1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pertumbuhan dan perkembangan penduduk kota yang sangat pesat selama beberapa dekade terakhir, baik secara alamiah maupun akibat urbanisasi, telah menyebabkan meningkatnya kebutuhan lahan untuk menampung pertumbuhan dan perkembangan penduduk kota beserta berbagai kegiatan sosial, ekonomi dan fisiknya. Peningkatan kebutuhan lahan ini ternyata tidak diimbangi dengan ketersediaan lahan yang cukup atau memadai. Hal ini disebabkan karena lahan yang tersedia di wilayah perkotaan terbatas, padahal kebutuhannya terus meningkat sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan kota. Terbatasnya lahan yang tersedia di perkotaan menimbulkan permasalahan lahan kota. Permasalahan lahan perkotaan pada dasarnya disebabkan oleh dua hal utama, yaitu permasalahan yang ditimbulkan oleh adanya kebutuhan pemerintah daerah akan lahan untuk melaksanakan pembangunan daerah dan permasalahan yang ditimbulkan oleh kebutuhan manusia akan lahan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Permasalahan kurang atau tidak tersedianya lahan kota untuk melaksanakan pembangunan kota tersebut akan menghambat pelaksanaan pembangunan kota. Dilihat dari situasi sekarang ini, perkembangan lahan tidak sebanding dengan pertumbuhan penduduk, yang disebabkan pertumbuhan penduduk jauh melampaui daya dukung lahan. Hal ini menyebabkan sering terjadi perubahan tata guna lahan yang tidak pada tempatnya, dan menyebabkan kerugian bagi penduduk maupun lingkungan sekitar.
Penyediaan lahan yang sangat terbatas untuk mencukupi
kebutuhan prasarana kota cenderung mengakibatkan kenaikan harga yang mendorong kepada pola penggunaan lahan yang kurang efisien. Menurut laporan World Bank (1991) dalam Sudjarwadi (1994), beberapa permasalahan yang dialami Indonesia dalam pembangunan daerah perkotaan diantaranya adalah penggunaan lahan perkotaan yang masih tidak produktif (underutilized) dan belum sesuai dengan potensi terbaik yang dimiliki (its highest and best use).
2 Penjelasan dari pengaruh pajak lahan terhadap penggunaan lahan perkotaan dapat disederhanakan dengan teori Alonso (Alonso, 1965) mengenai interaksi antara sewa lahan dengan penggunaan lahan.
Menurut Alonso, sewa lahan memiliki
korelasi positif dengan penggunaan lahan yang ditunjukan dengan penggunaan komersial berada di pusat kota dan penggunaan non komersial menempati wilayah pinggir kota. Dalam penelitian ini sewa lahan diasumsikan sebagai pajak lahan. Pemerintah
melalui
Undang-Undang
No.
12
Tahun
1994
telah
memberlakukan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sebagai penyederhanaan sistem perpajakan atas tanah dan bangunan yang sebelumnya diatur dalam beberapa peraturan perpajakan, seperti Pajak Rumah Tangga, Pajak Kekayaan, IPEDA, Pajak Jalan serta jenis pungutan lainnya yang dikenakan atas tanah dan bangunan. Salah satu dasar pertimbangan diberlakukannya undang-undang ini adalah bahwa bumi dan bangunan memberikan keuntungan dan/atau kedudukan sosial ekonomi yang lebih baik bagi orang atau badan yang mempunyai suatu hak atasnya atau memperoleh manfaat dari padanya, dan oleh karena itu wajar apabila mereka diwajibkan memberikan sebagian dari manfaat atau kenikmatan yang diperoleh kepada negara melalui pembayaran pajak. Dalam pasal 6 ayat (3) dikatakan bahwa dasar perhitungan pajak adalah Nilai Jual Kena Pajak (NJKP), yang ditetapkan serendah-rendahnya 20 % dan setinggi-tingginya 100% dari Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP). Dari penjelasan tersebut dapatlah ditarik suatu kesimpulan bahwa tujuan pemungutan PBB di Indonesia masih difokuskan pada tujuan untuk meningkatkan pendapatan negara guna membiayai pembangunan. Bagi pemerintah kabupaten dan kota, PBB merupakan sumber pembiayaan pembangunan yang sangat diandalkan, karena disamping besarnya penerimaan PBB yang tiap tahunnya meningkat juga karena kebijakan pembagian hasil penerimaan PBB yang membagikan sebagian besar penerimaan kepada daerah. Sebagai gambaran, pada Tabel 1
disajikan besarnya
kontribusi penerimaan PBB terhadap penerimaan daerah kabupaten/kota di seluruh Indonesia.
