PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan pada hakekatnya adalah perubahan terencana dari satu situasi ke situasi lainnya yang dinilai lebih baik. Pembangunan yang terlalu mengejar pertumbuhan ekonomi dan kurang memperhatikan pengembangan sumberdaya manusia berakibat pada rendahnya kualitas sumberdaya manusia. Sumberdaya manusia yang kurang mendapat sentuhan pembangunan menjadi tidak kuat dan goyah ketika dihadapkan pada situasi krisis. Mereka yang bergantung pada industri-industri besar menjadi terhempas ketika industri besar tersebut jatuh. Pemutusan hubungan kerja (akibat penciutan usaha atau kepailitan) pada industri sering berdampak pada terjadinya pengangguran karena tenaga kerja tidak terserap dalam pasar kerja tidak terelakkan. Industri kecil merupakan salah satu soko guru perekonomian yang turut mempercepat pemerataan pertumbuhan ekonomi karena dapat menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang besar (padat karya). Jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor industri kecil meningkat tajam sejak tahun 1985 dengan laju pertumbuhan tenaga kerja 6,4% per tahun. Pada tahun 1989 jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor ini berjumlah 7.334.874 orang dan pada akhir tahun 2003 mencapai 11.643.072 orang (BPS, 2004) Selain menyerap tenaga kerja, industri kecil menjadi penyumbang pendapatan asli daerah yang signifikan. Pada beberapa jenis produk, hasil produksi industri kecil di bidang pangan, sandang, kulit, kimia dan bahan bangunan, kerajinan dan umum prospektif untuk ekspor (Hubeis, 1997). Oleh karena itu, dalam rangka otonomi daerah pemerintah memberikan perhatian yang lebih optimal guna meningkatkan produktivitas sektor ini.
Pemerintah telah
melakukan upaya pembangunan industri kecil dalam jangka waktu puluhan tahun, namun apabila dilihat fakta yang ada kondisi pengrajinnya masih banyak yang belum mengalami kemajuan. Kondisi pengrajin pada saat ini sebagian besar masih seperti pada saat orang tua atau sanak kerabatnya memulai usaha itu puluhan tahun yang lalu.
Upaya menjalin kerjasama dengan individu lain terutama yang terkait dengan bidang usaha, meliputi pemasok barang, pemodal, pelanggan atau mitra usaha lainnya masih lemah. Terdapat beberapa faktor penyebab lemahnya kemampuan kerjasama ini. Beberapa diantaranya adalah kemampuan komunikasi, pengetahuan tentang kerjasama itu sendiri, upaya subordinasi dan dominasi elit bisnis (pemodal, pemasok barang, distributor), dan yang paling utama adalah rasa percaya diri yang masih rendah (Wijaya, 2001; Karsidi, 1999; Tawardi, 1999). Karsidi (1999) menemukan bahwa permasalahan utama yang menghambat peningkatan kesejahteraan pengrajin adalah pola hidup mereka
yang masih
tradisional, mereka cepat puas, kurang tanggap terhadap peluang, dan kurang memiliki kemampuan. Selain itu, para pengrajin industri kecil masih belum siap dan mereka memiliki latar belakang pendidikan yang kurang. Oleh karena itu, kompetensi pengrajin perlu dikembangkan dengan kegiatan penyuluhan yang dirancang sesuai dengan kelompok jabatan: buruh pengrajin, pengrajin dan pengusaha pengrajin. Pelham (1999) menemukan bahwasanya industri kecil masih lemah dalam hal
perencanaan,
pemikiran
strategis
dan
orientrasi
jangka
panjang.
