatif. Di sekolah umum (SMP dan SMA) materi pelajaran agama hanya dua jam pelajaran seminggu sementara jumlah jam pelajar umum jauh lebih banyak. Kalaupun ada tambahan materi pelajaran agama hanya bersifat ekstrakurikuler dan tidak terprogram dengan baik. Madrasah dan Pesantren yang bercirikan sekolah agama juga telah banyak menyelenggarakan sekolah umum sehingga porsi belajar agama menjadi berkurang. Pendidikan agama yang jam pelajarannya kurang ditambah lagi dengan etos guru yang lemah dan pendekatan belajar moral thinking, penyeban kurang berfungsinya sekolah sebagai pembentuk manusia religius. Berdasarkan penelitian Muhaimin (2002:112), etos kerja guru pendidikan agama Islam lemah, dalam artian lemahnya semangat dan cara kerja, serta lemah semangat keilmuan dalam pengembangan pendidikan agama di sekolah. Sedangkan menurut Baidawi, pendidikan agama di sekolah lebih menekankan aspek kognisi atau moral thinking dan belum menyentuh pada aspek moral effect dan moral action.
12
Minimnya proses belajar agama di sekolah yang dapat menimbulkan demoralitas mulai disadari oleh sebagian masyarakat dengan munculnya sekolahsekolah Islam terpadu, mulai jenjang Taman KanakKanak sampai Sekolah Menengah Atas. Walaupun demikian tidak semua masyarakat dapat menyekolahkan anak mereka ke sana sebab biayanya relatif lebih mahal dari sekolah tidak terpadu atau sekolah negeri. Pendidikan agama masih menekankan ranah kognitif, hafalan, parsial, tidak integral, finalistik (penekanan pencapaian target kurikulum, bukan proses), formalitas, zahir (yang tampak kulitnya) dan rutinitas (Muhaimin, 2002:8891). Pendidikan agama bersifat menyendiri, kurang berinteraksi dengan kegiatankegiatan pendidikan lainnya. Akibatnya, terjadi kesenjangan antara pengetahuan dan pengamalan, antara gnosis dan praxis dalam kehidupan, sehingga nilainilai agama tidak mampu membentuk pribadi pribadi Islami. Inilah yang dikatakan Paulo Freire bahwa pendidikan dan budaya tidak membebaskan dan menyentuh realitas kehidupan serta tidak memanusiakan manusia. Nasution (Muhaimin, 2002: 88) menilai bahwa pendidikan agama banyak dipengaruhi oleh tren Barat, yang lebih mengutamakan pengajaran dari pada pendidikan moral, padahal pendidikan agama itu intisarinya adalah pendidikan moral. Bagi Soedjatmoko (Muhaimin, 2002:89), kegagalan pendidikan agama yang menyebabkannya kehilangan relevansi sosial terhadap perubahan di masyarakat terjadi karena ia berjalan sendiri, dan tidak mampu berintegrasi atau bersinkronisasi dengan pendidikan umum lainnya. Rasdianah (Muhaimin, 2002:89) mengemukan beberapa kelemahan pendidikan agama selama ini, yaitu: (1) cenderung pada paham fatalistik dalam akidah, (2) dalam akhlak memandang manusia secara parsial, (3) dalam ibadah menekankan rutinitas bukan pembentukan kepribadian, (4) di bidang fikih menekankan finalistik bukan dinamika, (5) cenderung diajarkan sebagai dogma dan kurang menekankan pada rasionalitas, dan (6) orientasi mempelajari alQur’an lebih kepada kemampuan membaca teks bukan pada pemahaman dan penggalian makna. Towaf (Muhaimin, 2002:89) menilai bahwa kelemahan pendidikan agama di sekolah karena pendekatan yang normatif, guru kurang inovatif dan terpaku pada kurikulum yang menawarkan kompetensi minimum, metode pembelajaran yang monoton dan keterbatasan sarana/prasarana. Menurut Abdullah (Muhaimin, 2002), pendidikan agama yang berlangsung di sekolah lebih terkonsentrasi pada persoalan teoritis keagamaan, kurang fokus pada makna dan nilai yang perlu diinternalisasikan dalam kehidupan, seperti isu kenakalan
