PENDAHULUAN Latar Belakang Pekerja wanita usia subur (WUS) selama ini merupakan sumber daya manusia (SDM) yang utama di banyak industri, terutama industri pengolahan pangan yang pekerjaannya masih banyak dilakukan secara manual. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2005 (BPS 2009), jumlah penduduk usia kerja di Indonesia mencapai 105.80 juta, di mana yang bekerja sebanyak 94.95 juta, terdiri dari 63.97 persen pekerja laki-laki dan 36.03 persen pekerja wanita. Persentase pekerja wanita tersebut telah mengalami kenaikan sebesar 0.96 persen dibanding tahun 2003. Peningkatan ini selain dapat dilihat sebagai hal yang positif yakni bertambahnya tenaga produktif, juga merupakan tantangan untuk dilakukannya usaha peningkatan perbaikan SDM pekerja tersebut.
Terlebih,
sebagian besar pekerja wanita tersebut adalah WUS berusia 18-45 tahun yang berasal dari golongan ekonomi menengah ke bawah yang tidak terlepas dari memiliki masalah kesehatan. Kondisi ekonomi keluarga yang lemah membuat pekerja wanita sulit memenuhi kebutuhan zat-zat gizi mikro. Status gizi dan kesehatan pekerja WUS di Indonesia belum banyak diperhatikan. Hal ini bisa terlihat dari tingginya prevalensi anemia pada pekerja WUS yang masih cukup tinggi. Depkes RI (2004), menyatakan bahwa sekitar 50% dari 25 juta pekerja wanita di Indonesia menderita anemia gizi akibat kekurangan zat besi atau disebut sebagai anemia gizi besi (AGB). Secara umum anemia pada WUS di Indonesia menurut BPPK Depkes RI (2008) pada tahun 2007 ditemukan sebesar 19.7 persen dan pada wanita yang sedang hamil lebih tinggi lagi yaitu 24.5 persen. Prevalensi anemia pada ibu hamil yang lebih tinggi dibandingkan WUS secara total, diperkirakan terjadi karena ibu tersebut telah mengalami anemia sejak lama, jauh sebelum hamil dan kondisi tersebut menjadikan anemia pada anak balita lebih tinggi lagi yakni sebesar 27.7 persen. Program penanggulangan anemia dan kekurangan zat besi pada wanita hamil melalui suplementasi besi telah dilakukan Indonesia sejak tahun 1970an. Secara nasional program tersebut telah menyentuh hampir ke seluruh wilayah di Indonesia dan dimonitoring dengan baik. Namun demikian ternyata prevalensi anemia pada WUS di Indonesia hingga tahun 1995 masih relatif tinggi yakni 39.5
2 persen dan pada wanita hamil 50.9 persen. Oleh karena itu, pada tahun 1996 program suplementasi besi diperluas kepada anak balita dan WUS yang tidak sedang hamil, khususnya yang menjadi pekerja-pekerja pabrik. Namun demikian, program suplementasi besi yang ditujukan kepada pekerja WUS di pabrik-pabrik tersebut tidak dilaksanakan oleh perusahaan-perusahaan dan belum ada sistem monitoringnya (Kodyat et al. 1998; Atmarita 2005; Dillon 2005). Pada tahun 1998 Depkes RI telah menerbitkan “Pedoman Penanggulangan Anemia Gizi untuk Remaja Puteri dan Wanita Usia Subur”. Mulai tahun 2003 Depkes juga telah melaksanakan Program Penanggulangan Anemia untuk WUS melalui suplementasi tablet tambah darah (TTD) mandiri yang diikuti dengan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE). Selain itu Bappenas (2007) di dalam Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi (RANPG) 2006-2010 juga telah merencanakan untuk meningkatkan pemberian suplemen tablet besi pada remaja putri, calon pengantin dan tenaga kerja wanita untuk menurunkan prevalensi anemia pada Ibu hamil, ibu nifas, balita dan wanita usia subur (WUS). Namun, rencana-rencana pemberian suplemen besi khususnya kepada pekerja WUS kurang tersosialisasi dan hingga kini tetap belum dilaksanakan di perusahaanperusahaan yang banyak mempekerjakan WUS. Tersedianya TTD, mengandung besi elemental 60 mg dan asam folat 250 µg, di pasaran dengan harga yang relatif murah dan terjangkau sebagai bagian dari program TTD mandiri ternyata juga tidak banyak diketahui oleh masyarakat. Menurut Atmarita dan Fallah (2004), intervensi anemia secara nasional masih memprioritaskan ibu hamil dengan distribusi tablet besi. Penelitian tentang prevalensi dan penanggulangan anemia di Indonesia selama ini masih lebih banyak dilakukan pada kelompok wanita yang sedang hamil atau menyusui serta bayi dan balita.
