1 PENDAHULUAN Latar Belakang Salah satu isu yang muncul menjelang berakhirnya abad ke-20 adalah persoalan gender. Isu tentang gender ini telah menjadi bahasan yang memasuki setiap analisis sosial. Gender sebagai suatu konsep hubungan sosial, membedakan fungsi dan peran antara laki-laki dan perempuan, yang terjadi melalui proses sosialisai, penguatan dan konstruksi sosial, kultural dan keagamaan, bahkan melalui kekuasaan negara (Fakih 1997). Dengan demikinan gender sebagai suatu konsep merupakan hasil pemikiran atau rekayasa manusia, dibentuk oleh masyarakat sehingga gender bersifat dinamis, dapat dibedakan karena perbedaan adat istiadat, budaya, agama dan sistem nilai dari bangsa, masyarakat dan suku bangsa tertentu (Narwoko 2006). Secara tradisional, perempuan memegang peran dalam kegiatan domestik rumah tangga, dan laki-laki bertugas mencari nafkah. Namun tak jarang, perempuan juga terlibat dalam kegiatan mencari nafkah, akibatnya perempuan harus memikul beban ganda. Dalam kaitannya dengan beban ganda tersebut, Mosser (1999) menyebutkan bahwa perempuan tidak saja berperan ganda, tetapi perempuan memiliki triple role : peran reproduksi, yaitu peran yang berhubungan dengan peran tradisional di sektor domestik; peran produktif, yaitu peran ekonomis di sektor publik; dan peran sosial, yaitu peran di komunitas sosialnya. Dalam keluarga miskin, peran ganda perempuan ini sangat diperlukan untuk mempertahankan kelangsungan hidup keluarga. Penghasilan tambahan dari aktivitas perempuan di sektor produktif diharapkan dapat membantu mengatasi masalah ekonomi keluarga. Selain itu, peran perempuan atau istri dalam sektor domestik untuk mengelola sumberdaya keluarga yang dimilikinya diharapkan dapat mewujudkan kesejahteraan keluarga. Pada Tahun 2007, penduduk miskin di Indonesia mencapai 37,17 juta jiwa atau 18,6 persen dari jumlah penduduk di Indonesia, dan 60 persen diantaranya adalah penduduk yang tinggal di desa (BPS, 2008). Dapat dikatakan bahwa 60 persen rakyat miskin adalah petani1. Dalam kenyataan, tekanan penduduk terhadap lahan yang sempit makin meningkatkan jumlah petani gurem, seperti terlihat dari hasil Sensus Pertanian (ST). Semakin terbatasnya lahan usahatani produktif merupakan dampak tingginya konversi 1
Harian Umum Kompas, tanggal 10 Desember 2007. SBY-JK Belum Ada Prestasi Soal Kemiskinan
2 lahan pertanian produktif ke penggunaan nonpertanian, sebagai konsekuensi ledakan penduduk dan peningkatan nilai ekonomi akibat tingginya permintaan lahan untuk prasarana industri, perdagangan serta pemukiman (Elizabeth 2007). Pada tahun 1993 secara nasional jumlah petani gurem tercatat sekitar 10,9 juta kepala keluarga (KK), pada sensus tahun 2003, angka itu naik menjadi 13,7 juta KK, dan sangat terasa di Jawa (BPS 2003). Meningkatnya jumlah petani gurem dan buruh tani menjadi penyebab meningkatnya kemiskinan di desa, yang merupakan mayoritas penduduk di Indonesia. Persentase keluarga petani gurem yang makin tinggi memberikan indikasi makin miskinnya petani. Hasil yang diperoleh dari bertani makin hari makin menciut artinya bagi para petani. Hal ini juga terindikasi dari Nilai Tukar Petani (NTP) yang merupakan salah satu indikator relatif tingkat kesejahteraan petani, sampai saat ini NTP petani di Propinsi Jawa Barat terus mengalami penurunan (Tabel 1), hal ini berarti tingkat kesejahteraan petani di Propinsi Jawa Barat juga terus mengalami penurunan. Tabel 1 Nilai Tukar Petani di Pulau Jawa Tahun 2003 - 2006 Propinsi Tahun 2003 2004 2005 2006 Jawa Barat 132,6 117,11 113,12 115,48 Jawa Tengah 124,05 91,42 91,89 96,65 Yogyakarta 133,28 122,73 122,50 126,10 Jawa Timur 121,24 87,78 89,81 94,39 Sumber : Statistik Nilai Tukar Petani 2003-2006