13
remaja, perkelahian antar pelajar, tindak kekerasan, premanisme, kejahatan kerah putih (white color crime), konsumsi narkoba dan miras, metodologi pendidikan agama yang konvensionaltradisional, menekankan hafalan, sistem evaluasi yang menekankan aspek kognitif dan kurang pada makna atau nilai spiritual dan fungsional agama dalam kehidupan seharihari. Komaruddin Hidayat (Muhaimin, 2002:90) menilai orientasi pendidikan agama di sekolah selama ini kurang tepat. Indikatornya adalah (1) banyak orang mengetahui nilainilai ajaran agama, tetapi perilakunya tidak relevan dengan nilai ajaran agama yang diketahuinya, (2) penyusunan materi pendidikan agama tidak tertib dan menekankan aspek fiqhiyah, sehingga masalah yang prinsip dari ajaran agama itu terlewatkan dan masyarakat menjadi fanatik, dan (3) kurangnya kemampuan dalam menjelaskan dan memperluas maknamakna kunci dalam ajaran agama, sehingga sering terjadi kesalahpahaman dan kekaburan makna. Secara kuantitas jumlah masjid, mushalla, surau, gereja, vihara dan sarana keagamaan lainnya bertambah. Ceramah dan khotbah keagamaan di setiap stasiun radio dan televisi setiap hari diadakan. Majalah, koran dan buletin keagamaan makin menjamur mewartakan ajaran agama. Kelompokkelompok pengajian semakin menjamur dan keingian masyarakat naik haji setiap tahun meningkat. Kenyataannya, perilaku masyarakat khususnya remaja belum mencerminkan fungsi nilai agama dalam kehidupan. Secara sosiologisfungsional, agama dalam masyarakat berfungsi sebagai penyelamatan, edukasi, kontrol sosial/sistem sosial, perekat persaudaraan dan transformatif. Pengamatan atas fenomena keluarga, komunitas, masyarakat yang ada khususnya remaja, menunjukkan bahwa agama belum fungsional dalam kehidupan individu dan sosial. Pertanyaan yang muncul adalah kenapa ajaran agama belum mampu menjadi norma perilaku masyarakat, khususnya remaja, kenapa nilai atau norma agama belum dapat menjadi budaya bangsa ini? Apa yang salah dengan pendidikan agama dalam keluarga, sekolah dan masyarakat? Apakah pendidikan agama yang disosialisasikan selama ini di keluarga, sekolah dan masyarakat belum melakukan inovasiinovasi sesuai dengan perkembangan yang terjadi di masyarakat. Dengan kata lain orang tua, guru agama dan pemuka agama belum mampu melakukan pilihanpilihan strategis yang relevan dengan kebutuhan remaja dan dinamika sosial. Puncaknya adalah rasa kekecewaan dan pesimistik terhadap permasalahan ini. Telah banyak wacana dan isuisu yang diangkat sebagai solusinya. Sebagian ada yang mengatakan bahwa harus ada pemotongan satu generasi, pergantian kepemimpinan dari
14
generasi tua kepada generasi muda, penyiapan generasi muda yang berkualitas, dan lainlainnya. Ketika muncul kesadaran bahwa problem remaja, keluarga, pendidikan, sosial, politik dan ekonomi yang terjadi hari ini bersumber pada moralitas dan kualitas Sumber Daya Manusia yang rendah, maka strategi yang harus dilakukan adalah menyiapkan satu generasi yang memiliki kualitas intelektual, emosional, moral dan spiritual/agama yang secara integral bermuara pada perilaku kehidupan seharihari dalam berbagai aspeknya. Sasaran yang realistik dan mungkin adalah para remaja dengan memperbaiki dan meningkatkan sosialisasi ajaran agama dalam keluarga, sekolah dan masyarakat. Kenapa remaja? karena mereka belum terlalu banyak terkontaminasi oleh berbagai pengaruh negatif yang terjadi dan