PENDAHULUAN
Latar Belakang Prototipe salah satu produk hukum dalam era reformasi adalah UndangUndang No. 22 Tahun 1999 dan telah direvisi dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah, Undang-undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Pemerintah Daerah dan telah direvisi dengan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004. Dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 terdapat aturan mengenai kewenangan daerah provinsi dalam pengelolaan wilayah laut dalam batasan 12 mil yang diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan atau ke arah perairan kepulauan dan pemerintah Kabupaten/Kota berhak mengelola sepertiganya atau 4 mil laut seperti tercantum dalam Pasal 3 dan Pasal 10 ayat 2 dan 3. Sedangkan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 mengandung aturan tentang pembagian alokasi pendapatan antar pemerintah pusat dan daerah yang berasal dari pemanfaatan sumberdaya alam termasuk sumberdaya pesisir dan laut (Pasal 6 ayat 5). Selain itu, pada Pasal 13 Ayat 3 dan Pasal 14 (h) UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, wilayah sungai strategis nasional menjadi kewenangan dan tanggung jawab Pemerintah Pusat dan bukan menjadi kewenangan dan tanggung jawab Pemerintah Daerah. Kondisi ini menyebabkan lembaga-lembaga terkait yang menangani wilayah DAS Citarum bagian hulu, tengah, hilir dan pesisir hingga lautan ditingkat pemerintah daerah kurang berfungsi dan berperan untuk mengkoordinasikan berbagai kegiatan bagi efektivitas sumberdaya alam baik yang dapat diperbaharui maupun sumberdaya yang tidak dapat pulih, dengan konsekuensi masing-masing sektor dan daerah berjalan sendiri-sendiri, sehingga keterpaduan belum dapat terealisir dengan baik. Lahirnya ketiga peraturan tersebut menunjukkan adanya pergeseran paradigma pembangunan dalam bidang pengelolaan sumberdaya alam DAS, pesisir dan lautan (IRCOM) berserta ekosistemnya yakni rezim yang sentralistik ke desentralistik. Undang-Undang No. 32/2004 dengan Undang-Undang No.7/2004 telah terjadi paradoks dan kontradiktif dimana Undang-Undang No. 32/2004 menyebutkan peran Kabupaten/Kota lebih dominan dan Provinsi akan lebih berperan sebagai fasilitator, terutama atas berbagai kewenangan yang bersifat
lintas
Kabupaten/Kota.
DAS
Citarum
meskipun
bersifat
lintas
Kabupaten/Kota, namun tetap disadari bahwa 10 Kabupaten/Kota di DAS
2
Citarum yang berkepentingan dan sangat berpengaruh terhadap keberadaan sungai Citarum Jawa Barat. Kusumastanto
(2003)
ocean
policy
sebagai
kebijakan
strategis
diharapkan dapat membawa kemakmuran rakyat, mengembangkan harkat dan martabat bangsa Indonesia serta mampu mensejajarkan diri dengan komunitas negara maju di dunia. Kebijakan tersebut didasarkan pada objektivitas ilmiah (scientific objectivity) yang dibangun berdasarkan atas partisipatif dan diarahkan agar rakyat sebagai penerima manfaat terbesar. Ocean policy selanjutnya didukung oleh instrumen pembangunan ekonomi dengan visi Ocean Economics (OCEANOMICS) yang mampu mendayagunakan sumberdaya kelautan secara bijaksana untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia secara berkelanjutan dengan didukung oleh pilar-pilar ekonomi sumberdaya daratan (land based resource) yang tangguh dan mampu bersaing dalam kancah kompetisi global antar bangsa. Visi ini sangat penting karena didukung fakta bahwa dalam tahun 1998 kontribusi PDB menurut lapangan usaha adalah pertanian 12.62% pertambagan dan penggalian 4.21% industri manufaktur 19.92%, jasa-jasa 41.12% dan kelautan 20.06% (Kusumastanto 2001). Konsep di atas perlu untuk dipertimbangkan untuk membangun sinergisitas dan dikolaborasikan menjadi sebuah konsep “Integrated River Basin Coastal and Ocean Management” (IRCOM) sebagai landasan kebijakan dalam pengelolaan lingkungan hidup, khususnya pengelolaan sumberdaya air di DAS pesisir dan lautan secara terpadu (UNEP, 1996 dan Kusumastanto, 2006). Sungai sangat penting dalam pengelolaan wilayah pesisir, karena fungsinya
untuk
transportasi,
sumber
air
bagi
