135
PENDAHULUAN Latar Belakang Kualitas sumber daya manusia pelaksana pembangunan merupakan isu yang tidak henti-hentinya diwacanakan sebagai kata kunci determinan yang paling menentukan berhasil tidaknya pencapaian tujuan pembangunan. Manusia adalah objek dan subjek serta sasaran pelaksanaan pembangunan. Secara spesifik pada diri manusia pembangunan (agent of change) terdapat tiga hal yang sangat diperlukan yaitu: Pertama, wawasan dan cara pandang (mind set) tentang pembangunan dan perubahan sosial. Kedua, kompetensi yang memadai dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya. Ketiga, kemampuan kepemimpinan untuk mengikuti perkembangan yang selalu dinamis dan berlangsung terus menerus. Apabila ketiga hal itu dicermati dalam penyusunan dan pelaksanaan program pembangunan masyarakat desa di Kabupaten Bone dan Kabupaten Jeneponto Provinsi Sulawesi Selatan, tampaknya masih merupakan suatu yang sangat memperihatinkan dalam arti keterbatasan dalam banyak hal, baik dari aspek kemampuan individual maupun dari segi profil kelembagaan. Rancangan Pembangunan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2001–2005 yang memuat tentang arah kebijakan pembangunan daerah yaitu percepatan pembangunan perdesaan dalam rangka pemberdayaan masyarakat dilakukan dengan pendekatan profesionalisme aparatur pemerintahan desa, mengembangkan kelembagaan, penguasaan teknologi tepat guna dan pemanfaatan sumber daya alam secara lestari. Peningkatan
kesejahteraan
rakyat
dan
pemerataan
hasil-hasil
pembangunan harus dapat dirasakan kelompok mayoritas penduduk
yaitu
mayarakat perdesaan. Salah satu syarat yang harus dipenuhi adalah peningkatan kemampuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Selanjutnya untuk meningkatkan partisipasi seluruh lapisan masyarakat, diperlukan efektivitas peran kelembagaan dari aparatur birokrasi pemerintah, terutama di tingkat desa. Kondisi yang ada saat ini di Kabupaten Bone dan Kabupaten Jeneponto Provinsi Sulawesi 1
2 Selatan perlu dikaji terus mengingat adanya tuntutan kebutuhan sebagai konsekuensi dari desentralisasi pemerintahan, berupa otonomi daerah dan lebih fokus lagi adalah upaya untuk mewujudkan otonomi desa. Secara obyektif pada umumnya kondisi yang memperihatinkan dalam pelaksanaan pembangunan di tingkat desa di Kabupaten Bone dan Kabupaten Jeneponto Provinsi Sulawesi Selatan saat ini masih berkisar pada masalah: (1) Kemampuan kelembagaan pembangunan masyarakat desa baik dilihat dari segi struktur organisasi, mekanisme kerja, maupun
profil sumber daya
manusia. Hal ini merupakan bagian utama pembenahan administrasi pemerintahan dan pembangunan. (2) Aspek perilaku dan budaya tradisional yang masih dominan, serta kesadaran yang rendah dalam pengelolaan pembangunan dan pelayanan publik. (3) Belum jelasnya program pengembangan sumber daya manusia aparatur terutama dalam pelaksanaan pembangunan perdesaan partisipatif. (4) Tuntutan
otonomi daerah dan globalisasi sebagai prasyarat mutlak
keberhasilan pembangunan, masih terdapat kesenjangan pada tahap kesiapan dari perilaku yang tampak dengan perilaku yang harus dimiliki oleh segenap aparatur dan institusi pemerintah dalam pembangunan. Hal inilah yang menyebabkan penyusunan, pelaksanaan, pengawasan, evaluasi program pembangunan yang efektif dan efisien masih belum optimal. (5) Upaya yang dapat dilakukan oleh institusi pemerintah desa guna menindak lanjuti hasil dari kegiatan pembangunan yang belum optimal itu tampaknya belum jelas. Termasuk kesadaran akan pentingnya informasi dan iptek rendah (6) Keseriusan dan kebijakan yang fokus dan tajam dari pemerintah untuk membangkitkan partisipasi masyarakat perdesaan juga belum optimal. (7) Pembangunan selama ini belum optimal memberdayakan masyarakat. Masyarakat pada umumnya masih dalam prroses pencerdasan
untuk
melakukan sesuatu, agar memiliki informasi yang berguna untuk dapat memilih alternatif perilaku yang menguntungkan bagi kehidupannya. Pemberdayaan (empowerment) dewasa ini digunakan secara luas oleh berbagai pihak, seperti oleh pembuat kebijakan, praktisi/pelaksana program, petugas sosial dan kelompok
