21
PENDAHULUAN Latar Belakang Gaharu merupakan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) bernilai ekonomi tinggi, berwarna khas, mengandung aroma resin wangi jika dibakar dan dapat digunakan untuk bahan parfum, dupa, obat-obatan, sabun mandi, kosmetik, dan pengharum ruangan. Dengan demikian gaharu merupakan Hasil Hutan Bukan Kayu memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Permintaan gaharu dunia saat ini diperkirakan 4000 ton pertahun namun Indonesia hanya mampu menyediakan 200 ton pertahun dari potensi gaharu Indonesia yang diperkirakan sebesar 600 ton pertahun. Potensi sebesar ini diambil dari hutan alam Papua, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara dan Sumatera meliputi 98% dan sisanya 2% berasal dari perkebunan gaharu.
Harga gaharu di Indonesia berkisar Rp 100.000-
150.000.000 per kg tergantung kualitasnya. Sementara itu harga gaharu super di China dapat mencapai Rp 400 juta per kilogram dan 300 juta per kilogram di Timur Tengah (Mashur, 2011). Total ekspor gaharu Indonesia dalam lima tahun terakhir berkisar 170573 ton/tahun dengan perkiraan perolehan devisa negara pada tahun 2006 sebesar 26.086.350 USD meningkat menjadi 85.987.500 USD pada tahun 2010. Menurut Menteri Kehutanan RI, untuk memenuhi permintaan pasar dunia, maka eksport gaharu Indonesia akan ditingkatkan menjadi 1000 ton/tahun yang didukung oleh pembangunan hutan tanaman gaharu (Zulkifli, 2011). Indonesia telah dikenal sebagai salah satu negara penghasil gaharu di dunia, karena mempunyai lebih dari 25 jenis pohon penghasil gaharu yang tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua. G versteegii, Gyrinops ladermanii dan Aquilaria filaria merupakan spesies penghasil gaharu yang dapat ditemukan di New Guinea (The State Papua New Guinea and West Papua in Indonesian) dan telah dikenal di dunia (Gunn et al., 2003). Beragamnya permintaan produk berbahan baku gaharu dan tingginya harga gaharu diperdagangan internasional menyebabkan perburuan gaharu (Aquilaria filaria dan G. versteegii) menyebar sampai hutan-hutan alam Papua yang masih tersisa. Penebangan pohon secara tidak selektif menyebabkan pohon yang tidak mengandung gaharu pun ditebang. Hal tersebut disebabkan karena sulitnya mendekteksi keberadaan gubal gaharu pada pohon gaharu yang masih hidup. Untuk memproleh satu pohon penghasil gubal gaharu, pemburu gaharu dapat menebang 10 pohon gaharu. Sisa pohon gaharu di daerah-
daerah penghasil utama gaharu semakin lama semakin menipis antara lain Sumatera (26%), Kalimantan (27%), Nusa Tenggara (5%), Sulawesi (4%), Maluku (6%), dan Papua (37%) (Asgarin 2011).
Semakin sulitnya mendapatkan gaharu di hutan alam
mengakibatkan Aquilaria spp. dan Gyrinops spp. dimasukkan dalam Apendix II (produksi gaharu harus berasal dari perkebunan gaharu) pada konvensi CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) di Bangkok (Cites, 2004). Kekuatiran akan punahnya spesies gaharu di Indonesia, menyebabkan Kementerian Kehutanan Indonesia sejak tahun 2005 menurunkan kuota ekspor gaharu menjadi hanya 125 ton/tahun. Eksploitasi gaharu tanpa upaya budidaya menyebabkan potensi gaharu di hutan alam semakin berkurang. Pola ini dapat diperbaiki melalui upaya
konservasi,
pembangunan hutan tanaman gaharu yang didukung dengan tersedianya bibit unggul dan teknologi bioproses gaharu yang efektif serta aplikasi bioteknologi pupuk hayati dan bahan organik dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman di lapangan melalui produksi bibit berkualitas. Pohon berpotensi menghasilkan gaharu dapat diperbanyak melalui kultur jaringan dan dikembangkan dengan mikoriza untuk memacu pertumbuhannya pada media yang tepat. Media tersebut dapat berupa, kompos, bio-charcoal dan lignit (batubara muda). FMA diketahui berperan mengurangi stress yang disebabkan karena minimnya hara, aerasi tanah kurang baik, struktur tanah padat, pH rendah, salinitas tinggi dan logam beracun (Sieverding, 1991). Meningkatkan penyerapan unsur hara makro P, N dan beberapa hara mikro (Baghel et al., 2009). Hifa mikoriza mampu memfilter logam berat dan tidak meneruskannya ke tanaman (Smith and Read, 1997), melindungi perakaran tanaman dari patogen berbahaya (Liu, 1991), perlindungan dari senyawa-senyawa radio nuklir (Pfleger and Linderman, 1996) dan salinitas tanah (Delvian et al, 2001) serta memproduksi hormon pertumbuhan seperti auksin, sitokinin dan gibberelin bagi tanaman. Dengan adanya auksin proses penuaan akar menjadi lambat. Bio-charcoal adalah arang yang dibuat dari material biologis dan diolah melalui proses pirolisis. Teknologi ini telah lama digunakan oleh suku Indian Maya ribuan tahun silam. Manfaat bio-charcoal adalah untuk menurunkan emisi rumah kaca, meningkatkan simpanan karbon dalam tanah, soil conditioner dan soil managment, meningkatkan porositas tanah dan aktifitas mikroba tanah, menyerap kontaminan toksis, menetralkan keasaman tanah serta mencegah penyakit busuk akar yang disebabkan oleh serangan patogen jamur (Steiner, 2007 ; Lehman, 2007 ; Supriyanto, 2010), sedangkan lignit 22
