PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dalam upaya menjadikan subsektor peternakan sebagai pendorong kemandirian pertanian Nasional, dibutuhkan terobosan pengembangan sistem peternakan. Dalam percepatan penciptaan bibit unggul ternak, aplikasi bioteknologi reproduksi pada taraf rekayasa proses dan rekayasa genetik seperti MOET (Multiple Ovulations and Embryo Transfer), IVF (In vitro Fertilization), transfer inti (nuclear transfer) menjadi pilihan strategis yang tepat. Setelah tiga dasawarsa aplikasi IB dan satu dasawarsa aplikasi TE di Indonesia, teknologi ini telah memberikan sumbangan yang cukup berarti bagi peningkatan populasi dan genetik ternak sapi Nasional, meskipun belum maksimal. Khususnya dalam aplikasi Transfer Embrio (TE) senantiasa dilakukan pengkajian dan penelitian untuk penyempurnaan di masa datang. Dalam kegiatan Transfer Embrio masih terus dikembangkan metode produksi embrio maupun transfer embrio untuk efisiensi produksi bibit unggul, khususnya pada sapi. Ternak sapi secara alami hanya dapat menghasilkan anak sekitar 6-8 ekor sepanjang hidupnya, meskipun sebenarnya memiliki puluhan ribu potensi oosit. Toelihere (1985) menyebutkan bahwa dalam ovarium sapi terdapat sekitar 140.000 oosit sampai sapi mencapai umur empat sampai enam tahun dan kemudian jumlahnya menurun sampai 25.000 pada umur 10 sampai 14 tahun dan mendekati nol pada umur 20 tahun. Potensi oosit sapi yang cukup banyak tersebut dapat dioptimalkan dengan introduksi bioteknologi reproduksi
antara lain melalui superovulasi (SOV),
sehingga sapi unggul dapat menghasilkan anak jauh lebih banyak semasa hidupnya. Superovulasi adalah upaya stimulasi perkembangan folikel dan induksi ovulasi ganda dengan penggunaan hormonal seperti gonadotropin. Dalam pelaksanaannya sampai saat ini, proses produksi embrio melalui superovulasi pada sapi donor, masih menghadapi beberapa kendala antara lain: bervariasinya respon donor terhadap perlakuan superovulasi dan
perolehan
embrio yang belum maksimal. Demikian juga permasalahan tingginya tingkat
kerusakan embrio (degeneratif) dan jumlah oosit yang tidak terbuahi (unfertilized), merupakan fokus penting yang harus diatasi. Masalah tersebut diatas, secara ekonomis akan meningkatkan biaya produksi per satuan embrio. Hal ini dapat menjadi kendala dalam penerapan teknologi transfer embrio, sehingga prospek agribisnis transfer embrio dapat terkendala. Disisi lain respon peternak cukup tinggi terhadap ternak hasil transfer embrio karena telah terbukti keunggulannya baik produksi susu (sapi perah) maupun bobot badan (sapi potong). Dalam upaya meningkatkan efisiensi proses produksi embrio in vivo, maka dilakukan penyempurnaan dari metode superovulasi konvensional kepada metode superovulasi yang lebih maju melalui pengkajian terhadap: model aplikasi gonadotropin, sinkronisasi gelombang folikel melalui eliminasi folikel dominan, sinkronisasi ovulasi menyertai sinkronisasi gelombang folikel. Kerangka Pemikiran Pada proses produksi embrio secara in vivo, sapi donor merupakan “mesin produksi” yang sangat penting. Karena itu kondisi donor harus senantiasa prima dengan didukung oleh kesehatan dan nutrisi yang baik. Pengenalan siklus ovari ternak donor secara cermat sangat menentukan keberhasilan kegiatan superovulasi untuk menghasilkan embrio.
Pengenalan
siklus ovari yang dimaksud meliputi pengenalan gelombang pertumbuhan folikel (dinamika folikel),
deteksi keberadaan folikel dominan, deteksi keberadaan
korpus luteum, pola ovulasi ganda dan deteksi birahi. Proses pertumbuhan folikel meliputi tahap rekrutmen folikel primordial, seleksi folikel dan terbentuk folikel dominan (Johnson & Everit 1995). Dengan pemahanan hal diatas maka dapat dilakukan aplikasi hormonal (GnRH dan atau gonadotropin) secara tepat untuk tujuan superovulasi dan sinkronisasi ovulasi agar respon ovarium dan perolehan embrio meningkat. Pertumbuhan folikel pada sapi dapat terdiri dari 2 atau 3 gelombang (follicular waves). Superovulasi akan efektif jika dilakukan pada awal perkembangan folikel (saat muncul gelombang folikel) yang mempunyai sensitifitas terhadap hormon gonadotropin (Lucy et al. 1992; Rocha 2005;
Sato et al. 2005). Pada saat tersebut, sejumlah folikel dapat tumbuh sampai mencapai folikel dominan setelah distimulasi dengan hormon gonadotropin, dan akan lebih efektif jika terlebih dahulu disertai dengan penghilangan (eliminasi) folikel dominan.