3 profesional. Tampaknya konsep tersebut digunakan sebagai pengganti konsep pembangunan yang selama ini dilaksanakan dinilai kurang berhasil atau gagal meningkatkan kualitas hidup, termasuk mengangkat manusia dari lembah kemiskinan. Kebijakan pembangunan selama ini adalah kombinasi top down dengan bottom up, tapi sering mengabaikan aspirasi serta kebutuhan masyarakat bawah. Oleh karena itu perlu adanya perubahan orientasi kelembagaan pemerintahan
dengan
tetap
memperhatikan
faktor-faktor
dominan
yang
mempengaruhi manajemen pemerintahan yaitu perubahan struktural dan perubahan fungsional. Perubahan besar pada manajemen pemerintahan terjadi dengan adanya konsep pemikiran dari Osborne dan Gaebler (Wasistiono, 2003:24) yang menawarkan perlunya transformasi semangat kewirausahaan pada sektor publik. Osborne dan Gaebler (Wasistiono, 2003:24) mengemukakan sepuluh pokok pikiran yang intinya adalah mengurangi peranan pemerintah dengan cara memberdayakan masyarakat serta menjadikan sektor pemerintah lebih efisien. Sedarmayanti, dkk. (2006:12) dalam kaitan pemerintahan daerah, globalisasi menuntut keterbukaan, akuntabilitas dan ketanggapan dari segenap jajaran birokrasi. Dalam dunia yang penuh kompetisi, sangat diperlukan kemampuan birokrasi untuk memberikan tanggapan terhadap berbagai masalah secara akurat, bijaksana, adil dan efektif. Munculnya partisipasi dalam proses pengambilan keputusan politik di era globalisasi,
merupakan konsekuensi dari komitmen
terhadap demokrasi. Dalam
hal
ini
perlu
diupayakan
cara-cara
birokrasi
untuk
membangkitkan partisipasi dalam program pemerintah. Oleh karena itu, kelembagaan pemerintah harus mampu memberdayakan masyarakat yaitu membuat
masyarakat
mampu
membangun
dirinya sendiri
memperbaiki
kehidupannya sendiri dalam arti mampu (berdaya), tahu (mengerti), termotivasi, dapat memanfaatkan peluang, bersinergi, mampu bekerja sama, tahu berbagai alternatif, mampu mengambil keputusan, berani mengambil resiko, mampu mencari dan menangkap informasi serta mampu bertindak sesuai situasi.
4 Aparatur birokrasi harus mampu memberikan pelayanan yang bermutu bagi masyarakat, agar mereka dengan sendirinya dapat terus melakukan partisipasi dalam pembangunan di perdesaan secara berkelanjutan (sustainable). Secara teknis aparatur harus dapat melakukan penyuluhan kepada segenap warganya; artinya aparatur desa berfungsi mengembangkan masyarakat madani yang memiliki kemampuan (berdaya) untuk membangun dirinya sendiri atau berdaya memperbaiki kehidupannya sendiri. Mengingat betapa pentingnya peranan aparatur di perdesaan, maka langkah utama dan pertama yang harus segera dibenahi ialah kepemimpinan pada tingkat institusi perdesaan. Selain itu masih muncul isu-isu yang mensinyalir adanya berbagai kelemahan antara lain: banyak sumber daya yang belum ditangani secara optimal, belum tumbuhnya etos kerja produktif yang optimal. Terkesan masih banyaknya perangkat desa yang seharusnya berfungsi sebagai agen-agen pembangunan, namun belum melaksanakan fungsinya secara baik, masih bersifat menunggu, kurang kreatif dan inovatif, kurang mandiri, kurang memberikan peluang kepada masyarakat untuk ikut serta merumuskan perencanaan pembangunan di desa dan lain-lain. Beberapa informasi sebagai fakta lapangan mengenai eksistensi perubahan kelembagaan pemerintahan kabupaten/kota dengan mengacu pada Undang-Undang No. 32/2004 tentang pemerintahan daerah, esensinya adalah: (1) Filosofi yang digunakan tetap “keanekaragaman dalam kesatuan.” (2) Paradigma politik yang digunakan tetap dalam rangka demokratisasi, pemerataan dan keadilan. (3) Penambahan paradigma ekonomi
dengan
menekankan pada daya saing
daerah dalam menghadapai persaingan global melalui pemberdayaan masyarakat. (4) Penambahan paradigma administrasi dengan menekankan pada perlunya efektivitas dan efisiensi. (5) Memberi tekanan pada pelayanan masyarakat sebagai fokus utama untuk mencapai hasil akhir berupa kesejahteraan masyarakat.
5 Menurut
Sedarmayanti,
dkk.