masyarakat
perikanan,
pemeliharaan idelologi, rawa dan lahan basah. Sebagai alat angkut sungai membawa sedimen (lumpur, pasir), sampah, limbah dan zat hara melalui berbagai macam kawasan lalu akhirnya ke laut. Oleh karena itu, daerah-daerah yang dilaluinya harus memandang Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai suatu sistem terintegrasi. Artinya tanggung jawab perilaku terhadap sungai tidak dapat hanya dibebankan kepada kabupaten yang mempunyai hulu sungai, namun merupakan tanggung jawab bersama (Sulasdi, 2000). Secara spasial, buruknya kondisi satuan wilayah sungai (SWS) DAS Citarum ini merupakan konsekuensi diabaikannya prinsip dasar penataan ruang yakni keharmonisan fungsi ruang untuk kawasan lindung, konservasi, budidaya dan non-budidaya. Pesatnya kegiatan pembangunan di Pulau Jawa dewasa ini
3
telah mendorong terjadinya alih fungsi ruang dari kawasan lindung menjadi kawasan pemanfaatan. Berdasarkan data periode 1992-1999 telah terjadi kerusakan kawasan hutan lindung (non convertible forest) seluas 132.000 ha atau dengan laju kerusakan sekitar 19.000 ha/tahun. Dengan kondisi ini pada Tahun 1999, luasan hutan lindung tersebut telah mencapai 24.3 % dari seluruh wilayah Pulau Jawa kurang dari ketentuan minimal 30% (Depkimpraswil, 2002). Disamping itu, alih fungsi yang juga turut memperparah adalah terjadinya konversi lahan sawah menjadi kawasan-kawasan industri dalam pemukiman. Data selama 20 tahun terakhir (1979-1999) menunjukkan bahwa konversi lahan sawah menjadi fungsi-fungsi lahan (terutama perkotaan dan industri) di Jawa mencapai sebesar 1.002.005 ha atau sebesar 50.100 ha/tahun. Kondisi ini pada gilirannya memberikan tekanan yang serius pada daya dukung lingkungan seperti fungsi hidrologis dan fungsi lindung terhadap tanah, air, udara, flora, dan fauna (Syafaat, 2002). Menurut Karsidi (2003) secara spasial pada DAS dan Pesisir Citarum Jawa Barat telah terjadi perubahan jenis tutupan lahan yaitu tubuh air mencapai 900%, daerah terbuka 241%, daerah pemukiman 148%. Sebaliknya yang mengalami pengurangan adalah daerah tegakkan hutan yakni mengalami pengurangan 21% dan areal pertanian 44%. Sungai Citarum yang mengaliri tiga waduk yaitu Saguling, Cirata dan Jatiluhur tercemar karena meningkatnya limpasan (run-off) bahan-bahan kimia ke perairan Sungai Citarum hulu, tengah dan hilir. Zat pencemar tersebut berasal dari kegiatan sektor pertanian, seperti penggunaan pupuk nitrogen (N), fosfor (P), dan Kalium (P) serta pestisida yang berpotensi menurunkan kualitas lingkungan. Di samping itu kegiatan industri juga menjadi penyebab pencemaran logam berat, seperti kromium (Cr) dan selenium (Se). Kurniasih (2002) menyebutkan bahwa terdapat 542 industri di DAS Citarum hulu dan 73% industri tersebut adalah industri tekstil. Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Jawa Barat dan ITB Bandung (2002) menyebutkan bahwa proyeksi peningkatan jumlah penduduk akan terjadi di DAS Citarum yaitu 30% selama kurun waktu 10 tahun dengan rincian sebanyak 5.662.746 orang pada Tahun 2001 menjadi 7.371.273 orang pada Tahun 2010. Peningkatan jumlah penduduk sangat berpotensi untuk meningkatnya limbah rumah tangga dan dapat memberikan dampak terhadap kualitas air Sungai Citarum yang bermuara pada pantai pesisir utara jawa. Pencemaran air dari
4
sektor pemukiman tersebut dapat meningkatkan nilai biological oxygen demand (BOD5) dalam badan air. Berdasarkan studi Kementerian Lingkungan Hidup dan PKSPL-IPB (2004) menunjukkan bahwa bagian hulu DAS Citarum, beban pencemaran berjumlah 15.618 ton COD per tahun (total polutan diwakili oleh parameter COD) dengan nilai kerugian ekonomi sebesar Rp 2.113. 537.278.000 (Rp 2.1 triliun) per tahun. Sedangkan di bagian hilir DAS Citarum jumlah polutan sebesar 65.746 kg COD dengan nilai Rp 8.897.235.708.000 (Rp 8.9 triliun) per tahun. Dampak pencemaran oleh aktivitas di bagian hilir adalah selisih antara bagian hulu dan hilir sebesar 50.128 ton COD dengan Nilai Ekonomi Rp 6.783.698.430.000
(Rp