Penelitian tentang prevalensi dan suplementasi besi pada
kelompok pekerja WUS masih jarang dilakukan dan kalau pun ada lebih banyak dilakukan di daerah Jawa dan Bali. Studi yang dilakukan sebelum tahun 2000an oleh Basta et al. (1979) dan Husaini et al. (1981) menyimpulkan bahwa kapasitas kerja pada pekerja yang anemia (tingkat hemoglobin di bawah normal) cepat kembali
normal
bahkan
meningkat
dengan
adanya
suplementasi
besi.
Peningkatan produktivitas kerja dan upah kerja berkisar antara 10-30% dari
3 sebelum menerima suplementasi. Penelitian tentang pengaruh suplementasi besi ditambah dengan zat gizi mikro lain pada pekerja WUS di Indonesia setelah tahun 2000 dilakukan antara lain oleh Mulyawati (2003) dan Ekayanti (2005) masingmasing menggunakan dosis dan komposisi yang berbeda. Adapun Dillon (2005) dan Briawan (2008) melakukan pemberian besi ditambah dengan zat gizi mikro lain pada WUS yang masih remaja, juga dengan menggunakan komposisi yang berbeda. Implementasi hasil-hasil penelitian di atas pada pekerja WUS hingga kini belum ditemukan, mungkin karena suplemen yang disarankannya belum diproduksi untuk umum sehingga tidak bisa langsung ditemui di pasaran. INACG (2003) menyarankan bahwa para WUS yang tidak sedang hamil perlu diberi suplementasi 60 mg zat besi yang disertai dengan 400 µg folat sebagai usaha preventif untuk mencegah mengalami kesulitan melahirkan jika dia nanti hamil. Adapun UNICEF/WHO/UNU (1999), sudah lebih dahulu menyarankan bahwa untuk memperbaiki status gizi WUS tidak cukup hanya dengan suplementasi zat besi saja, namun diperlukan suplementasi berbagai zat gizi mikro yaitu 15 macam vitamin dan mineral.
Kedua macam komposisi
suplemen tersebut selama ini dapat ditemui di pasaran, meskipun dengan dosis yang sedikit berbeda antar merk. Provinsi Lampung dikenal sebagai Bumi Agribisnis (Agribisnis Earth) karena menghasilkan banyak produk pertanian. Banyak perkebunan nasional dan internasional serta perusahaan agribisnis yang mengolah hasil-hasil pertanian berada di Lampung. Perusahaan agribisnis yang termasuk besar di antaranya adalah yang memproduksi buah nanas dalam kaleng, terletak di Kabupaten Lampung Tengah, Provinsi Lampung. Perusahaan tersebut cukup banyak mempekerjakan WUS baik yang sudah maupun belum menikah. Para pekerja wanita tersebut ditempatkan di bagian pengolahan dan pengemasan di dalam pabrik. Pekerja WUS melakukan pekerjaannya di dalam pabrik antara 7—10 jam per hari, dengan waktu istirahat kurang lebih selama satu jam. Para pekerja WUS tersebut sebagian besar melakukan pekerjaannya secara bergantian posisi duduk atau berdiri (kegiatan fisiknya tergolong sedang), dan sebagian kecil lainnya bekerja dengan posisi berdiri dan berjalan (kegiatan fisiknya tergolong aktif). Selama melakukan pekerjaan di dalam pabrik mereka memerlukan kebugaran
4 fisik, apalagi biasanya mereka bekerja dalam kondisi ruang yang cukup panas dan tertutup. Kondisi ini dikawatirkan lama-kelamaan akan mengurangi kebugaran fisik dan berakibat pada menurunnya produktivitas kerja mereka. Apalagi, jika asupan gizi mereka tidak baik sehingga mengalami masalah gizi kurang seperti AGB yang ditandai dengan kadar Hb rendah (di bawah standar normal). Hal ini sesuai dengan hasil studi Kosen, Herman, dan Schultink (1998) yang mendapatkan bahwa produktivitas kerja secara negatif dipengaruhi oleh kekurangan zat besi, bukan hanya di antara pekerja yang terlibat dalam pekerjaan berat, tetapi juga di kalangan pekerja pabrik