PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia adalah negara yang kaya dengan wilayah yang luas, jumlah penduduk yang besar, dan sumberdaya alam yang melimpah. Namun dengan ketiga potensi yang dimilikinya tersebut, ternyata tidak membuat Indonesia menjadi sebuah negara yang maju. Sementara itu, negara tetangga seperti Singapura yang tidak memiliki karakteristik tersebut justru menjadi salah satu negara yang sangat maju di dunia. Hal tersebut menjadi bukti bahwa kemajuan suatu bangsa bukan ditentukan oleh kekayaan sumber daya alam yang dimilikinya, melainkan oleh sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas. Salah satu sumberdaya manusia yang penting dalam pembangunan nasional adalah generasi muda. Generasi muda, yang diantaranya adalah para remaja, merupakan suatu generasi estafet pembaharu yang merupakan kader pembangunan yang sifatnya masih potensial sehingga perlu dibina dan dikembangkan secara terarah dan berkelanjutan agar menjadi SDM yang unggul, cerdas, terampil, menguasai IPTEK dengan baik, beriman, serta mandiri. Pentingnya para remaja bagi suatu bangsa diungkapkan juga oleh Thomas Lickona (1991) dalam sepuluh tanda-tanda suatu bangsa yang sedang menuju jurang kehancuran. Tanda-tanda tersebut diantaranya adalah: (1) meningkatnya kekerasan di kalangan remaja, (2) penggunaan bahasa dan kata-kata yang buruk, (3) pengaruh peer group yang kuat dalam tindak kekerasan, (4) meningkatnya perilaku merusak diri, seperti penggunaan narkoba, alkohol dan seks bebas, (5) semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk, (6) menurunnya etos kerja, (7) semakin rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru, (8) rendahnya rasa tanggung jawab individu dan warga negara, (9) membudayanya ketidakjujuran, dan (10) adanya rasa saling curiga dan kebencian diantara sesama. Uraian tersebut menunjukkan bahwa kualitas remaja merupakan salah satu faktor penting dalam memajukan suatu bangsa. Oleh karenanya, sangat penting untuk membentuk remaja yang tidak hanya memiliki kualitas kecerdasan kognitif yang baik, tapi yang jauh lebih penting adalah kualitas dari karakternya.
2
Kenyataan yang terjadi di Indonesia adalah, para remaja justru menunjukkan permasalahan yang semakin serius di berbagai bidang, khususnya di bidang sosial, budaya, dan moral. Beberapa contoh masalah sosial yang terjadi pada remaja diantaranya, banyak yang melakukan kenakalan kriminal, terlibat dalam pergaulan bebas dan asusila. Sementara dalam masalah budaya, terlihat sosok remaja saat ini mulai kehilangan identitas dirinya sebagai orang timur dan lebih banyak terpengaruh budaya barat yang cenderung bebas. Selain itu, juga ada masalah degradasi moral yang semakin mengkhawatirkan seperti kurang menghormati orang lain, tidak jujur, sampai ke usaha menyakiti diri dengan memakai narkoba, mabuk-mabukkan dan bunuh diri (Puspitawati 2009). Satu kasus yang juga sering terjadi di kalangan remaja namun masih kurang mendapatkan perhatian adalah kasus bullying di sekolah. Bullying adalah kasus yang telah mendunia, dan mungkin merupakan tipe kekerasan di sekolah yang paling umum. Penelitian yang dilakukan di berbagai negara terhadap siswa berusia 8 hingga 16 tahun menunjukkan bahwa 8 hingga 38 persen siswa adalah korban bully (McEachern et al. 2005). Sementara itu, Swearer dan Doll (2001) mengungkapkan angka kejadian dunia untuk bullying pada remaja di sekolah adalah sekitar 10 persen siswa SMP hingga 27 persen siswa SMA tercatat sering mengalami bully. Penelitian terhadap anak usia 11 hingga 16 tahun di Spanyol, terdapat 25 persen anak yang mengaku melakukan bully pada teman-teman mereka, disampaikan juga bahwa laki-laki lebih agresif dan lebih banyak terlibat dalam perilaku bullying daripada perempuan (McEachern et al. 2005). Di Indonesia sendiri, berdasarkan hasil penelitian LSM Sejiwa terhadap lebih dari 1.300 orang pelajar dan guru di Yogyakarta, Surabaya dan Jakarta, menunjukkan bahwa di setiap sekolah pasti ada kasus bullying mulai dari yang ringan hingga berat (Sejiwa 2010). Fenomena kekerasan di sekolah yang dilakukan oleh teman sebaya di Indonesia semakin lama semakin banyak bermunculan. Tentunya masih jelas dalam ingatan, peristiwa yang terjadi di IPDN (Institut Pemerintahan Dalam Negeri) dengan klimaks meninggalnya seorang Praja akibat dianiaya oleh seniornya di lingkungan kampus, kemudian kasus seorang siswi SLTP di Bekasi yang gantung diri karena tidak kuat menerima ejekan dari teman-temannya