6.8 triliun), Secara umum dapat dinyatakan bahwa nilai dampak pencemaran oleh aktivitas masyarakat di bagian hilir secara de facto adalah sebesar Rp 6.8 triliun. Penggunaan Replacement Method telah menghasilkan nilai ekonomi melalui pendekatan pasar, sehingga lebih menggambarkan nilai ekonomi dampak pencemaran secara ril. Oleh karena itu metode ini akan lebih berguna dalam perencanaan pembangunan secara agregat, sebagai faktor koreksi dari pendapatan nasional atau regional, menuju perhitungan Green PDB. Menurut Adibroto (1999) komponen-komponen penting dalam penataan wilayah ekologis Daerah Aliran Sungai (DAS) terpadu ada 2 pendekatan yaitu, 1 integrasi/keterpaduan (horizontal: sektoral; vertikal; lokal; regional dan nasional; darat dan laut, pemberdayaan masyarakat dan 2 perhitungan cermat melalui perwujudan keharmonisan spasial, pemanfaatan sumberdaya alam optimal dan berkelanjutan dan pembuangan limbah sesuai dengan kapasitas asimilasi lingkungan, komponen-komponen penting rancang bangun sistem pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) dan Pesisir terintegrasi dan berkelanjutan. Pesatnya perkembangan penduduk dan kegiatan di kawasan hulu DAS Citarum memicu terjadinya berbagai penyimpangan pemanfaatan ruang yang pada akhirnya berdampak pada menurunnya kualitas lingkungan di kawasan DAS Citarum bagian hulu, tengah, dan hilirnya. Perkembangan kegiatan dan eksploitasi
sumberdaya
(diekstrak
secara
berlebihan)
yang
terjadi
mengakibatkan terganggunya fungsi lindung kawasan DAS Citarum hulu yaitu fungsi perlindungan setempat maupun memberikan perlindungan pada kawasan hilir
(Pesisir).
Hasil
kajian
Wangsaatmaja
(2004)
menyebutkan
bahwa
menurunnya kualitas air Sungai Citarum hulu disebabkan oleh sumber-sumber pencemar yang berasal dari industri, domestik, pertanian dan peternakan.
5
Fenomena tersebut disebabkan pola pembangunan di masa lalu yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, tanpa mempertimbangkan faktor ekologi, sosial-budaya, teknologi dan kelembagaan-hukum. Pertimbangan pada faktor-faktor tersebut merupakan suatu paradigma baru yang dikenal sebagai paradigma pembangunan berkelanjutan yang disepakati di Johanesburg Afrika Selatan,
September
2002
yang
dikenal
dengan
KTT
Pembangunan
Berkelanjutan. Melihat kenyataan tersebut di atas, penelitian tentang rancang bangun sistem kebijakan pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Pesisir Citarum Jawa Barat sangat penting untuk dilakukan guna mencapai kelestarian ekosistem di wilayah DAS dan Pesisir Citarum. Perumusan Masalah Berbagai permasalahan dan kebijakan saat ini adalah memiliki kepadatan penduduk tinggi, meningkatnya aktivitas konversi lahan sawah menjadi daerah industri dan permukiman, rasio ketersediaan dan kebutuhan air di DAS Citarum yang kritis (kelangkaan), terjadinya proses sedimentasi dan erosi, belum kondusifnya kebijakan dan kelembagaan yang ada dalam mengeliminir kerusakan lingkungan dan berbagai permasalahan lainnya maka rumusan permasalahan yang dapat dikemukakan dalam penelitian ini adalah, saat ini rancang bangun kebijakan pengelolaan DAS dan Pesisir Citarum Jawa Barat belum sempurna sehingga banyak permasalahan yang harus dilakukan seperti permasalahan ekologi (kualitas air, tanah dan tutupan lahan), ekonomi (pendapatan), sosial (kesejahteraan) dan kelembagaan (Institusi)
sehingga
belum adanya rancang bangun pengelolaan DAS dan Pesisir Citarum yang baru. Untuk membantu terbentuknya rancang bangun sistem kebijakan pengelolaan DAS dan Pesisir, maka diperlukan suatu model dan simulasi yang didukung oleh pendekatan sistem kebijakan sebagai landasan untuk memberikan gambaran pada pengambil kebijakan mengenai kondisi pengelolaan DAS dan Pesisir Citarum Jawa Barat. Rancang bangun sistem kebijakan pengelolaan DAS dan Pesisir adalah suatu pendekatan yang mencoba menggambarkan kebijakan pengelolaan DAS dan Pesisir dalam bentuk konseptual prospektif yaitu berupa skenario, program, dampak dan rancangan implementasi pengelolaan DAS dan Pesisir Citarum Jawa Barat.
