1
PENDAHULUAN Latar Belakang Rata-rata pertumbuhan petani gurem atau petani berlahan sempit di Indonesia adalah 2.6 persen per tahun dan di Jawa rata-rata adalah 2.4 persen. Alih fungsi lahan pertanian produktif menjadi nonpertanian telah mendorong peningkatan jumlah pertanian lahan sempit (Badan Pusat Statistik, 2004), khususnya di wilayah perkotaan. Keberadaan pertanian lahan sempit dapat memiliki sejumlah nilai positif, antara lain: (1) memasok produk pertanian umumnya sayuran, bunga potong, dan tanaman hias kepada penduduk perkotaan; (2) mendukung program penghijauan, memanfaatkan lahan kosong, dan mempertahankan kesuburuan tanah; (3) meningkatkan peluang kerja, minimal bagi diri petani dan keluarganya; dan (4) memberikan pendapatan kepada petani berlahan sempit secara kontinyu (Adiyoga et al. 2003; Siregar et al. 2000). Bagi pemerintah daerah, kegiatan pertanian lahan sempit juga dapat membantu mengurangi jumlah pengangguran. Djamhari (2004) menjelaskan bahwa industri pertanian skala kecil memiliki kelebihan, antara lain: modal tidak besar, luwes bergerak tanpa harus terhambat birokrasi, tenaga penjualan dan wirausaha tertempa alami, serta mudah mengikuti selera konsumen. Pengelolaan yang tepat terhadap pertanian lahan sempit akan meningkatkan pendapatan petani dan memperbaiki kualitas wilayahnya. Pertanian lahan sempit dapat diusahakan secara menguntungkan.
Hal ini
didasarkan atas analisis Arifin (2001) bahwa pada tahun 1980’an sebagian besar petani telah memiliki lahan pertanian kurang dari 0,5Ha, tetapi swasembada pangan tahun 1984 dapat tercapai. Upaya tersebut dilakukan dengan menerapkan teknologi modern
beserta
sarana,
pengelolaan
atau
manajemen
usahatani
modern,
menumbuhkan kelompok atau kerjasama antar petani dan antara petani dengan pihak lain, peran agen perubahan yang menyediakan pendidikan atau penyuluhan petani secara intensif, serta iklim usaha yang kondusif yang diciptakan pemerintah. Artinya, pertanian lahan sempit bisa diusahakan secara menguntungkan melalui intensifikasi lahan dengan penerapan teknologi modern yang tepat sesuai kondisi/karakteristik
2 petani; namun harus didukung kegiatan membangun kemampuan atau kompetensi petani dan menyediakan sumber-sumber informasi serta kelembagaan pertanian yang sesuai sehingga petani dapat mengambil keputusan sendiri bagi usahataninya. Sasongko (Adi, 2003) menyarikan hakekat manusia yaitu: manusia pada dasarnya memiliki “inner force” yang menggerakkan hidupnya untuk memenuhi kebutuhannya; di dalam diri manusia terdapat “potensi,” namun potensi itu terbatas sehingga perlu upaya untuk mengembangkan. penggerak
utama
dan
mempunyai
mengintervensi sumberdaya alam.
Jadi, manusia merupakan unsur
kemampuan
untuk
memanipulasi
dan
Sumberdaya manusia, termasuk petani,
memegang peran penting dalam suatu usaha yang memanfaatkan sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhannya dan kebutuhan orang lain secara bijak, yaitu menggunakan tingkat kemampuan atau kompetensi yang dimiliki (Tjitropranoto, 2005).
Artinya, tingkat kompetensi petani akan menentukan kemampuannya
memanfaatkan sumberdaya lingkungan secara tepat. Kompetensi adalah kemampuan berpikir, bersikap, dan bertindak yang mendasari dan merefleksikan wujud perilaku dan kinerja seseorang dalam aktivitas dan pergaulan hidupnya (Mangkuprawira, 2004) atau di bidang pekerjaannya sesuai yang ditetapkan di bidangnya (Depnakertrans, 2005; Depkes, 2004; dan Suharman, 2005).
Kompetensi agribisnis didasarkan pada konsep sistem agribisnis, yaitu
sebagai konsep pertanian yang memiliki lingkup lebih luas dari sekedar usahatani di lahan (onfarm).
Penerapan konsep agribisnis diharapkan memiliki jaminan
keberlanjutan sektor pertanian yang lebih menguntungkan karena dibangunnya dukungan subsistem pertanian lain diluar usahatani onfarm (Departemen Pertanian, 2001b). Dengan demikian, kompetensi agribisnis adalah kemampuan petani untuk berpikir, bersikap, dan bertindak dalam merencanakan usahatani untuk memperoleh keuntungan berusahatani, membangun kerjasama antar subsistem pertanian, mengelola pascapanen pangan untuk meraih nilai tambah produk pertanian, serta mewujudkan kegiatan pertanian yang berkelanjutan.
