PENDAHULUAN Latar Belakang Televisi sebagai salah satu media massa yang menayangkan gambar bergerak dan suara sudah menyatu dengan kehidupan masyarakat sehari-hari. Masing-masing keluarga minimal mempunyai satu pesawat televisi yang dimanfaatkan setiap hari, khususnya masyarakat yang tinggal di daerah perkotaan. Masyarakat paling banyak menonton televisi saat prime-time. Hidup tanpa pesawat televisi seolah-olah ada yang kurang karena kebutuhan masyarakat, bahkan dianggap sebagai
sudah menjadi
orangtua kedua bagi anak-
anak dan guru bagi penontonnya. Televisi sebagai kebutuhan masyarakat, penggunaannyapun mengalami peningkatan baik dari kuantitas maupun kualitas menonton. Isi tayangan televisipun semakin bervariasi mulai dari berita, hiburan, dan iklan. Masyarakat menggunakan televisi sesuai dengan waktu yang
mereka miliki baik secara
bersama-sama maupun sendirian. Pada umumnya semakin banyak waktu luang maka semakin banyak peluang menonton televisi. Mencernati perkembangan televisi dalam beberapa tahun ini makin terasa bahwa siaran televisi tidak cukup mampu menghasilkan isi siaran yang sopan, bermartabat, dan menghibur secara sehat serta aman bagi anak dan remaja. Seperti yang dikemukakan Peea (2008) dalam sidang disertasi Fakultas Ilmu Budaya UI pada tanggal 6 Maret 2008
mengenai
tayangan iklan
“Demi
kepentingan mencari pangsa pasar tak jarang iklan berubah menjadi
media
disinformasi, manipulasi, dan dominasi yang mengandung bias serta cenderung memberikan pemahaman yang keliru mengenai produk yang sebenarnya”. Demikian juga tayangan sinetron, sebagian besar menayangkan tema yang berbentuk kekerasan, kehidupan yang glamor, mistis, pergaulan remaja yang kurang baik, seperti hamil di luar nikah, sekolah yang dijadikan lokasi perkelahian, penjualan narkoba, pergaulan bebas, melawan orangtua
dan
sebagainya. Astututi dan Nina MA (2007) menyampaikan hasil penelitian YPMA dan 18 Perguruan Tinggi dalam seminar di Universitas Paramadina tanggal 20 Juli 2007, bahwa bentuk kekerasan yang ditayangkan dalam sinetron 41,05 % adalah kekerasan psikologis, 25,14 % kekerasan fisik dan 10,97 %, kekerasan relasional. Mengenai pelaku kekerasan cenderung diperankan oleh laki-laki dan
1
korban kekerasan oleh kaum perempuan dan korban kekerasan psikologis yang terbanyak adalah perempuan, yaitu 39 %. Usia pelaku kekerasan dan korban kekerasan diperankan remaja, masing-masing 51 % dan 65 %. Selain hasil penelitian mengenai muatan isi sinetron, beberapa pendapat juga mengatakan bahwa sinetron
kurang
mendidik, membodohi dan tidak
masuk akal khususnya bagi kaum perempuan. Seperti yang diungkapkan Meutia, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Myra Diarsi, aktivis perempuan, di Kompas tanggal 27 Agustus 2007, bahwa sinetron mengajarkan kepada anak bangsa kejahatan, kejudesan, dan perilaku licik. Banyak tayangan sinetron yang justru membodohi penonton dan tidak memberdayakan perempuan. Tayangantayangan sinetron telah melebihi titik penerimaan tayangan sinetron
dan toleransi nalar. Isi
sama sekali tidak masuk akal dan penuh pembodohan.
Perilaku penonton dalam menonton televisi tanpa preferensi kuat mengenai program yang dipilih. Hasil penelitian dan pendapat tersebut menandakan bahwa tayangan televisi masih banyak yang kurang mendidik masyarakat dan hal tersebut dapat berdampak negatif kepada penontonnya. Jika masyarakat sudah paham dan mengetahui bagaimana televisi memproduksi tayangannya yang
mempunyai
dampak negatif dan positif maka tayangan-tayangan tersebut tidak perlu dipersoalkan. Artinya masyarakat sudah mampu memilah-milah tayangan mana yang baik dan tidak baik untuk ditonton, tayangan mana yang mendidik dan tidak mendidik, serta masyarakat mampu melakukan penilaian dan tidak mudah terkena pengaruh negatifnya. Mengenai sasaran yang menonton televisi dan penonton sinetron, YPMA bersama 18 perguruan tinggi mengungkapkan bahwa ada 11 stasiun televisi yang bersiaran secara nasional yang dapat ditangkap oleh sekitar 40 juta rumah tangga yang memiliki televisi di Indonesia. Tayangan sinetron menonjol ditonton dan cukup tinggi frekuensinya. Hal ini mencerminkan bahwa masyarakat menyukai sinetron. AGB Nielsen Media Research yang meneliti 20 program acara televisi yang top, pada tanggal 03 s.d 09 Pebruari 2008, delapan diantaranya adalah sinetron. Sinetron menempati rating teratas, yaitu
Azizah
yang diikuti oleh sinetron Cinta Bunga, Cahaya, Suci, Namaku Mentari. Cinta Indah dan Kasih.. Hal ini menunjukkan bahwa
penggemar dan penonton
sinetron semakin meningkat di Indonesia.