6
Tujuan Penelitian Tujuan utama penelitian adalah untuk menghasilkan rancang bangun kebijakan
pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) dan Pesisir yang
berkelanjutan. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengidentifikasi isu dan permasalahan Kawasan DAS dan Pesisir Citarum Jawa Barat. 2. Menilai keberlanjutan sistem kebijakan pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) dan Pesisir Citarum Jawa Barat, melalui penyusunan indeks dan status atau kategori berkelanjutan sistem kebijakan pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) dan Pesisir berdasarkan kriteria pembangunan berkelanjutan. Indeks ini selanjutnya disimpulkan sebagai IkB-SIPDASPIR, yang merupakan singkatan dari “Indeks keBerlanjutan Sistem Pengelolaan DAS dan Pesisir”. 3. Mengidentifikasi faktor-faktor strategis masa depan dalam pengembangan pengelolaan DAS dan Pesisir yang berkelanjutan untuk mengurangi kerusakan dan pencemaran Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum hulu, tengah dan hilir. 4. Merancang skenario strategi kebijakan pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) dan Pesisir yang berkelanjutan. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Dapat memberikan prospektif baru yang bermanfaat bagi pengetahuan dalam mengelola Daerah Aliran Sungai (DAS) dan Pesisir yang berkelanjutan. 2. Adanya kontribusi positif bagi para stakeholders yang berkaitan dalam pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) dan Pesisir. 3. Meningkatkan
kemampuan
peneliti
bagi
perkembangan
sains
dalam
pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS), Pesisir dan Lautan dalam memahami pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) dan Pesisir. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah mencakup sistem kebijakan pengelolaan Pesisir dan Daerah Aliran Sungai (DAS) secara berkelanjutan di DAS Citarum Jawa Barat, yang meliputi lima dimensi utama yaitu: dimensi ekologi, ekonomi, sosial budaya, teknologi dan hukum-kelembagaan. Batasan pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) dalam penelitian mencakup kawasan
7
DAS Citarum bagian hulu, Citarum bagian tengah dan Citarum bagian hilir yang berada dalam 12 sub DAS dan melewati 10 wilayah administrasi Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat dengan batas wilayah penelitian mengikuti Catchment Area Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum serta batas kawasan Pesisir Citarum Muara Gembong dan Tanjung Pakisjaya yang terdiri dari lingkup kawasan dan lingkup materi penelitian. Peta batas wilayah studi disajikan pada Gambar 1. Sedangkan ruang lingkup materi penelitian dibatasi pada pembahasan rancang bangun sistem kebijakan pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) dan Pesisir
yang
didasarkan
pada
kebutuhan
para
stakeholders
dengan
memperhatikan aspek ekologi, ekonomi, sosial budaya dan kelembagaan dan hukum. Untuk menjawab pertanyaan penelitian dilakukan serangkaian materi kegiatan penelitian yaitu: 1. Analisis prediksi pencemaran 2. Indeks pencemaran kualitas perairan menurut baku mutu 3. Estimasi Citra Satelit Landsat ETM +7 4. Indeks dan status keberlanjutan sistem pengelolaan DAS dan Pesisir 5. Model prediksi erosi Universal Loss Equation (USLE) 6. Model kerugian nilai ekonomi pencemaran 7. Analisis Prospektif 8. Dampak skenario dan rancangan implementasi pengelolaan DAS dan Pesisir Citarum hulu, tengah dan hilir
8
LAUT JAWA
Gambar 1 Peta batas wilayah studi DAS dan Pesisir Citarum Jawa Barat Sumber: Citra Satelit Landsat ETM +7, Path/Row 122/64 dan 122/65