Dalam satu dekade terakhir, NTP tertinggi hanya terjadi tahun 1998 karena “rejeki” perubahan mata uang yang pesat. Rejeki ini pun hanya dirasakan oleh petani yang mengusahakan perkebunan rakyat untuk komoditas ekspor karena harga hasil perkebunannya naik drastis di dalam negeri dan menjadi sangat murah di luar negeri. Ini juga hanya dinikmati sekejap karena secara pasti biaya produksi pertanian maupun biaya konsumsi keluarga meningkat melebihi kenaikan harga hasil pertanian sehingga NTP kembali anjlok (Brata 2005). Petani tanaman pangan tidak sempat menikmati rejeki sekejap itu sehingga secara keseluruhan kesejahteraan petani tanaman pangan dapat dipastikan memang tidak banyak berubah. Sementara itu, para buruh tani pun mengalami nasib yang tidak jauh berbeda dengan petani pada umumnya. Tingkat upah buruh tani memang naik, namun kenaikan ini relatif kecil. Tingkat upah buruh tani ini pun rupanya tidak sampai setengah dari upah buruh bangunan informal perkotaan (Brata 2005).
3 Sedikit berbeda dengan wilayah pedesaan, dimana sektor pertanian merupakan mata pencaharian utama penduduk, di wilayah pinggiran perkotaan seperti Bandung, pertanian bukan lagi merupakan sektor utama yang dimasuki penduduknya. Meskipun demikian, sektor pertanian masih menjadi andalan sebagian keluarga untuk mencari nafkah. Kebutuhan sehari-hari yang semakin meningkat, sementara produktivitas lahan yang petani garap semakin terbatas, di samping itu keahlian dan kemampuan para petani juga terbatas, sehingga banyak keluarga petani atau buruh tani terperangkap dalam kemiskinan. Terlebih lagi dengan beban kenaikan harga barang-barang kebutuhan sehari-hari semakin memperparah kemiskinan petani. Hasil penelitian Fadjarajani (2001) menunjukkan bahwa alih fungsi lahan pertanian mengakibatkan perubahan kondisi sosial rumah tangga petani. Pengaruh alih fungsi lahan pertanian terhadap kondisi sosial rumah tangga pertanian tersebut diidentifikasi dari adanya (a) perubahan jenis mata pencaharian pokok di bidang pertanian, dari petani pemilik menjadi petani non pemilik, (b) penurunan konsumsi kebutuhan pokok sehari-hari keluarga, (c) penurunan kemampuan pemenuhan kebutuhan kesehatan keluarga, (d) penurunan pemenuhan kebutuhan tempat tinggal keluarga, serta (e) penurunan kemampuan pengembangan pendidikan keluarga. Dalam menghadapi kondisi tersebut, keluarga petani melakukan suatu strategi koping untuk dapat bertahan di tengah keterbatasan. Dengan semakin berkembang dan beragamnya sektor lain di luar pertanian, semakin banyak memberi alternatif bagi masyarakat setempat untuk mendapatkan hasil tambahan di luar sektor utama. Para petani dapat memanfaatkan kesempatan tersebut untuk mencari tambahan penghasilan guna menutupi kebutuhan sehari-hari (Iqbal 2004). Meski demikian, keluarga petani harus menggunakan beragam strategi untuk mendapatkan peluang-peluang tersebut, sesuai dengan keahlian yang dimiliki dan orientasi ekonomi masing-masing. Di sektor produksi, rumah tangga pedesaan di Indonesia menerapkan pola nafkah ganda sebagai bagian dari strategi ekonomi. Dalam pola itu sejumlah anggota keluarga usia kerja terlibat mencari nafkah di berbagai sumber, baik on farm maupun off farm. Dalam strategi nafkah tersebut, wanita seperti juga pria memiliki peran yang sangat penting sebagai pencari nafkah. Wanita tidak hanya terlibat dalam kegiatan reproduksi yang tak langsung menghasilkan pendapatan, tetapi juga dalam kegiatan produksi yang langsung menghasilkan pendapatan (White, Hart, Sayogyo dalam Sitorus 1992).