perempuan yang terlibat dalam pekerjaan ringan. Studi WHO pada faktor-faktor risiko menyatakan bahwa gaya hidup duduk terus-menerus dalam bekerja adalah 1 dari 10 penyebab kematian dan kecacatan di dunia. Lebih dari dua juta kematian setiap tahun disebabkan oleh kurangnya bergerak atau kurang melakukan aktivitas fisik (WHO 2006). Namun belum ada laporan, dan karenanya perlu ada penelitian bagaimanakah aktivitas fisik dan status besi para pekerja WUS sebagaimana yang bekerja di perusahaan tersebut di atas. Masalah yang menarik untuk diteliti dalam penelitian ini adalah bagaimanakah status gizi, status besi, aktivitas fisik, dan kebugaran fisik pekerja WUS yang diketahui memiliki kadar hemoglobin (Hb) marginal? Selanjutnya bagaimanakah status besi dan kebugaran fisik pekerja WUS tersebut jika diberi suplemen gizi mikro besi dan asam folat (BF) atau multivitamin dan mineral (MVM)
sebagaimana
yang
disarankan
oleh
INACG
(2003)
dan
UNICEF/WHO/UNU (1999)? Tujuan Penelitian Secara umum penelitian bertujuan untuk mengkaji pengaruh pemberian zat gizi mikro BF dan MVM terhadap status besi (hemoglobin, hematokrit serta serum feritin dan transferin reseptor) dan kebugaran fisik (VO2maks) pekerja wanita yang memiliki kadar Hb marginal dengan tingkat aktivitas kerja yang tergolong sedang sampai aktif. Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah untuk: 1 menganalisis status gizi, tingkat kecukupan gizi dan status besi pekerja WUS, 2 menganalisis aktivitas fisik dan kebugaran fisik pekerja WUS,
5 3 menganalisis perbedaan pengaruh pemberian zat gizi mikro BF dan MVM terhadap status besi dan kebugaran fisik pekerja WUS, 4 menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan status besi dan kebugaran fisik pekerja WUS sesudah diberi BF dan MVM. Hipotesis Penelitian Tujuan khusus penelitian ke satu dan dua di atas dijawab dengan cara deskriptif statistik. Adapun untuk menjawab tujuan ke tiga dan empat dilakukan analisis statistik dengan menggunakan hipotesis penelitian sebagai berikut: 1 status besi pekerja WUS setelah perlakuan lebih baik dibandingkan dengan sebelum perlakuan, 2
kebugaran fisik pekerja WUS setelah perlakuan lebih baik dibandingkan dengan sebelum perlakuan,
3
ada perbedaan status besi yang nyata antara pekerja wanita anemia yang diberi perlakuan BF dengan yang diberi MVM,
4 ada perbedaan kebugaran fisik yang nyata antara pekerja WUS yang diberi BF dengan yang diberi MVM, 5
peningkatan status besi pekerja WUS dipengaruhi oleh jenis perlakuan, lama kerja, status besi dan indeks massa tubuh sebelum perlakuan, serta asupan energi, protein, vitamin A, vitamin C, besi, kalsium, dan fosfor dari makanan, dan pengeluaran energi selama perlakuan,
6 perbaikan kebugaran fisik pekerja WUS dipengaruhi oleh jenis perlakuan, lama kerja, status besi dan kebugaran fisik sebelum perlakuan, komposisi tubuh sesudah perlakuan, serta asupan energi, protein, vitamin A, vitamin C, zat besi, kalsium, dan fosfor dari makanan, dan pengeluaran energi selama perlakuan. Manfaat Penelitian Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan acuan dalam melaksanakan program peningkatan kualitas sumberdaya manusia (SDM) baik oleh pemerintah maupun perusahaan-perusahaan yang banyak mempekerjakan WUS, serta dalam monitoring gizi dan kesehatan yang memerlukan pengujian kebugaran fisik.
Hal ini perlu dilakukan sebagai bagian dari pelaksanaan
6 kewajiban dan kepedulian untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada pekerja.