(2006:
5-6)
implementasi
aspek
kewenangan kelembagaan, kewenangan daerah dan sumber daya manusia aparatur, dalam kenyataannya otonomi daerah acapkali diinterpretasikan sebagai otonomi pemerintahan daerah dengan mengabaikan masyarakat. Di lain pihak masyarakat tidak mengalami perubahan yang berarti atau mendasar karena mereka tetap diposisikan sebagai “komoditas” oleh segelintir elit birokrat yang lebih mengutamakan kekuasaan daripada kualitas pelayanan yang mengedepankan kesejahteraan masyarakat. Apapun yang dilakukan oleh mereka, terutama yang lebih menguntungkan, selalu mengatasnamakan masyarakat. Padahal mereka sesungguhnya mementingkan dan berusaha mempertahankan posisi dan jabatannya. Fakta lain di lapangan yang paling mendasar juga adalah masalah sumber dana pembangunan. Di Kabupaten Bone dan Kabupaten Jeneponto Provinsi Sulawesi Selatan misalnya, tuntutan atas pemenuhan kebutuhan anggaran sebenarnya sudah disadari tetapi masih sulit untuk merealisasikannya yaitu Alokasi Dana Desa (ADD). Penelitian Guricci, dkk. (2002:2) tentang Perubahan Kelembagaan ini di Propinsi Sulawesi Selatan menyimpulkan bahwa: (1) Aspek kewenangan, pelaksanaan otonomi daerah ternyata belum sepenuhnya dipahami sumber daya aparatur, sehingga pelaksanaan otonomi daerah lebih diartikan sebagai perubahan kelembagaan daripada pelimpahan kewenangan. (2) Aspek kelembagaan pemerintahan kabupaten/kota ternyata melakukan perubahan kelembagaan dengan mengembangkan yaitu dengan menambah dinas/badan/kantor
baik
dengan
membuat
baru
maupun
dengan
memisahkannya dengan kelembagaan sebelumnya. (3) Aspek partisipasi masyarakat, meningkatnya kesadaran masyarakat dalam setiap kegiatan dalam bentuk kelembagaan masyarakat misalnya Badan Perwakilan Desa (BPD). (4) Aspek pelayanan kepada masyarakat; masih ditemukan ketidak efisienan misalnya birokrasi yang berbelit dan adanya pungutan tidak resmi.
6 Kelembagaan Pemerintah Desa dan BPD dibentuk sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan masyarakat setempat, sehingga kegiatan pemerintah dapat terlaksana secara efektif dan efisien. Hasil kajian menunjukkan bahwa: (1) Masih ada desa yang belum membentuk BPD sehingga pengawasan dan penyaluran aspirasi masyarakat tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan. (2) Perda kabupaten yang mengatur tentang desa yang ditetapkan berdasarkan Kep-Men-dagri No.64/1999 sering menimbulkan konflik antara pemerintah desa dengan BPD karena masih minimnya peraturan daerah tentang desa. (3) Belum adanya aturan main/norma yang mengatur mekanisme kerja antara Pemerintah Desa dengan BPD. Dari hasil temuan kajian ini direkomendasikan: (1) Pembentukan kelembagaan pemerintahan desa (Pemerintah desa dan BPD) didasarkan pada ketentuan PP No.76/2001. (2) Pemerintah
Kabupaten
melakukan
pembinaan
dan
fasilitas
dalam
pembentukan kelembagaan pemerintah desa dan segera menetapkan perda kabupaten yang mengatur tentang desa berdasarkan ketentuan yang berlaku antara lain PP. No.76/2001. (3) Melakukan sosialisasi hasil kajian khususnya yang berkaitan dengan rancangan perdes tentang pembentukan kelembagaan pemerintah desa untuk ditetapkan sesuai kondisi desa setempat. Lokakarya lapangan yang menyangkut tentang perencanaan parsitipatif di Sulawesi Selatan dapat dilihat pada Kelembagaan Agribisnis dan SDM pertanian, temuan Saing (2002:7) memperlihatkan bahwa kelembagaan agribisnis dan SDM penting utnuk pemberdayaan dan peningkatan partisipasi, akses dan kontrol masyarakat perdesaan laki-laki dan perempuan dalam setiap kegiatan yang difasilitasi dan dipandu oleh penyuluh atau petugas fasilitator desa dan petani pemandu yang sudah dilatih. Masyarakat tani laki-laki dan perempuan melaksanakan penyusunan profil keluarga, profil desa dalam kerangka penyusunan Rencana Usaha Keluarga (RUK), Rencana Kegiatan Kelompok (RKK), serta penyusunan Rencana Kegiatan Penyuluh Desa (RKPD), seluruhnya