3
sebagai anak tukang bubur, atau bahkan aksi Genk Nero dari Pati yang terdiri dari kumpulan anak-anak perempuan yang melakukan kekerasan terhadap adik kelas atau siapa saja yang berani mengusik geng mereka (Suseno 2009). Ini adalah sedikit dari kasus bullying yang diberitakan di media dan ironisnya, peristiwa ini justru terjadi di lingkungan pendidikan. Namun, tentu saja masih banyak kasus bullying lain yang terjadi di lingkungan pendidikan dan patut untuk diwaspadai. Beberapa contoh kasus bullying yang menjurus pada aksi kekerasan seperti yang disebutkan di atas mengindikasikan rendahnya kualitas karakter dari remaja saat ini. Lickona (2004) menyatakan bahwa perilaku bullying dapat timbul akibat dari kurangnya rasa hormat dan empati di antara sesama. Sementara itu, dari beberapa karakteristik pelaku bullying yang diungkapkan oleh Olweus (2003) juga terdapat ciri bahwa pelaku bullying kurang memiliki rasa empati, selain juga memiliki sikap positif terhadap kekerasan, impulsif, dan ingin mendominasi orang lain. Hal tersebut menunjukkan bahwa perilaku bullying memiliki hubungan dengan karakter seseorang, terutama karakter hormat santun dan empati. Hormat santun dan empati adalah contoh dari karakter positif yang sangat penting untuk dimiliki oleh setiap orang. Lickona (1991) menyebutkan bahwa rasa hormat merupakan satu dari “two great moral values”, yaitu sebuah moralitas umum yang menjadi inti dari kehidupan bermasyarakat, terutama pada masyarakat plural. Sementara itu, menurut Hoffman dalam Goleman (2009) empati merupakan akar dari moralitas. Jika seseorang memiliki kemampuan untuk merasakan apa yang dirasakan orang lain maka ia akan memperlakukan orang lain dengan hormat dan santun selayaknya sesama manusia. Oleh karena itu sangat penting bagi orang tua untuk menumbuhkan sikap hormat santun dan empati terhadap sesama kepada anak-anak mereka sehingga mereka tidak ingin melakukan perbuatan yang dapat menyakiti orang lain seperti bullying. Satu hal yang perlu diingat, masa remaja merupakan masa transisi dari kanak-kanak menjadi orang dewasa. Pada masa ini, remaja mengalami proses pencarian jati diri dimana mereka harus belajar untuk tidak lagi bergantung sepenuhnya kepada orang tua. Oleh karena itu, mereka lebih banyak menghabiskan waktunya bersama dengan teman-teman sebaya mereka daripada bersama keluarga. Hal ini disebabkan oleh kebutuhan yang kuat dari remaja untuk
4
disukai dan diterima teman sebaya atau kelompok. Dalam hubungan pertemanan, remaja akan merasa senang apabila diterima dan sebaliknya akan merasa sangat tertekan dan cemas apabila dikeluarkan dan diremehkan oleh teman-temannya. Hal ini yang membuat kebanyakan remaja akan melakukan apa saja agar bisa diterima oleh teman-temannya, karena bagi remaja pandangan teman terhadap dirinya merupakan hal yang paling penting (Santrock 2007). Teori Ecological Model of Child Development oleh Bronfenbrenner (1981) juga menggolongkan peer group termasuk ke dalam lingkungan mikro yang memiliki pengaruh langsung pada anak. Pengaruh peer group yang kuat pada remaja dapat ditunjukkan dari hasil penelitian Garnier dan Stein (2002) tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kenakalan remaja, bahwa faktor yang paling kuat dalam masalah narkoba dan kenakalan remaja adalah peer group dari remaja tersebut. Sementara itu Sullivan (2000) juga menyatakan bahwa peer group adalah salah satu faktor eksternal yang dapat menyebabkan perilaku bullying, selain gaya pengasuhan orang tua, kejadian di dalam kehidupan, dan iklim sosial sekolah. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, banyaknya kasus bullying yang terjadi di sekolah dan hubungannya dengan karakter hormat santun juga empati remaja, serta peran peer group yang cukup kuat dalam perilaku bullying maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang menganalisis perilaku bullying dan karakter remaja serta hubungannya dengan keterikatan peer group. Kota Bogor dipilih sebagai lokasi penelitian mengingat Kota Bogor merupakan daerah penyangga ibukota dengan kehidupan remaja yang cukup beragam. Penelitian dengan membandingkan dua jenis latar belakang sekolah yang berbeda dilakukan dalam penelitian ini untuk melihat perbedaan keragaan variabel pada kedua jenis sekolah yang berbeda.