3 Tabel 1 Penerimaan daerah kabupaten/kota di seluruh Indonesia
No. 1. 2.
3. 4. 5.
Uraian Pendapatan Asli Daerah (PAD) Bagian Daerah a. Bagi Hasil Pajak (PBB+BPHTB) b. Bagi Hasil Bukan Pajak Dana Alokasi Pinjaman Daerah Sisa lebih tahun sebelumnya
Jumlah Penerimaan APBD Kabupaten/Kota Sumber: Rahardjo et al. (2001), diolah.
1998/1999 Jumlah (miliar Rp)
1999/2000 %
Jumlah (miliar Rp)
2000 %
Jumlah (miliar Rp)
%
2.246,6
10,8
2.765,4
9,9
2.491,9
8,7
2.538,8
12,1
2.892,8
10,3
2.679,2
9,3
449,8 14.861,1 267,0 539,8
2,1 71,1 1,3 2,6
432,1 20.743,7 102,7 1.062,4
1,5 74,1 0,4 3,8
437,8 21.950,3 119,2 1.109,8
1,5 76,2 0,4 3,8
20.905,2
27.999,0
28.788,2
Berdasarkan PP No. 16 tahun 2000 tentang pembagian hasil penerimaan PBB antara pusat dan daerah dijelaskan bahwa 10% merupakan bagian pusat dan 90% merupakan bagian daerah yang terbagi lagi menjadi 16,2% untuk provinsi, 64,8% untuk kabupaten/kota dan 9% untuk biaya pemungutan. Rencana kota dapat berfungsi atau berjalan dengan baik jika ditunjang oleh tersedianya lahan yang memadai untuk menampung berbagai aktivitas atau kegiatan yang direncanakan tersebut. Dengan kata lain, ketersedian lahan di daerah perkotaan harus dipertimbangkan sebagai salah satu faktor pendukung dan sekaligus sebagai faktor kendala bagi implementasi rencana kota. Dalam hal ini, rencana kota saja tidak cukup untuk menjamin terciptanya lingkungan yang ideal seperti yang dicitacitakan, melainkan dalam mekanisme pelaksanaan rencana kota perlu didukung oleh berbagai faktor penunjang lainnya yang dapat menjamin keefisienan dan keefektifan pelaksanaan rencana kota tersebut, misalnya saja peraturan-peraturan penunjang sebagai mekanisme pengendalian pelaksanaan rencana kota dan lain sebagainya. Salah satu peraturan penunjang tersebut yang akan dibahas disini adalah peraturan mengenai kebijaksanaan lahan perkotaan. Wilayah Bogor (Kabupaten dan Kota Bogor) memiliki arti penting bagi Kota Metropolitan Jakarta. Sebagai salah satu hinterland wilayah Jakarta, Bogor telah
4 menjadi daerah limpahan perluasan kawasan perkotaan untuk sektor permukiman, industri, maupun pariwisata.
Pada dasa warsa terakhir, Bogor mengalami
perkembangan fisik yang cukup tinggi. Sebagai contoh meningkatnya kegiatan industri di sepanjang Jalan Raya Jakarta – Bogor, Kawasan Industri Cibinong serta Cimanggis. Pertambahan jumlah penduduk di wilayah Bogor baik karena proses alami maupun urbanisasi telah menimbulkan kebutuhan akan lahan (ruang) meningkat. Semakin bertambah jumlah penduduk, maka kebutuhan akan fasilitas pelayanan sosial terutama permukiman semakin meningkat. Jumlah penduduk wilayah Bogor selama sepuluh tahun terakhir (1995 – 2004) rata-rata peningkatan penduduk sebesar 2,3 % per tahun ( BPS, 2005). tetap (fixed), sementara
Potensi sumber daya lahan tersedia dalam jumlah
kebutuhan akan ruang terus meningkat sejalan dengan
bertambahnya jumlah penduduk.