(batubara muda) adalah batubara tidak bernilai ekonomis yang ditimbun di lokasi tambang sebagai limbah. Diduga lignit mengandung zat-zat humat (asam humat) sebagai unsur organik dari proses dekomposisi tumbuhan dalam tanah, sedimen rawa dan gambut sehingga dapat memperkaya media pertumbuhan bibit. Adanya peran potensial dari mikoriza, kompos, bio-charcoal dan lignit, maka berpotensi dapat dimanfaatkan untuk memperkaya media pertumbuhan plantling gaharu G. versteegii. Perumusan Masalah Untuk mendapatkan pohon penghasil gubal gaharu yang baik, harus menggunakan bibit dari pohon gaharu potensial, yaitu bibit unggul dari pohon inang yang telah terbukti menghasilkan gubal gaharu di alam, artinya sangat dipengaruhi oleh sifat genetik, kemudian diperbanyak sebagai bibit unggul (clone) untuk kepentingan budidaya. Namun demikian produktifitas benih yang rendah menyebabkan kesulitan memperoleh anakan pohon gaharu dalam jumlah banyak di alam, padahal untuk tujuan budidaya yang luas sangat diperlukan bibit berkualitas dalam jumlah cukup dan tersedia tepat waktu. Di sisi lain, selama ini bibit yang digunakan berasal dari biji atau semai hutan alam dimana jumlah bibit terbatas, kualitas bibit rendah dan peluang memperoleh gubal gaharu setelah penanaman relatif kecil karena bibit yang dipakai belum tentu berasal dari induk yang berpontesi menghasilkan gubal gaharu. Kendala lain yang umumnya dihadapi adalah tidak semua pohon gaharu menghasilkan buah setiap tahun, belum adanya kebun bibit unggul dan kebun benih serta biji gaharu bersifat rekalsitran, selain itu adanya penebangan pohon induk dewasa di alam oleh pencari gaharu menyebabkan hilangnya sumber benih. Rendahnya daya berbunga dan produktifitas berbuah menyebabkan masalah regenerasi secara generatif, sementara itu pembiakan secara vegetatif menggunakan stek dan cangkok membutuhkan bahan induk yang banyak, maka kultur in vitro gaharu menjadi alternatif teknologi perbanyakan gaharu unggul secara masal dan cepat. Selain dapat menghasilkan bibit berkualitas dalam jumlah yang memadai, teknik ini berpotensi mempertahankan sifat genetis dari pohon induk penghasil gaharu. Namun demikian, ditemukan kendala dalam kultur jaringan gaharu yaitu memerlukan waktu yang lama untuk menginduksi akar plantlet baik secara in vitro maupun ex vitro di green house, sementara akar yang terbentuk umumnya relatif kecil, jumlahnya sedikit serta sulit berkembang. Problem lain adalah tahapan aklimatisasi plantling gaharu hasil in vitro ke media aklimatisasi merupakan tahapan kritis yang masih menjadi masalah karena
23
plantling telah terbiasa tumbuh pada kondisi lingkungan dengan kelembaban tinggi sementara apabila diadaptasikan secara ex vitro dengan temperatur tinggi plantling akan mengalami dehidrasi, layu dan mati dikarenakan mekanisme buka tutup stomata yang rendah dan stomata tidak berfungsi optimal. Lingkungan tumbuh in vitro bersifat steril mengakibatkan imunitas plantling rendah dan lebih rentan terhadap serangan hama dan penyakit busuk akar oleh jamur pembusuk akar (lodoh). Akibatnya tingkat kematian plantling gaharu sangat tinggi, yaitu 75 % dari plantlet yang diadaptasikan ke media pertumbuhan plantling di green house. Kondisi ini menyebabkan kegagalan produksi bibit gaharu potensial asal kultur in vitro. Penyebab lainnya yaitu lapisan kutikula plantling tipis dan terbiasa menerima cahaya konstan, sedangkan pada ex vitro plantling mendapatkan cahaya tidak konstan dan intensitas cahaya tinggi. Faktor lainnya ialah dalam media in vitro nutrisi tersedia optimal sehingga plantlet bersifat heterotrop, sedangkan diluar media kultur plantling dituntut bersifat autotrop. Selain itu, plantling asal in vitro memiliki lignifikasi batang rendah sehingga cenderung bersifat vitrious (sukulen). Aplikasi FMA pada plantling gaharu akan memacu ramifikasi akar dan batang plantling karena mikorhia memproduksi auksin IAA untuk menstimulir akar plantling serta menghasilkan enzim phospatase untuk pembentukan lignin. Dengan demikian diharapkan plantling menjadi lebih tahan dan vigor bibit meningkat, sedangkan biocharcoal akan berperan dalam menyerap zat-zat toksis, pembenah media dalam menejemen unsur hara tanah dan memberikan efek gelap disekitar akar plantling sehingga auksin IAA di akar tidak rusak oleh cahaya dan IAA akan berperan optimal mendukung perkembangan akar adventif plantling. Sementara itu dengan adanya lignit maka asam humat akan berperan menyediakan nutrisi hara secara ototropik bagi plantling di media pertumbuhan.