Perumusan Masalah Saat ini Bangsa Indonesia tengah mengalami patologi sosial yang cukup kronis. Sebagian pelajar dan masyarakat telah tercerabut dari peradaban ketimurannya yang beradab, santun, dan religius. Hal ini merupakan salah satu akibat dari pengadopsian pengaruh peradaban barat tanpa seleksi yang matang (Sulistyarini 2008). Terbukti dengan semakin maraknya kasus tawuran antar
5
pelajar, kasus-kasus narkoba yang tidak jarang pemakainya juga masih menyandang status pelajar. Selain itu dapat juga dilihat dari fenomena anak yang tidak lagi memiliki sopan santun pada orang tua, bahkan yang lebih parah lagi ada anak yang berani membunuh orang tuanya sendiri (Dhamas 2009). Fenomena tersebut menyebabkan masyarakat semakin menyadari pentingnya penanaman karakter positif pada para remaja saat ini. Thomas Lickona (1991) dalam “Ten Big Ideas” menyatakan bahwa hormat adalah kunci utama manusia untuk dapat hidup bermasyarakat terutama dalam masyarakat yang plural. Rasa hormat harus diberikan baik kepada diri sendiri, sesama manusia, maupun lingkungan. Hormat kepada diri sendiri merupakan upaya menjaga diri agar tidak terlibat dalam perilaku merusak diri, sedangkan menghormati sesama manusia dilakukan dengan cara tidak menyakiti orang lain baik fisik atau emosinya (Megawangi 2004). Selain rasa hormat, karakter yang juga tidak kalah penting ditanamkan oleh orang tua kepada anaknya adalah rasa empati. Martin Hoffman, seorang peneliti empati berpendapat bahwa akar dari moralitas ada dalam empati, sebab dengan berempati dan ikut merasakan kemalangan orang lain akan mendorong orang untuk bertindak memberi bantuan. Pemahaman empati pada masa remaja dapat mendorong keyakinan moral yang berpusat pada kemauan untuk meringankan kesusahan dan ketidakadilan (Goleman 2009). Kasus bullying adalah contoh dari perilaku remaja yang kurang memiliki sikap hormat santun dan empati kepada sesama, seperti yang terlihat pada hasil penelitian Andina (2004) dan Chairani (2005) bahwa pemicu utama dari perilaku bullying adalah pelaku (senior) berpendapat bahwa korban (junior) bersikap tidak hormat dan tidak sopan pada mereka, selain itu alasan lainnya adalah karena adanya tradisi dan siklus perilaku bullying di sekolah tersebut. Hal tersebut menunjukkan bahwa para pelaku juga merupakan korban bullying dari senior mereka terdahulu. Melihat siklus yang berulang ini tercermin bahwa baik pelaku maupun korban menunjukkan kurangnya sikap hormat dan santun karena para pelaku pun sebelumnya merupakan korban bullying yang dianggap tidak hormat pada seniornya. Selain itu, para pelaku juga menunjukkan rendahnya rasa empati dalam diri mereka, karena meskipun pelaku pernah merasakan menjadi korban
6
sebelumnya, namun mereka tetap melakukan bullying terhadap juniornya. Hal ini sejalan dengan Lickona (2004) yang mengungkapkan bahwa perilaku bullying terjadi karena rendahnya rasa hormat dan empati di antara sesama. Penelitian Chairani (2005) juga menunjukkan bahwa tindakan bullying biasanya dilakukan secara kolektif oleh beberapa orang. Lagerspetz et al dalam Chairani (2005) juga menyebutkan ada dua ciri penting bullying pada pelajar, yaitu bahwa bullying dilakukan secara berkelompok dan terjadi berdasarkan pada hubungan sosial dalam kelompok. Oleh karenanya, dapat disimpulkan bahwa peer group juga memiliki yang peranan penting dalam perilaku bullying. Penelitian Lembaga Pratista Indonesia terhadap siswa SD, SLTP, SLTA di dua kecamatan di Bogor menemukan bahwa semakin tinggi jenjang sekolah, semakin tinggi persentase siswa yang mengalami bullying dari teman di lingkungan sekolahnya (Hartiningsih 2009). Sejalan dengan hasil penelitian Yayasan Semai Jiwa Amini (Sejiwa) terhadap sekitar 1200 pelajar di Jakarta, Yogyakarta