PENDAHULUAN Latar Belakang Sistem pertanian lahan kering adalah merupakan suatu bentuk bercocok tanam diatas lahan tanpa irigasi, yang kebutuhan air sangat bergantung pada curah hujan. Bentuk pertanian seperti ini disebut tegalan, ladang dan huma, umumnya tersebar di kawasan hutan hujan tropika. Ciri penting dari sistem pertanian ini adalah ketergantungannya yang tinggi pada kondisi iklim terutama curah hujan dan dalam pengelolaannya kondisi lahan relatif terbuka sepanjang tahun. Kondisi lahan seperti ini ditambah dengan curah hujan yang tinggi, menyebabkan lahan-lahan pada sistem pertanian ini sangat peka terhadap erosi dan pencucian hara. Disamping itu pengangkutan sisa-sisa tanaman keluar usahatani dan cara pembersihan dengan pembakaran semakin mempercepat laju penurunan kualitas lahan. Cara pengelolaan seperti ini sangat merusak, sehingga mempercepat meluasnya lahan kritis. Umumnya kerusakan lahan di Indonesia terjadi akibat penggunaan lahan secara intensip tanpa tindakan konservasi yang memadai. Belum diterapkannya teknik konservasi pada lahan pertanian cenderung disebabkan oleh faktor sosial ekonomi dan budaya serta kesadaran petani yang rendah. Penerapan teknik konservasi bagi petani marginal dianggap sebagai suatu tambahan kerja dan tidak memberikan tambahan pendapatan secara langsung. Hal ini sebenarnya suatu persepsi yang keliru. Kekeliruan persepsi ini terutama disebabkan karena pengetahuan tentang penerapan teknik konservasi masih rendah, termasuk pengetahuan terhadap kondisi biofisik lahan. Diketahui bahwa sebagian besar tanah di kawasan hutan hujan tropika terdiri dari jenis podsolik merah kuning yang peka tehadap erosi dan tingkat kesuburan tanah rendah (Foth 1991). Sinukaban (1994) mengemukakan bahwa petani miskin di lahan yang miskin akan terus saling memiskinkan kalau faktor-faktor penyebabnya tidak dibenahi. Situasi pertanian di daerah yang demikian biasanya terkesan gerah, tidak teratur dan tidak produktif. Keadaan seperti ini hampir dapat dijumpai di seluruh Indonesia terutama pada kawasan pertanian dengan sistem pertanian lahan kering.
2
Kondisi pengelolaan lahan yang demikian akan semakin memperluas terjadinya lahan kritis dan kesenjangan sosial masyarakat. Data statistik Indonesia (1990) menunjukkan bahwa pada tahun 1985 lahan kritis di Indonesia seluas 5.294.051 hektar, meningkat menjadi 12.905.600 hektar pada tahun 1989 atau meningkat sebesar 143 persen, dengan penyebab utama adalah lahan-lahan bekas tegalan, ladang dan huma. Jumlah ini belum termasuk lahan yang tidak dimanfaatkan seluas 111.000 hektar dan lahan-lahan pertanian tanpa irigasi lainnya seluas 13.110.503 hektar, yang potensil menjadi kritis karena dikelola tanpa konservasi. Pertambahan luas lahan kritis paling banyak terjadi di Nusa Tenggara, Kalimantan dan Sulawesi. Menurut Baharsjah (1994) luas lahan tidak produktif di Indonesia 38 juta hektar atau 20 persen dari luas daratan Indonesia. Sedang pada tahun 2007, luas lahan kritis bertambah menjadi 77,8 juta ha, (Dirjen RPLS) meningkat sangat tajam dibanding 1989. Pertambahan lahan kritis ini
terjadi akibat pengelolaan pertanian dan penggundulan hutan. Motif
pertambahan luas lahan kritis dalam satu decade terakhir ini telah bergeser dari penggunaan lahan untuk pertanian tanpa konservasi ke penebangan hutan untuk produksi kayu, usaha-saha kehutanan seperti Hutan Tanaman Industri dan pertambangan. Aktivitas pembukaan lahan dalam skala besar tanpa diikuti dengan rehabilitasi lahan memberikan ancaman yang lebih serius terhadap konservasi tanah dan air di Indonesia. Pengelolaan usaha tani yang baik harus dapat memberikan produksi yang cukup tinggi bagi petani secara terus-menerus. Hal ini dapat dicapai bila erosi yang terjadi pada lahan usahatani masih berada dibawah besarnya erosi yang dapat ditoleransikan Etol (Sinukaban 1994). Dikemukakan pula bahwa pengelolaan usahatani dengan erosi yang lebih kecil dari Etol dapat dicapai dengan beberapa cara antara lain melalui pemilihan dan rotasi komoditas pertanian secara tepat, penggunaan mulsa, pembuatan teras dan lain-lain. Pemilihan dan rotasi tanaman secara tepat merupakan salah satu alternatif yang menguntungkan karena dapat meningkatkan produktivitas lahan, permukaan tanah tertutup sepanjang tahun, dan tanah terhindar dari energi kinetik air hujan yang merusak serta pengaruh iklim lainnya.
