PENDAHULUAN Latar Belakang Sebaran luas lahan gambut di Indonesia cukup besar, yaitu sekitar 20,6 juta hektar, yang berarti sekitar 50% luas gambut tropika atau sekitar 10,8% dari luas daratan Indonesia. Di Sumatra sekitar
7,2 juta ha atau sekitar 14,9% luas
pulaunya, Kalimantan sekitar 5.769.200 ha dan Papua 7.795.455 ha (Wahyunto et al. 2005). Dalam survey yang dilakukan olehnya diketahui bahwa penyebaran utama dan terbesar di Sumatra adalah Provinsi Riau seluas 4.043.601 ha, dan Kabupaten Bengkalis 856.386 ha kedua terbesar setelah Kabupaten Indragiri Hilir. Secara umum jika dibandingkan dengan tipe ekosistem hutan lainnya di Indonesia, hutan rawa gambut menempati urutan kedua dalam hal luas areal setelah hutan hujan tropika tanah kering. Lahan gambut merupakan suatu ekosistem yang unik dan rapuh, karena lahan ini berada dalam suatu lingkungan rawa, yang terletak di belakang tanggul sungai (backswamp), maka lahan ini senantiasa tergenang dan tanah yang terbentuk
pada
umumnya
merupakan
tanah
yang
belum
mengalami
perkembangan, seperti tanah-tanah aluvial (Entisols) dan tanah-tanah yang berkembang dari tumpukan bahan organik, yang lebih dikenal sebagai tanah gambut atau tanah organik (Histosols) (Mulyanto, 2002). Istomo (2002) menyebutkan semakin tinggi deposit lumpur yang terjadi semakin berkurang salinitasnya, sehingga vegetasi bakau digantikan oleh vegetasi daratan. Karena kandungan sulfida yang tinggi dan tergenang air, maka proses dekomposisi terhambat, sehingga terjadi penumpukan serasah sampai membentuk kubah gambut (dome). Hamparan gambut yang terbentuk tidak lagi terpengaruh oleh pasang-surut air laut dan tidak lagi mendapat pasokan dari air sungai, air yang menggenangi gambut tersebut hanya dari air hujan. Gambut di Indonesia sebagian besar merupakan gambut rawa lebak dan tanahnya mengandung lebih dari 65% bahan organik dengan jeluk (depth) bervariasi, mulai dari ketebalan 50 cm sampai dengan 20 meter dengan di dasari oleh tanah mineral (Budianta, 2003). Hasil penelitian (Suhardjo et al. 1976; Pangudiatno, 1974 dalam Budianta, 2003) menyebutkan gambut Riau mempunyai
2
pH berkisar antara 3,5-4,7 dan Kalimantan mempunyai pH 3,3. Sedangkan kandungan N dan C-total masing-masing berkisar antara 1,13-1,98% dan 49,854,11% (Riau), 1,44-1,80% dan 74,83-83,84% (Kalimantan) serta kandungan P, K, Ca dan Mg sangat rendah. Ciri-ciri dan struktur tanah rawa gambut berkorelasi dengan ketebalan gambut. Kesuburan tanah semakin menurun dengan meningkatnya ketebalan gambut. Pengikatan air tanah berkurang sesuai dengan perubahan struktur dan ketebalan gambut. Komposisi dan struktur vegetasi relatif lebih sederhana dengan semakin mendekati kubah gambut/dome (Kongse, 1995). Kementerian Kehutanan mencatat kerusakan hutan hingga 2009 mencapai lebih dari 1,08 juta hektar per tahun, data ini menurun dari data kerusakan hutan tahun sebelumnya yang mencapai lebih dari 2 juta hektar pertahun. Kegiatan yang ditengarai menjadi penyebab kerusakan hutan rawa gambut adalah kesalahan dalam pengelolaan hutan, pembangunan skala besar, drainase, perambahan dan penebangan liar serta jutan hektar lainnya telah terbakar hebat. Syaufina et al. (2004) menyebutkan di antara jenis kebakaran hutan, kebakaran gambut adalah jenis kebakaran yang paling berbahaya. Menurut Elias (2009), sistem silvikultur adalah suatu proses memproduksi hutan yang merupakan suatu siklus yang terdiri dari mata rantai-mata rantai komponen kegiatan yang berurutan satu sama lainnya (penyiapan lahan, penanaman, pemeliharaan, penjarangan, pemanenan) untuk mencapai tujuan tertentu dalam pengelolaan hutan. Peraturan Menteri Kehutanan No. P. 11/Menhut-II/2009, menyebutkan sistem silvikultur adalah sistem pemanenan sesuai tapak/tempat tumbuh berdasarkan formasi