PENDAHULUAN Latar Belakang Kejadian penyakit tetanus dilaporkan masih tetap tinggi, setiap tahun dilaporkan terjadi 350 000 sampai 400 000 kasus tetanus di seluruh dunia. Kejadian kasus lebih tinggi di negara berkembang terutama negara yang program imunisasinya tidak teratur dan tingkat kesadaran masyarakat tentang kesehatan rendah (Bruggemann et al. 2003; Kiefer 2004). Pada negara industri dilaporkan kasus tetanus terjadi secara sporadik. Penyakit tetanus dilaporkan bersifat endemis pada 90 negara berkembang (Bruggemann et al. 2003). Strategi pencegahan penyakit tetanus dengan meningkatkan kebersihan dan imunisasi. Imunisasi dapat dilakukan secara aktif dengan toksoid tetanus dan pasif dengan antitetanus serum. Pada daerah yang beresiko tinggi, imunisasi aktif minimal dilakukan sebanyak tiga kali (Vandelaer et al. 2003). Antibodi yang terbentuk akan berikatan dan menginaktivasi toksin sebelum toksin itu menyerang otot dan saraf. Clostridium tetani dapat dibunuh dengan antibiotik penicilin, tetapi antibiotik tidak mampu menetralisasi toksin (Kiefer 2004). Pencegahan dengan antitetanus serum dan pengobatan dengan antibiotik merupakan pendekatan yang masih relevan untuk mengurangi penyakit tetanus (Covarelli dan Marconi 1980; Bleck 1991; Forrat et al. 1998; Bruggemann et al. 2003). Pencegahan tetanus difokuskan pada imunisasi awal. Imunisasi diulang setiap 10 tahun atau pada saat berumur 40 sampai 50 tahun untuk menghindari terinfeksi tetanus saat umur tua (Schatz et al. 1998; Cavuslu et al. 2003). Maral et al. (2001) melaporkan kejadian tetanus menyerang lebih dari satu juta orang di seluruh dunia, dengan 80% kejadian terjadi pada masa neonatal. Imunisasi pada setiap wanita hamil sangat protektif untuk mencegah tetanus neonatal dan imunisasi mampu menekan morbiditas dan mortalitas penyakit tetanus (Maral et al. 2001). Akan tetapi sampai saat ini tetanus masih merupakan masalah utama pada kesehatan masyarakat pada kebanyakan negara berkembang. Pada negara yang standar kesehatannya tinggi dilaporkan case fatality rate tetanus tetap tinggi (7% sampai 58%) terutama pada pasien umur tua (Forrat et al. 1998; Maral et al. 2001).
2 Kekhawatiran akan kejadian tetanus sampai saat ini pada manusia masih mendapat perhatian yang serius, khususnya aplikasi antitetanus ser um (ATS) tetap dilakukan pada saat terjadi perlukaan. Hal yang sama juga terjadi pada kesehatan hewan, terutama pada kawasan kebun binatang atau kawasan wisata dengan obyek binatang. Penggunaan kandang yang sempit, daya dukung kawasan yang terbatas akan mempermudah kejadian luka, seperti halnya pada daerah kawasan wisata monkey forest Ubud Bali yang dihuni oleh monyet ekor panjang, kejadian luka berkisar sampai 10%. Tipe luka yang banyak diderita
adalah kulit
robek, luka tusuk, dan kulit robek sampai otot rusak. Kondisi luka ini akan mempermudah kejadian tetanus terutama luka yang terjadi di daerah badan yang sulit dibersihkan. Kesembuhan luka yang diderita oleh monyet itu berkisar antara satu minggu sampai 3 minggu (Suartha et al. 2002). Waktu itu merupakan periode masa inkubasi dari kuman tetanus (Lewis 1998). Hal yang sama juga sangat rentan dialami oleh praktisi kesehatan hewan di lapangan, terutama yang bertugas di wilayah terpencil. Seorang praktisi kesehatan hewan dilaporkan tewas akibat tetanus sete lah terinjak sapi, begitu juga halnya di daerah bekas bencana (Soeharsono 2005). Produksi ATS saat ini umumnya dilakukan pada kuda, yakni dengan menyuntikkan toksoid tetanus pada kuda yang terpilih. Masalah sering muncul karena penggunaan serum spesifik sering menyebabkan reaksi silang seperti reaksi anafilaktik atau serum sickness. Hal itu telah mendorong penggunaan imunoglobulin antitetanus dari sumber lain seperti serum manusia, tetapi kesulitan menyedia kan donor (Forrat et al. 1998). Penggunaan telur (Imunoglobulin Y) diharapkan dapat mengurangi resiko itu dan digunakan sebagai sumber antitetanus . Sampai saat ini imunoglobulin Y (IgY) ayam belum dimanfaatkan secara maksimal untuk tujuan terapi atau pencegahan, khususnya untuk pemberian kekebalan secara pasif. Perkembangan industri perunggasan terfokus membuat ayam sebagai sumber nutrisi. Hanya sedikit ahli yang mengetahui ayam merupakan sumber produksi antibodi yang sangat baik. Penerimaan atau dukungan ahli terhambat karena sikap tradisional dan terba tas atau tidak ada informasi secara luas (Schade dan Hlinak 1996). Para peneliti masih