3
Arsyad (1989) mengemukakan bahwa penentuan erosi yang dapat ditoleransikan perlu karena tidaklah mungkin menekan laju erosi menjadi nol dari tanah-tanah yang diusahakan untuk pertanian terutama pada tanah-tanah yang berlereng. Akan tetapi suatu kedalaman tanah tertentu harus dipelihara agar terdapat suatu volume tanah yang cukup dan baik bagi tempat berjangkarnya akar tanaman dan untuk tempat penyimpanan air serta unsur hara yang diperlukan bagi tanaman. Oleh karena itu suatu lahan yang dimanfaatkan harus dapat diprediksi besarnya erosi yang terjadi, agar dapat dilakukan berbagai tindakan konservasi. Salah satu metoda prediksi erosi adalah model kotak kelabu untuk bidang tanah dengan ukuran standar yang dikembangkan oleh Wischmeimer dan Smith (1978) dikenal dengan the Universal Soil Loss Equation atau USLE. Persamaan ini adalah A = R K L S C P, dimana A = besarnya tanah tererosi, R = faktor erosivitas hujan, K = erodibilitas tanah,
L = panjang lereng, S = kecuraman
lereng, C = faktor pengelolaan tanaman,
dan P = faktor pengelolaan tanah.
Faktor- faktor RKLS merupakan faktor-faktor yang bersifat tetap, sedang faktor C dan P merupakan faktor pengelolaan yang dapat dimanipulasi. Berdasarkan persamaan diatas, maka nilai faktor C dan P merupakan nilai faktor yang berhubungan erat dengan tindakan konservasi yang dilakukan. Karena RKLS adalah faktor-faktor yang bersifat tetap yang mempengaruhi besarnya erosi. Semakin kecil nilai faktor C dan P, erosi yang terjadi akan semakin rendah, berarti penerapan konservasi semakin baik. Atau dengan kata lain penerapan konservasi yang baik harus dapat menekan erosi sekecil mungkin sekaligus memberikan produksi pertanian yang tinggi secara terus-menerus. Saat ini teknologi konservasi yang sesuai untuk sistem pertanian lahan kering di Indonesia telah cukup berkembang. Metoda pendekatan secara rnekanik, kimia dan vegetatif telah banyak diternukan, tetapi masih terbatas pada pengujian demplot. Ditingkat petani belum banyak berkembang, kalaupun ada umumnya dalam bentuk proyek pemerintah. Hambatan ditingkat petani bukan saja disebabkan oleh kondisi sosial ekonomi yang rendah, tetapi petani tidak merasakan manfaat langsung dari penerapan teknik konservasi. Bahkan ada anggapan bahwa penerapan teknik konservasi tidak memberikan hasil, malah
4
sebaliknya memberikan tambahan kerja dan biaya. Anggapan seperti ini karena terbatasnya modal dan tenaga kerja dikalangan petani lahan kering. Dengan ketersediaan tenaga kerja rata-rata 2,8 HKP (hari kerja pria), per hari per keluarga (di Sulawesi Tenggara) (Djuhumria l988), maka luas lahan yang dapat diolah untuk satu musim tanam rata-rata 0,7 hektar dari luas pemilikan 2-3 hektar. Di Sulawesi Tenggara ketersediaan tenaga kerja bagi sebagian besar peladang adalah 2,8 HKP (hari kerja pria) perhari per keluarga, dengan kemampuan olah lahan 0,7 hektar dari luas pemilikan lahan 2 – 3 