sangat potensial diperbaiki, juga rentang hidup remaja yang strategis dalam perjalanan hidup manusia, masyarakat dan bangsanya. Problem demoralitas pada remaja berhubungan dengan problem ramaja lainnya, yaitu problema diri, keluarga, masyarakat, dan pendidikan. Kenapa perilaku beragama yang dikaji?, karena problem besar masyarakat dan bangsa Indonesia adalah demoralitas, yang berhubungan langsung dengan problem beragama dan pengamalan agama secara baik akan mampu memperbaiki kondisi demoralitas yang memprihatikan di atas. Tujuan pendidikan agama Islam secara formal adalah untuk meningkatkan keimanan, pemahaman, penghayatan dan pengamalan peserta didik tentang ajaran Islam sehingga menjadi manusia Muslim yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT, serta berakhlak mulia (bermoral) dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dari tujuan ini dapat ditarik beberapa dimensi yang hendak ditingkatkan melalui kegiatan pendidikan agama Islam, yaitu: (1) dimensi keimanan/keyakinan peserta didik terhadap ajaran Islam, (2) dimensi penalaran atau keilmuan (intelektual) peserta didik terhadap ajaran Islam, (3) dimensi penghayatan dan pengalaman batin peserta didik dalam menjalankan ajaran Islam, dan (4) dimensi pengamalannya, dalam arti bagaimana ajaran Islam yang telah diimani, dipahami, dan dihayati atau diinternalisasi oleh peserta didik mampu menjadi motivator dalam dirinya untuk menggerakan, mengamalkan, dan mentaati ajaran Islam dan nilainilainya dalam kehidupan pribadi, serta mengaktualisasikannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Tidaklah etis kalau timbulnya berbagai masalah pada remaja sematamata disebabkan kegagalan pendidikan agama di sekolah, tetapi yang perlu dicermati oleh
15
orang tua, dunia pendidikan, tokoh masyarakat dan tokoh agama serta pemerintah adalah. Apakah pendidikan keagamaan dapat menjadi solusi dan fungsional dalam kehidupan? Tentunya hal ini akan menuntut berbagai kemampuan dan kerelevanan dari berbagai aspek, seperti aspek lingkungan keluarga, masyarakat, kebijakan, kelembagaan, materi, metode dan kemampuan guru agama, pendakwah dan lain sebagainya. Kritikan yang dilontarkan oleh para ahli terhadap kegagalan pendidikan agama di atas lebih banyak dialamatkan kepada substansi materi dan guru agama di sekolah. Belum banyak yang melihat dari faktor lingkungan sosial yang tidak kondusif, keluarga yang kurang berfungsi sebagai pusat pembentukan nilai religius dan karakter anak, nilai sosialbudaya yang paradoks dan materialistik serta arus informasi yang tidak mendidik. Padahal pengaruh di luar sekolah itu jauh lebih signifikan terhadap terbentuknya perilaku beragama dan moral seseorang. Apalagi usia remaja yang berkarakter labil, cepat menerima yang baru tanpa filter yang baik, dan lebih banyak menghabiskan waktu berinteraksi dengan teman sebaya, bersetuhan dengan berbagai informasi, nilainilai dan budaya yang bermacammacam dan kurang mendidik. Dari latar belakang masalah di atas, pertanyaan yang muncul adalah kenapa nilai agama belum menjadi norma atau referensi perilaku remaja? Bagaimana lingkungan (keluarga, sekolah, komunitas dan masyarakat luas) yang kondusif untuk tumbuhkembangnya remaja yang religius (beragama)? Bagaimana seharusnya agama itu disosialisaikan dan diinternalisasi dalam keluarga, sekolah dan masyarakat agar mampu menjadi karakter, motivator, norma, dan transpormator dalam perilaku seharihari berperilaku seseorang, khususnya remaja?