7 memerlukan adanya peningkatan kualitas sumber daya manusia, yang mencerminkan betapa pentingnya kompetensi teknis dan profesional manajerial. Gerakan pembangunan pengentasan masyarakat miskin (Gerbang Taskin) yang dicanangkan oleh Badan Penelitian Pembangunan Daerah (Balitbangda) di Kabupaten Bone dan Kabupaten Jeneponto Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2005 menunjukkan secara umum bahwa kegiatan Gerbang Taskin telah berjalan dengan baik dan sudah memberikan manfaat bagi masyarakat prasejahtera, dengan mengurangi beban hidup serta meningkatkan pendapatan masyarakat, meskipun beberapa bantuan yang diberikan belum sepenuhnya sesuai dengan kebutuhan mereka. Kelemahan lainnya adalah masih terdapat beberapa kekurangan dalam proses perencanaan, pelaksanaan, pembiayaan dan pengawasan kegiatan yang memerlukan perbaikan sehingga efektivitas Gerbang Taskin dapat lebih di tingkatkan. Kekurangan dimaksud adalah bantuan yang belum sepenuhnya sesuai kebutuhan masyarakat prasejahtera, dana yang masih kurang, pembinaan masyarakat prasejahtera pasca bantuan yang belum optimal dan sebagainya. Hasil penelitian Sukri (2007:5) mengklasifikasikan berdasarkan tiga kelompok urutan tingkat kemakmuran penduduk perdesaan
Sulawesi Selatan
bagian Selatan yaitu Kabupaten Takalar, Kabupaten Jeneponto dan Kabupaten Bantaeng berada pada kelompok yang mempunyai tingkat kemakmuran penduduknya relatif rendah. Hal ini berimplikasi pada masih banyaknya desa-desa miskin atau 30 persen dari jumlah desa yang ada (BPS 1993) di wilayah Selatan dengan perimbangan tingkat pendapatan perkapita yang relatif rendah. Semakin rendah tingkat pemerintahan semakin operasional suatu kegiatan
dan
semakin
memungkinkan
karakteristik
dan
aspirasi
dapat
terakomodasi dalam program pembangunan. Kajian ini akan memudahkan penyusunan program yang berjangka panjang, menengah dan berjangka pendek beserta sumber daya pendukungnya. Untuk jangka panjang, pembangunan infrastruktur bukan hanya sebagai kebutuhan dasar tetapi sebagai wadah pengembangan potensi sosial ekonomi masyarakat.
8 Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM (Universitas Gajah Mada, 2001:7) dalam penelitiannya menemukan bahwa reformasi birokrasi publik di Indonesia menunjukkan bahwa tingkat akuntabilitas aparatur birokrasi dalam kondisi buruk. Di Kabupaten Bone dan Kabupaten Jeneponto Provinsi Sulawesi Selatan di antara 300 responden terdapat 261 memberi jawaban buruk. Bakri (2001:9) mengungkapkan bahwa di sektor lainnya dalam rangka peningkatan skill manajemen petugas kesehatan Kabupaten/Kota terungkap pula secara umum mengenai lemahnya kemampuan sebagian petugas kesehatan dalam berbagai aspek proses perencanaan di Kabupaten Bone dan Kabupaten Jeneponto Provinsi Sulawesi Selatan. Sementara itu wilayah operasional cukup luas dan beragam. Selain itu pusat-pusat pelayanan publik jika dilihat dari jumlah penduduk, jumlah kecamatan dan desa serta pemukiman, maka hal ini berkaitan dengan masalah rembesan atau tetesan yang dapat diperoleh oleh daerah belakang terhadap perkembangan pusat-pusat pelayanan itu (Yamin, dkk. 2008). Semua permasalahan di atas dapat ditangani secara efektif melalui pendekatan pembangunan perdesaan yang tepat. Menurut Slamet (2003:7) pembangunan perdesaan perlu didekati dengan berbagai cara sekaligus: (1) Penggalian potensi-potensi yang dapat di bangun oleh masyarakat setempat. (2) Pembinaan teknologi tepat guna meliputi penciptaan, pembangunan, penyebaran sampai digunakannya teknologi itu oleh masyarakat perdesaan. (3) Pembinaan organisasi usaha atau unit pelaksanaan yang melaksanakan pene rapan berbagai teknologi tepat guna untuk mencapai tujuan pembangunan (4) Pembinaan organisasi penunjang yang menyambungkan usaha yang dilakukan oleh individu warga masyarakat perdesaan dengan lembaga lain atau dengan tingkat di atasnya (Kota, Kecamatan, Kabupaten, Provinsi dan Nasional). (5) Pembinaan kebijaksanaan pendukung, yaitu yang mencakup input, biaya kredit, prasarana dan lain-lain. Penataan kelembagaan pemerintah Kabupaten Bone dan Kabupaten Jeneponto mutlak dilakukan karena
banyak hal
terkait, dan berpengaruh
langsung dengan kinerja kelembagaan seperti aspek kewenangan, aspek teknologi,