3 menggunakan imunoglobulin dari mamalia seperti kelinci, tikus, quinea pig, dan hewan mamalia besar seperti kuda, kambing, domba, dan sapi (Svendsen et al. 1995). Beberapa peneliti melaporkan keuntungan penggunaan telur sebagai pabrik bahan biologi adalah : kandungan IgY tinggi dalam telur, mudah diproduksi dalam jumlah besar, tidak menimbulkan efek samping karena tidak bereaksi silang dengan faktor rheumatoid dan komponen jaringan mamalia, tidak bereaksi dengan reseptor Fc yang dimiliki oleh mikrob sehingga bereaksi lebih spesifik terhadap antigen yang dikehendaki, memiliki aktivitas dan daya netralisasi lebih tinggi dibandingkan IgG mamalia, biaya produksi secara masal lebih murah dibandingkan menggunakan mamalia, dan dari segi Animal welfare lebih dapat diterima dibandingkan dengan menggunakan mamalia (Davis dan Reeves 2002). Pemanfaatan IgY untuk pengobatan dan pencegahan penyakit masih sedikit dan terbatas pada skala laboratorium. Perkembangan dan penelitian ke arah pemanfaatan telur unggas baru berkembang dalam satu setengah dekade terakhir. Antibodi spesifik di dalam kuning telur dapat ditimbulkan dari berbagai macam patogen. Kermani-Arab e t al. (2001) melaporkan IgY spesifik terhadap penyakit Marek yang diaplikasi secara pasif mampu menahan infeksi virus Marek. Efek yang
sama
diamati
terhadap
berbagai
penyakit
misalnya
influenza
(Bogoyavlensky et al. 1999), EPEC K11 (Rawendra 2005) , Salmonella enteridis dan typhimurium (Lee et al. 2002; Babu et al. 2003) , Helicobacter pylori (Shin et al. 2002; Shin et al. 2004). IgY juga digunakan untuk deteksi antigen pe rmukaan penderita hepatitis B (Makvandi dan Fiuzi 2002), caries gigi (Hamada et al.1991), pembentukan plaque gigi karena Streptokokus mutans (Hatta et al. 1997), diare pada pedet (Erhard et al. 1997), deteksi kanker (Yang et al. 1997; Fortgens et al. 1997; Sasse et al. 1998; Sriram et al. 1999), Virus horsesickness (Plessis et al. 1999) , Bovine coronavirus (Ikemori et al. 1997) , dan deteksi insulin (Song et al. 1985). Teknologi IgY sangat baik digunakan untuk produksi antibodi dari antigen conserved mamalia (Gassmann et al. 1990; Murata et al. 1996), modifikasi metode diagnosis suatu penyakit seperti modifikasi dalam uji ELISA (Marti et
4 al.1997; Losonczy et al.1999; Coillie et al. 2004; Ester 2004), dan diagnostik yang lain (Katz et al.1985). Pemberian secara oral sebagai food suplemen untuk pencegahan kuman (Shimizu et al. 1988; Yokohama et al. 1998; Carlander et al. 2000; Hedlund dan Hau 2001, Sunwoo et al. 2002). IgY dapat di absor psi dan ditransfer secara efisien sebagai antibodi kolustrum (Yokohama et al. 1993). Adanya IgY dalam telur memberikan prospek untuk pemberian kekebalan pasif pada kasus penya kit (Polson et al. 1980). Prinsip pengebalan adalah pasif, artinya transfer kekebalan terhadap beberapa penyakit dilakukan dengan mengkonsumsi telur yang mengandung zat kebal dan dipreparasi secara khusus. IgY unggas mengenal lebih banyak epitop protein mamalia dibandingkan dengan imunoglobulin kelinci, sehingga cocok untuk percobaan imunologi protein mamalia (Schade et al.1996). IgY unggas dapat diproduksi apabila antigen dalam jumlah sedikit atau memerlukan pengawetan tinggi seperti hormon. Dalam pemerik saan imunologi, IgY memberikan hasil lebih akurat karena dapat mengurangi ikatan dengan antigen non spesifik, yang menyebabkan hasil negatif palsu atau positif palsu (Schade et al. 1996; Warr dan Higgins 1995). Laporan penelitian di atas memberikan inspirasi untuk mempelajari karakteristik dan efikasi atau daya netralisasi IgY spesifik terhadap toksin tetanus. Sampai saat ini keperluan akan antitetanus serum (ATS) untuk pencegahan infeksi tetanus, khususnya pada kasus perlukaan masih sangat dibutuhkan.