Masalah Penelitian Nilainilai ajaran agama, khususnya agama Islam, sudah ditanamkan kepada anakanak sejak usia dini, bahkan sejak dalam rahim/kandungan oleh orang tua, di sekolah, dan di masyarakat. Di sekolah, sosialisasi agama diajarkan sejak sekolah Taman KanakKanak sampai Perguruan Tinggi. Di masyarakat, disosialisasikan melalui berbagai kegiatan keagamaan seperti: majlis taklim, pengajian berkala, tabligh/dakwah pada harihari besar Islam, diskusi keagamaan. Bahkan setiap subuh, semua televisi dan sebagian radio mengkomunikasikan/menyiarkan ceramah agama dalam berbagai topik dan aspek dari ajaran agama Islam, tanpa kecuali masalah agama pada remaja. Selain
16
itu, juga ada buletin/tabloid keagamaan, sebagian koran dan majalah juga menyediakan kolom atau rubrik khusus yang berkaitan dengan masalah agama Islam. Internet dan ponsel juga dapat diakses tentang informasi masalah agama. Dengan kata lain, banyak akses yang dapat ditempuh oleh seseorang yang mau mempelajari serta memahami ajaran Islam, tetapi realitasnya persoalan etika dan moral seperti gambaran di atas sangat mencemaskan. Remaja merupakan sekelompok masyarakat yang secara psikologis masih labil atau gamang, emosional, dalam proses pencarian identitas diri dan cepat menerima perubahan tanpa pertimbangan yang matang. Sementara kondisi lingkungan (keluarga, pendidikan, komunitas dan masyarakat luas) remaja hari ini sangat komplek dan mengkhawatirkan masa depan bangsa ini. Partisipasi aktif berbagai pihak, baik pemerintah, masyarakat, sekolah, keluarga, dan media masa menciptakan kondisi yang kondusif dan mendorong perkembangan potensi intelektual, emosional dan spiritual/agama remaja. Dengan demikian akan lahir generai bangsa dengan keyakinan agama yang kuat, tingkah laku atau akhlak yang baik, kepribadian yang tangguh, kreatif, inovatif, jujur dan disiplin dan lain sebagaiya. Dengan kata lain, keberhasilan pendidikan agama pada masa remaja akan dapat melahirkan manusiamanusia yang memiliki kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual atau pribadi yang berakhlakul karimah sebagai penerus bangsa. Kalau diamati, perilaku sebagian remaja dewasa ini, seperti yang digambarkan di atas. Nampaknya sosialisasi/pendidikan agama di keluarga (informal), di sekolah (formal) dan di masyarakat (nonformal) belum sebagaimana mestinya. Masalah yang muncul adalah kenapa pendidikan keagamaan belum menjadi referensi perilaku (kognisi, afeksi dan tingkah laku) remaja ? Bagaimana proses sosialisasi agama selama ini di keluarga, sekolah dan masyarakat dan strategi apa yang tepat dalam proses pendidikan keagamaan ? Dari masalah penelitian di atas Research Question (pertanyaan penelitian) yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah : (1) Bagaimana kondisikondisi terkait aspek keagamaan di lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan masyarakat tempat tinggal ? (2) Sejauhmana telah terjadi kegiatan keagamaan dan perilaku Islami pada remaja ? (3) Seberapa jauh ada perbedaan perilaku Islami pada remaja Kota Jakarta Selatan, Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Lebak ?
17
(4) Faktorfaktor mana yang dominan mempengaruhi perilaku Islami pada remaja ? (5) Bagaimana strategi pengembangan atau peningkatan perilaku Islami pada remaja yang tepat, terutama melalui pendidikan nonformal, yang sesuai dengan perkembangan serta kebutuhan remaja Kota Jakarta Selatan, Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Lebak ?
Tujuan Penelitian Bertitik tolak dari masalah penelitian di atas, maka tujuan utama penelitian ini adalah merumuskan strategi pengembangan pendidikan agama yang cocok dengan perkembangan dan kebutuhan remaja serta mampu menumbuhkan kesadaran dan budaya keagamaan mereka; sehingga nilainilai ajaran agama dapat membentuk karakter dan modal atau benteng bagi mereka dalam menghadapi kehidupan yang rentan perubahan dan penuh paradoks dalam masyarakat. Tujuan terperinci penelitian ini adalah: (1) Mendeskripsikan kondisikondisi terkait aspek keagamaan remaja di lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. (2) Mendeskripsikan pelaksanaan kegiatan keagamaan dan perilaku Islami pada remaja. (3) Menggambarkan perbedaan perilaku Islami pada remaja Kota Jakarta Selatan, Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Lebak. (4) Menemukan dan menguji faktorfaktor yang dominan mempengaruhi kegiatan keagamaan dan perilaku Islami pada remaja. (5) Merumuskan strategi pengembangan atau peningkatan perilaku Islami pada remaja yang tepat, terutama melalui pendidikan nonformal, yang sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan mereka.