Kecenderungan memenuhi kebutuhan jangka pendek mengakibatkan mereka tidak melakukan perencanaan ke depan tentang pasar, pengelolaan keuangan, atau persediaan sumber daya yang dibutuhkan. Kurang dari 50% pengusaha industri kecil yang secara rutin dan berkelanjutan mengumpulkan infromasi tentang pertumbuhan pasar atau segmen pasar. Selain itu, pengrajin masih belum memposisikan diri sebagai wirausaha yang berkualitas, kreativitas menjadi modal dasar untuk menghadapi persaingan belum dipenuhi dengan optimal dan masih bersifat subsisten menjadikan kualitas perilakunya masih rendah (Megginson et al., 2000, Sigito 2001, Tawardi, 1999). Ismawan (2002) mencatat beberapa keterbatasan yang dijumpai pengrajin yaitu: (1) manajemen, pengelolaan keuangan, keberlanjutan lembaga dan semacamnya; (2) scope dan skala ekonomi yang terbatas dan tidak dapat dengan mudah serta cepat dikembangkan karena keterbatasan akses pelayanan keuangan, informasi, dan pasar; dan (3) lingkungan usaha yang kurang fair, adil,
diskriminatif, kurang jelas aturan mainnya dan konsistensi dalam menjaga aturan main yang ada. Permasalahan lain yang dihadapi pengrajin adalah bahwasanya industri kerajinan sangat dipengaruhi oleh perkembangan mode. Oleh karena itu, permintaan produk dengan model yang berkembang terus menuntut kreativitas dan inovasi produk yang tinggi pula. Kenyataan yang ada menunjukkan variasi produk sangat monoton, sehingga kadang timbul kejenuhan dari konsumen (Sigito, 2001). Selain itu, tingkat disiplin pengrajin juga kurang sehingga sering target tidak dapat dipenuhi. Tingginya persaingan dalam industri kerajinan menuntut
ketrampilan
pengrajin
untuk
membaca
peluang
pasar
dan
mengembangkan daerah pemasaran. Perkembangan strategi penjualan produk juga tampaknya perlu dikuasai oleh pengrajin. Berdasarkan pendapat tersebut maka permasalahan industri kecil dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu: (1) Kapasitas, permasalahan yang terkait dengan rendahnya kapasitas pengrajin dalam hal: perencanaan, pengelolaan keuangan, kewirausahaan, keberlanjutan usaha, pertumbuhan skala ekonomi. (2) Akses, keterbatasan akses terutama dalam hal akses pada pelayanan keuangan, informasi, dan pasar. (3) Lingkungan, rendahnya keberpihakan lingkungan terutama pemerintah dalam memberikan pembinaan terhadap industri kecil, regulasi terhadap arus produk pesaing dari luar negeri, dan regulasi lainnya yang fair, adil, tidak diskriminatif, jelas aturan mainnya dan konsistensi dalam menjaga aturan main yang ada. Menyadari kenyataan yang ada, maka pada masa mendatang diperlukan adanya suatu model pemberdayaan yang mampu meningkatkan kemampuan pengrajin sehingga mampu berkolaborasi dengan pengrajin dan pendukung usaha lainnya (stakeholder). Selain itu, agar pengrajin yang telah ada mampu mengembangkan skala usahanya. Pemberdayaan ini tidak terlepas dari upaya yang ditujukan untuk menempatkan pengrajin menjadi subyek pembangunan, serta menempatkan sumber daya manusia pengrajin sebagai komponen utama dalam
pembangunan industri kecil sehingga pengrajin mampu mandiri menghadapi persaingan usaha.
Masalah Penelitian Kurang berkembangnya industri kecil di Indonesia telah menimbulkan kesan bahwa berbagai program pembinaan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap industri kecil selama ini kurang banyak manfaatnya. Kurang berhasilnya kebijakan dan program pengembangan industri kecil di Indonesia disebabkan antara lain oleh: adanya tumpang tindih dalam program dan populasi sasaran serta pendekatan yang tidak terkoordinasi dan tidak konsisten. Akibatnya, mereka sering menjadi obyek pembangunan, tergantung, dan tidak mandiri. Berdasarkan hasil analisis Pardede (2000) diketahui bahwa kebijakan pemerintah dalam membangun industri kecil
lebih menekankan pada upaya meningkatkan
produktivitas dan kurang menyentuh aspek peningkatan kualitas SDM Peningkatan kualitas SDM pengrajin adalah sasaran yang seharusnya menjadi tujuan pembangunan industri kecil, sehingga dengan SDM yang berkualitas akan dapat membawa pengrajin ke arah keberlanjutan dan kemajuan usaha, dan keberhasilan pembangunan industri kecil dapat mewujudkan kesejahteraan masyarakat industri kecil. Menurut Megginson, Byrd dan Magginson (2000), berbagai penelitian telah berhasil memetakan permasalahan industri kecil namun aspek perilaku belum mendapat perhatian khusus. Pada saat ini gaya hidup pengrajin industri kecil pada umumnya masih berada dalam gaya hidup transisi (pre modern), sebab untuk mencapai kemandirian perlu diubah menjadi gaya hidup modern, kegiatan industrialisasi menjadi dominan (Karsidi, 1999). Sebagai seorang wirausaha pengrajin industri kecil masih belum mempunyai sifat tanggap terhadap peluang usaha. Hal ini apabila dikaitkan dengan sifat perilaku wirausaha yang berhasil adalah bersifat opportunistis (Bird, 1989). Sebagai salah satu contoh yang terjadi pada industri kecil tas dan sepatu yang seringkali tidak dapat merespon dengan baik penawaran yang diberikan oleh pasar berupa pesanan tas dan sepatu, pesanan tidak diselesaikan tepat waktu, kualitas menjadi menurun karena jumlah pesanan banyak dan sebagainya sehingga pasar