hektar. (Dujuhumria 1988). Sedang di Lampung satu keluarga transmigrasi memiliki tenaga kerja per hari per keluarga 1,75 HOK (hari orang kerja), kemampuan olah lahan antara 0,5 - 0,75 hektar dari luas pemilikan lahan pertanian 1,75 hektar, Nasendi dan Anwar (1985). Sedang menurut Juwanti et al. (1992) dan Sinukaban (1994) mengemukakan bahwa luas usahatani petani di DAS Jratunseluna dan Brantas memiliki lahan bervariasi dari 0,30 - 1,1 hektar, dengan luas pengusahaan rata-rata oleh setiap petani berkisar dari 0,358 - 0,770 hektar. Kemampuan pengelolaan lahan yang terbatas juga disebabkan karena faktor penguasaan teknologi, modal dan lain-lain. Harijaya (1995) mengemukakan adanya anggapan klasik sebagian besar petani di Indonesia bahwa tanah-tanah disini cukup subur dan dapat dipergunakan sepanjang masa tanpa memerlukan perlakuan yang teratur. Anggapan seperti ini juga merupakan kendala dalam menerapkan teknik konservasi di tingkat petani, Persepsi yang keliru inilah juga merupakan penyebab tidak berkembangnya teknik konservasi di kalangan petani. Dalam memberikan arahan tepat dalam pembenahan faktor-faktor fisik lahan melalui penerapan teknik konservasi, perlu diikuti dengan analisis sosial ekonomi. Kendala-kendala seperti biaya, tenaga kerja dan pola tanam perlu diperhitungkan. Dalam konteks ini sistem pengelolaan usahatani dapat di dekati dengan melakukan analisis investasi atau analisis proyek (Gittinger 1982). Hal ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran secara holistic terhadap pengelolaan pertanian lahan kering.
5
Dengan Demikian pertimbangan-pertimbangan biofisik dan sosial ekonomi harus dianalisis secara bersamaan dan simultan. Disinilah diperlukan pendekatan yang konprehensif dalam pengembangan suatu analisis cara bertani di lahan kering secara berkelanjutan.
Permasalahan Permasalahan pokok dalam pengembangan pertanian lahan kering saat ini adalah belum optimalnya.penggunaan lahan baik secara biofisik maupun sosial ekonomi dalam rangka penyelenggaraan sistem pertanian yang berkelanjutan. Secara rinci pernyataan permasalahan dalam mengoptimalkan penggunaan lahan kering baik secara biofisik dan sosial ekonomi adalah: 1. Bagaimana mengembangkan suatu sistem pengelolaan tanah dan tanaman melalui
penerapan
prinsip-prinsip
konservasi
secara
optimal
untuk
mendapatkan tingkat pengelolaan biofisik lahan terbaik dalam rangka pelaksanaan sistem pertanian lahan kering berkelanjutan, 2. Bagaimana kombinasi pengelolaan tanah dan tanaman dengan prinsip – prinsip konservasi berdasarkan kriteria sosial ekonomi, agar dapat memberikan hasil yang optimal. 3. Bagaimana mengelola pola pertanaman (diversifikasi usahatani) secara layak agar dapat memberikan manfaat terhadap perbaikan biofisik lahan dan pendapatan petani. 4. Bagaimana mengembangkan konsep keterpaduan secara biofisik dan sosial ekonomi untuk mendukung sistem pertanian yang berkelanjutan.