Sejauh ini pemanfaatan FMA, kompos, bio-charcoal, dan lignit untuk perbaikan dan peningkatkan pertumbuhan bibit gaharu G. versteegii hasil multiplikasi in vitro yang mampu adaptasi di green house dan lapangan belum dilakukan. Kerjasama sinergis beberapa komponen perlakuan diharapkan dapat membuat terobosan baru dalam penyediaan bibit gaharu yang berkualitas (genetik, fisik dan fisiologis). Dari uraian di atas, dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut :
24
1. Bagaimana keragaman jenis Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) indigenous
yang
bersimbiosis dengan gaharu G. versteegii asal Papua? 2. Bagaimana kompatibilitas FMA indigenous Papua terhadap plantling G. versteegii hasil multiplikasi in-vitro. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk : (1) Mengetahui jenis-jenis Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) indigenous yang bersimbiosis dengan G. versteegii asal Papua. (2) Uji kompatibilitas FMA indigenous Papua terhadap plantling G. versteegii hasil multiplikasi in-vitro pada berbagai kombinasi media. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sejumlah data dan informasi keragaman FMA indigenous yang bersimbiosis dengan pohon G. versteegii dan mendapatkan kombinasi FMA indigenous dengan kompos, bio-charcoal dan lignit yang efektif untuk produksi bibit gaharu bermutu serta peningkatan kualitas pertumbuhannya. Hipotesis Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian, ditetapkan hipotesis sebagai berikut : a. Ditemukan lebih dari satu jenis FMA indigenous yang bersimbiosis dengan gaharu alami G. versteegii di Papua. b. Kompatibilitas FMA indigenous Papua dapat meningkatkan daya hidup dan pertumbuhan plantling gaharu Gyrinops versteegii hasil multiplikasi in vitro pada berbagai kombinasi media.
25
Kerangka Pemikiran
POTENSI GAHARU
PERMINTAAN & HARGA PASAR TINGGI
PENEBANGAN TIDAK SELEKSTIF
APPENDIKS II CITES, 2004
KUOTA DIKUARANGI 125 TON/THN DEPHUT, 2005
KELANGKAAN & TERANCAM PUNAH
KONSERVASI EX-SITU & IN-SITU (PERKEBUNAN GAHARU)
PRODUKSI BIBIT UNGGUL DALAM JUMLAH BESAR
VEGETATIF KONVENSIONAL (STEK, CANGKOK )
GENERATIF/IN PLANTA BIJI & SEMAI
VEGETATIF BIOTEK KULTUR JARINGAN
PROBLEM PERAKARAN; AKLIMATISASI; PERTUMBUHAN LAMBAT PERSENTASE HIDUP RENDAH
PROBLEM PERAKARAN ; PROBLEM PERBANYAKAN
JUMLAH ANAKAN ALAM RENDAH; BIJI DAN BIBIT TIDAK UNGGUL; REKALSITRAN;
BIBIT BERKUALITAS (GENETIK, FISIK, FISIOLOGIS) JUMLAH BESAR INPUT MEDIA (KOMPOS; BIO-CHARCOAL & LIGNIT)
INPUT BIOFERTILIZER (FUNGI MIKORIZA ARBUSKULAR)
PERKEBUNAN GAHARU POTENSIAL/UNGGUL
Gambar 1. Kerangka pemikiran pengembangan bibit gaharu potensial
26