Kompetensi seseorang
merupakan indikator yang dapat memperkirakan kinerjanya; yaitu segala sesuatu
3 yang hendak dilakukan dan dicapai dalam kegiatannya (Spencer dan Spencer, 1989; Supratiknya, 1993; Woolfolk, 2004; dan Ilyas, 2004). Kegiatan penyuluhan merupakan upaya pemberdayaan untuk meningkatkan kompetensi petani melalui sistem pendidikan nonformal (Slamet, 2001; Asngari, 2001). Petani yang kompeten akan melakukan tindakan secara tepat dimanapun berada dan dapat memutuskan tindakan yang diambilnya dalam rangka menghadapi perubahan lingkungan yang terus terjadi. Strategi penyuluhan pertanian bagi petani berlahan sempit perlu dikembangkan, agar petani mendapat penyuluhan secara tepat, terencana dan berkelanjutan sesuai potensi dan kondisi setempat.
Kegiatan
penyuluhan diharapkan berdampak pada kemampuan petani berperan dalam segala bentuk perubahan dan pembangunan pertanian. Masalah Penelitian Sektor pertanian menjadi penopang hidup utama bagi 56,50 persen rumah tangga di Indonesia yang bermatapencaharian sebagai petani, tetapi 53,90 persen rumah tangga petani Indonesia memiliki lahan kurang dari 0,5 Ha. Secara nasional, rata-rata luas lahan yang dikuasai rumah tangga petani dari tahun 1983 sampai 1993 menurun dari 0,98 Ha menjadi 0,83 Ha dan menjadi 0.72 Ha pada tahun 2003. Artinya, lebih dari 50 persen rumah tangga pertanian menggunakan modal utama berusahatani yaitu “lahan” dalam keadaan kurang. Jumlah rumah tangga pertanian lahan sempit cenderung meningkat sejak tahun 1993 hingga 2003 yaitu dari 10.8 juta menjadi 13.67 juta jiwa.
Kondisi ini tentu berpengaruh terhadap produktivitas
usahatani dan kesejahteraan petani. Sektor pertanian Indonesia di masa depan, khususnya di Pulau Jawa akan dicirikan oleh pertanian berkarakteristik lahan sempit selajan dengan pergeseran fungsi lahan pertanian. Propinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat merupakan dua wilayah di Indonesia yang mempunyai ratio tertinggi antara jumlah rumah tangga pertanian
4 lahan sempit dengan jumlah rumah tangga pertanian pengguna lahan (BPS, 2004) 1 . Peningkatan tersebut terjadi khususnya di wilayah perkotaan dengan pembangunan fisik yang pesat, misalnya Jakarta dan sekitarnya serta Bandung dan sekitarnya. Keberlangsungan usaha pertanian lahan sempit di wilayah tersebut akan sangat tergantung pada input-input yang diberikan bagi intensifikasi lahannya, antara lain penerapan sistem dan usaha agribisnis (Laporan Tahunan Dinas Pertanian dan Kehutanan DKI Jakarta, 2003; Laporan Tahunan Dinas Pertanian Kota Bandung, 2003). Keberhasilan intervensi input usahatani tergantung pada sosialisasi sistem dan usaha agribisnis melalui akses sumber informasi, keberadaan kegiatan penyuluhan yang berkelanjutan, serta sumberdaya atau sarana usahatani setempat. Ciri pelaku pertanian skala kecil adalah: (1) penguasaan faktor produksi yang kecil (tanah, modal); (2) tingkat kemampuan dan profesionalisme SDM yang rendah; (3) akses sumber modal yang terbatas; (4) penguasaan teknologi terbatas; (5) penguasaan organisasi dan manajemen yang terbatas; (6) kekuatan bersifat individual atau tidak berkelompok dan kurang kerjasama antar petani ataupun dengan pihak lain; (7) vokalitas menyuarakan dan memperjuangkan pendapat dan kebutuhan yang relatif rendah (Djamhari, 2004). Selain itu akses kelembagaan pertanian (sumber informasi, modal) dan pengembangan diri yang kurang.
Kemitraan antara petani dengan
kelembagaan petani sering melemahkan posisi petani (Sumardjo, 2000), apalagi petani berlahan sempit yang umumnya bermodal kecil.
Keterbatasan ini dapat
mempengaruhi motivasi, perilaku, dan kesempatan pengembangan usahatani; yang selanjutnya akan mempengaruhi pendapatan dan tingkat kesejahteraan.