9 aspek kebutuhan pelayanan dan aspek nilai strategi daerah. Oleh karena itu dirasa penting membangun prospek manajemen pemerintahan perdesaan partisipatif. Masalah Penelitian Masalah dapat diartikan sebagai kesenjangan antara kondisi sekarang dengan kondisi yang diharapkan, masalah memerlukan pembahasan, pemecahan dan informasi atau keputusan. Mc Millan dan Schoemaker (Tamba, 2007) mengemukakan bahwa dalam penelitian secara teknis, masalah menyiratkan adanya kemungkinan untuk dilakukan suatu penelitian secara empiris yaitu: pengumpulan dan analisis data. Dari uraian latar belakang di atas, tampak sekali banyaknya permasalahan atau problem yang muncul di dalam melihat peran aparatur perdesaan dalam penyusunan dan pelaksanaan program pembangunan seperti tertera di bawah ini: (1) Karakteristik aparatur: otonomi dan otoritas serta kapasitas aparatur pemerintahan daerah terutama di tingkat perdesaan di Kabupaten Bone dan Kabupaten Jeneponto Provinsi Sulawesi Selatan belum siap menyongsong era otonomi daerah saat ini. Kondisi ini
disebabkan antara lain
terutama
kesiapan dari segi kelembagaan, aspek pendanaan, partisipasi masyarakat yang masih rendah, cara kerja yang belum profesional, fasilitas yang terbatas, kualitas sumber daya aparatur yang rendah, kesadaran dan motivasi sumber daya aparatur desa serta kepemimpinan yang masih cenderung hanya reaktif, amatir dan tradisional. Manajemen kepegawaian desa yang belum profesional, sulitnya melakukan pembaharuan, keterampilan administratif manajerial serta kemahiran enterpreneurship aparatur kelembagaan di tingkat desa di Kabupaten Bone dan Kabupaten Jeneponto Provinsi Sulawesi Selatan masih tergolong rendah. Pemahaman tentang visi dan misi pemerintahan desa serta tugas pokok fungsi dan peran aparatur khususnya dalam penyusunan dan pelaksanaan program pembangunan masih belum optimal. Masalahnya masih berkisar pada aspek kultur, struktur dan kelangkaan sumber daya pembangunan. Selain itu faktor komunikasi, kemitraan dan koordinasi antar lembaga juga belum efektif.
10 (2) Faktor eksternal dan global; salah satu faktor yang cukup berpengaruh terhadap peran aparatur
desa dan kecamatan dalam pelaksanaan
pembangunan partisipatif perdesaan di Kabupaten Bone dan Kabupaten Jeneponto Provinsi Sulawesi Selatan ialah faktor eksternal dan global yang dimaksudkan dalam tulisan ini ialah kemampuan aparatur tingkat desa untuk mengakses informasi, menemukan jaringan kerja sama. Pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi yang tepat, serta peran kepemimpinan otoritas daerah di era otonomi daerah relatif masih belum optimal. Kemampuan melakukan sinergi dengan sumber dan potensi pasar global yang keseluruhannya belum memperlihatkan hasil yang memadai. Berdasarkan
uraian
pada latar belakang di atas,
maka
beberapa
pertanyaan yang perlu dijawab dalam permasalahan penelitian sebagai berikut: (1) Faktor-faktor apa yang berhubungan
dengan pembangunan perdesaan
partisipatif, yang dapat meningkatkan kinerja dan kompetensi sumber daya aparatur pemerintahan di tingkat perdesaan dan kecamatan dalam manajemen pemerintahan dan pembangunan perdesaan partisipatif di Kabupaten Bone dan Kabupaten Jeneponto Provinsi Sulawesi Selatan? (2) Bagaimana pembinaan aparatur pemerintah desa dan kepemimpinan yang dapat mengintegrasikan kebijakan pembangunan Top Down dan Bottom Up, untuk mendorong partisipasi dan pemberdayaan masyarakat perdesaan di Kabupaten Bone dan Kabupaten Jeneponto Provinsi Sulawesi Selatan? (3) Bagaimana hubungan antara faktor-faktor yang berpengaruh pada partisipasi masyarakat dalam manajemen
pembangunan perdesaan partisipatif di
Kabupaten Bone dan Kabupaten Jeneponto Provinsi Sulawesi Selatan? (4) Bagaimanakah
respon
masyarakat
terhadap
kebijakan pembangunan
perdesaan partisipatif di Kabupaten Bone dan Kabupaten Jeneponto Provinsi Sulawesi Selatan? (5) Bagaimana kualitas good governance dan strategi pembangunan perdesaan partisipatif untuk menunjang manajemen pemerintahan dan pembangunan perdesaan partisipatif di Kabupaten Bone dan Kabupaten Jeneponto Provinsi Sulawesi Selatan?