2
Penggemar sinetron tersebut juga bervariasi perilaku menontonnya. Ada yang menyeleksi sinetron apa yang baik untuk ditonton, ada juga yang menonton setiap sinetron. Para pecandu berat televisi biasanya akan menonton berjamjam lamanya tanpa melakukan penyeleksian yang baik. Penilaian mengenai tayangan televisi berbeda antara penonton yang berat dengan penonton yang tidak berat. Pecandu berat televisi mengatakan: “ di masyarakat sekarang banyak terjadi gejala hamil di luar nikah, remaja yang menganggap orangtuanya kolot, pembantu yang dapat diperlakukan majikan seenaknya, karena televisi melalui sinetronnya selalu menceritakan kasus tersebut.” (Nurudin, 2007). Para pecandu sinetron percaya bahwa apa yang terjadi pada masyarakat seperti yang dicerminkan dalam sinetron-sinetron. Pendapat ini, jika dikaitkan dengan perilaku masyarakat maka sedikit banyaknya akan berpengaruh. Misalnya seorang anak melakukan teror bom akan meledak dalam sebuah mal melalui telepon setelah melihat tayangan film yang berisi teroris. Banyaknya tingkat kriminalitas remaja dalam melakukan hubungan seks sebelum menikah karena sering melihat sinetron hamil di luar nikah. Banyaknya anak remaja mempunyai pola pikir instan, penggunaan bahasa yang tidak sopan dan lain sebagainya. Kompas tanggal 8 Maret 2008, memberitakan bagaimana kejahatan kolektif secara simbolik (symbolic collective crime) pada iklan yang terjadi karena sikap masyarakat yang belum kritis. Menonton televisi merupakan proses aktif dalam menginterpretasikan isi acara dengan mengkombinasikan beberapa adegan dalam acara, pengalaman masa lalu, kemampuan untuk memahami isi acara yang perubahannya hampir tidak kentara. Proses televisi membentuk mental adalah sebuah sentuhan psikologi yang kompleks pada saat
menonton secara terus menerus dengan
tujuan mencari hiburan dalam menghilangkan pikiran yang sedang kacau atau bingung.
Menurut hasil penelitian,
penonton televisi harus mengikuti jalan
cerita, karakter-karakter dan motivasi-motivasi untuk memahami kecerobohan yang ada dalam isi acara (Shapiro, dalam Langan, 1997). Para pecandu berat televisi (heavy viewers) akan menganggap bahwa apa yang terjadi di televisi adalah dunia senyatanya. Keluhan akan tayangan sinetron telah sering dilontarkan dalam berbagai diskusi publik, artikel suratkabar, majalah, dan surat pembaca suratkabar. Isi sinetron yang terkait dengan kekerasan, seks, mistis, dan moral menjadi keluhan yang utama.