Ciri-ciri
petani kecil tersebut menunjukkan bahwa kompetensi agribisnis petani berlahan sempit masih rendah. Hasil penelitian Siregar et al. (2000) di wilayah Jakarta dan sekitar, Adiyoga (2000) di wilayah Kota Bandung dan Kabupaten Bandung, menunjukkan bahwa
1
Menurut Press Release BPS 16 Februari 2004, hasil Sensus Pertanian 2003 oleh BPS menunjukkan bahwa Propinsi Jakarta, Jogyakarta, dan Jawa Barat merupakan 3 propinsi terbesar jumlah rumah tangga petani gurem di Indonesia. Di Jawa, persentase rumah tangga petani gurem terhadap rumah tangga pertanian pengguna lahan adalah: Jakarta (89.72%), Yogyakarta (80.11%), Jawa Barat (77.60%), Jawa Tengah (75.43), Jawa Timur (72.81%), dan Banten (64.43%).
5 petani dengan lahan pengusahaan antara 300-3000m2 memiliki ciri-ciri: (1) petani tetap aktif melakukan kegiatan usahatani dan menghabiskan waktunya di lahan pertanian; (2) mengatur waktu tanam dan luasan lahan untuk memperoleh pendapatan (income) secara kontinyu; (3) lahan sempit umumnya digunakan untuk budidaya sayuran untuk memenuhi kebutuhan sayuran masyarakat kota yang terus meningkat; (4) menjual sayur secara borongan untuk menghemat tenaga; dan (5) memanfaatkan air sungai terdekat untuk pengairan, tanpa menyadari kandungan bahan kimia. Ciriciri tersebut merupakan mekanisme mengendalikan lingkungannya agar petani tetap bertahan hidup (coping mechanism). Namun, beberapa ciri tersebut menunjukkan bahwa tindakan petani kecil belum sesuai dengan kompetensi agribisnis yang seharusnya dimiliki dalam melakukan kegiatan usahatani yang menjamin keberlanjutan kegiatan pertanian. Beberapa hasil kajian menunjukkan bahwa: (1) petani berlahan sempit kurang mendapatkan penyuluhan (Siregar et al. 2000; Adiyoga et al. 2000); (2) kegiatan penyuluhan seharusnya tidak disamaratakan (Sumarjo, 1999), petani berlahan sempit harusnya mendapat penyuluhan secara spesifik (Kompas, 28 Juni 2005); (3) skala usahatani yang berbeda memiliki karakteristik berbeda sehingga penyuluhan harus diberikan dengan pendekatan berbeda (Djamhari, 2004). Lebih lanjut, Slamet (2001) dan Jarmie (1994) menjelaskan bahwa strategi, pola, dan pendekatan penyuluhan pertanian seharusnya berbeda sesuai tingkat perkembangan wilayah dan petani. Selain itu, Tjondronegoro (2004) menjelaskan bahwa kegiatan penyuluhan seharusnya diberikan sesuai kondisi petani yang berjenjang mulai dari petani skala besar, menengah, kecil, dan petani gurem. Kajian tersebut menunjukkan bahwa petani berlahan sempit seharusnya mendapat penyuluhan secara spesifik. Uraian diatas menunjukkan bahwa meskipun petani berlahan sempit memiliki sejumlah nilai positif, tetapi petani masih memiliki sejumlah kelemahan, kinerja rendah akibat dari kemampuan petani berusahatani yang masih rendah, serta tidak didukung lingkungan usahatani dan proses pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan petani yang memadai. Sejumlah keterbatasan ini dapat mempengaruhi kemampuan petani, kesempatan pengembangan usahatani, dan pendapatannya.