tidak puas. Sifat kurang tanggap ini juga terkait dengan pengambilan keputusan yang lambat dari pengusaha industri kecil. Industri kecil dari bahan kulit adalah industri yang terkait dengan mode, yakni mode akan berjalan sesuai dengan trend. Kejenuhan pasar akan terjadi pada saat industri kecil tidak mampu menghasilkan kreasi yang sesuai dengan trend yang ada. Kreativitas pengrajin tas dan koper di Sidoarjo untuk mengikuti trend yang dibutuhkan pasar adalah masih rendah (Sigito, 2001). Perilaku pengrajin industri kecil sekarang ini masih belum kondusif. Berdasarkan penelitian Tawardi (1999) ditemukan bahwa: (1) orientasi hidup pengusaha kecil masih untuk memenuhi keperluan hari ini, (2) kadang-kadang merasa rendah diri karena ekonomi lemah, dan (3) percaya diri terlalu tinggi sehingga merasa mutu produknya lebih baik dibanding orang lain. Perkembangan teknologi yang cepat dalam proses produksi akan menunjang kualitas produk dan ketepatan waktu pengerjaan. Mengingat karakteristik produk kerajinan barang dari bahan kulit terkait dengan selera, maka sangat dibutuhkan peralatan yang bisa menghasilkan produk yang berkualitas, misalnya jenis mesin jahit, jarum, alat pengguntingan, pengepresan dan sebagainya. Kondisi yang dihadapi sebagian besar industri kecil kerajinan barang dari bahan kulit kurang bisa merespon perubahan selera konsumen dan perubahan teknologi dengan cepat. Apabila dikaji lebih mendalam permasalahan yang dihadapi industri kecil ini adalah perilaku pengrajinnya yang sedang dituntut berubah. Aspek perilaku wirausaha terdiri dari aspek kognitif, afektif dan psikomotorik pengrajin industri kecil masih belum kondusif. Berdasarkan latar belakang penelitian, dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut: (1) Bagaimana perilaku wirausaha, tingkat kemandirian usaha, tingkat kemajuan usaha, dan keberlanjutan usaha pengrajin? (2) Faktor-faktor manakah yang berpengaruh terhadap kualitas perilaku wirausaha para pelaku industri kecil? (3) Faktor-faktor manakah yang menentukan tingkat kemandirian berusaha para pelaku industri kecil? (4) Faktor-faktor manakah yang cenderung lebih menentukan kemajuan usaha? (5) Faktor-faktor manakah yang lebih menentukan keberlanjutan usaha?
(6) Bagaimana model pemberdayaan yang efektif untuk memandirikan pengrajin, membentuk perilaku wirausaha yang berkualitas, dan memajukan usaha? Tujuan Penelitian Sesuai dengan masalah-masalah yang telah disebutkan, maka secara umum tujuan penelitian adalah sebagai berikut: (1) Mendapatkan gambaran tentang perilaku wirausaha, tingkat kemandirian usaha, tingkat kemajuan usaha, dan keberlanjutan usaha pengrajin. (2) Menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas perilaku wirausaha para pelaku industri kecil. (3) Menjelaskan faktor-faktor penentu tingkat kemandirian berusaha para pelaku industri kecil. (4) Menjelaskan faktor-faktor yang menentukan kemajuan usaha para pelaku industri kecil. (5) Menjelaskan faktor-faktor yang menentukan keberlanjutan usaha para pelaku industri kecil. (6) Merumuskan model pemberdayaan yang efektif untuk memandirikan pengrajin, membentuk perilaku wirausaha yang berkualitas, dan memajukan usaha. Manfaat Hasil Penelitian Hasil yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan se cara ilmiah dan secara praktis. Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan beberapa manfaat sebagai berikut: (1) Bagi perkembangan ilmu penyuluhan pembangunan, diharapkan penelitian ini dapat memberikan sumbangan terhadap: Pengembangan model intervensi terhadap komunitas pengrajin. Pengembangan paradigma penyuluhan yang memberdayakan pengrajin. Pengembangan konsep perilaku wirausaha dan kemandirian pengrajin. Peningkatan kemajuan usaha dan keberlanjutan usaha industri kecil. (2) Bagi pembangunan industri kecil, diharapkan penelitian ini dapat dimanfaat sebagai bahan pertimbangan dalam menyusun kebijakan dan program pemberdayaan pengrajin.
