1
PENDAHULUAN Latar Belakang Era globalisasi merupakan suatu zaman dimana pertukaran budaya, seni dan kemajuan ilmu pengetahuan terjadi sangat pesat dan bebas. Banyak hal yang perlu dipersiapkan untuk memasuki era ini. Salah satunya adalah memiliki sumberdaya manusia yang berkualitas tidak hanya dari segi IQ (Intelligence Quotient) melainkan juga EI (Emotional Intelligence) serta berdayasaing tinggi. Menurut Kuncoro (2008) Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia berada pada peringkat 107 dari 177 negara yang menggambarkan bahwa pembangunan manusia di Indonesia masih sangat rendah. Setiap individu, pada dasarnya dituntut untuk memiliki beragam keterampilan yang dapat menunjang kemampuan agar berdayasaing tinggi. Terampil tidak hanya dalam bekerja (bagian dari IQ) tetapi juga secara emosi (bagian dari EI). Di negara Indonesia ternyata kedua hal ini belum mendapat dukungan yang maksimal oleh sistem pendidikan yang ada. Selama ini para siswa ditekankan untuk mengerti dan memahami materi pelajaran hanya agar dapat menjawab soal ujian dengan benar. Padahal sesungguhnya, dalam dunia kerja tidak hanya kecerdasan inteligensi yang dibutuhkan melainkan juga kemampuan-kemampuan secara psikis seperti memiliki kepribadian yang baik, tangguh, disipilin, beretos kerja, profesional, mandiri, bertanggung jawab, dan produktif. Hartono (2006) menjelaskan bahwa pondok pesantren merupakan bagian dari sistem pendidikan nasional yang memiliki fokus tidak hanya pada ilmu pengetahuan umum tetapi juga ilmu agama. Selain itu sistem pendidikan yang diterapkan di pesantren juga tidak sama dengan sekolah umum biasa. Hal itu terlihat bahwa pondok pesantren lebih menekankan sistem pengajaran yang berlandaskan kekeluargaan. Hal ini dilakukan karena sebagian besar santrinya berusia belasan tahun atau biasa dikenal dengan masa remaja dimana dipenuhi oleh gejolak emosi yang meluap-luap dan sangat mudah dipengaruhi oleh orang lain. Kehidupan di pesantren sangat dikenal dengan kepatuhan dan kemandirian santrinya (Hartono 2006). Kepatuhan digambarkan sebagai sikap dari seorang santri untuk mengikuti, dengan kesadaran sendiri, peraturan-peraturan yang ada di pondok. Sedangkan kemandirian merupakan kemampuan santri untuk mandiri
2
tidak hanya secara emosi melainkan juga tingkah laku dan nilai dalam membangun pandangan hidup. Sebagian besar santri dapat dikatakan berasal dari keluarga dengan adat dan budaya yang berbeda-beda, sehingga tugas kiai atau ustad/ustadzah adalah sebagai orangtua pengganti, yang berkewajiban menjaga, memberi kasih sayang dan mendidik para santri selama berada di pondok pesantren. Pesantren mengajarkan santri bahwa mereka harus memiliki disiplin dan kesadaran diri dalam melakukan kegiatan apa pun, sehingga nantinya mereka dapat memahami manfaat dari apa yang telah mereka lakukan. Hal itu terlihat jelas dari beberapa peraturan dan sanksi di pondok pesantren yang secara sengaja diadakan untuk menunjang terciptanya kepatuhan dan kemandirian santri dalam melaksanakan kehidupannya sehari-hari, walaupun tetap saja semua itu kembali kepada kepribadian masing-masing santri dan kecerdasan emosi yang dimilikinya. Kepatuhan dan kemandirian merupakan bagian dari kehidupan pesantren yang mengajarkan sikap dan tingkah laku jujur dan bermoral kepada santri serta menyiapkan mereka untuk hidup sederhana dan bersih hati. Santri remaja terkenal dengan sebutan fase “mencari jati diri” dan fase perkembangan yang amat potensial, baik dilihat dari aspek kognitif, emosi, maupun fisik. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk melihat bagaimana hubungan kecerdasan emosi dengan kepatuhan dan kemandirian para santri remaja di pondok pesantren. Perumusan Masalah Data HDI (Human Development Index) menunjukkan bahwa Indonesia berada pada peringkat 107 dari 177 negara (Kuncoro 2008). Berdasarkan data di atas maka pembangunan manusia di Indonesia dapat dikatakan berada pada tingkat medium atau sedang. Hal ini merupakan petunjuk sekaligus tanda bahwa pembangunan manusia di Indonesia masih sangat perlu ditingkatkan. Individu yang mulai memasuki masa remaja akan menghadapi masa yang penuh konflik. Hal ini menimbulkan keresahan dan kontradiksi pada diri remaja. Kemandirian dan kepatuhan yang merupakan bagian dari tugas-tugas perkembangan remaja dirasa mulai perlu diperhatikan. Hal ini juga berlaku bagi santri remaja yang mengenyam pendidikan di pondok pesantren. Para santri dituntut untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri mulai dari merapikan lemari pakaian, kamar, meja belajar, mengelola uang saku, mengatur jadwal kegiatan sehari-hari bahkan sampai mencuci pakaian mereka sendiri.