4 Disamping pola nafkah ganda di sektor produksi, rumah tangga miskin di pedesaan juga berupaya mengatasi kondisi kemiskinan melalui keterlibatan para anggotanya dalam beragam pranata kesejahteraan asli di sektor non produksi. Lembaga kesejahteraan asli itu adalah lembaga informal bentukan masyarakat desa sendiri. Wanita, seperti halnya juga pria terlibat secara nyata dalam beragam lembaga tersebut (Sitorus1992). Kaum wanita biasanya terlibat penuh dalam kegiatan pranata-pranata sosial ekonomi yang mereka bentuk, seperti arisan, kegiatan pengajian berdimensi kepentingan ekonomi, simpan pinjam, dan jaringan sosial yang bisa dimanfaatkan untuk menunjang kelangsungan hidup keluarga. Dalam penelitian mengenai kehidupan masyarakat nelayan, Kusnadi (2006) menyebutkan hadirnya pranata-pranata tersebut merupakan strategi adaptasi masyarakat nelayan dalam menghadapi kesulitan hidup yang dihadapinya. Strategi adaptasi diartikan sebagai pilihan tindakan yang bersifat rasional dan efektif sesuai dengan konteks lingkungan sosial, politik, ekonomi dan ekologi, dimana penduduk miskin itu hidup. Dalam
usahatani,
setiap
agroekosistem
memiliki
karakteristik,
nilai
kemanfaatan ekonomi serta nilai sosial budaya yang khas. Kondisi agroekosistem mempengaruhi kemiskinan penduduk dengan masing-masing karakteristik sosial ekonominya. Interaksi manusia dengan lingkungan biofisik yang beragam kondisinya ini memberikan bentuk aktivitas sosial, ekonomi bahkan budaya yang beragam pula (Harmiati 2002). BPS (2003) membuat klasifikasi desa dilihat dengan pendekatan ekosistem, yaitu hutan, pesisir/pantai, lahan basah, lahan kering, lahan campuran dan berdasarkan topografi, yakni dataran tinggi dan dataran rendah. Hasil penelitian Sendow (2001) di Kecamatan Tompaso Kabupaten Minahasa menunjukkan peranan wanita pada usahatani padi sawah tampaknya lebih dominan dibanding pria. Dalam melakukan proses produksi, wanita mengerjakan hampir semua kegiatan kecuali mengolah lahan/membajak, bahkan turut melakukan pemasaran hasil produksi. Penelitian Widodo (2006) pada usahatani tembakau, menunjukkan bahwa perempuan pada usahatani tembakau memiliki peran dalam pekerjaan produktif dan reproduktif. Ikut sertanya perempuan dalam kegiatan produktif sebatas pada kegiatan yang ringan dan membutuhkan ketelatenan. Laki-laki sama sekali tidak terlibat dalam kegiatan reproduktif. Akses perempuan dalam kegiatan koperasi dan teknologi pertanian sangat terbatas bahkan dapat dikatakan tidak ada akses sama sekali. Sedangkan dalam aspek kontrol, perempuan memiliki peran yang besar terutama dalam pengambilan keputusan dan pengelolaan keuangan keluarga. Laki-laki dan perempuan
5 juga memiliki peluang yang sama dalam menikmati keuntungan usahatani yang dijalankan oleh keluarga. Kondisi pada masing-masing agroekosistem tersebut tentunya tidak semata-mata dipengaruhi oleh jenis komoditas yang ditanam, namun dipengaruhi pula oleh kondisi sosial ekonomi setempat. Dalam masyarakat pertanian, luas penguasaan lahan terkait erat dan sejajar dengan pendapatan total keluarga. Berdasarkan pola keterkaitan antara luas penguasaan lahan dengan tingkat pendapatan tersebut ditemukan tiga jenis strategi hidup rumah tangga pada masyarakat petani di Jawa. Bagi petani berlahan luas (menguasai lahan usahatani > 1,0 Ha), pola nafkah ganda merupakan strategi akumulasi, dimana surplus usahatani diakumulasikan untuk memperluas usaha produktif, baik di sektor pertanian maupun di sektor luar pertanian. Pada rumah tangga lapisan tengah (menguasai lahan 0,5 – 1,0 Ha), pola nafkah ganda merupakan strategi bertahan (konsolidasi), dimana surplus usahatani hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan anggota keluarga dan masih kesulitan untuk mengembangkan usaha. Motif anggota keluarga memasuki usaha luar pertanian adalah untuk menambah pendapatan atau berjaga-jaga, kalau-kalau hasil panen berkurang atau gagal. Di kalangan rumah tangga lapisan bawah (menguasai lahan < 0,5 Ha dan rumah tangga tak bertanah), pola nafkah ganda merupakan strategi survival dimana hasil produksi pertanian belum cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga, sehingga anggota keluarga terpaksa memasuki usaha luar pertanian (White dalam Girsang 1996). Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat dilihat bahwa kedudukan wanita dalam keluarga menempati posisi yang sangat penting. Wanita bukan saja membantu mencari nafkah tambahan. Wanita sebagai ibu rumah tangga, yang meskipun tidak secara langsung menghasilkan pendapatan, namun secara produktif bekerja mendukung kaum pria sebagai kepala keluarga untuk mencari pendapatan. Wanita membantu mengelola sumberdaya keluarga yang dimiliki, yang pada akhirnya diharapkan dapat mendorong peningkatan kesejahteraan keluarga. .
Peran wanita sebagai ibu rumah tangga merupakan peran dan potensi yang
memiliki peluang sangat strategis dalam menghasilkan SDM (anak-anak sebagai generasi penerus) yang berkualitas dan berdaya saing tinggi. Selain itu, kontribusi wanita sebagai pencari nafkah dapat diartikan sebagai peluang untuk meningkatkan potensi dan produktivitas wanita sebagai tenaga kerja, dalam upaya meningkatkan pendapatan, khususnya keluarga petani di pedesaan (Elizabeth 2007). Rumusan Masalah
6
Di daerah pinggiran perkotaan, konversi penggunaan lahan telah menyebabkan semakin menciutnya lahan pertanian dari waktu ke waktu, hal ini juga menyebabkan terjadinya perubahan status sebagian petani dari petani pemilik menjadi penggarap. Lahan pertanian yang semakin berkurang atau bahkan tidak dimiliki lagi oleh sebagian petani, ditambah lagi keterbatasan akses keluarga, dalam hal ini petani lapisan bawah yang terdiri dari keluarga petani berlahan sempit dan buruh tani, terhadap sumber daya ekonomi (modal dan kesempatan kerja) menyebabkan banyak diantara mereka yang harus bertahan hidup dengan kondisi miskin. Dalam menghadapi fenomena kemiskinan pada masyarakat petani, maka keluarga petani harus melaksanakan strategi koping dengan mengoptimalkan sumberdaya yang mereka miliki agar kesejahteraan keluarga sebagai tujuan jangka panjang dapat dicapai. Strategi keluarga miskin dalam menghadapi kondisi kemiskinan mencakup upaya-upaya alokasi sumberdaya, khususnya tenaga kerja di dua sektor sekaligus, yaitu sektor-sektor produksi dan non produksi. Upaya di sektor produksi menunjuk pada ragam kegiatan para anggota keluarga di bidang ekonomi produksi, sedangkan upaya di sektor non produksi menunjuk pada keterlibatan para anggota keluarga di beragam lembaga kesejahteraan sosial dalam masyarakat (Sitorus 1991). Hasil penelitian Sitorus (1999) di beberapa desa di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Nusa Tenggara Timur, serta penelitian Istiani dalam Nurmalinda (2002) di dua desa di Jawa Tengah, menunjukkan bahwa dengan terlibatnya anggota masyarakat dalam lembaga kesejahteraan asli dapat membantu masyarakat dalam upaya mempertahankan atau memperbaiki taraf kesejahteraan masyarakat. Dalam konteks ini suami dan istri didorong untuk memaksimalkan perannya dalam mencari pendapatan. Dari berbagai hasil penelitian, terlihat bahwa perbedaan kondisi agroekosistem, luas penguasaan lahan serta ragam komoditas yang diusahakan berpengaruh terhadap strategi koping yang dijalankan serta pola pembagian peran antara suami dan istri pada sektor publik dan domestik. Dalam penelitian ini akan difokuskan pada bagaimana perbedaan peran antara suami dan istri pada usahatani padi yang mewakili agroekosistem dataran rendah, serta pada usahatani hortikultura yang mewakili agroekosistem dataran tinggi. Di kawasan pinggiran perkotaan, perubahan fungsi lahan yang diikuti dengan pertambahan penduduk di sekitar desa sedikit banyak telah memberikan pengaruh terhadap kehidupan sosial dan ekonomi petani, antara lain dengan berubahnya hubungan dalam kelembagaan bagi hasil yang lebih bertumpu pada aspek ekonomi,