terbentuknya hutan yaitu proses klimatis dan edafis dan tipe-tipe hutan yang terbentuk dalam rangka pengelolaan hutan lestari atau sistem teknik bercocok tanaman dan memanen. Sistim pengelolaan hutan Indonesia berpedoman pada sistim silvikultur Tebang Pilih Tanam Intensif Indonesia (TPTII) yang di tetapkan berdasarkan Keputusan Dirjen Bina Produksi Kehutanan No. SK. 226/VI-BPHA/2005. Pengelolaan hutan rawa gambut diatur dalam Keputusan Menteri Kehutanan No. P. 30/Menhut-II/2005 tentang Standar Sistem Silvikultur pada Hutan Alam Tanah Kering atau Hutan Alam Tanah Basah/Rawa. Selanjutnya untuk daur dan siklus
3
tebangan pada hutan rawa dengan limit diameter ≥ 30 cm dan siklus tebang 40 tahun
diatur melalui Sistem silvikultur THPB, THPA, TPTI, Tebang Rumpang (TR), TPTJ. dalam Peraturan Menteri Kehutanan No. P.11/Menhut-II/2009 tentang Sistim Silvikultur dalam Areal Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Produksi. Penerapan silvikultur intensif di areal yang sensitif terhadap kerusakan lingkungan harus sedapat mungkin dihindarkan, karena pada umumnya penerapan silvikultur intensif di hutan alam tropika akan menyebabkan keterbukaan tanah cukup besar dan kerusakan tegakan tinggal yang cukup berat (Elias, 2009). Optimalisasi pemanfaatan hutan diwujudkan pemerintah melalui UU No. 41 tahun 1999 pada pasal 18, yaitu menetapkan dan mempertahankan kecukupan luas kawasan hutan secara proporsional dan penutupan hutan untuk setiap daerah aliran sungai dan atau pulau, yaitu minimal 30 % (tiga puluh persen). Kawasan hutan dimaksud kemudian dideliniasi sesuai dengan fungsinya, yaitu sebagai hutan konservasi, lindung atau produksi. Dalam rangka menyeimbangkan dan menselaraskan pembangunan ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan serta upaya penurunan Emisi Gas Rumah Kaca yang dilakukan melalui penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, maka telah diberlakukannya moratorium terhadap semua lahan gambut melalui Intruksi Presiden nomor 10/2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut. Berdasarkan kenyataan di atas maka diperlukan kajian terhadap berbagai tipe penggunaan lahan gambut terhadap biodiversitas khususnya keanekaragaman jenis guna pengelolaan, konservasi dan rehabilitasi hutan rawa gambut berasaskan kelestarian. Beberapa pertanyaan yang ingin diajukan adalah seberapa besar tingkat keanekaragaman vegetasi pada tipe-tipe penggunaan lahan gambut? dan bagaimana perbedaan kandungan biomassa pada tipe-tipe penggunaan lahan gambut dimaksud? dengan demikian diharapkan penelitian ini dapat menjadi informasi dan masukan bagi Pemerintah, silvikulturis maupun pihak terkait dalam pengambilan kebijakan pengelolaan, pemanfaatan dan reforestasi hutan rawa gambut secara bijak dan lestari.
4
Tujuan Tujun penelitian ini untuk mengkaji : 1. Keanekaragaman vegetasi pada beberapa tipe penggunaan lahan gambut. 2. Kandungan biomassa pada penggunaan lahan gambut berupa hutan alam, kebun rakyat dan areal HTI Sagu.
Manfaat Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang preferensi ekologi sehingga menjadi masukan bagi Pemerintah, silvikulturis maupun pihak terkait dalam pengambilan kebijakan pengelolaan, pemanfaatan dan reforestasi hutan rawa gambut secara bijak dan lestari.
Kerangka Pemikiran Model kajian Keanekaragaman vegetasi dan Biomassa pada beberapa tipe penggunaan lahan gambut Di Kabupaten Meranti Provinsi Riau didasarkan pada kerangka pemikiran seperti pada Gambar 1.
5
Hutan Rawa Gambut Gambut
Air
Vegetasi
Perlindungan Tegakan HRG
Hutan Alam
Kebun Rakyat
Keanekaragaman Vegetasi
Areal HTI Sagu
Biomassa
Reforestasi Jenis Dominan dan Biomassa tertinggi Pemilihan Jenis Ekonomis
Kebijakan
Pengelolaan yang tepat
Fungsi Ekologi Global
Gambar 1. Bagan Kerangka Pemikiran.