3
Santri tidak bisa mengandalkan orang lain karena setiap santri mempunyai tugas dan tanggung jawab sendiri-sendiri. Hal ini bukan berarti bahwa para santri tidak saling peduli satu sama lain. Terlepas dari latar belakang keluarga yang berbeda, seluruh santri dihadapkan pada sejumlah peraturan yang harus dipatuhi dan sanksi-sanksi jika ada yang melanggar. Kepatuhan pada taraf tertentu diduga dapat menghambat perkembangan kemandirian dari seorang santri (Hartono 2006). Hal ini dikarenakan kepatuhan menuntut santri untuk mengikuti peraturan yang ada tanpa memikirkan manfaat yang akan diperolehnya. Meskipun
demikian,
peraturan sebenarnya sengaja diadakan agar santri mematuhi dengan kesadaran
sendiri dan
memiliki
kemandirian untuk
dapat
menjalankan
kehidupannya kelak dengan baik. Penelitian yang dilakukan oleh Hartono (2006) menunjukkan bahwa kepatuhan santri remaja di pesantren sudah berada pada tingkat yang cukup tinggi. Hal tersebut sesuai dengan karakteristik remaja yang cenderung menyesuaikan tingkah laku dengan norma yang berlaku di dalam lingkungannya sehingga santripun cenderung untuk melaksanakan perintah (aturan pondok pesantren) atau permintaan kiai yang dianggapnya sebagai pimpinan dari pondok pesantren. Akan tetapi kemandirian santri masih dalam tingkat sedang dan rendah yang berarti santri belum benar-benar mandiri baik dalam hal emosi, tingkah laku maupun nilai untuk membangun kepercayaan dan pandangan hidup yang sesuai dengan nilainya sendiri. Berdasarkan permasalahan-permasalahan diatas, terdapat pertanyaan yang ingin ditemukan jawabannya melalui penelitian ini yaitu : 1. Bagaimana karakteristik santri dan keluarganya? 2. Bagaimana santri mempersepsikan pola asuh emosi di pondok pesantren? 3. Bagaimana
tingkat
kecerdasan
emosional
santri
di
pondok
pesantren? 4. Bagaimana kepatuhan santri terhadap aturan sekolah dan aturan pondok pesantren? 5. Bagaimana kemandirian santri (baik secara emosi, tingkah laku maupun nilai) dalam menjalankan tugas?
4
Tujuan Penelitian Tujuan Umum : Mengetahui hubungan kecerdasan emosional dengan kepatuhan dan kemandirian santri di pondok pesantren. Tujuan Khusus : 1. Mengidentifikasi karakteristik anak (usia, jenis kelamin dan urutan kelahiran) dan karakteristik keluarga (usia, pendidikan, pekerjaan, pendapatan dan besar keluarga) 2. Mengukur tingkat kecerdasan emosional contoh (kesadaran diri, pengaturan diri, motivasi, empati dan keterampilan sosial) 3. Mengidentifikasi kepatuhan contoh (patuh terhadap aturan di sekolah dan pondok pesantren) dan kemandirian contoh (tingkah laku, emosi dan nilai dalam membangun pandangan hidup) 4. Mengukur persepsi contoh terhadap pola asuh emosi di pondok pesantren 5. Menganalisis hubungan antara karakteristik anak dan keluarga dengan tingkat kecerdasan emosional 6. Menganalisis hubungan antara tingkat kecerdasan emosional dengan kepatuhan dan kemandirian contoh Kegunaan Penelitian 1. Bagi peneliti, penelitian ini bermanfaat sebagai sarana berlatih untuk mempelajari fenomena yang ada di masyarakat sehingga diharapkan dapat mengaplikasikan ilmu yang telah didapat dibangku kuliah agar bermanfaat bagi orang banyak. 2. Bagi para orangtua dan generasi muda, penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai suatu sarana kajian mengenai kecerdasan emosional dan hubungannya dengan kepatuhan dan kemandirian yang dimiliki remaja. 3. Bagi institusi pendidikan, khususnya pondok pesantren, penelitian ini dapat dijadikan referensi untuk meningkatkan kualitas yang berkaitan dengan kecerdasan emosional, kepatuhan dan kemandirian santri. 4. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat yang berkaitan dengan kecerdasan emosional, kepatuhan
5
dan kemandirian santri, sehingga masyarakat diharapkan memiliki pemahaman yang lebih baik mengenai hal ini.