7 berkembangnya peluang-peluang di luar sektor pertanian yang dapat dimasuki oleh penduduk untuk mencari nafkah. Perubahan-perubahan tersebut akan berdampak pada strategi serta pembagian kerja yang dilakukan oleh suami dan istri pada keluarga petani dalam menghadapi tekanan ekonomi. Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat dirumuskan masalah yang akan diteliti yaitu : 1. Bagaimana karakteristik, persepsi tentang gender, strategi koping, pengambilan keputusan dalam strategi koping dan aktivitas keluarga di sektor domestik dan publik, pembagian kerja serta tingkat kesejahteraan keluarga petani padi dan hortikultura lapisan bawah di daerah pinggiran perkotaan. 2. Bagaimana perbedaan karakteristik, persepsi tentang gender, strategi koping, pengambilan keputusan dalam strategi koping dan aktivitas keluarga di sektor domestik dan publik, pembagian kerja serta tingkat kesejahteraan antara keluarga petani padi dan hortikultura 3. Apakah terdapat hubungan antara : karakteristik contoh dengan persepsi tentang gender; persepsi tentang gender dengan pola pengambilan keputusan dan pembagian kerja yang melibatkan suami dan istri; pengambilan keputusan dalam strategi koping dan aktivitas keluarga di sektor domestik dan publik, serta pembagian kerja dengan tingkat kesejahteraan keluarga petani padi dan hortikultura 4. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kesejahteraan keluarga petani ? Tujuan Penelitian Tujuan Umum Tujuan umum yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengkaji dan menganalisis strategi koping serta pengambilan keputusan keluarga yang dilakukan keluarga petani padi dan hortikultura lapisan bawah di pinggiran perkotaan berdasarkan pembagian peran antara suami dan istri, serta bagaimana hubungannya dengan tingkat kesejahteraan keluarga.
Tujuan Khusus Tujuan khusus yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk : 1. Mengkaji karakteristik, persepsi tentang gender,
strategi koping, pengambilan
keputusan dalam strategi koping dan aktivitas keluarga di sektor domestik dan
8 publik, pembagian kerja serta tingkat kesejahteraan keluarga petani padi dan hortikultura lapisan bawah di daerah pinggiran perkotaan. 2. Menganalisis perbedaan karakteristik, persepsi tentang gender, strategi koping, pengambilan keputusan dalam strategi koping dan aktivitas keluarga di sektor domestik dan publik, pembagian kerja serta tingkat kesejahteraan keluarga petani padi dan hortikultura. 3. Menganalisis hubungan antara : karakteristik contoh dengan persepsi tentang gender; persepsi tentang gender dengan pola pengambilan keputusan dan pembagian kerja yang melibatkan suami dan istri; pengambilan keputusan dalam strategi koping dan aktivitas keluarga di sektor domestik dan publik, serta pembagian kerja dengan tingkat kesejahteraan keluarga petani padi dan hortikultura 4. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kesejahteraan keluarga petani Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat : 1. Bagi pengembangan ilmu pengetahuan dalam memahami lebih lanjut mengenai fenomena kemiskinan serta memahami peran gender dalam menghadapi kondisi kemiskinan tersebut pada keluarga petani di daerah pinggiran perkotaan. 2. Sebagai tambahan informasi bagi para stakeholders dalam menentukan kebijakan yang berkaitan dengan usaha meningkatkan kesejahteraan masyarakat petani, terutama dengan mengoptimalkan peran wanita dalam keluarga.