Dalam keadaan normal pada setiap gelombang folikel, ada
sebuah folikel yang akan menjadi folikel dominan. Folikel dominan tersebut menghasilkan inhibin yang mempunyai efek menekan pertumbuhan folikel-folikel lain serta menghalangi kemunculan gelombang folikel. Dalam kegiatan superovulasi, dimana dikehendaki lebih banyak folikel yang berkembang, maka folikel dominan tersebut harus dieliminasi baik secara mekanis maupun hormonal, untuk selanjutnya diikuti kemunculan gelombang folikel, yang merupakan saat terbaik dimulai superovulasi untuk mendapatkan hasil yang maksimal (Rocha 2005). Dalam kegiatan superovulasi, penggunaan hormon gonadotropin eksogen berfungsi
untuk
meningkatkan
stimulasi
pertumbuhan
folikel.
Aplikasi
gonadotropin yang tepat baik lama waktu, dosis, jenisnya akan mempengaruhi respon donor dan perolehan embrio. Waktu optimal aplikasi gonadotropin akan memberikan hasil yang maksimal, efisiensi waktu, tenaga, biaya dan penggunaan donor. Induksi gonadotropin menyebabkan sejumlah folikel akan berkembang menjadi dominan dalam waktu yang hampir bersamaan. Semua folikel dominan tersebut semestinya mengalami ovulasi dalam rentang waktu yang hampir bersamaan.
Namun
pada
banyak
donor
ditemukan
kegagalan
ovulasi
(anovulation) dari beberapa folikel–folikel dominan atau waktu ovulasi yang relatif tidak serentak (Putro 1996). Kegagalan ovulasi dan proses ovulasi yang tidak serentak dapat menurunkan jumlah dan kualitas embrio (Saito 1997). Solusi dari permasalahan diatas, dalam penelitian ini disamping penggunaan hormon gonadotropin (FSH-LH) terutama untuk menstimulasi pertumbuhan folikel, juga dilakukan sinkronisasi gelombang folikel dan sinkronisasi ovulasi dengan pemberian GnRH. Demikian juga keberadaan korpus luteum (CL) yang menghasilkan progesteron dieliminasi dengan penyuntikan PGF2α, sehingga dengan lisisnya CL akan terjadi penurunan kadar progesteron (Senger 1999). Dengan
rendahnya
kadar
progesteron,
maka
mekanisme
penghambatan
gonadotropin oleh progesteron akan dihilangkan, sehingga gonadotropin endogen dikeluarkan terutama pelepasan LH sebagai induktor ovulasi.
Hipotesis Hipotesa terhadap hasil penelitian, adalah sebagai berikut : 1. Perbedaan lama aplikasi gonadotropin akan memberikan pengaruh terhadap tingkat respon ovarium dan perolehan embrio. 2. Sinkronisasi gelombang folikel akan mempengaruhi respon ovarium dan perolehan embrio pada perlakuan superovulasi. 3. Sinkronisasi
ovulasi
menyertai
sinkronisasi
gelombang
folikel
pada
superovulasi akan lebih mempengaruhi jumlah perolehan embrio yang layak transfer. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Mengkaji pengaruh lama aplikasi gonadotropin terhadap tingkat respon ovarium dan perolehan embrio. 2. Mengkaji pengaruh sinkronisasi gelombang folikel terhadap tingkat respon ovarium dan perolehan embrio. 3. Mengkaji pengaruh sinkronisasi gelombang folikel dan ovulasi terhadap jumlah perolehan embrio terutama embrio yang layak transfer. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Sebagai bahan masukan dan penyempurnaan dalam proses produksi embrio in vivo pada sapi donor khususnya di Balai Embrio Ternak Cipelang-Bogor dan umumnya di Indonesia. 2. Sebagai upaya menuju efisiensi produksi embrio in vivo dan efisiensi reproduksi ternak sapi donor.
3. Sebagai penyempurnaan aplikasi bioteknologi dalam terobosan percepatan produksi bibit unggul ternak, untuk mendorong peningkatan populasi ternak Nasional.