Pe rumusan masalah Pengebalan pasif terhadap penyakit tetanus di dunia kedokteran telah lama dikenal penggunaan “Anti Tetanus Serum” (ATS). Produksi ATS umumnya dilakukan pada kuda, yakni dengan menyuntikkan toksoid tetanus pada kuda terpilih. Prosedur produksi antibodi tersebut menyebabkan cekaman (stress). Cekaman terjadi saat melakukan imunisasi dan saat pengambilan darah untuk preparasi antibodi. Masalah yang sering muncul saat produksi ATS pada kuda adalah : Penyuntikan toksoid yang berulang dan terus menerus menyebabkan respon pembentukan antibodi spesifik terhadap toksoid kurang baik. Titer antibodinya sering rendah dan tidak konsisten. Penyuntikan toksoid yang terus menerus menyebabkan terjadinya amiloidosis pada kuda -kuda yang digunakan.
5 Hal ini menyebabkan penderitaan kronis pada kuda. Endapan amiloid sering dijumpai pada organ limpa, limfoglandula dan organ limfoid lainnya. Produksi ATS pada kuda sangat mahal. Adanya masalah-masalah di atas maka terpikirkan untuk memproduksi ATS pada telur ayam. Hal ini sangat mungkin dilakukan karena antibodi dalam darah induk ayam dapat ditransfer ke dalam telur dalam jumlah yang cukup banyak. Schade et al. (1996) melaporkan imunisasi pada ayam menghasilkan konsentrasi antibodi spesifik yang sama antara serum da n kuning telur. Konsentrasi IgY pada kuning telur konstan sampai oosit matang (maturasi), dengan kandungan 10 sampai 20 mg/ml (Carlander 2002). Biaya produksi imunoglobulin pada telur unggas sangat murah (Warr dan Higgins 1995; Makvandi dan Fiuzi 2002) Penggunaan
ayam
untuk
produksi
antibodi
menghilangkan
dan
mengurangi penggunaan mamalia sebagai hewan laboratorium. Menghilangkan yang di maksud adalah menghilangkan langkah yang menyakitkan saat koleksi darah, yang digantikan dengan ekstraksi antibodi dari kuning telur. Pengurangan yang di maksud adalah mengurangi jumlah hewan yang digunakan, sebab ayam menghasilkan antibodi yang lebih efisien dibandingkan hewan mamalia seperti kelinci maupun mamalia besar lainnya (Karlsson et al. 2004). Berkenaan dengan animal welfare dan efisiensi biaya, penggunaan antibodi dalam telur lebih bisa diterima dibandingkan dengan penggunakan hewan percobaan mamalia (Svendsen et al. 1995).
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah mengetahui sifat karakteristik IgY spesifik terhadap toksin tetanus yang diisolasi dari telur, untuk menggantikan produksi antitetanus serum pada kuda.
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat dipakai untuk memproduksi IgY yang lebih spesifik terhadap antigen toksoid tetanus, sehingga dapat digunakan untuk imunodiagnostik dan imunoterapi secara masal. IgY antitetanus ini biaya
6 produksinya lebih murah, aman, mudah, dan kualitas yang lebih baik daripada ATS konvensional yang diproduksi dari kuda.
Hipotesis Berdasarkan atas latar belakang dan permasalahan yang diajukan di atas, maka disusun suatu hipotesis sebagai berikut : 1 Ayam mampu memproduksi IgY spesifik terhadap toksin tetanus yang tersimpan pada telur, 2 IgY yang terbentuk mempunyai daya tahan terhadap pengaruh suhu, pH, dan enzim pencernaan, 3 IgY yang terbentuk mampu menetralisasi toksin tetanus dan berpotensi tinggi.