Kerangka Pemikiran
Sistem pertanian berkelanjutan dapat dicapai apabila kondisi biofisik lahan terpelihara dengan baik sehingga memungkinkan produktivitas lahan tetap tinggi dan dapat memberikan pendapatan yang layak bagi petani. Hubungan antara terpeliharanya biofisik lahan dan peningkatan pendapatan harus berjalan secara paralel, karena produksi pertanian dapat meningkat bila tanaman mendapatkan media tumbuh yang baik. Dilain pihak kondisi biofisik lahan dapat terpelihara
6
dengan
baik
jika
petani
memiliki
kesadaran
dan
kemampuan
untuk
memperbaikinya serta adanya insentif untuk memelihara kondisi biofisik lahan, berdasarkan metode yang benar yang mereka anut. Metode untuk mempertahankan kondisi biofisik lahan terutama pada pertanian lahan kering mutlak diperlukan. Derajat kebutuhannya bukan hanya berkaitan dengan pengetahuan teknik konservasi tetapi juga kesadaran ancaman degradasi lahan akibat salah kelola. Artinya mereka harus paham bahwa lahan yang dikelola perlu terus dijaga karena dengan demikian akan menjamin kelangsungan usahanya. Sebaliknya akibat salah kelola akan merugikan mereka secara langsung, termasuk masyarakat di luar sistem pertanian yang terkena dampak secara langsung misalnya akibat erosi, maupun yang bergantung pada produksi pertanian. Kerusakan lahan juga tidak hanya bersifat in-situ, tetapi juga memberikan dampak negatif terhadap lingkungan sekitar lahan yang tererosi bahkan sampai pada radius yang sangat luas (ex-situ). Kondisi seperti ini dapat terjadi sesuai bentuk kawasan daerah aliran sungai. Kerusakan yang terjadi secara in-situ maupun ex-situ kedua-duanya berakibat kerugian baik secara fisik maupun sosial ekonomi. Oleh sebab itu petani merupakan aktor kunci yang perlu diberdayakan dan ditingkatkan pengetahuan, keterampilan, pendapatan serta memberikan insentif lainnya, sehingga mereka mau menerapkan teknik-teknik konservasi dan menjadi bagian dari kebiasaannya. Program konservasi seperti Upland Agriculture and Conservation Project (UACP), di DAS Jratunseluna dan Brantas, dan beberapa penelitian yang dilaksanakan oleh Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat Bogor, di Jawa, Sumatera, Kalimantan dan tiga lokasi di Sulawesi yaitu di Gorontalo (Sulut), di Maros (Sulsel) dan di Kendari (Sultra), merupakan refensi yang baik untuk dasar pengembangan pertanian berkelanjutan dilahan kering. Hasil evaluasi tahun l99l/l992 menunjukkan bahwa laju erosi di DAS Jratunseluna dan DAS Brantas telah dapat diturunkan hingga 60 persen, tetapi masih tetap berada diatas erosi yang ditoleransikan. Sinukaban (1994) mengemukakan bahwa salah satu penyebab adalah tidak terpeliharanya komponen teknik konservasi dan kurang tepatnya sistem pengelolaan tanah dan tanaman
7
yang diterapkan. Selanjutnya dikemukakan bahwa hal itu disebabkan; (1) kurangnya pemahaman petani tentang fungsi komponen teknik konservasi tanah yang telah dibangun, (2) kurangnya penyuluhan tentang pentingnya pemeliharaan komponen-komponen
pengendalian
erosi
untuk
meningkatkan
dan
mempertahankan produktivitas secara lestari, (3) mahalnya biaya pemeliharaan yang dapat mencapai Rp. 148.000,-/ha/tahun, dan (4) rendahnya pendapatan keluarga. Kenyataan ini menunjukkan untuk mempertahankan kelestarian komponen biofisik, petani dituntut untuk terampil dan mempunyai kesadaran, serta memerlukan kemampuan ekonomi yang stabil. Arsyad (1989) mengemukakan bahwa keseimbangan antara sub sistem sosial ekonomi dan sub sistem biofisik sangat penting, karena sub sistem biofisik merupakan dasar yang akan menentukan struktur dan bentuk dari sub sistem sosial ekonomi. Sub sistem biofisik yang dibangun oleh komponen tanah, topografi dan penggunaan lahan, sangat penting dan menentukan keberlanjutan dari usaha tani. Sedang keberlanjutan dari suatu usaha tani selain didukung oleh faktor-faktor biofisik yang lestari juga memerlukan manajemen usahatani yang baik. Untuk menjaga kelestarian kondisi biofisik, maka selain diterapkan teknikteknik konservasi, juga diperlukan tindakan-tindakan pemeliharaan seperti penyiangan, pemupukan, penambahan bahan organik, dan lain-lain. Hal ini digambarkan oleh Sumarwoto (1974) sebagai usaha pemberian energi untuk mempertahankan suatu kemantapan ekosistem pertanian. Sedang Clapham (1976) menggambarkan tindakan-tindakan tersebut sebagai tekanan balik dari suatu ekosistem yang dimanfaatkan. Oleh karena luasnya permasalahan lingkungan dalam kaitannnya dengan pengelolaan pertanian lahan kering, maka kajian dalam penelitian ini dibatasi pada analisis hubungan antara faktor biofisik yang berkaitan dengan degradasi lahan (erosi), faktor ekonomi yaitu produksi dan pendapatan serta faktor sosial budaya seperti perilaku petani peladang, perubahan sikap terhadap inovasi dan tata cara bertani. Diagram kerangka pikir dan faktor-faktor yang dikaji dalam penelitian ini disajikan pada Gambar 1.