3
Isi siaran televisi sudah diatur dalam UU RI N0 32 tahun 2002 tentang penyiaran, (Soenarto, 2007) pasal 36, ayat 1
mengatakan bahwa: Isi siaran
wajib mengandung informasi, pendidikan, hiburan dan manfaat
untuk
pembentukan watak, moral, kemajuan, kekuatan bangsa menjaga persatuan dan kesatuan serta mengamalkan nilai-nilai agama dan budaya Indonesia. Ayat 3, berbunyi: Isi siaran wajib memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada khalayak khusus, yaitu anak-anak dan remaja dengan menyiarkan mata acara pada waktu yang tepat dan lembaga penyiaran wajib mencantumkan dan/atau menyebutkan klasifikasi khalayak sesuai dengan isi siaran. Demikian juga pada ayat 5 dicantumkan isi siaran yang dilarang, yaitu: a. bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan, dan/atau bohong b. menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang, atau c. mempertentangkan suku, agama, ras, dan antargolongan. Peraturan yang mengikat industri televisi sebagai penyelenggara siaran sudah ditetapkan, namun kenyataannya siaran televisi lebih mementingkan kepentingan
komersial
dengan
mengutamakan
selera
masyarakat
demi
meningkatkan rating siaran yang berkontribusi pada pemasangan iklan di siaran tersebut. Industri televisi dengan kemajuan teknologi komunikasi sudah semakin sulit diarahkan. Selain televisi masih banyak media-media lain yang dapat diakses oleh siswa untuk memenuhi keinginginan mereka. Faktor mental dan kemampuan sumber daya manusia penontonlah yang perlu dibenahi dan diperkuat. Menonton televisi memerlukan kemampuan yang komperhensif baik dari segi pengetahuan mengenai isi media yang dapat berupa gambaran realitas, khayalan, iklan, berita dan sebagainya, industri media yang memproduksi satu tayangan dengan tujuan media bisa eksis dan perusahaan untung, efek media, serta aktif melakukan penilaian mengenai tayangan televisi sehingga dapat meminimalisasi pengaruh negatif tayangan televisi. Pengetahuan mengenai media world (dunia media)
dan real world,
(realitas yang sebenarnya) berpengaruh terhadap jalan proses berpikir penonton televisi. Tayangan tidak
televisi sebenarnya gambaran realitas masyarakat namun
bisa diberlakukan untuk semua situasi dan kondisi dalam masyarakat.
4
Kenyataan yang terjadi dalam masyarakat belum tentu sama dengan apa yang ditayangkan televisi. Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) salah satu target sasaran tayangan televisi ikut terpengaruh. Siswa sebagai generasi penerus bangsa harus dibentengi dengan sikap kritis dalam menilai sesuatu termasuk tayangan televisi. Hal ini merupakan kewajiban bersama menjaga, membangun fisik dan mental siswa agar dapat meneruskan bangsa ini dengan kemampuan yang baik dan tidak mudah terpengaruh oleh situasi yang ada. Kritis dalam melihat permasalahan realitas kehidupan masyarakat termasuk siaran-siaran televisi. Pola menonton televisi siswa SMA, kecenderungannya melebihi kumulatif waktu yang efektif. Rata-rata siswa SMA menonton televisi empat jam ke atas dalam satu hari. Pada hal waktu efektif menonton televisi dua jam perhari (Media untuk anak,Kidia.com). Hal ini tidak saja berlaku pada siswa tapi juga orangtua. Menurut hasil penelitian Sunarto, Doktor Ilmu Komunikasi UI, yang dimuat dalam Kompas tanggal 29 Juli 2007, mengenai pola menonton tayangan kekerasan, mengatakan “walaupun
orangtua sudah mempunyai kedewasaan mental
psikologis yang bisa memilah-milah tapi jika menonton tayangan kekerasan lebih dari empat jam sehari maka penonton tersebut menjadi tidak peka. Melihat kekerasan, diam saja.” Berdasarkan survey awal yang dilakukan
terhadap salah satu SMA
Depok, perempuan cenderung menonton sinetron. Waktu menonton antara jam tayang pukul 18.00 – 21.00 Wib. Sinetron yang ditayangkan merupakan sinetron idola siswa, termasuk peran utama yang membintanginya. Siswa
menonton
dibawah pengawasan orangtua yang tidak ketat. Gejala-gejala tersebut merupakan salah satu ciri penonton yang belum kritis
Untuk mampu menarik manfaat dan mampu menilai kebenaran isi televisi
dibutuhkan kemampuan
berpikir kritis khalayak. Masyarakat belum mampu
menjadi penonton yang kritis dan benar lantaran tidak mempunyai keterampilan berinteraksi dengan media secara kritis (Guntarto, 2003). Berpikir
kritis
merupakan
proses
aktivitas
kognitif
dengan
jalan
menggambar terlebih dahulu urutan pengalaman dan pengetahuan dalam memeriksa dengan teliti semua informasi yang relevan dan bermanfaat. Berpikir kritis merupakan berpikir evaluatif yang menghasilkan makna sesuai dengan pengetahuan yang dimiliki sebelumnya.