11 Tujuan Penelitian Tujuan penulisan disertasi ini secara garis besarnya dibagi menjadi dua tujuan, yaitu: tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan Umum Dihasilkannya suatu alternatif pengembangan peran dalam membangun kompetensi dan kinerja
aparatur pemerintahan desa dalam manajemen
pemerintahan dan pembangunan perdesaan yang partisipatif di Kabupaten Bone dan Kabupaten Jeneponto Provinsi Sulawesi Selatan, sehingga dapat menjadi elemen utama dalam upaya akselerasi pembangunan. Tujuan Khusus (1) Mengidentifikasi
faktor-faktor
yang
berhubungan
dalam
manajemen
pemerintahan dan pembangunan perdesaan partisipatif di Kabupaten Bone dan Kabupaten Jeneponto Provinsi Sulawesi Selatan. (2) Menganalisis pembinaan dan pengembangan aparatur dan kepemimpinan pembangunan perdesaan partisipatif di Kabupaten Bone dan Kabupaten Jeneponto Provinsi Sulawesi Selatan. (3) Menganalisis tingkat keeratan hubungan antara faktor-faktor yang saling terkait
dalam manajemen pemerintahan dan pembangunan perdesaan
partisipatif di Kabupaten Bone dan Kabupaten Jeneponto Provinsi Sulawesi Selatan. (4) Mempelajari aspek koordinasi dan komunikasi tentang penanganan permasalahan pembangunan sesuai respon masyarakat terhadap pengelolaan pembangunan perdesaan partisipatif di Kabupaten Bone dan Kabupaten Jeneponto Provinsi Sulawesi Selatan. (5) Merumuskan strategi manajemen pemerintahan dan pembangunan perdesaan partisipatif di Kabupaten Bone dan Kabupaten Jeneponto Provinsi Sulawesi Selatan.
12 Kegunaan Hasil Penelitian Kegunaan Praktis (1) Menyediakan informasi yang akurat bagi pengambil kebijakan di bidang administrasi pemerintahan dan pembangunan khususnya dalam rangka peningkatan kemampuan profesionalisme aparatur pemerintahan di desa dan kecamatan, serta peningkatan peran aparatur kelembagaan pemerintahan di tingkatan perdesaan yang ideal di Kabupaten Bone dan Kabupaten Jeneponto Provinsi Sulawesi Selatan. (2) Sebagai dasar untuk melakukan upaya revitalisasi mengenai fungsi dan struktur serta sistem dan budaya organisasi pemerintahan desa yang profesional di Kabupaten Bone dan Kabupaten Jeneponto Provinsi Sulawesi Selatan. (3) Menyadarkan
para pihak terkait, khususnya
para “stakeholders”
pembangunan untuk melakukan self correction guna mencapai efisiensi dan peningkatan kemanfaatan dalam setiap pelaksanaan program pembangunan di Kabupaten Bone dan Kabupaten Jeneponto Provinsi Sulawesi Selatan. (4) Sebagai data/dokumen dan acuan dalam mempersiapkan dan melaksanakan penyuluhan
pembangunan
khususnya
dalam
upaya
mengaplikasikan
pendekatan multi disiplin. (5) Memperbaiki substansi kebijakan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan perdesaan partisipatif. (6) Meningkatkan
manfaat
dari
kelembagaan desa dan kecamatan untuk
percepatan pembangunan perdesaan di Kabupaten Bone dan Kabupaten Jeneponto Provinsi Sulawesi Selatan. (7) Membangun sinergi yang lebih efektif lagi di antara semua elemen institusi pemerintahan desa dan kecamatan di Kabupaten Bone dan Kabupaten Jeneponto Provinsi Sulawesi Selatan. (8) Mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di daerah, khususnya pembangunan perdesaan partisipatif Kabupaten Jeneponto Provinsi Sulawesi Selatan.
di Kabupaten Bone dan
13 Kegunaan Normatif dan Teoritis (1) Kajian ini menghasilkan pengembangan Iptek khususnya ilmu-ilmu sosial dan humaniora (2) Menemukan paradigma baru pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. (3) Mempersiapkan data awal untuk kajian dan penelitian selanjutnya (4) Melihat hambatan serta relevansi teori-teori pembangunan kaitannya dengan kebutuhan masyarakat dan tuntutan global. Definisi Istilah Agar lebih mudah memahami substansi kajian tulisan ini, dan untuk membatasi makna dan arti istilah yang digunakan sehingga terarah dan fokus, maka beberapa pengertian istilah perlu diberi pengertian yang sesuai dengan maksud dan tujuan penulisan disertasi ini yaitu: (1)
Peran adalah sesuatu hal yang menentukan suatu proses dalam kegiatan yang dilakukan. Peran dapat menjadi unsur penentu dan dapat juga menjadi faktor bukan penentu dalam kegiatan itu.