Untuk dapat memenuhi kebutuhan akan ruang
(terutama permukiman) sebagai konsekuensi dari pertumbuhan jumlah penduduk, maka konversi lahan telah menjadi alternatifnya.
Rumusan Permasalahan Masalah yang dikemukakan disini adalah pola penggunaan lahan di Wilayah Kabupaten Bogor yang kurang teratur. penetrasi
kegiatan
perdagangan
Fenomena ini terlihat dari banyaknya
terhadap
kawasan
perumahan
sehingga
bercampurnya berbagai pengggunaan lahan dalam suatu kawasan (mix used), bahkan sebagian bangunan perkantoran baru Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor didirikan persis di pinggiran Situ Cikaret Kecamatan Cibinong yang tercatat sebagai kawasan lindung.
Perubahan jenis penggunaan lahan dengan sendirinya.
menyebabkan
terjadinya peningkatan intensitas kegiatan. Jika hal ini tidak didukung oleh kesiapan sarana dan prasarana untuk kegiatan tersebut sehingga akan muncul masalah seperti kemacetan lalu lintas dan degradasi lingkungan. Hal ini menyebabkan perlu adanya pengendalian penggunaan lahan yang bersifat membatasi arah pergerakan penetrasi guna lahan tersebut. Dalam prosesnya
5 pengendalian dapat bersifat insentif maupun disintensif sesuai dengan tujuan pengendalian untuk setiap daerah.
Pengendalian disini bukan berarti melakukan
pembongkaran untuk setiap pelanggaran penggunaan lahan tetapi hanya membatasi perubahan yang terjadi. Dari berbagai di atas maka beberapa permasalahan yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini meliputi: 1.
Bagaimanakah pelaksanaan pajak lahan selama ini, terutama jika dikaitkan dengan upaya pengaturan dan penataan ruang?
2.
Bagaimanakah keterkaitan pajak lahan dengan penggunaan lahan dan upaya pengendalian pemanfaatan lahannya?
3.
Bagaimanakah pengaruh dari pola distribusi dan intensitas penggunaan lahan terhadap pajak lahan?
4.
Seberapa besar land rent dapat digunakan sebagai dasar dalam penetapan besarnya pajak lahan?.
Tujuan Studi Tujuan umum dari studi ini adalah mengetahui permasalahan dari pajak lahan dalam kaitannya dengan penggunaan lahan. Sedangkan tujuan khusus dari studi ini adalah sebagai berikut: 1.
Mengetahui konsistensi RDTRK/RUTRK.
2.
Mengetahui perbedaan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) antara lahan yang dimanfaatkan konsisten dan tidak konsisten dengan Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK)/ Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK).
3.
Mengetahui pengaruh penggunaan lahan terhadap pajak lahan .
4.
Mengetahui rasio NJOP terhadap land rent.
Manfaat Studi Studi ini diharapkan dapat menjadi informasi penting untuk menentukan langkah-langkah perbaikan apa yang
perlu dilakukan dalam kerangka kerja
6 perencanaan tata ruang atau tata guna lahan,
terutama bagaimana informasi
mengenai PBB dapat mempunyai andil dalam pengendalian pemanfaatan lahan. Juga informasi tentang besarnya land rent dapat menjadi bagian penting dalam suatu kerangka kerja perencanaan tata guna lahan. Hasil penelitian ini berguna bagi penyusun kebijakan Pemerintah Daerah Bogor, khususnya Bappeda juga instansi lain seperti Dinas Tata Ruang, BPN dan Kantor Pajak berhubungan dengan pengembangan dari sistem informasi lahan.