6 Dengan demikian, permasalahan yang dikaji terhadap petani berlahan sempit di Jakarta dan sekitarnya serta Bandung dan sekitarnya adalah: bagaimana upaya meningkatkan kompetensi agribisnis petani berlahan sempit sehingga mampu berusahatani secara menguntungkan dan berkelanjutan? Secara khusus, permasalahan yang dikaji melalui penelitian ini adalah: (1) Sejauh mana potensi petani berlahan sempit (karakteristik individu, faktor lingkungan usahatani, dan proses pembelajaran)? (2) Bagaimana kompetensi agribisnis petani berlahan sempit dan apa faktor-faktor yang mempengaruhi? (3) Bagaimana kinerja petani dan pengaruh kompetensi agribisnis terhadap kinerja petani berlahan sempit? (4) Bagaimana strategi penyuluhan agribisnis yang efektif meningkatkan kompetensi agribisnis dan kinerja petani berlahan sempit? Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: (1) Mengidentifikasi potensi petani berlahan sempit (karakteristik individu, faktor lingkungan usahatani, dan proses pembelajaran); (2) Mengidentifikasi tingkat kompetensi agribisnis petani berlahan sempit dan faktorfaktor yang mempengaruhi; (3) Mengidentifikasi tingkat kinerja petani dan pengaruh kompetensi agribisnis terhadap kinerja petani berlahan sempit; dan (4) Merumuskan
strategi
penyuluhan
pertanian
yang
efektif
meningkatkan
kompetensi agribisnis dan kinerja petani berlahan sempit. Manfaat Hasil Penelitian (1) Memberikan informasi untuk pengembangan ilmu penyuluhan; khususnya pengembangan pendekatan atau metode pembelajaran yang efektif bagi kelompok-kelompok masyarakat dengan karakteristik yang berbeda pada wilayah yang berbeda, terutama akibat pengaruh lingkungan yang terus berubah;
7 (2) Memberikan bahan untuk menyusun kebijakan peningkatan kompetensi agribisnis petani berlahan sempit, sehingga petani berlahan sempit mampu menghadapi segala kendala dan perubahan di lingkungannya. (3) Memberikan informasi tentang potensi dan pengembangan kompetensi agribisnis petani berlahan sempit kepada wilayah lain yang memiliki karakteristik relatif sama dengan wilayah penelitian, yaitu wilayah yang berkembang sebagai perkotaan dengan peningkatan pembangunan fisik, namun masih memiliki sejumlah besar petani sayuran berlahan sempit. Definisi Istilah Berdasarkan uraian sebelumnya, beberapa definisi istilah penting yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Alih fungsi lahan pertanian adalah perubahan pemanfaatan lahan pertanian produktif menjadi wilayah nonpertanian, misalnya:wilayah perumahan, jalan tol, perkantoran, industri; yang menyebabkan luasan lahan pertanian berkurang; (2) Petani berlahan sempit atau petani gurem adalah seseorang yang matapencaharian utama sebagai petani dengan luas lahan pengusahaan kurang dari 0,5 Ha; (3) Sistem dan usaha agribisnis adalah kegiatan pertanian yang dikelola secara bisnis agar menguntungkan, dengan membangun jaringan kerja (networking) antar subsistem pertanian, meraih nilai tambah produk pertanian, sehingga terwujud pertanian berkelanjutan; (4) Potensi petani berlahan sempit adalah kemampuan, kesanggupan, atau daya petani yang mempunyai kemungkinan untuk dikembangkan atau ditingkatkan; (5) Kompetensi agribisnis adalah kemampuan berpikir, bersikap, dan bertindak yang mendasari dan merefleksikan wujud perilaku dan kinerja sesuai standar agribisnis, yaitu: kemampuan memperoleh keuntungan berusahatani, melakukan kerjasama, meraih nilai tambah produk pertanian, dan melakukan pertanian berkelanjutan; (6) Pengetahuan agribisnis adalah kemampuan berpikir dan memberi komentar, atau keyakinan seseorang terhadap suatu objek dalam usahatani;
8 (7) Sikap mental agribisnis adalah perasaan/emosi/minat seseorang terhadap suatu objek dalam usahatani; yang akan menentukan kecenderungannya bertindak (8) Keterampilan agribisnis adalah tindakan atau kecenderungan bertindak petani terhadap suatu objek dalam usahatani; (9) Kinerja petani adalah hasil kerja atau segala sesuatu yang dicapai oleh petani dalam berusahatani, misal jumlah produksi, jumlah pendapatan, cakupan pelanggan, serta keberlanjutan berusahatani; (10)
Karakteristik pribadi petani adalah segala ciri yang dimiliki seseorang
sepanjang hidupnya; meliputi umur, pendidikan formal, pengalaman, kebutuhan, motivasi, dan sifat kewirausahaan; (11)
Faktor lingkungan adalah kondisi atau situasi yang ada diluar individu,
misalnya kehadiran individu lain, benda-benda, kebijakan, atau tata cara kehidupan masyarakat yang menjadi lingkungannya; (12)
Proses pembelajaran adalah proses terjadinya perubahan yang relatif
permanen pada pengetahuan ataupun perilaku seseorang akibat pengalaman yang dilalui; (13)
Penyuluhan pertanian yang efektif adalah sistem pendidikan nonformal bagi
petani sesuai dengan karakteristik petani dan potensi wilayah yang dimiliki, untuk meningkatkan kompetensi agar petani mampu mengambil keputusan bagi pengembangan usahataninya; (14)
Strategi adalah pola rencana kegiatan yang tepat dan bersifat lebih operasional
dalam mencapai tujuan atau menyelesaikan permasalahan; (15)
Pertanian berkelanjutan adalah kegiatan pemenuhan kebutuhan manusia
dengan memanfaatkan sumber daya alam, yang menjamin kelestarian sumberdaya alam, kualitas sumber daya manusia, serta kesejahteraan petani secara adil; (16)
Pertanian kota dan pinggiran perkotaan adalah kegiatan pertanian di dalam
atau disekitar kota yang memiliki keterbatasan sumberdaya (tanah, air, energi, tenaga kerja) yang untuk memenuhi permintaan penduduk perkotaan.