Kegunaan Penelitian Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi untuk menyusun konsep perilaku Islami remaja dan pengukuran tingkat perilaku Islami remaja sekarang ini. Dengan memperhatikan faktorfaktor yang mempengaruhi tingkat perilaku Islami dapat dirumuskan konsep intervensi yang tepat bagi pengembangan perilaku Islami remaja. Secara akademik, diharapkan dapat dirumuskan model intervensi yang
18
tepat dalam bentuk strategi pendidikan agama Islam melalui pendidikan formal dan nonformal untuk dapat menghasilkan perilaku remaja yang Islami dalam menjalani era modernisasi dan globalisasi sekarang ini. Hasilhasil penelitian ini juga diharapkan akan berguna untuk memberikan pertimbangan dalam merumuskan arah pembinaan atau pengembangan sumber daya guru agama dan para da`i atau mubaligh dalam upaya mempersiapkan dan mewujudkan remaja Islami yang berkualitas secara intelektual, emosional dan spiritual. Dalam kaitannya dengan pengembangan ilmu, hasil penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi dalam upaya pengembangan konsep atau teori pendidikan agama yang mampu melahirkan perilaku Islami bagi pengembangan kualitas pembangunan manusia di daerah metropolitan, kota sedang dan pedesaan.
Definisi Istilah (1) Perilaku adalah tindakan atau tingkah laku seseorang dalam merespon lingkungannya yang didasari oleh pengetahuan, sikap dan keterampilan sebagi hasil interkasi dengan lingkungan atau hasil belajar dari lingkugannya. Perilaku yang benar bila pengetahuan atau pemahaman sejalan dengan sikap, dan tindakan sejalan dengan pengetahuan dan sikap. (2) Keberagamaan (religiusitas) adalah perwujudan perilaku dalam berbagai sisi kehidupan manusia yang didorong oleh kekuatan nilainilai agama yang diyakini. Ia berkaitan dengan aktivitas yang tampak (zahir), seperti shalat dan menolong orang yang miskin, dan aktivitas yang tidak tampak atau terjadi dalam hati (batin) seseorang, seperti keimanan dan zikir (ingat) kepada Allah. Kaberagamaan meliputi dimensi keyakinan/iman, praktek agama (ritual), pengalaman rohaniyah, pengetahuan agama dan tingkah laku (akhlak). Pengertian lain dari keberagamaan adalah proses seseorang menjadi orang beragama sesuai dengan agama yang dianutnya. (3)
Dimensi keyakinan, berisi pengakuan dan pengharapanpengharapan orang religius terhadap teologi (pandangan ketuhanan) tertentu, yang dalam Islam disebut aqidah, yakni rukun iman. Dimensi praktik (ritual), mencakup perilaku penyembahan/pemujaan, ketaatan atau kepatuhan yang dilakukan seseorang untuk menunjukkan komitmen terhadap keyakinan agama yang dianutnya, dalam Islam disebut Ibadah, yakni rukun Islam. Dimensi pengalaman rohaniah,
19
berisikan perasaanperasaan, persepsipersepsi dan sensasisensasi yang dialami seseorang dalam berhubungan dengan kekuatan Tuhan (pengalaman batin), seperti merasa tenang dan sejuk hatinya setelah shalat atau membaca alQur’an. Dimensi pengetahuan agama meliputi sejumlah pengetahuan minimal dan dasar yang harus dimiliki oleh seseorang tentang agamanya, seperti pengetahuan tentang rukun iman dan Islam. Dimensi pengamalan atau konsekuensi adalah merupakan akibat dari dimensidimensi sebelumnya yang tampak dalam tingkah laku seseorang dalam kehiduapan seharihari atau aktualisasi nilainilai agama yang sudah terintegralisasi pada berbagai aspek kehidupan (akhlak/etika/moral). (4) Perilaku keberagamaan adalah tindakan atau tingkah laku seseorang dalam merespon lingkungannya yang didasari oleh ajaran agama yang diyakininya. (5) Perilaku Islami adalah tindakan atau tingkah laku seseorang muslim dalam merespon lingkungannya yang didasari oleh nilainilai ajaran Islam yang dipahami, diyakini dan praktekkan, yang secara garis besarnya mencakup aqidah, ibadah, mu`amalah dan akhlak. (6)
Perilaku beretika Islami adalah internalisasi nilainilai Islam yang diwujudkan dalam kebiasaan bertingtingkah laku seharihari terhadap diri sendiri, sesama dan alam sekitar, seperti: jujur/amanah, disiplin, bersemangat, suka menolong, berbagi, kerja sama, menyumbang/dermawan, kasih sayang pada makhluk hidup dan orang lain, memperhatikan hak orang lain, dan menghargai perbedaan atau toleran.