8
USAHA TANI TANPA MEMPERHATIKAN KEBERLAJUTAN
EROSI TINGGI
PROSES KEKAYAAN (EXSITU)
ALIRAN PERMUKAAN TINGGI
SEDIMENTASI
```
KESUBURAN LAHAN MENURUN (INSITU)
KERUSAKAN TATA AIR
PENDANGKALAN
KUALITAS AIR RENDAH
RODUKSI MENURUN
BANJIR DAN KEKERINGAN
MENGURANGI FUNGSI SOSEK
PROD. BIOTA RENDAH
PENDAPATAN MENURUN
KUALITAS LINGK. HIDUP RENDAH
KESEJAHTERAAN MASYARAKAT MENURUN
Keterangan:
faktor yang dikaji
Gambar l Diagram kerangka pikir keterkaitan permasalahan usahatani tanpa memperhatikan keberlanjutan dan faktor-faktor yang menjadi fokus pengkajian. Dengan demikian utnuk mengembangkan suatu sistem pertanian secara berkelanjutan maka diperlukan pendekatan komprehensif dengan memperhatikan komponen biofisik dan sosial melalui analisis tingkat degradasi lahan dan analisis teknologi konservasi, analisis nilai ekonomi total dan analisis manfaat lingkungan serta analisis kondisi sosial dan budaya. Hubungan proses analisis biofisik dan sosial ekonomi untuk mencapai sistem pertanian berkelanjutan disajikan pada Gambar 2.
9
Analisis Degradasi Lahan
Komponen Biofisik
Analisis Teknik Konservasi Pertanian Berkelanjutan
Analisis Ekonomi Lingkungan
Analisis Investasi
Analisis Agrosekosistem
Analisis Perubahan Sosial
Komponen Sosial Ekonomi
Gambar 2 Bagan alur analisis pengembangan sistem pertanian berkelanjutan.
Tujuan, Kegunaan Penelitian dan Hipotesis Tujuan Penelitian Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan pengelolaan sistem pertanian lahan kering secara berkelanjutan yang meliputi : 1. Analisis faktor-faktor pengelolaan biofisik pertanian lahan kering berdasarkan analisis degradasi lahan dan analisis teknik konservasi dalam rangka mewujudkan sistem pertanian berkelanjutan, 2. Analisis faktor-faktor sosial ekonomi ekonomi lingkungan berdasarkan pendekatan nilai ekonomi total (NET) dan dilanjutkan dengan analisis investasi untuk mendapatkan kelayakan secara finansial dan ekonomi lingkungan
berdasarkan
alternative
pengelolaan,
untuk
mendukung
terwujudnya sistem pertanian yang berkelanjutan, 3. Mengembangkan
model
pertanian
lahan
kering
berkelanjutan
yang
memungkinkan dalam jangka waktu 3 – 5 tahun petani lahan kering dapat mencapai tingkat kebutuhan hidup layak
10
Kegunaan Penelitian 1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan alternatif tentang cara-cara perlakukan teknik konservasi pertanian lahan kering guna mendapatkan model pengembangan yang sesuai dengan biofisik, sosial ekonomi dan budaya masyarakat. 2. Merupakan masukan para pengambil kebijakan dalam mengembangkan pertanian lahan kering secara berkelanjutan. 3. Mengembangkan model system pertanian lahan kering berkelanjutan untuk meningkatkan kesejahteraan petani dengan ukuran kebutuhan hidup layak.
Hipotesis Hipotesis utama
adalah
bahwa melalui penerapan teknik konservasi pada
pertanian lahan kering, dapat menjaga kondisi biofisik lahan serta meningkatkan pendapatan pateni dan memperbaiki kondisi sosial petani lahan kering. 1. Secara biofisik hipotesis diterima bila erosi yang ditimbulkan berdasarkan penerapan teknik konservasi lebih kecil dari erosi yang ditoleransi (Etol) 2. B/C ratio total manfaat lebih besar dari B/C ratio manfaat langsung ; NPV pola taman dengan kondisi biofisik terbaik posif. 3. Pendapatan petani setelah 3 – 5 tahun lebih besar atau sama dengan standar kebutuhan hidup layak (KHL)