Definisi Istilah (1) Industri kerajinan adalah aktivitas usaha di tingkat rumah tangga yang mencakup semua perusahaan/usaha yang melakukan kegiatan mengubah barang dasar menjadi barang jadi/setengah jadi dan atau dari barang yang kurang nilainya menjadi lebih tinggi nilainya dengan maksud untuk dijual. Yang termasuk dalam kategori tersebut adalah perusahaan/usaha yang memiliki tenaga kerja antara 1-4 orang, memiliki asset maksimal Rp 200 juta tidak termasuk tanah dan harta tak bergerak. (2) Pengrajin adalah orang yang bekerja di bidang kegiatan mengubah barang dasar menjadi barang jadi/setengah jadi dan atau dari barang yang kurang nilainya menjadi lebih tinggi nilainya dengan maksud untuk dijual untuk memenuhi nafkah hidupnya yang memiliki kemampuan menjalankan aktivitas di bidang produksi dan perdagangan. (3) Karakteristik individu pengrajin adalah ciri-ciri yang melekat pada individu pelaku kegiatan mengubah barang dasar menjadi barang jadi/setengah jadi dan atau dari barang yang kurang nilainya menjadi lebih tinggi nilainya dengan maksud untuk dijual, yang membedakan dirinya dengan orang lain berdasarkan waktu tertentu. (4) Faktor pendukung usaha adalah tingkat ketersediaan faktor-faktor yang sesuai dengan kebutuhan untuk menunjang kegiatan usaha kerajinan kulit yang bermutu. (5) Dukungan lingkungan adalah individu-individu lain, lembaga, atau sistem yang melingkupi pengrajin dan usahanya, yang memberikan dukungan sehingga dapat mempengaruhi pola pikir dan tindakan-tindakan pengrajin. (6) Keberdayaan pengrajin adalah daya yang dimiliki pelaku kegiatan usaha kerajinan yang ditekankan pada perilaku wirausaha (yang tercermin pada sifat inovatif, memiliki inisiatif atas usahanya, mampu mengelola resiko, berdaya saing) dan kemandirian dalam kegiatan usahanya (permodalan, produksi, kerjasama dan pemasaran).
(7) Perilaku wirausaha adalah aspek-aspek yang terinternalisasi dalam diri pengrajin yang ditunjukkan oleh pengetahuan, sikap dan ketrampilannya untuk melakukan usaha dengan inovatif, inisiatif, berani mengambil resiko dan berdaya saing. (8) Kemandirian usaha adalah kemampuan pelaku usaha kerajinan dalam kegiatan produksi, pemasaran dan permodalan yang tidak tersubordinasi dengan pihak lain serta kemampuan kerjasama dengan individu, kelompok atau organisasi untuk mencapai kemajuan terbesar bersama. (9) Kemajuan usaha pengrajin adalah kondisi perkembangan aktivitas di bidang kerajinan dalam bentuk penjualan, keuntungan dan pangsa pasar yang diperoleh pengrajin. (10) Keberlanjutan usaha adalah aktivitas dan sikap proaktif pengrajin dalam mengantisipasi kebutuhan dan selera konsumen secara terus menerus dari masa ke masa. (11) Pemberdayaan
pengrajin
adalah
proses
pembelajaran
yang
berkesinambungan yang ditujukan untuk mengembangkan kekuatan kepada masyarakat agar: (1) memiliki kesadaran, rasa percaya diri dan ketegasan dalam seluruh segi kehidupannya; (2) mampu mengambil keputusan, memecahkan masalah, berkreasi dalam usaha kerajinannya; (3) mampu bekerjasama dan membina hubungan dalam lingkungan usaha dan lingkungan sosialnya; dan (4) mampu mengakses sumberdaya, peluang, pengetahuan dan ketrampilan untuk kelangsungan usaha dan kehidupan keluarganya di masa yang akan datang dengan lebih baik.