5
Sikap kritis
termasuk dalam proses
berpikir penerima pesan, yaitu
aktivitas kognisi yang menghasilkan makna sesuai dengan pengetahuan yang dimiliki
sebelumnya
dalam
memahami,
memeriksa,
menilai,
mengambil
keputusan berkaitan dengan manfaat tayangan televisi. Sikap kritis dalam diri penerima
stimulus
tidak
muncul
begitu
saja
tetapi
berkaitan
dengan
pengetahuan yang dimiliki sebelumnya, bagaimana proses mediasi orang tua dengan anaknya, intensitas terpaan media pada
penonton sebelumnya, dan
juga karakteristik yang dimiliki khalayak. Penelitian (Zuharani, 1987) mengatakan bahwa usia, lama sekolah dan jenis kelamin mempengaruhi sikap kritis.
Perumusan Masalah Televisi dalam kenyataannya sulit diarahkan untuk menayangkan tayangan
yang mementingkan
kepentingan penonton khususnya sinetron.
Tayangan sinetron sebagian besar berisi kekerasan baik psikologis, fisik maupun relasional. Industri televisi cenderung mengejar rating dan keuntungan dengan menyajikan acara yang sesuai dengan selera masyarakat. Pola siswa menonton televisi belum menggambarkan pola yang kritis dan benar. Menonton televisi dilakukan berjam-jam dengan penyeleksian yang kurang mengenai apa yang baik untuk
ditonton. Laki-laki dan perempuan mempunyai perbedaan dalam
menentukan pilihan serta penilaian
objek tertentu. Aktivitas siswa dalam
kegiatan-kegiatan ekstrakulikuler baik di rumah maupun sekolah memberikan nuansa berbeda dalam menilai objek tertentu. Terpaan media massa yang memberikan informasi mengenai realitas masyarakat
dapat menambah
wawasan siswa dalam menseleksi, menilai dan mengambil keputusan mengenai tayangan televisi namun isi media massa yang disajikan banyak yang kurang membangun daya kritis pengguna media massa. Pengarahan orangtua sebagai orang yang terdekat dengan siswa masih kurang karena kemampuan mereka pun masih minim dan menganggap tayangan televisi sesuatu yang biasa.. Pengetahuan merupakan salah satu faktor yang cukup penting dalam melakukan penilaian terhadap tayangan televisi. Pengetahuan siswa secara komperhensif mengenai media televisi sangat berpengaruh pada kualitas penilaian tentang televisi. Faktor pengetahuan penonton mengenai tayangan televisi mempunyai variasi. Pengetauan siswa mengenai isi media, industri media dan efek media
6
juga tidak sama. Terpaan media bervariasi yang ditentukan juga ketersediaan media massa tersebut di tempat tinggal siswa. Kualitas dan kuantitas terpaan media bagi masing-masing siswa ada perbedaan antara satu dengan yang lain. Mediasi orang tua
dengan siswa juga turut membantu bagaimana siswa
menggunakan televisi, namun
keragaman pekerjaan, status sosial, tingkat
pendidikan dan lain sebagainya menyebabkan mediasi belum berjalan dengan baik. Semua faktor tersebut merupakan faktor yang berhubungan dengan sikap kritis siswa dalam menonton tayangan sinetron di televisi. Untuk mengetahui apakah siswa SMA Depok mampu menseleksi dan menilai tayangan sinetron di televisi serta faktor-faktor apa yang menyebabkan penyeleksian, penilaian dan pengambilan keputusan yang tepat sehingga tidak terpengaruh oleh efek negatif tayangan televisi, perlu diteliti lebih jauh. Untuk itu dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana sikap kritis siswa SMA Depok
menonton tayangan
sinetron ? 2. Faktor-faktor apa yang berhubungan dengan sikap kritis siswa SMA Depok menonton tayangan sinetron ?
Tujuan Penelitian Penelitian ini secara umum bermaksud untuk mengantisipasi siswa SMA Depok terhadap pengaruh tayangan televisi khususnya sinetron yang bersifat negatif. Secara spesifik bertujuan: 1.
Untuk mengetahui
sejauhmana sikap kritis
siswa SMA Depok
menonton tayangan sinetron di televisi. 2.
Untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan
sikap
kritis siswa dalam menonton tayangan sinetron.
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ilmiah memberikan pengembangan secara teoritis berkaitan dengan keilmuan yang dikaji masing-masing peneliti dan juga diharapkan mempunyai manfaat yang positif bagi lembaga-lembaga yang terkait ataupun secara individual. Permasalahan penelitian yang berkaitan dengan sikap kritis dan faktorfaktor yang berhubungan dengan sikap kritis diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu komunikasi khususnya dalam merespons stimulus media
7
massa televisi. Selain itu juga diharapkan memberikan kontribusi bagi lembaga yang terkait dengan kebijakan-kebijakan strategis dalam pendidikan, industri media massa televisi, orang tua, dan siswa SMA itu sendiri.
8