(2)
Kelembagaan adalah institusi atau organisasi; baik institusi pemerintah maupun
non pemerintah yang ada di daerah serta norma-norma yang
berlaku di Institusi tersebut dan di tengah-tengah masyarakat yang sangat menentukan keberhasilan pengelolaan pembangunan. (3)
Pengelolaan pembangunan yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah segala macam bentuk upaya
menghimpun potensi sumber daya untuk
kemudian digerakkan melalui birokrasi pemerintahan tingkat desa yang diwujudkan dalam bentuk
kepemimpinan yang partisipatif. Untuk itu
meningkatkan kualitas pelayanan publik, serta pemberdayaan, baik kepada masyarakat maupun kepada aparatur merupakan suatu keharusan. (4)
Perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan monitoring pembangunan adalah aktivitas yang melibatkan segenap stakeholders pembangunan khususnya di tingkat desa untuk bersinergi dalam suatu kolektivitas menuju aktualisasi diri dan kesejahteraan yang merata
14 (5)
Partisipasi masyarakat adalah segala macam bentuk kontribusi masyarakat dalam pengelolaan pembangunan, baik berupa materi, waktu, tenaga dan pemikiran serta kesadaran dan kemauan
kuat yang diharapkan dapat
memicu percepatan pembangunan. (6)
Pembangunan perdesaan adalah upaya
menciptakan suasana melalui
penyiapan fasilitas berupa infrastruktur yang diperlukan oleh seluruh elemen masyarakat desa, baik dalam bentuk fisik, maupun non fisik guna merealisasikan potensi diri manusia menuju peningkatan kesejahteraan. (7)
Paradigma pemerintahan di era otoda berdasar undang-undang dan peraturan pemerintah ialah model
pembagian
kewenangan urusan
pemerintahan antara pusat dan daerah serta hubungan di antara keduanya yang tercermin di dalam undang-undang dan peraturan-peraturan lainnya. (8)
Aspek politik dan kepemimpinan di daerah adalah menyangkut tentang sistem pengkaderan dan rekruitmen SDM di daerah, baik secara formal maupun informal
(9)
Prinsip penataan administrasi desa adalah mencakup upaya-upaya yang rasional, efisien, efektif realistik dan operasional guna menunjang tugas pelayanan publik dan tugas-tugas pembangunan.
(10) Visi,
misi
dan
orientasi pemerintahan desa
menyangkut tentang
optimalisasi partisipasi masyarakat, privatisasi dan profesionalisme serta arah kegiatan untuk mencapai tujuan pembangunan perdesaan. (11) Human Resource Development aparatur
dan
masyarakat
adalah
pengembangan kemampuan dan kapasitas aparatur dan masyarakat yang terkait dengan tingkat pendidikan, pengalaman dan budaya. (12) Profil dan potensi sumber daya desa adalah ciri dan kondisi saat ini mengenai karakteristik sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan serta lingkungan. (13) Prospektif manajemen
pemerintahan dan pembangunan
desa adalah
peluang-peluang perubahan yang mungkin dapat dilakukan sesuai dengan kondisi desa yang bersangkutan, baik berupa manajemen yang diterapkan secara spesifik, maupun penerapan manajemen yang dapat berlaku general,
15 guna mewujudkan optimalisasi sumber daya, birokrasi yang profesional, dan masyarakat madani yang mandiri. (14) Kepemimpinan informal, komunikasi dan penyuluhan merupakan ciri pengendalian pemerintahan di desa yang didominasi oleh suasana kekeluargaan, kekerabatan yang ditandai dengan adanya figur yang sering menjadi sentral pengaruh. (15) Komitmen
Pemerintah
daerah
menyangkut tentang kesadaran
serta
swadaya
masyarakat
adalah
dan kepedulian elit birokrat di tingkat
daerah untuk mewujudkan masyarakat madani untuk saling
percaya
(trust) dalam merealisasikan peran dan fungsi masing-masing. (16) Pendekatan pembangunan dan aspek partisipasi adalah hal yang menyangkut tentang strategi pencapaian tujuan pembangunan dengan memberdayakan masyarakat melalui bantuan modal, pelatihan, pemberian kemudahan
dalam
mengakses
informasi,
penciptaan
kesempatan,
kemampuan dan kemauan bagi masyarakat agar dia bisa berdaya. (17) Pola pengembangan kompetensi aparatur adalah cara yang selama ini ditempuh untuk
meningkatkan
kemampuan
dan
profesionalisme
aparatur, atau mendapatkan SDM (sumber daya manusia) aparatur yang kafabel, akseptabel dan kompatibel melalui sistem rekruitmen yang tepat, pelatihan penjenjangan karir, magang, studi banding dan sebagainya. (18) Perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian program pembangunan yang partisipatif di desa adalah salah satu ciri dari otonomi desa yang nyata, luas, dan bertanggungjawab yang ditopang oleh pelaksana dan penggerak pembangunan yang kompeten. (19) Kelembagaan desa adalah semua institusi yang ada di desa baik institusi pemerintah maupun swasta yang memiliki karakteristik personil yang punya kriteria yang memadai untuk pelaksanaan tugas pokok fungsinya. (20) Desa adalah
kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas
wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang
16 diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. (21) Otonomi daerah adalah hak, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (22) Lembaga non pemerintahan di desa yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah organisasi non institusi pemerintah desa yang turut berperan dalam penyelenggaran pemerintahan dan pembangunan seperti LSM, Koperasi, perusahaan atau badan usaha milik swasta. (23) Good Governance adalah kepemerintahan yang baik yang dicirikan oleh; akuntabilitas, Transparency, keterbukaan, supremasi hukum dan lain-lain. (24) Stakeholders pembangunan adalah merupakan orang atau kelompok orang dengan suatu kepentingan atau perhatian pada permasalahan pembangunan. (25) Istilah Bottom Up yang digunakan dalam disertasi ini adalah suatu strategi pendekatan pembangunan dari bawah sejak dari perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan yang pada prinsipnya selalu didasari oleh aspirasi, kebutuhan dan kepentingan dari bawah. (26) Istilah Top Down yang digunakan dalam disertasi ini adalah suatu strategi pendekatan pembangunan yang didasari oleh kebijakan dari atas, pembangunan yang senantiasa
mengandalkan konsep
dan aplikasinya
berupa cetak biru dari pemerintah pusat. (27) Trust
adalah
saling
keterpercayaan di antara Stakeholders dalam
melaksanakan pembangunan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. (28) Kompatibilitas adalah posisi dan peran pemerintahan di tingkat daerah dan desa yang melaksanakan tugas pokok fungsinya berupa kemampuan mengakomodasikan kebijakan dari
pemerintah tingkat atasnya maupun
tuntutan dari masyarakat, para pengikut dan pendukungnya. (29) Kearifan merupakan
lokal (local wisdom) adalah suatu sistem nilai budaya yang kekhususan sumber daya daerah/desa dalam pelaksanaan
pembangunan dan pemerintahan.