(7)
Remaja adalah individu yang berusia 1520 tahun yang memiliki ciriciri sebagai berikut: berkembangnya organorgan reproduksi (seksual), krisis identitas, mulai mampu berpikir kritis, mentaati moral konvensional, keyakinan dan keagamaan berbentuk keyakinan sintesiskonvensional (mengambil keyakinan orang lain (guru atau tokoh agama) yang sesuai dengan pandangan pribadi untuk menjadi keyakinannya).
(8)
Siswa SLTA adalah remaja yang mengikuti proses pendidikan formal pada jenjang pendidikan di sekolah menengah tingkat atas, seperti SMA, SMK dan Madrasah Aliyah (MA).
(9)
Keluarga adalah kelompok sosial terkecil yang direkat oleh ikatan perkawinan atau darah terdiri dari suami/ayah, istri/ibu dan anakanak, ada sistem, aturan nilainilai yang berlaku, dan segala keadaan fisik yang ada dalamnya.
20
(10) Lingkungan sosial
keagamaan adalah individuindividu, kelompok, lembaga,
atau sistem sosial, sistem nilai atau budaya yang melingkupi remaja, yang memberikan dukungan sehingga dapat mempengaruhi perilaku Islami remaja. (11) Pendidikan
keagamaan di sekolah adalah upaya sadar dan terencana dalam
menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati, mengimani, bertaqwa, dan berakhlak mulia dalam mengamalkan ajaran agama Islam dari sumber utamanya kitab suci Alquran dan Hadits, melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, latihan, serta penggunaan pengalaman. Dalam proses pelaksanaan ini terdapat berbagai faktor yang berpengaruh, yang bersifat fisik dan nonfisik, di antaranya ketersediaan sarana atau fasilitas keagamaan, dukungan kepala sekolah, guruguru dan staf untuk menciptakan budaya Islami, kompetensi guru agama, keteladanan guru agama, serta kegiatankegiatan ekstrakurikuler keagamaan. (12) Kegiatan
keagamaan remaja adalah sejumlah aktivitas yang dilakukan oleh
individu berusia antara 15 20, yang menghasilkan berbagai pengalaman untuk menentukan atau membimbing tingkah laku dan pemikiran dengan memanfaatkan berbagai sumber daya lingkungan yang ada untuk meningkatkan kualitas perilaku Islami mereka. (13) Pengembangan perilaku Islami adalah proses pembelajaran
yang berorientasi
pada tugas perkembangan remaja, sesuai dengan kebutuhan subjek (remaja) dan berkesinambungan yang ditujukkan untuk mengembangkan kekuatan kepada remaja agar: (1) memiliki pengetahuan, pemahaman, penghayatan, terhadap ajaran agama Islam; (2) memiliki keimanan dan ketakwaan terhadap Allah; (3) mampu mengamalkan ibadah dalam kehidupan seharihari; (3) mampu bertingkah laku Islami (bermoral) dalam kehidupan seharihari; (4) mampu memfilter berbagai pengaruh negatif terhadap akhlak; dan (5) mampu mengakses sumber daya, peluang, pengetahuan dan keterampilan untuk mengembangkan potensi diri demi kelangsungan kehidupan di masa yang akan datang dengan lebih baik.