dan Surabaya pada tahun 2008, dimana kasus bullying yang terjadi di SMA sebesar 67,9 persen sedangkan di SMP sebesar 66,1 persen. Kekerasan di tingkat SMA terbanyak terjadi di Jakarta (72,7%), kemudian diikuti Surabaya (67,2%) dan terakhir Yogyakarta (63,8%). Penelitian lain juga dilakukan oleh Plan Indonesia tentang perilaku kekerasan di sekolah. Mereka melakukan survei di Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, dan Bogor, dengan melibatkan 1.500 siswa SMA dan 75 guru. Hasil yang diperoleh adalah sebesar 67,9 persen siswa menganggap terjadi kekerasan di sekolah yang berupa kekerasan verbal, psikologis, dan fisik. Pelaku kekerasan tersebut pada umumnya adalah teman, kakak kelas, adik kelas, guru, kepala sekolah, dan preman di sekitar sekolah. Sementara itu, sebesar 27,9 persen siswa mengaku ikut melakukan kekerasan dan 25,4 persen siswa mengambil sikap diam saat melihat terjadi kekerasan (Kompas 2011). Penelitian Puspitawati (2009) menemukan bahwa para pelajar Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di Kota Bogor lebih sering terlibat dalam perkelahian pelajar dan permasalahan dibandingkan pelajar SMA. Beberapa permasalahan yang sering dilakukan para pelajar SMK ini diantaranya adalah membolos, minggat dari rumah, menyelewengkan uang SPP, mogok sekolah, memalak
7
dengan ancaman, berjudi, membawa senjata tajam, perkelahian dan tawuran antar siswa, merusak sarana umum, mabuk-mabukkan, narkoba serta menganiaya guru. Fenomena tersebut menunjukkan adanya perbedaan perilaku antisosial yang terjadi pada remaja di SMK dan SMA. Olweus (2003) mengatakan bahwa tahap remaja merupakan awal berkembangnya perilaku bullying dan dapat dijadikan prediktor perilaku bullying di masa dewasa, oleh karenanya penting untuk mendeteksi kecenderungan remaja terhadap perilaku bullying sehingga dapat segera dilakukan tindakan pencegahan. Berdasarkan pemaparan tersebut, penelitian ini dilakukan untuk menjawab pertanyaan: 1. Bagaimanakah karakteristik peer group dan keterikatan remaja dengan peer group pada SMK di Kota Bogor? 2. Bagaimanakah karakter (hormat santun dan empati) remaja pada SMK di Kota Bogor? 3. Bagaimanakah perilaku bullying remaja pada SMK di Kota Bogor? 4. Apakah ada hubungan antara perilaku bullying, karakter dan keterikatan dengan peer group pada remaja SMK?
Tujuan Penelitian Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan karakteristik keluarga dan peer group dengan karakter dan perilaku bullying pada remaja yang mengambil lokasi di SMK negeri dan swasta di Kota Bogor. Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengidentifikasi karakteristik keluarga, remaja dan peer group pada remaja laki-laki dan perempuan di dua SMK yang berbeda 2. Mengidentifikasi karakter (hormat santun dan empati) pada remaja lakilaki dan perempuan di dua SMK yang berbeda 3. Mengidentifikasi perilaku bullying pada remaja laki-laki dan perempuan di dua SMK yang berbeda 4. Menganalisis hubungan antara karakteristik keluarga, remaja, dan peer group dengan karakter dan perilaku bullying pada remaja SMK
8
Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan orang tua akan pentingnya menanamkan karakter hormat dan santun serta empati kepada anak-anaknya sejak sedini mungkin agar dapat menghindari perilaku buruk seperti melakukan bullying. Khusus bagi sekolah, sebagai sebuah sarana pendidikan formal, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan untuk melakukan upaya penghilangan serta pencegahan kasus bullying yang sering terjadi di lingkungan sekolah. Bagi pengembangan bidang keilmuan sendiri, penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan serta acuan untuk penelitianpenelitian karakter remaja serta perilaku bullying di masa yang akan datang.