17 (30) Social capital adalah modal sosial berupa budaya kerja keras, motivasi dan organisasi atau kelompok dan saling keterpercayaan yang berkembang di tengah mayarakat. (31) Kebijakan pemberdayaan masyarakat adalah pelaksanaan berbagai macam program pembangunan serta aturan dalam pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan di tingkat perdesaan. (32) Kepedulian dan kepekaan adalah menyangkut tentang aspek moral, kesadaran akan tanggung jawab terhadap tugas, hak dan kewajiban baik bagi aparatur maupun bagi masyarakat. (33) Partisipasi stakeholders
adalah tingkat sinergitas pada semua elemen
pemangku kepentingan pembangunan. (34) Motivasi berprestasi adalah keinginan untuk berkembang dalam meniti karir kepegawaian dan kesejahteraan, kepuasan kerja menuju aktualisasi diri bagi aparatur maupun warga masyarakat. (35) Optimalisasi sumber daya adalah wujud kinerja birokrasi yang profesional yang menunjukkan bahwa semua potensi pembangunan memberikan manfaat langsung kepada seluruh elemen masyarakat, yang berlangsung secara rutin dan alamiah karena disokong oleh aparatur yang berkualitas, proaktif, dan masyarakat yang memiliki kemampuan swakelola, swadaya, swasembada dan lain-lain. (36) Pembangunan
berdasar
partisipatif
adalah
pembangunan
yang
mengoptimalkan fungsi dan peran semua elemen stakeholders, sejak tahapan awal perencanaan, pelaksanaan, pengawasan sampai kepada pencapaian hasil, pemanfaatan, pelestarian dan keberlanjutannya. (37) Aparatur pemerintahan adalah pegawai negeri sipil atau non pegawai negeri sipil yang memangku tugas dan jabatan untuk menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan dan pelayanan kepada publik yaitu aparatur desa
yang
terdiri
dari:
Kepala
Desa,
Sekretaris
Desa,
Badan
permusyawaratan Desa, Kepala Urusan dan Kepala Dusun, dan aparatur kecamatan yang terdiri dari: Camat, Sekretaris Kecamatan, Kasubag, Kepala Seksi dan Bendahara ditambah dengan tenaga honorer.
18 (38) Strategi dalam pengertian untuk membangun manajemen pemerintahan dan pembangunan perdesaan partisipatif adalah seperangkat instrumen yang menjadi cara melalui suatu tahapan yang ditempuh untuk mencapai suatu tujuan berdasarkan suatu visi dan misi yang jelas. (39) Kepemimpinan aparatur pemerintahan adalah merupakan rangkaian penataan berupa kemampuan mempengaruhi perilaku orang lain dalam situasi tertentu agar bersedia bekerja sama untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. (40) Persepsi adalah pengertian, pemahaman dan pendapat anggota masyarakat dan aparatur mengenai persoalan tertentu dalam manajemen pemerintahan dan pembangunan. (41) Manajemen strategi adalah langkah-langkah yang diperlukan dalam suatu proses untuk menetapkan berbagai pilihan-pilihan terbaik dari sejumlah pilihan-pilihan yang ada secara lebih tepat dan menguntungkan atas peng gunaan berbagai potensi sumber daya yang ada. (42) Pembangunan perdesaan partisipatif adalah pembangunan yang dirancang sejak awal dari kalangan masyarakat perdesaan berdasarkan kemauan, kemampuan, kebutuhan dan aspirasi dari bawah untuk memanfaatkan seluruh potensi sumber daya dengan pelaku utamanya adalah masyarakat perdesaan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, evaluasi dan pelestariannya, pemerintah hanyalah sebagai fasilitator.